• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian

BAB I PENDAHULUAN

4.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan

4.2.5. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian

Jika bentuk tuturan tidak mengurangi rasa antipati antara diri dengan orang lain hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dengan lain, tuturan itu melanggar maksim kesimpatian. Pelanggaran maksim kesimpatian ini dapat ditandai dengan tuturan yang tidak memperdulikan

dengan apa yang dikatakan atau apa yang terjadi dengan Ptnya. Ditemukan 2 wacana monolog dan 2 wacana dialog yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian. Di bawah ini ditampilkan 1 wacana monolog dan 1 wacana dialog sebagai sampel.

Berikut ini adalah contoh wacana monolog yang mengungkapkan pelanggaran prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

(13) Konteks : Di dalam kereta yang membawa tokoh Aku ke penjara Bicêtre, tokoh Aku memikirkan vonis hukuman mati yang baru saja ia (Aku) terima, vonis hukuman mati tersebut bisa saja ditangguhkan dengan masa waktu yang tidak jelas, namun tokoh Aku juga tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya kehidupan di penjara hingga akhirnya menuju pada eksekusi mati. Aku (Pn) : Condamné à mort!

Nrt-27 : Eh bien, pourquoi non? Les hommes, je me rappelle l’avoir lu dans je ne sais quel livre où il n’y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis. Qu’y a-t-il donc de si changé à ma situation?

Depuis l’heure où mon arrêt m’a été prononcé, combien sont morts qui s’arrangeaient pour une longue vie! Combien m’ont devancé qui, jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève! Combien d’ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré, et qui me devanceront encore!

Et puis, qu’est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l’éducation, être brutalisé des guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d’une parole et à qui je le rende, sans cesse tressaillir et de ce que j’ai fait et de ce qu’on me fera ; voilà à peu près les seuls biens que puisse m’enlever le bourreau. Aku (Pt) : - Ah! N’importe, c’est horrible!

(7/LDJC/ 43) Aku (Pn) : Dihukum mati!

Nrt-27 : Eh, kenapa tidak? Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di sebuah buku yang judulnya aku lupa dan hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan keadaanku sekarang?

Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bunderan Grève telah mendahuluiku di antara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka!

Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini? Hari-hari yang suram dan roti di ruang tahanan, jatah kuah encer yang diciduk dari tahang orang-orang hukuman yang dirantai, perlakuan dan ucapan yang kasar yang ditujukan kepadaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas diajak bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku

Aku (Pt) : - Ah, masa bodoh, sangat mengerikan!

Pada tuturan di atas, tindakan Pn melanggar Submaksim pertama (mengurangi rasa antipati antara diri dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya) prinsip kesantunan, maksim kesimpatian. Hal itu dikarenakan Pn tidak bersimpati kepada pihak lain, yakni dirinya sendiri yang telah mendapat vonis hukuman mati

Melalui tuturan Pn (Condamné à mort !, ’Dihukum mati !’), maka dapat dinyatakan bahwa Pn melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (Pn, Aku) dengan pihak lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan tidak meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (Pn, Aku) dengan pihak lain (Pn, Aku).

Pn tidak berfikiran positif sebagai bentuk optimisme atas dirinya sendiri dan justru mengalami kebingungan terhadap vonis hukuman mati yang

menimpanya (Pn). Seharusnya Pn memiliki optimisme menghadapi vonis hukuman mati. Optimisme Pn bisa diungkapkan dengan tuturan (13a) berikut.

(13a) Bien que j’aie condamné à mort mais je suis sûr de ma liberté. ‘Meskipun saya telah divonis hukuman mati tetapi saya yakin

pada kebebasanku’

Jikalau Pn mengungkapkan tindakannya melalui tuturan (13a) di atas, maka hal itu menunjukkan sebuah kepercayaan diri sendiri (Pn) dan juga menunjukkan pikiran positif pada diri sendiri (Pn) untuk bebas dari hukuman mati. Sehingga tindakan tersebut (13a) memberikan keuntungan yang sebesar- besarnya kepada pihak lain, yaitu dirinya sendiri (Pn), mengingat ini adalah wacana monolog.

Senada dengan Pn, Pt, juga melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian. Sikap Pt yang tidak peduli terhadap kondisi Pn yang mendapat vonis hukuman mati dengan ungkapan - Ah! N’importe, c’est horrible! (‘- Ah, masa bodoh, sangat mengerikan!’), menunjukkan Pt memaksimalkan antipati dan meminimalkan simpati kepada pihak lain (Pn, Aku). Submaksim pertama (mengurangi rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil-kecilnya) dan submaksim kedua (meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dengan lain) maksim kesimpatian dilanggar secara sekaligus oleh tuturan itu.

Pn yang menyampaikan bahwa dirinya mendapat vonis hukuman mati (melalui tuturannya) dengan optimisme penangguhan hukuman mati yang tidak jelas waktunya dan tidak perlu menyesali dari kehidupan yang telah ia (Pn) alami (seperti pada narasi 27), seharusnya mendapat tanggapan berupa kesimpatian dari

Pt. Maka seharusnya Pt dapat memberikan nasihat kesimpatian, semisal dengan kalimat di bawah ini.

(13b) Je vous prie de bien vouloir agréer avec sa respectueuse souvenir, l’expression de sa douloureuse sympathie à la condamnation de mort

‘Saya mohon kepada Anda untuk berkenan menerima ucapan turut prihatin yang sedalam-dalamnya atas hukuman mati Anda.‘

N’inquiétez pas, Monsieur, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis

‘Jangan khawatir, Tuan, Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan’

Jika Pt menggunakan kalimat (13b) di atas maka hal itu akan memberikan sugesti kepada Pn agar tidak takut menghadapi hukuman mati dan memiliki keyakinan bahwa setiap orang pasti akan mati dengan waktu yang tidak jelas baik yang sudah mendapat kepastian dengan vonis hukuman mati atau tidak sama sekali.

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Pt melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri (Pt, Aku) dengan lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan tidak meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri (Pt, Aku) dengan lain (Pn, Aku).

Tuturan Pt yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena melalui inferensi atas pelanggaran kedua submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan, yaitu ketidakpedulian. Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Pt melalui tuturan yang tidak

menunjukkan kesimpatian, yaitu sikap tidak peduli terhadap tokoh Aku yang mendapat vonis hukuman mati.

Adapun tuturan Pn mengandung implikas keluhan, yaitu menyampaikan keluhan mengenai vonis hukuman mati yang ia (Pn, Aku) terima.

Wacana dialog (14) berikut ini juga mengungkapkan pelanggaran prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

(14) Konteks : Di balai persidangan, setelah keputusan sidang dibacakan dan tidak ada lagi pembelaan, maka sidang ditutup. Kemudian tokoh Aku dibawa ke penjara Bicêtre, pada saat tokoh Aku keluar dari ruang pengadilan, para pengunjung sidang meneriakinya sebagai ”terpidana mati”.

Para Pengunjung Sidang : – Condamné à mort!

Nrt-28 : « ……dit la foule ; et, tandis qu’on m’emmenait, tout ce peuple se rua sur mes pas avec le fracas d’un édifice qui se démolit…. Au bas de l’escalier, une noire et sale voiture grillée m’attendait. Au moment d’y monter, je regardai au hasard dans la place….. »

– Un condamné à mort!

Nrt-29 : « …….criaient les passants en courant vers la voiture. À travers le nuage qui me semblait s’être interposé entre les choses et moi, je distinguai deux jeunes filles qui me suivaient avec des yeux avides; » Gadis Muda : – Bon, dit la plus jeune en battant des mains, ce

sera dans six semaines!

(6/LDJC/42-43)

Para Pengunjung Sidang : – Dihukum mati !

Nrt-28 : ‘……terdengar orang-orang berkata. Dan saat orang membawaku pergi, semua orang menyerbu mengikutiku dengan hingar-bingar seperti gedung runtuh. .….…….. Di bawah tangga, sebuah kereta hitam, kotor dan berterali menungguku. Pada saat menaikinya, secara tidak sengaja aku melihat ke arah bunderan. …..’

Nrt-29 : ‘……….teriak orang-orang di sana sambil berlari menuju kereta. Di balik kabut yang seolah terbentuk antara benda-benda dan diriku, samar-samar kulihat dua gadis mengikuti dengan pandangan serakah.

Gadis Muda : – Bagus, kata yang lebih muda sambil bertepuk tangan, enam minggu lagi!

Para pengunjung sidang yang meneriaki tokoh Aku sebagai ”terpidana mati” (–Un condamné à mort!, ’Dihukum mati!) melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian karena tidak memberikan simpati kepada tokoh Aku yang mengalami penderitaan akibat vonis hukuman mati yang diterimanya (Aku).

Begitupun gadis muda juga melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian melalui tuturannya – Bon, ce sera dans six semaines! (’– Bagus, enam minggu lagi!’) yang menunjukkan antipati dan ketidaksimpatiannya terhadap Aku. Gadis muda yang antipati dan tidak bersimpati pada pihak ketiga (Aku) menunjukkan gadis muda tersebut memaksimalkan antipati dan meminimalkan kesimpatian dengan pihak lain (Aku). Submaksim pertama (mengurangi rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain hingga sekecil- kecilnya) dan submaksim kedua (meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan orang lain) maksim kesimpatian dilanggar secara sekaligus oleh gadis muda. Tindakan gadis muda yang menegaskan bahwa hukuman mati akan dieksekusi enam minggu lagi. Hal itu melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian karena tidak memberikan nasihat untuk bersimpati kepada tokoh Aku yang mendapatkan vonis hukuman mati. Bahkan gadis muda tersebut cenderung antipati kepada tokoh Aku dengan menyepakati hasil keputusan sidang pengadilan. Melalui kata – Bon,….. (’– Bagus,…..’), gadis

muda tersebut seakan-akan dia (gadis muda) sudah menantikan agar tokoh Aku mendapat vonis hukuman mati.

Para pengunjung sidang dan gadis muda seharusnya menanggapi vonis hukuman mati yang diterima oleh tokoh Aku dengan kesimpatian sebagaimana yang ditegaskan pada prinsip kesantunan maksim kesimpatian, yaitu meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya kepada pihak lain (Aku). Para pengunjung sidang dan gadis muda bisa memberikan nasihat untuk bersimpati kepada pihak lain (Aku), semisal dengan kalimat « Je vous prie de bien vouloir agréer avec sa respectueuse souvenir, l’expression de sa douloureuse sympathie à la condamnation de mort », (’Saya mohon kepada Anda untuk berkenan menerima ucapan turut prihatin yang sedalam-dalamnya atas hukuman mati Anda’), atau semisal dengan memberikan sugesti « N’inquiétez pas, Monsieur, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis », (’Jangan khawatir, Tuan, semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan’).

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa para pengunjung sidang dan gadis muda melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (para pengunjung sidang dan gadis muda) dengan pihak lain (pihak ketiga, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan tidak meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (para pengunjung sidang dan gadis muda) dengan pihak lain (pihak ketiga, Aku).

Tuturan para pengunjung sidang dan gadis muda yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber

implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena melalui inferensi atas pelanggaran kedua submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan, yaitu mencemooh. Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh para pengunjung sidang dan gadis muda melalui tuturan yang tidak menunjukkan kesimpatian, yaitu sikap mencemooh tokoh Aku yang mendapat vonis hukuman mati. Pada konteks lain, tindakan gadis muda bisa mengimplikasikan harapan, yakni harapan agar vonis hukuman mati segara dilaksanakan.

Sementara itu, tuturan para pengunjung sidang mengandung implikasi penghinaan, yaitu penghinaan terhadap tokoh Aku yang statusnya sosialnya telah berubah menjadi terpidana mati.

4.6. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan

Proses dialog yang terjadi antara Pn dan Pt, baik membicarakan Pt maupun pihak ketiga memungkinkan adanya pematuhan prinsip kesantunan sekaligus pelanggaran prinsip kesantunan. Hal itu terjadi dikarenakan adanya pandangan yang berbeda antara Pn dan Pt dalam memandang objek yang dibicarakan. Perbedaan pandangan tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda, diantaranya (1) tingkat pendidikan Pn dan Pt, (2) pengetahuan mengenai hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice dalam Rustono 1999:66), (3) latar belakang strata sosial dan kebudayaan (Lakoff 1990:35 dalam Eelen, 2001:3), (4) kondisi emosional Pn atau Pt pada saat membicarakan objek yang dibicarakan, dll. Dari hasil analisis data, ditemukan 22

data yang mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan. 22 Data tersebut terdiri dari 16 tuturan mematuhi dan 4 tuturan melanggar maksim kearifan, 2 tuturan mematuhi dan 12 tuturan melanggar maksim kedermawanan, 3 tuturan melanggar maksim pujian, 3 tuturan mematuhi maksim kesepakatan, dan 5 tuturan mematuhi dan 5 tuturan melanggar maksim kesimpatian.

Adapun prinsip kesantunan yang dipatuhi dan dilanggar berupa maksim kearifan, kedermawanan, pujian, kesepakatan, dan kesimpatian.

4.3.12. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan.

Kesantunan wacana roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan ini adalah percakapan yang meminimalkan biaya sosial kepada pihak lain. Maksim kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun pihak ketiga yang dibicarakan antara Pn dan Pt) di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Jikalau sebaliknya maka melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan. Ditemukan 1 wacana polilog dan 3 wacana dialog yang mematuhi dan melanggar prinsip kesantuan, maksim kearifan. Data yang akan ditampilkan di bawah ini 1 wacana polilog dan 1 wacana dialog.

Wacana dialog di bawah ini (15) mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan.

(15) Konteks : Di dalam sel penjara, Sipir penjara (Guichetier) mengatakan kepada tokoh Aku bahwa semua orang (petugas pengadilan, hakim, pengacara, dan para pengunjung sidang) telah menunggunya (Aku) untuk kembali melanjutkan sidang tentang

kasusnya (Aku) yang akhirnya menghasilkan vonis hukuman mati bagi tokoh Aku.

Nrt-30 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui diaprait le plafond.

Aku : – Voilà une belle journée, répétai-je.

Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend.

(3/LDJC/ 39) Nrt-30 : Aku tetap diam dengan pikiran setengah tertidur, mulut tersenyum dan mata terpaku pada pantulan cahaya keemasan yang mewarnai langit-langit itu.

Aku : – ini dia, hari yang indah, ulangku.

Guichetier : - Ya, orang itu menjawabku, orang-orang menunggu anda. Pada dialog di atas, tuturan tokoh Aku mengandung maksud sebagai pernyataan yang berfungsi sebagai sapaan kepada Guichetier sekaligus mengegaskan kembali atas pernyataan Aku bahwa hari itu adalah hari yang cerah, hari yang indah. Tuturan Aku (Voilà une belle journée, répétai-je, ‘ini dia, hari yang indah, ulangku) memaksimalkan keuntungan kepada orang lain (Guichetier) dan meminimalkan kerugian kepada orang lain (Guichetier), maka tuturan Aku tersebut mematuhi maksim kesantunan, yakni maksim kearifan karena telah membuat kerugian orang lain (Guichetier) sekecil-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain (Guichetier) sebesar-besarnya.

Pelanggaran tersebut dapat dilihat pada tindakan Guichetier yang mengatakan bahwa orang-orang telah menunggu tokoh Aku (on vous attend,

’orang-orang menunggu anda.’), hal itu telah memberikan kerugian pada orang

saja mengarah kepada vonis hukuman mati. Tindakan Guichetier tersebut juga menguntungkan dirinya sendiri (Guichetier) karena ia (Guichetier) telah melaksanakan tugasnya sebagai sipir penjara, yakni menyampaikan bahwa sidang di pengadilan akan dimulai. Guichetier tidak memaksimalkan keuntungan kepada orang lain (Aku) dan tidak meminimalkan kerugian kepada orang lain (Aku). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Guichetier melanggar maksim kesantunan, maksim kearifan submaksim pertama (membuat kerugian orang lain sekecil-kecilnya) dan submaksim kedua (membuat keuntungan orang lain sebesar- besarnya).

Tuturan Guichetier yang menyampaikan bahwa orang-orang telah menungggu tokoh Aku (on vous attend, ’orang-orang menunggu anda’) merupakan tugas atau kewajiban Guichetier sebagai sipir penjara, akan tetapi Guichetier menyampaikan maksudnya dengan tuturan yang kurang halus dan terkesan memaksakan kehendaknya (Guichetier) secara frontal kepada tokoh Aku sehingga tokoh Aku harus menerima kehendak Guichetier tanpa bisa memikirkan untuk menerima atau menolaknya. Tuturan tersebut semisal diganti dengan tuturan (15a) berikut ini, akan terasa lebih santun.

(15a) Excusez-moi, Monsieur, pourriez-vous venir au tribunal pasce qu’on vous aurait rendu, s’il vius plaît.

’Maafkan saya Bapak, berkenankah Bapak datang ke pengadilan, orang-orang telah menunggu Bapak, Saya persilahkan’.

Tuturan (15a) di atas terkesan tidak terlalu memaksakan kehendaknya (Guichetier) kepada tokoh Aku untuk melakukan keinginan Guichetier. Tuturan (15a) di atas sekaligus masih memberikan ruang pilihan kepada tokoh Aku untuk

menerima atau menolak tawaran atau ajakan Guichetier untuk menghadiri sidang di pengadilan.

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa tuturan Guichetier melanggar prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan karena tidak membuat kerugian orang lain (Aku) sekecil-kecilnya dan tidak membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-besarnya.

Tuturan Guichetier yang melanggar primsip kesantunan, maksim kearifan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang dikandung pada tuturan yang melanggar maksim kearifan itu adalah menyatakan perintah. Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Guichetier melalui tuturannya agar tokoh Aku segera menuju tempat sidang pengadilan. Dalam konteks lain, mengimplikasikan penolakan, yaitu penolakan Guichetier yang tidak mau diajak tokoh Aku untuk membicarakan mengenai cuaca hari itu. Guichetier berharap dengan tuturannya, tokoh Aku menghentikan percakapannya.

Sementara itu, tuturan tokoh Aku mengandung implikasi sapaan, yaitu menyapa Guichetier dengan membuka percakapannya (Aku) melalui pembicaraan mengenai kondisi cuaca hari itu.

Wacana polilog (16) di bawah ini juga mamatuhi dan malanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan.

(16) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku mengalami mimpi. Di dalam mimpnya, tokoh Aku bertemu keluarga dan teman-temannya (des amis) di rumahnya (Aku).

Pada saat bermimpi itulah, ada seorang wanita tua yang masuk ke rumahnya (Aku).

Nrt-31 : Je portai la main à cette porte pour refermer l’armoire ; elle résista. Étonné, je tirai plus fort, elle céda brusquement, et nous découvrîmes une petite vieille, les mains pendantes, les yeux fermés, immobile, debout, et comme collée dans l’angle du mur.

Cela avait quelque chose de hideux, et mes cheveux se dressent d’y penser.

Je demandai à la vieille : Aku : – Que faites-vous là ? Nrt-32 : Elle ne répondit pas.

Je lui demandai : – Qui êtes-vous ?

Nrt-33 : Elle ne répondit pas, ne bougea pas, et resta les yeux fermés.

Mes amis dirent

Des amis : – C’est sans doute la complice de ceux qui sont entrés avec

de mauvaises pensées ; ils se sont échappés en nous entendant venir ; elle n’aura pu fuir, et s’est cachée là.

Nrt-34 : Je l’ai interrogée de nouveau ; elle est demeurée sans voix, sans mouvement, sans regard.

Un de nous l’a poussée à terre, elle est tombée.

Elle est tombée tout d’une pièce, comme un morceau de bois, comme une chose morte.

Nous l’avons remuée du pied, puis deux de nous l’ont relevée et de nouveau appuyée au mur. Elle n’a donné aucun signe de vie. On lui a crié dans l’oreille, elle est restée muette comme si elle était sourde.

Cependant, nous perdions patience, et il y avait de la colère dans notre terreur.

Un de nous m’a dit :

Un ami : – Mettez-lui la bougie sous le menton.

Nrt-35 : Je lui ai mis la mèche enflammée sous le menton. Alors elle a ouvert un œil à demi, un œil vide, terne, affreux, et qui ne regardait pas.

Aku : – Ah ! Enfin ! Répondras-tu, vieille sorcière ? Qui es-tu ? Nrt-36 : L’œil s’est refermé comme de lui-même.

Des amis : – Pour le coup, c’est trop fort, ont dit les autres. Encore la

bougie ! Encore ! Il faudra bien qu’elle parle.

Nrt-37 : J’ai replacé la lumière sous le menton de la vieille.

Alors, elle a ouvert ses deux yeux lentement, nous a regardés tous les uns après les autres, puis, se baissant brusquement, a soufflé la bougie avec un souffle glacé. Au même moment j’ai senti trois dents aiguës s’imprimer sur ma main dans les ténèbres.

Je me suis réveillé, frissonnant et baigné d’une sueur froide.

(40/LDJC/105-106)

Nrt-31 : Kutarik pintu itu untuk menutupkannya kembali, tapi ada sesuatu yang menahannya. Dengan heran kutarik lebih kuat

Dokumen terkait