• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keantunan Dalam Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Víctor Hugo.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keantunan Dalam Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Víctor Hugo."

Copied!
209
0
0

Teks penuh

(1)

KESANTUNAN DALAM ROMAN

LE DERNIER JOUR D’UN CONDAMNÉ

KARYA VICTOR HUGO

skripsi

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sastra Prancis

Oleh :

TRI HARTANTO

NIM. 2350404051

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi FBS, UNNES pada hari, tanggal : Kamis, 19 Agustus 2010

Panitia :

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. Rustono, M. Hum Dra. Yuyun Rosliyah, M. Pd

NIP.195801271983031003 NIP. 196608091993032001

Penguji I,

Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA NIP. 196508271989012001

Penguji II/ Pembimbing II Penguji III/ Pembimbing I

(3)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : Tri Hartanto NIM : 2350404051 Prodi : Sastra Prancis

Jurusan : Bahasa dan Sastra Asing

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR d’UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO yang saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sastra ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri. Skripsi yang saya hasilkan melalui penelitian, bimbingan, dan pemaparan atau ujian. Semua kutipan baik langsung maupun tidak langsung dan dari sumber lainnya telah disertai dengan identitas dari sumbernya dengan cara yang lazim dalam penulisan karya ilmiah.

Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing skripsi ini membubuhkan tanda tangan sebagai tanda keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah ini menjadi tanggung jawab saya pribadi. Jika kemudian hari ditemukan ketidakbenaran dalam karya illmiah ini saya bersedia menerima akibatnya.

Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.

Semarang, 2010 Yang membuat pernyataan

(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

 Hidup adalah pilihan.

 Keberanian bukanlah ketidakhadiran rasa takut, tetapi melakukannya. (Montaigne).

 Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta

itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.-

(Saidina Ali bin Abi Talib).

Skripsi ini aku persembahkan untuk :  Ayah dan Ibu tercinta untuk

perjuangan, semangat dan doa mereka untukku.

 Generasi-generasi yang haus ilmu.

(5)

v

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T yang selalu melimpahkan rahmat dan pertolongan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR d’UN

CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO sebagai persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada dukungan dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih dan hormat kepada :

1. Prof. Dr. Rustono, M.Hum. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan untuk mengadakan penelitian ini.

2. Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, sekaligus sebagai penguji I yang telah memberikan masukan dan saran bagi penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan kesempatan untuk mengadakan penelitian ini dan telah memberikan pengarahan serta sumbangan pemikiran dengan penuh kesabaran demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran telah memberikan pengarahan serta sumbangan pemikiran demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Dra. Cony Handayani, M.Hum, yang telah memberikanku motivasi untuk menulis skripsi ini.

6. Dra. Yuyun Rosliyah, M.Pd, selaku sekretaris dalam panitia ujian skripsi yang telah membantu kelancaran jalannya proses pemertahanan skripsi ini.

(6)

vi

8. Seluruh dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah membagikan ilmunya serta menjadi orang tua kedua bagiku.

9. Kedua orang tuaku tercinta (Bapak Sutarwo dan Ibu Sadiyah) yang dengan tulus ikhlas dan sabar membiayai, memotivasi dan mengurai segala do`a demi keberhasilan asa, harapan dan cita-citaku.

10. Teman-teman senasib dan seperjuanganku Anggit, Agung, Danil, Arif, Hadi, Rio, Hilmi, Dedi, Raka, Nurul, Izmun, Tyas, Ucho, Mb Erna, Anasia, Lina, Diah, Cristina, Fitri, Fera, Ulfa,

11. Aziz Imam Mazalik, rekan diskusi dalam idealisme mahasiswa sastra Prancis, menyelami sastra, filsafat dan kritisisme religius.

12. Rekan kerja dan bercanda dalam usaha, ilmu, karya : ipung, hanityo, muslikah, dwee, neina, pu3, agus yahya, dea, ani w, rio r, ati w, yuniar, restu, toil, lukman, andika rahman, hakim, wahyu s.

13. Guru dan partnert kerja dalam mengarungi kehidupan : ust. Usep. Ust. Setiawan, ust. Zulfa, ust. Habib, Ust. Anif, ust. Ari (salam Antusias). 14. Rekan-rekan perjuangan BEM FBS 2005, HIMPRO BSA 2006, BEM

KM 2007

15. Rekan-rekan Ikatan Studi Mahasiswa Perancis, Herba Penawar Al-Wahida, Islamic Figure Community, Forum Berbisnis Berssama Allah, Majelis Syafaat Qur’an, KAMMI.

16. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Saran dan kritik yang membangun dari pelbagai pihak sangat penulis harapkan untuk melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 2010

(7)

vii

SARI

Hartanto, Tri. 2010. Keantunan Dalam Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Víctor Hugo. Skripsi. Program Studi Sastra Prancis. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. Pembimbing II Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum

Kata kunci : Kesantunan, Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Implikasi, Maksim

Bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia secara berbeda di setiap masyarakat (Martinet 1987: 32). Di dalam mengatur mekanisme percakapan antar pesertanya, kaidah itu dalam pragmatik disebut prinsip percakapan. Salah satu prinsip tersebut adalah prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan tersebut membuat antar peserta tutur dapat mencapai kesantunan berbahasa. Bentuk kesantunan tersebut, dapat kita temui di karya fiksi seperti roman, teks drama, dll. Salah satu karya fiksi yang memuat kesantunan adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné (LDJC) karya Victor Hugo. Pada roman tersebut, banyak terdapat tuturan yang melanggar dan yang mematuhi prinsip kesantunan. Kajian-kajian tentang kesantunan, terutama pada karya sastra masih terbatas. Hal tersebut yang mendasari peneliti untuk meneliti kesantunan pada roman LDJC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada roman LDJC.

Teori yang digunakan untuk menganalisis data yakni prinsip kesantunan yang berupa maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatian. Metode pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatis dan deskriptif kualitatif. Metode analisis data menggunakan metode padan sub-jenis pragmatis dengan alat penentu berupa mitra wicara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu, serta teknik lanjutan, yakni teknik hubung banding menyamakan dan teknik hubung banding memperbedakan.

(8)

viii RESUME

Hartanto, Tri. 2010. La Politesse Dans Un Roman Le Dernier Jour d’un Condamné Par Víctor Hugo. Mémoire. Département des Langues et de Littérature Étrangère, Faculté des Langues et des Arts, Université d’État Semarang. Directeur I Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. Directrice II Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum

Mots clés : politesse, l’obéissance et la transgression du principe de la politesse, implicature, maxime.

1. Introduction

La langue est un moyen de la communication. Pour se communiquer bien avec les autres, il faut que l’homme sache le principe de la conversation. Ce principe s’appelle la politesse de la conversation. On peut trouver la politesse de la conversation dans un monologue, dialogue, ou bien polilogue qui peuvent être trouvés dans un roman, un drame etc.

Le Dernier Jour d’un Condamné est un roman qui a été écrit par un grand écrivain français, Victor Hugo. Dans ce roman, il a utilisé le personnage «je» qui raconte les angoisses d'un prisonnier qui a été condamné à mort pour ses actions dans le passé. Derrière les barreaux, il a parlé de lui-même du passé, de la famille, et les gens aimés autour de lui.

La langue utilisée dans ce roman est parfois le registre courant et est moins poli. En plus, il n’y a pas seulement beaucoup d’obéissance mais aussi la transgression de la politesse dans ce roman. C’est pour quoi je décide d’analyser ce roman. Je parle trois choses, ce sont l’obéissance et la transgression, et les implications pragmatiques sur le principe de la politesse.

L’objectif majeur de cette recherche est de décrire le principe de la politesse qui obéit et transgressé dans le discours monologue, le discours dialogue et le discours polilogue dans le roman le Dernier Jour d’un Condamné.

2. Principe de la politesse

(9)

ix 3. Maxime de la politesse

Selon Leech (1983:206-219), il y a six maximes du principe de la politesse (voir aussi Wijana, 1996:55-62; Rustono, 1999:70). Ce sont la maxime de la sagesse, la maxime de la générosité, la maxime de l’approbation, la maxime de la modestie, la maxime de l’accord, et la maxime de la sympathie. Ensuite, les principes de politesse seront decrits un par un comme suit.

1. Maxime de la sagesse

Cette maxime est exprimée par les énoncés dispositifs (les énoncés qui sont utilisés pour donner des ordres ou des messages) et comissif (discours qui sert à exprimer une promesse ou un offre). Cette maxime oblige á chaque participant (a) de faire les pertes des autres le petit possible, et (b) de donner un profit aux autres nombreusement.

2. Maxime de la générosité

Cette maxime est aussi exprimée par les énoncés dispositifs et comissif. Elle exige chaque participant (a) de faire un profit le petit possible pour soi-même, et (b) de faire une perte le plus grand possible pour soi-même.

3. Maxime de l’approbation.

Cette maxime peut être exprimée par une manifestation expressive (des énoncés qui sont utilisés pour exprimer l’attitude psychologique de locuteur qui montre l’état d’object parole) et par une assertifs (discours couramment utilisée pour exprimer la vérité de la proposition exprimée). Cette maxime exige chaque participant (a) de critiquer des autres le petit possible, et (b) d’approuver des autres le plus grand possible.

4. Maxime de la modestie

(10)

x 5. Maxime de l’accord

Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs et assertifs. Cette maxime exige chaque participant (a) de veiller à ce que le désaccord entre le locuteur et l’interlocuteur le plus petit possible et (b) de veiller à ce que l'accord entre le locuteur et l’interlocuteur le plus grand possible.

6. Maxime de la sympathie

Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs et assertifs, qui exige chaque participant (a) de réduire le sentiment d'antipathie entre eux (les participants de l’énoncé) le plus petit possible, et (b) d’augmenter le sentiment de sympathie entre eux le plus grand possible.

4. Discours

Le discours est unité de la langue qui s’attaché dans une unité systématique. C’est pourquoi, le discours peut se former d’une phrase, d’un syntagme, et d’un mot. Le discours peut être réalisé dans une œuvre écrite intégral (un roman, un livre, encyclopédie, etc.) qui a plein d’ordre.

5. Implicature

Selon Wijana (1996 :38), implicature est une implication des énoncés qui ne font pas partie de ces énoncés.

6. Méthodologie de la recherche

L’approche choisie est l’approche pragmatique pour analyser l’utilisation de la langue et l’approche descriptive qualitative car on décrit le principe de la politesse. L’objet de cette recherche est la politesse dans le roman Le Dernier Jour d’un Condamné. La méthode de collecter des données est la méthode simak

(11)

xi

technique HBS (hubung banding menyamakan) et HBB (hubung banding memperbedakan).

7. Analyse

J’ai analysé 50 données qui sont tous les paroles obéissant et transgressant. En outre, j’ai aussi analysé les transgressions et leurs implications pragmatiques sur le principe de la politesse mais dans le résumé de ce mémoire, je montre un exemple pour chaque maxime car l’analyse complet est bien présentée dans le mémoire de la version Indonésienne.

1. Les Maximes qui ont été obéies

(Dans sa cellule, le personnage « je » ai été réveillé par le gardien de prison (Guichetier), puis le personnage « je » commence à faire une conversation avec Guichetier

Dialogue :

Je : « Il fait beau, dis-je au guichetier.

Nrt-1 : Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement.

Guichetier : – C’est possible Analyse :

On peut savoir que le personnage « je » a une pensée positive par son terme (il fait beau) qui montre qu’il veut que ses jours soient marché comme des beaux matins. Le personnage « je » dit bonjour à Guichetier, c'est-à-dire qu’il respect à la maxime de sagesse parce qu’il fait les pertes d’autres (Guichetier) le petit possible, et il permet au profit nombreusement d’autres (Guichetier).

La figure « guichetier » respect à la maxime de l’accord parce qu’il répond à la question du personnage « je », c'est-à-dire qu’il essaie d’être d’accord avec la figure « je ».

2. Les maximes qui ont été transgressé

(12)

xii Dialogue :

Nrt-5 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui diaprait le plafond.

Je : – Voilà une belle journée, répétai-je.

Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend. Analyse :

On peut savoir que dans ce dialogue Guichetier est transgressé la maxime de la sagesse parce qu’il ne fait pas les pertes aux autres le petit possible et il ne donne pas le profit aux autres le grand possible. Son acte de dire que tout le monde attendent le personnage « je » pour assister à la siège qui le juge à la mort. La parole de Guichetier donne le profit pour lui-même car c’est sa tâche mais donne la perte au personnage « je » qui est condamné à mort. Par contre le personnage « je » obéit la maxime de la sagesse parce qu’il fait les pertes des autres le petit possible, et donne un profit aux autres beaucoup possible. Son acte de dire « Voilà une belle journée » indique qu’il fait les pertes des autres petit possible par cette salutation.

8. Conclusion

A partir du résultat je pourrais conclure que l’obéissance et la transgression se produisent dans toutes les maximes du principe de la politesse.

8.1. Quant à l’obéissance, il y a 13 données qui obéissent les principes de la politesse. Ce sont 7 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de la générosité, 1 discours monologue et 2 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de l’accord, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de la sympathie, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sympathie. 8.2. Quant à la transgression, il y a 16 transgressent les principes de la

(13)

xiii

générosité, 5 discours dialogue qui la maxime de la générosité, 3 discours dialogue qui transgresse la maxime de la générosité et qui transgresse la maxime de la l’approbation, 1 discours monologue qui transgresse la maxime de la générosité et qui transgresse la maxime de la sympathie, 2 discours monologue et 2 discours dialogue qui transgresse la maxime de la sympathie. D’autre part, quant à l’implication pragmatique, il y a 47 implicature qui n’est pas conventionnel et 19 implicature qui est conventionnel. Les espèces d’implicature qui s’est trouvé à cause la transgression du principe de la politesse est l’implicature qui a le sens une moquerie, un espoir, un désir, une poussée contraire, une fierté, un affolement, une critique, une déception, un rapprochement, une inquiétude, un souci, une plainte, une incertitude, une peur, un indifférent,

(14)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PRAKATA ... v

SARI ... vii

RESUME ... viii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Sistematika Penelitian ... 8

LANDASAN TEORI 2.1 Prinsip Kesantunan………... 10

2.2 Maksim-maksim Prinsip Kesantunan………... 13

2.2.1 Maksim Kearifan (La Maxime de La Sagesse)……….. 14

2.2.2 Maksim Kedermawanan (La Maxime de La Générosité)………. 15

2.2.3 Maksim Pujian (La Maxime de L’approbation)……….………… 16

2.2.4 Maksim Kerendahan Hati (La Maxime de La Modestie)….…….. 17

2.2.5 Maksim Kesepakatan (La Maxime de L’accord)……… 18

2.2.6 Maksim Kesimpatian (La Maxime de La Sympathie)………. 19

2.3 Wacana…...………... 22

(15)

xv

2.3.2 Jenis Wacana…....………... 24

2.4 Implikatur…....………...…………... 25

2.4.1 Jenis Implikatur…....………...…………... 26

2.4.1.1 Implikatur konvensional…...…………....…………... 26

2.4.1.2 Implikatur nonkonvensional…...…………....………... 27

METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian………... 30

3.2 Objek Penelitian………... 32

3.3 Data dan Sumber Data………..……... 32

3.4 Metode dan Teknik Penyediaan Data………...……... 32

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data……...………...……... 34

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data……...…... 37

ANALISIS DATA 4.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan. ……….…... 38

4.1.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan.…....….. .... 38

4.1.2. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kedermawanan……… 43

4.1.3. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kesepakatan.………... 47

4.1.4. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kesimpatian………... 51

4.1.5. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian…... 54

4.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan. ………... 56

4.2.1. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kedermawanan. ………... 56

4.2.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan... 59

4.2.3. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Pujian………... 67

4.2.4. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Kesimpatian. ...………... 70

(16)

xvi

4.3. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan... 81 4.3.1. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,

Maksim Kearifan. ..………... 82 4.3.2. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan... 91 4.3.3. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian.…... 98 4.3.4. Pematuham Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kerendahan Hati... 101 4.3.5. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kesimpatian... 103 4.3.6. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian……... 107 4.3.7. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian... 110 4.3.8. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kerendahan Hati dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan…… 114 4.3.9. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesepakatan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian……… 117 4.3.10. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Pujian. …... 120 4.3.11. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,

Maksim Kesimpatian. …….. ... 125 PENUTUP

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

(18)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia secara berbeda di setiap masyarakat (Martinet 1987:32). Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial yaitu sebagai alat perhubungan antar anggota masyarakat. Sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak lepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.

Bahasa mempunyai peran dan fungsi yang penting dalam kehidupan manusia. Sebagai mahluk sosial, manusia secara naluri terdorong untuk bergaul dengan orang lain, baik untuk menyatakan keberadaan dirinya, mengekspresikan kepentingan maupun mengutarakan penilaiannya terhadap orang lain yang semuanya itu menggunakan bahasa. Kepentingan bahasa hampir mencangkupi segala bidang kehidupan karena segala sesuatu yang dihayati, dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh seseorang dapat diketahui oleh orang lain jika telah diungkapkan dengan bahasa.

(19)

2

yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Manusia dapat mengekspresikan dirinya dari segala sesuatu yang dirasakan untuk diungkapkan kepada orang lain melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk merumuskan maksud kita, melahirkan perasaan kita, dan memungkinkan kita untuk bekerjasama dengan orang lain (Chaer 1999:42). Dengan kata lain, bahasa dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala sesuatu yang mengendap dalam batin seseorang, baik itu perasaan senang, kecewa, marah, sedih, dan malu.

Di dalam mengatur mekanisme percakapan antar peserta tutur, kaidah itu dalam pragmatik disebut prinsip percakapan. Salah satu prinsip tersebut adalah prinsip kesantunan. Dengan prinsip kesantunan ini, antar peserta tutur dapat mencapai kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa merupakan bagian dari kaidah-kaidah sosial dan kompetensi strategi berbahasa yang berperan penting dalam proses komunikasi. Peserta tutur akan merasa saling dihargai dalam proses komunikasi apabila mereka saling menggunakan kesantunan berbahasa. Sebaliknya peserta tutur akan merasa tidak dihargai apabila para peserta tutur tidak menggunakan kesantunan dalam berbahasa.

(20)

3

penerapan prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama juga bertujuan agar para peserta tutur dapat melakukan tuturan dengan santun dan dapat menjaga hubungan sosial dengan mitra tuturnya.

Jean Dubois dalam le dictionnaire linguistique mengatakan bahwa

le discours est une unité égale ou supérieure à la phrase, il est constitué par une suite formant un message ayant un commencement et une clôture (syn : énoncé).

‘wacana adalah satu kesatuan yang sama atau lebih tinggi dari frase, wacana tersusun oleh sebuah bentuk pesan yang memiliki permualaan dan pengakhiran’.

Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Sementara itu, Baryadi (2002:11) membagi wacana menjadi (i) wacana monolog, (ii) wacana dialog, dan (iii) wacana polilog atau percakapan. Wacana-wacana tersebut ada yang berupa wacana lisan dan wacana tertulis. Pada wacana tertulis, peserta tutur mengungkapkan tuturannya bisa dalam bentuk wacana eksposisi, wacana deskripsi, wacana jurnalistik, wacana prosedural, wacana narasi tertulis. Pada saat memproduksi wacana, peserta tutur bisa berperan sebagai penutur (selanjutnya disingkat Pn) sekaligus sebagai petutur (Selanjutnya disingkat Pt) karena dia sendiri yang memproduksi wacana tersebut, hal ini yang disebut wacana monolog. Sedangkan di dalam wacana dialog dan wacana polilog, peserta tutur berbagi peran sebagai Pn dan Pt.

(21)

4

Salah satu karya fiksi yang memuat wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

Victor Hugo, sebagai pengarang telah menggunakan tokoh-tokohnya dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapat atas realita sosial. Dengan bentuk tuturan, pengarang menyampaikan idenya. Contoh tuturan tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Konteks : Di dalam selnya, tokoh Aku telah dibangunkan oleh sipir penjara (Guichetier), kemudian tokoh Aku memulai perbincangan (basa-basi) kepada Guichetier.

Aku : – Il fait beau, dis-je au guichetier.

La Narration 1: Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement :

Guichetier : – C’est possible.

(2/LDJC/38-39) Aku : – cuaca cerah, kataku kepada penjara itu.

Narasi 1 : Ia diam sesaat, seolah memikirkan apakah perkataanku itu perlu ditanggapi atau tidak. Kemudian dengan susah payah tiba-tiba ia bergumam:

Guichetier : - mungkin.

(22)

5

prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan karena telah membuat kerugian orang lain (Guichetier) sekecilnya-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain (Guichetier) sebesar mungkin.

Sementara itu, tindakan Guichetier yang menanggapi pernyataan sekaligus pertanyaan dari Aku merupakan bentuk kesepakatan Guichetier kepada Aku. Tuturan Guichetier (– C’est possible, ‘-mungkin’) menyatakan bentuk kesepakatan kepada Aku. Hal ini sesuai dengan bunyi maksim kesepakatan submaksim pertama yang menekankan untuk mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sedikit mungkin. Secara tersurat bentuk kesepakatan terjadi dikarenakan adanya tuturan Guichetier yang mengungkapkan ketaksepakatan secara tidak frontal. Hal ini dapat dilihat pada tuturan Guichetier (– C’est possible, ‘- mungkin’) yang tidak secara tegas menyepakati apakah cuaca cerah atau tidak cerah (seperti yang diinginkan Aku melalui tuturannya), namun sudah bisa mengarah pada kesepakatan kepada Aku karena ada kemungkinan cuaca cerah, sehingga dapat dikatakan Guichetier mengurangi ketidaksepakatannya dengan kesepakatan sebagian. Selain dari itu, Guichetier tetap memberikan tanggapannya kepada Aku walaupun dengan susah payah (seperti pada narasi 1, selanjutnya disingkat Nrt-1).

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Guichetier mematuhi

(23)

6

Berdasarkan contoh tuturan tersebut, wacana pada roman termasuk tuturan ringan yang menyajikan berbagai macam ide atau pendapat pengarang melalui sudut pandang persona pertama Aku. Sudut pandang persona pertama Aku dipilih pengarang dengan tujuan sebagai tokoh cerita dan sebagai si pencerita (pengarang), (Nurgiyantoro 2002 :246).

Objek penelitian ini adalah kesantunan dalam wacana monolog wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Kesantunan tersebut dijadikan sebagai objek penelitian karena di dalam roman ini bahasa yang digunakan pengarang kadang kurang santun dan tidak menggunakan bahasa baku, tetapi menggunakan bahasa tidak baku yaitu menggunakan bahasa sehari-hari.

Alasan dipilihnya wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo sebagai objek penelitian dalam skripsi ini karena dalam roman tersebut banyak terdapat tuturan yang melanggar dan yang mematuhi maksim-maksim prinsip kesantunan.

Berdasarkan paparan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti kesantunan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Penelitian ini dibatasi pada

(24)

7

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan peneliti rumuskan adalah sebagai berikut:

1. Prinsip kesantunan apakah yang dipatuhi di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo?

2. Prinsip kesantunan apakah yang dilanggar dan apa implikasi pragmatisnya di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo? 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan pematuhan prinsip kesantunan pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

2. Mendeskripsikan pelanggaran prinsip kesantunan dan implikasi pragmatisnya pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

1.4. Manfaat Penelitian.

Hasil penelitian Kesantunan Dalam Roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo ini diharapkan bermanfaat baik secara praktis

maupun teoretis.

1. Secara teoretis, penelitian ini di harapkan dapat:

(25)

8

b. menambah khasanah pematuhan dan pelanggaran pada prinsip kesantunan,

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:

a. mahasiswa : yakni memberikan informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya khususnya di bidang pragmatik.

b. dosen : masukan atas kajian yang lebih mendalam terhadap penelitian-penelitian di bidang pragmatik dengan pengenalan objek kesantunan bahasa perancis.

c. prodi /jurusan BSA : memperkaya jumlah pustaka yang berupa laporan penelitian (skripsi) di bidang pragmatik.

d. penulis: menambah pengalaman dalam penyusunan laporan penelitian (skripsi) di bidang pragmatik.

1.5. Sistematika Penulisan

Secara garis besar penyusunan skripsi ini terdiri atas tiga bagian, yakni bagian awal skripsi, bagian inti skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian awal skripsi memuat halaman judul, pernyataan, pengesahan, extrait, motto dan persembahan, prakata, daftar isi dan daftar lampiran.

Bagian inti skripsi terdiri atas lima bab, yaitu pendahuluan, landasan teori, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, simpulan dan saran.

(26)

9

BAB II berisi tentang landasan teori, yaitu memaparkan landasan teori penelitian yang mengungkapkan pendapat beberapa ahli dari berbagai sumber yang relevan yang secara umum meliputi : (1) prinsip kesantunan, (2) maksim-maksim prinsip kesantunan, (3) wacana, (4) implikatur.

BAB III menjelaskan mengenai metode penelitian yang berisi langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian yang meliputi pendekatan penelitian, objek penelitian, data dan sumber data. Metode dan teknik penyediaan data, metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.

BAB IV berisi hasil pengumpulan data, analisis data dan pembahasan hasil analisis kesantunan dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

(27)

10

BAB 2

LANDASAN TEORI

Teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah (1) prinsip kesantunan, (2) maksim-maksim prinsip kesantunan, (3) wacana, (4) implikatur. Satu per satu teori-teori tersebut di bahas di bawah ini:

2.5 Prinsip Kesantunan

Grice (dalam Rustono 1999:66) mengatakan bahwa prinsip kesantunan (politenesse prinsiple) itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur. Kebutuhan menjaga dan memelihara hubungan sosial antar peserta tutur dalam percakapan telah mengakibatkan lahirnya prinsip kesantunan ini. Alasan dicetuskannya prinsip kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerjasama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerjasama.

Secara umum, kesantunan atau sopan santun berkaitan dengan perilaku yang baik. Larousse (1988:321) mengatakan bahwa politesse, manière d’agir ou de parler conforme à la bienséance. ’kesantunan adalah cara bertindak atau

(28)

11

usages. ’Kesopanan adalah tindakan, tutur kata yang dituntut sesuai

dengan norma kesopanan.

Setiap kebudayaan selalu memiliki cara yang khas dalam mengekspresikan kesantunannya. Lakoff (1990:35 dalam Eelen, 2001:3) menganggap bahwa kebudayaan dalam mematuhi kesantunan selalu memperhatikan (i) strategi jarak atau distance, (ii) kaidah kepatuhan atau deference, (iii) kaidah persahabatan atau camaraderie. Jarak ditandai sebagai strategi impersonalitas, kepatuhan sebagai

keraguan, dan persahabatan sebagai informalitas. Kecenderungan kesantunan di setiap daerah berbeda-beda. Secara garis besar, kesantunan dalam kebudayaan Eropa cenderung mengambil strategi jarak, kebudayaan-kebudayaan Asia cenderung mengambil sikap patuh, dan kebudayaan Amerika cenderung ke arah persahabatan. Untuk mengekspresikan kesantunan, diperlukan strategi kesantunan. Strategi kesantunan menurut Lakoff (1973), ada tiga, yakni (a) jangan mengganggu, (b) berikan pilihan, dan (c) buatlah pilihan menyenangkan atau bersikaplah ramah.

(29)

kehilangan muka), jadi muka negatif ini merupakan representasi keinginan untuk tidak ingin dihalangi oleh orang lain. Menurut teori ini, sebagian besar tindak tutur selalu mengancam keinginan muka para Pn dan atau Pt, dan bahwa kesantunan terlibat dalam upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut (Brown dan Levinson, 1987 dalam Yule 1996:102-116; Yassi, 1996:6-8; Eelen, 2001:4-6). Untuk mencapai kesantunan positif maka harus mengacu pada strategi bertutur dengan cara menonjolkan kedekatan, keakraban, hubungan baik di antara Pn dan Pt. Di sisi lain, untuk mencapai kesantunan negatif harus merujuk ke strategi bertutur dengan cara menunjukkan adanya jarak sosial diantara Pn dan Pt.

(30)

Menyimak pendapat para ahli tersebut di atas tentang kesantunan, maka ada dua hal yang menjadi titik pikirannya, yakni: bahasa (teks) dipengaruhi oleh konteks, konteks mempengaruhi bahasa atau teks. Hal tersebut dikuatkan oleh Gunarwan (1999:52) yang menyatakan bahwa di dalam setiap tuturan selalu ada tambahan makna. Tambahan keterangan yang tidak diujarkan oleh Pn-nya itu tertangkap juga oleh pendengar sebagai Pt-nya. Makna ekstra atau makna tambahan itu tidaklah timbul karena penerapan kaidah sintaktis atau kaidah semantis, tetapi karena penerapan kaidah atau prinsip percakapan. Prinsip itu oleh Grice dinamakan prinsip kerjasama atau cooperative principle.

Kesantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat kita sebut dengan diri sendiri dan orang lain (Tarigan 1990:82). Dalam percakapan, diri sendiri biasanya dikenal sebagai pembicara dan orang lain sebagai penyimak, tetapi para pembicara juga memperlihatkan kesopan- santunan kepada kelompok ketiga, yang mungkin hadir atau tidak dalam situasi ujar tersebut. Hal itu juga ditegaskan oleh Wijana (1996:65) bahwa prinsip kesopanan itu berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah Pn, dan orang lain adalah Pt dan orang ketiga yang dibicarakan Pn dan Pt.

2.6 Maksim-maksim Prinsip Kesantunan

(31)

2.2.7 Maksim Kearifan (La Maxime de La Sagesse)

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif (ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan) dan komisif (ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran). Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk (a) membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan (b) membuat keuntungan orang lain sebesar mungkin.

Perhatikan contoh tuturan (1) sampai (4) berikut ini. Tuturan dengan nomor yang lebih kecil memiliki tingkat kesopanan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lebih besar.

(1) Venez chez moi!

’Datanglah ke rumah saya!’ (2) Venez chez moi, s’il vous plaît!

’Silakan (anda) datang ke rumah saya!‘ (3) Vous voudriez venir chez moi?

‘Sudilah (anda) datang ke rumah saya?’ (4) Vous pourriez venir chez moi, s’il vous plaît? ‘Sudilah kiranya (anda) datang ke rumah saya?‘

(32)

Maksim kearifan mengharuskan Pn berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain, maka lawan bicara wajib pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan sebaliknya. Fenomena ini lazim disebut dengan paradoks pragmatik. Contoh (6) yang mematuhi paradoks pragmatik dan (7) yang melanggarnya.

(6) + Je porte vos valises, s’il vous plaît! + ‘mari, saya bawakan tas anda !’

- Non, merci.

- Tidak, terima kasih

(7) + Je porte vos valises, s’il vous plaît! + ‘mari, saya bawakan tas anda!’

- Oui, vous êtes exactement mon ami.

- Ya, kamu benar-benar temanku.

2.2.8 Maksim Kedermawanan (La Maxime de La Générosité)

Maksim ini juga diutarakan dengan tuturan impositif dan komisif, yang mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk (a) membuat keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan (b) membuat kerugian diri sendiri sebesar mungkin.

Ujaran (8) dan (10) di bawah ini dipandang kurang santun dibandingkan dengan tuturan (9) dan (11).

(8) Tu peux me prêter ton dictionnaire?

‘Kamu dapat meminjamkan kamusmu pada saya?’ (9) Je peux te prêter mon dictinnaire.

(33)

‘Kami harus datang untuk makan malam di tempatmu’. (11) Tu dois venir chez nous pour dîner.

‘Kamu harus datang makan malam di rumah kami’.

Tuturan (8) dan (10) dari segi kesantunan yang absolut kurang berterima dibandingkan dengan tuturan (9) dan (11). Hal tersebut dikarenakan tuturan (9) dan (11) menyiratkan keuntungan untuk Pt dan terkesan merugikan bagi Pn. Akan tetapi pada tuturan (8) dan (10) hubungan antara Pn dan Pt pada skala untung-rugi menjadi terbalik.

2.2.9 Maksim Pujian (La Maxime de L’approbation)

Maksim pujian dapat diungkapkan dengan tuturan ekspresif (ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan) dan asertif (ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan). Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk (a) mengecam orang lain sedikit mungkin dan (b) memuji orang lain sebanyak mungkin. Maksim pujian ini bisa diberi nama lain yang kurang baik, yakni ’maksim rayuan’, tetapi istilah ’rayuan’ biasanya digunakan untuk pujian yang tidak tulus. Pada maksim ini aspek negatif yang lebih penting, yaitu, ’jangan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai Pt’. Contoh (12) dan (13) tampak bahwa Pn memaksimalkan pujian dan meminimalkan kecaman kepada orang lain, dalam hal ini, yaitu Pt.

(34)

‘Jean, saya tahu bahwa kamu jenius. Sudilah kamu membantuku untuk memecahkan tugas matematika tentang soal persamaan dan teka-teki?’

(13) Je t’ai regardé quand tu avais chanté au café, hier soir. C’était extraordinaire!

‘Aku telah melihatmu ketika kamu menyanyi di kafe kemarin malam. kamu luar biasa!’

2.2.10 Maksim Kerendahan Hati (La Maxime de La Modestie)

Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk (a) memuji diri sendiri sedikit mungkin dan (b) mengecam diri sendiri sebanyak mungkin. Contoh tuturan berikut ini cukup santun (tuturan ini mengacu pada penampilan seorang musikus)

(14) A : Vous jouez du guitar très bien ! B : Merci !

A : ‘Permainan gitar anda bagus sekali !’ B : ‘Terima Kasih !’

Namun apabila B, musikus yang tampil menjawab seperti contoh di bawah ini, maka ia terkesan tidak rendah hati.

(15) A : Vous jouez du guitar très bien ! B : Oui, bien sûr !

A : ‘Permainan gitar anda bagus sekali !’ B : ‘Ya, memang !’

(35)

‘Sudilah (anda) menerima kado kecil ini!’ 2.2.11 Maksim Kesepakatan (La Maxime de L’accord)

Maksim Kesepakatan juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif. Maksim ini menggariskan setiap peserta tutur untuk (a) mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sedikit mungkin dan (b) mengusahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sebanyak mungkin. Untuk jelasnya perhatikan wacana (17), (18), dan (19) berikut.

(17) + Le français est difficile, n’est-ce pas? - Mais non, il est très facile.

+ ‘Bahasa Prancis sukar ya ?‘

- ‘Tentu tidak, itu mudah sekali !’ (18) + Le français est difficile, n’est-ce pas?

- Oui, mais la grammaire n’est pas assez difficile.

+ ‘Bahasa Prancis sukar ya ?‘

- ‘Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar’ (19) + Le français est facile, n’est-ce pas?

- Oui, bien sûr !

+ ‘Bahasa Prancis mudah ya ?‘

- ‘Ya, memang !’

Tuturan (18) terasa lebih santun daripada (17) karena ketidaksepakatan (-) tidak dinyatakan secara frontal (total) tetapi secara.

(36)

ketidaksepakatannya dengan ungkapan-ungkapan penyesalan, kesepakatan sebagian, terlihat pada contoh (18), dan sebagainya.

2.2.12 Maksim Kesimpatian (La Maxime de La Sympathie)

Maksim kesimpatian juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif, yang mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk (a) mengurangi rasa antipati antara diri sendiri dengan pihak lain hingga sekecil mungkin dan (b) meningkatkan rasa simpati sebesar mungkin antara diri sendiri dengan pihak lain. Jika Pt mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, Pn wajib memberikan ucapan selamat. Ketika Pt mendapatkan kesusahan atau musibah, Pn layak turut berduka atau mengucapkan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Maksim ini menjelaskan mengapa ucapan selamat dan ucapan belasungkawa adalah tindakan ujar yang sopan dan hormat, walaupun ucapan belasungkawa mengungkapkan keyakinan Pn yang bagi Pt merupakan keyakinan negatif.

Wacana (20) dan (21) termasuk santun karena Pt memberikan kesimpatian kepada Pt.

(20) A : Mon bébé est déjà né. B : Félicitations!

A : ‘Anakku sudah lahir’ B : ‘Selamat!’

(37)

Pada dasarnya semua maksim yang telah dijelaskan di atas menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan yang sopan dan bukan keyakinan-keyakinan yang tidak sopan, sehingga maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam kategori prinsip sopan santun. Dapat dilihat bahwa empat maksim pertama berpasangan, yaitu (2.1) dengan (2.2) dan (2.3) dengan (2.4), karena maksim-maksim ini melibatkan skala-skala berkutub dua : skala untung-rugi dan skala pujian-kecaman. Dua maksim lainnya melibatkan skala-skala yang hanya satu kutubnya, yaitu skala kesepakatan (2.5) dan skala simpati (2.6).

Hal tersebut senada dengan pendapat Gunawan (1995:12), prinsip kesantunan Leech didasarkan pada nosi-nosi (1) biaya (cost) dan keuntungan (benefit), (2) celaan atau penjelekan (dispraise) dan pujian (praise), (3) kesetujuan (agreement), serta (4) kesimpatian dan keantipatian (sympathy / antipathy)

Walaupun antara skala yang satu dengan yang lain ada kaitannya, sikap maksim berbeda dengan jelas, karena setiap maksim mengacu pada sebuah skala penilaian yang berbeda dengan skala penilaian maksim-maksim lainnya. Skala untung-rugi pada maksim 2.1 dan 2.2 memeringatkan untung-rugi bagi orang lain (2.1) dan bagi diri sendiri (2.2) akibat suatu tindakan di masa depan, sedangkan skala pujian-kecaman pada maksim 2.3 dan 2.4 memeringkatkan baik-tidaknya penilaian yang diungkapkan oleh Pn mengenai orang lain (2.3) dan mengenai diri sendiri (2.4).

(38)

maksim (2.4). Kecenderungan ini, bila benar, mencerminkan berlakunya suatu hukum umum yang mengatakan bahwa sopan santun lebih terpusat pada pihak lain (Pt) daripada pada diri sendiri (Pn). Selain dari itu, dalam setiap maksim,

submaksim (b) tampaknya tidak sepenting submaksim (a), sehingga ini juga mencerminkan suatu hukum umum yang mengatakan bahwa sopan santun negatif (pengelakan konflik) merupakan perimbangan yang lebih kuat daripada sopan santun positif (mencari kesesuaian). Satu perbedaan lagi pada aspek penting-tidaknya submaksim (namun perbedaan ini tidak dituangkan dalam bentuk maksim), yaitu sopan santun terhadap Pt pada umumnya lebih penting daripada sopan santun terhadap pihak ketiga.

2.7 Wacana

(39)

tinggi dan berkesinambungan dan mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan dan tertulis.

Selanjutnya, istilah wacana menurut Alwi (1998:419) berarti rentetan kalimat yang berkaitan dan menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain dan membentuk kesatuan. Senada dengan Alwi, Hams dalam Baylon (2002:235) menyatakan bahwa

discours est l’ensemble de règles d’enchaînement des suites de phrases composant l’énonce

‘wacana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang merangkai secara berturut-turut kalimat-kalimat yang mempunyai unsur penjelas’

Sementara itu, Hoed (1994:126-130) berpendapat bahwa wacana berada pada tuturan langue, yaitu bagian teoretis abstrak yang maknanya dikaji dalam kaitan dengan unsur-unsur lain di luar dirinya (dengan lingkungannya).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang tertinggi dalam hierarki gramatikal atau rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang menyatukan satu topik tertentu yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur verbal ataupun nonverbal, baik dalam bentuk lisan atau tulis.

2.3.1 Unsur Wacana

(40)

Unsur bahasa dalam wacana berfungsi sebagai bahan atau substansi yang menampung gagasan-gagasan melalui bentuk-bentuk bahasa tertentu. Konteks dalam wacana berfungsi sebagai lingkungan yang menjadi ruang lingkup penguraian gagasan. Makna dan maksud berfungsi sebagai sasaran, tujuan berbahasa antara pengguna bahasa. Kohesi adalah keterpaduan makna yang terdapat dalam sebuah wacana, sedangkan koherensi adalah keserasian antara bentuk-bentuk bahasa yang disusun menurut organisasi-organisasi wacana yang utuh.

Senada dengan Suparjo, Tarigan (1987:96) membagi unsur wacana menjadi lima, yaitu: tema, unsur bahasa, konteks yang terdapat di sekitar wacana, makna dan maksud serta kohesi dan koherensi.

1. Tema adalah pokok pembicara yang ada di dalam sebuah karangan, baik karangan tulis maupun lisan. Tema itu dikembangkan dengan kalimat-kalimat yang dipadu sehingga akan melahirkan satu jenis wacana yang kohesif dan koherensif.

2. Unsur bahasa mencangkup kata, frasa, klausa, kalimat.

3. Konteks di sekitar wacana. Menurut Alwi (1998:421) konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran.

4. Makna dan maksud. 5. Kohesi dan koherensi.

(41)

Kalimat atau kata yang dipakai bertautan dan saling mendukung makna. Pengertian yang satu menyambung pengertian yang lainnya secara berturut-turut. Dengan demikian ada wacana yang kohesif dan koheren dan ada wacana yang tidak kohesif tetapi koheren (Djajasudarna 1994:47).

Pada Roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo terdapat wacana dialog, wacana monolog, dan wacana polilog yang kohesif dan koheren. Wacana dialog, wacana monolog, dan wacana polilog tersebut disusun dengan kalimat atau kata yang bertautan dan saling mendukung makna. Sehingga membentuk kesatuan wacana pada roman yang utuh.

2.3.2 Jenis Wacana

Baryadi (2002:9-14) membagi berbagai jenis wacana dengan mengklasifikasikannya dengan dasar tertentu. Dasar klasifikasi itu antara lain, yaitu (i) media yang dipakai untuk mewujudkannya, (ii) keaktifan partisipan komunikasi, (iii) tujuan pembuatan wacana, (iv) bentuk wacana, (v) langsung tidaknya pengungkapan, (vi) genre sastra, dan (vii) isi wacana.

Sementara itu, menurut baryadi (2002:9-14), berdasarkan keaktifan partisipan komunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (i) wacana monolog (monologue discourse), (ii) wacana dialog (dialogue discourse), dan (iii) wacana polilog (poyilogue discourse) atau percakapan (exchange atau conversation). Wacana monolog adalah wacana yang pemproduksiannya hanya

(42)

eksposisi, wacana deskripsi, wacana jurnalistik, wacana prosedural, wacana narasi tertulis. Wacana dialog adalah wacana yang pemproduksiannya melibatkan dua pihak yang bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana dialog adalah sapa menyapa, tanya jawab, peristiwa tawar menawar dalam jual beli. Wacana polilog adalah wacana yang diproduksi melalui pertukaran tiga jalur atau lebih. Pemproduksian wacana polilog pada dasarnya sama dengan pemproduksian wacana dialog karena keduanya melibatkan pihak-pihak yang bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana polilog adalah percakapan, diskusi, rapat, musyawarah.

2.8 Implikatur

(43)

prinsip percakapan, jadi implikatur percakapan adalah proposisi atau pernyataan implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh Pn yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh Pn di dalam suatu percakapan.

2.4.1 Jenis Implikatur

Menurut Rustono (1999:85), implikatur itu dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu implikatur konvensional dan implikatur nonkonvensional

2.4.1.1 Implikatur konvensional

Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari makna kata, dan bukan dari prinsip percakapan. Berikut ini merupakan salah satu contoh implikatur konvensional.

(22) Konteks : Di ruang pengadilan, tokoh Aku bersama pengacaranya mengharapkan mendapat keputusan yang terbaik dari ketua hakim pengadilan yang akan membacakan keputusan sidang pengadilan terkait kasus tokoh Aku.

Nrt-2 : Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire.

Avocat : – J’espère, me dit-il.

Aku : – N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi.

Avocat : – Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils

auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.

Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent

fois la mort !

(44)

de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.

(4/LDJC/ 41) Nrt-2 : Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum :

Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku.

Aku : – Harus ! jawabku ringan, juga sambil tersenyum.

Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi

mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup.

Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik mati

Nrt-3 : Ya, mati ! - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.

Implikasi tuturan di atas adalah bahwa kemungkinan mendapatkan vonis kerja paksa seumur hidup atau vonis hukuman mati bagi Aku (sebagai Pn) merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh Aku.

2.4.1.2 Implikatur nonkonvensional

(45)

(23) Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim (Le Président) menanyakan kepada pengacara (Avocat) apakah ada pembelaan atau tanggapan, namun tokoh Aku marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan.

Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application

de la peine? demanda le président.

Aku : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais.

Nrt-4 : Le défenseur se leva.

Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer.

Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive:

Aku : – Non!

(5/LDJC/ 42) Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela

atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim Aku : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun

keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Nrt-4 : Pembela berdiri.

Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu.

(46)

bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali:

Aku : – Tidak!

Implikasi tuturan di atas yakni tokoh Aku menolak usaha pembelanya (Aku) yang mengharapkan keringanan dari hukuman mati. Pada konteks lain, tindakan tokoh Aku juga mengimplikasikan penolakan terhadap vonis hukuman mati yang telah diputuskan oleh para hakim.

Tokoh Aku menolak pembelaan yang dilakukan oleh pembelanya atas keputusan pengadilan. Walaupun tindakan tokoh Aku tersebut bisa jadi dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dalam kekalutan sebagai terdakwa yang mendapatkan vonis hukuman mati sehingga ia (Aku) sudah tidak tahan melihat usaha pembelannya yang berusaha meringankan vonis hukuman mati yang telah diputuskan oleh ketua hakim. Tokoh Aku merasa tindakan pembelaan yang dilakukan pembelannya akan sia-sia maka tidak perlu mengharapkan adanya keringanan hukuman dari pengadilan (seperti pada Nrt-4).

Selanjutnya Gunarwan dalam Rustono (1999:86) menegaskan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan implikatur, yaitu

1) implikatur itu tidaklah merupakan bagian dari tuturan

2) implikatur itu bukan merupakan bagian logis dari sebuah tuturan 3) mungkin saja sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur dan

(47)

30

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Berikut ini diuraikan pendekatan penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik penyediaan data, metode dan teknik analisis data, dan terakhir metode penyajian hasil analisis data.

3.7 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan penelitian, yaitu pendekatan secara teoretis dan pendekatan secara metodologis. Pendekatan penelitian secara teoretis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik artinya peneliti sebagai penganalisis wacana mempertimbangkan gejala kebahasaan yang bersifat progesif. Dengan demikian peneliti menggunakan sudut pandang pragmatis dalam melakukan penelitiannya. Sudut pandang pragmatis berupaya menemukan maksud tuturan baik yang diekspresikan secara tersurat maupun tersirat di balik tuturan (Rustono 1999:18).

(48)

31

Pendekatan penelitian yang kedua dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian secara metodologis yang terbagi menjadi dua, yaitu pendekatan kualitatif dan deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian ini berkaitan dengan data yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa percakapan pada wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Perhitungan secara statistikpun tidak dilakukan di dalam penelitian ini karena data penelitian ini tidak dikuantifikasi.

Pendekatan deskriptif juga digunakan dalam penelitian ini. Dengan pendekatan deskriptif, penelitian ini berupaya mendeskripsikan pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Pelanggaran dan pematuhan

prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya yang diungkapkan secara apa adanya di dalam penelitian ini adalah pelanggaran dan pematuhan serta implikasi pragmatisnya atas maksim-maksim prinsip kesantunan di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

(49)

3.8 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah unsur kesantunan pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Konteks dari penelitian ini berupa

kalimat-kalimat percakapan yang berbentuk wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog.

3.9 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini berupa penggalan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang diduga mengandung kesantunan. Sumber data dalam penelitian ini adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang telah diterjemahkan oleh M. Lady Lesmana. Karya ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1829.

3.10 Metode dan Teknik Penyediaan Data

Metode penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode ini dilakukan dengan cara membaca sambil menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa, secara tuntas wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang menjadi sumber data.

(50)

Teknik lanjutan yang pertama, yaitu teknik SBLC. Teknik ini digunakan karena peneliti tidak terlibat langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati terhadap calon data yang terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan yang berada di luar diri peneliti. Teknik lanjutan yang kedua menggunakan teknik catat, yakni mencatat data pada kartu data yang berupa penggalan tuturan kesantunan kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi atau pengelompokan data dengan menggunakan alat tulis tertentu. Hasil pencatatan yang berupa data penelitian selanjutnya disimpan di dalam satu media yang dinamakan kartu data.

Data yang ditemukan dari roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo melalui metode penyimakan, kemudian melalui teknik penyadapan dan dilanjutkan dengan teknik lanjutan, yakni teknik simak bebas libat cakap (teknik SBLC) dan teknik catat, terdapat sebanyak 50 data. 50 data tersebut terdiri dari sub wacana monolog (11), sub wacana dialog (38) dan sub wacana polilog (1).

Contoh kartu data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Nomor Data: Penutur dan Petutur : Konteks:

(Penggalan Wacana)

(Terjemahan Penggalan Wacana) Analisis

Kesantunan

Pematuhan Pelanggaran

(1). Kearifan... (2). Kedermawanan...

(51)

(3). Pujian... (4). Kerendahan hati... (5). Kesepakatan... (6). Kesimpatian...

(3). Pujian... (4). Kerendahan hati... (5). Kesepakatan... (6). Kesimpatian...

Keterangan:

Kartu data dibagi empat bagian sebagai berikut a. bagian pertama terdiri dari dua kolom:

1. kolom pertama berisi nomor data.

2. kolom kedua berisi penutur (Pn) dan petutur (Pt) b. bagian kedua berisi konteks tuturan.

c. bagian ketiga berisi penggalan wacana dan terjemahannya.

d. bagian keempat berisi analisis data, yang terdiri atas dua bagian, yaitu (1) kolom kesatu pembagian macam-macam maksim yang dipatuhi. (2) kolom kedua pembagian macam-macam maksim yang dilanggar. 3.11 Metode dan Teknik Analisis Data

(52)

‘pembaku’-nya. Mitra wicara digunakan sebagai alat penentu karena, semisal, apabila kalimat perintah diucapkan menimbulkan reaksi tindakan tertentu dari mitra wicara atau apabila kata afektif diucapkan menimbulkan akibat emosional tertentu pada mitra wicara. Dengan metode ini, data yang telah diperoleh kemudian dicocokkan dengan aturan-aturan yaitu maksim-maksim prinsip kesantunan.

Teknik yang digunakan ada dua, yakni: (i) teknik dasar berupa teknik pilah unsur penentu (teknik PUP), (ii) teknik lanjutan, yakni teknik hubung banding menyamakan (teknik HBS) dan teknik hubung banding memperbedakan (teknik HBB).

Teknik PUP sebagai teknik dasar karena alat penentunya berupa daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti. Adapun daya pilah yang digunakan, yaitu dengan daya pilah pragmatis sebagai pembeda reaksi dan kadar keterdengaran. Dengan mitra wicara sebagai alat penentu maka dapat dibedakan reaksi yang bermacam-macam seperti: (i) bertindak menuruti atau menentang apa yang diucapkan oleh pembicara; (ii) berkata dengan isi yang informatif; (iii) tergerak emosinya; (iv) diam tetapi menyimak dan berusaha mengerti apa yang diucapkan oleh pembicara; dan reaksi-reaksi yang lain. Adapun dalam hal keterdengarannya, seperti: (v) terdengar keras bertekanan atau biasa; (vi) terdengar melengking tinggi atau biasa; dan (vii) terdengar cepat atau biasa.

(53)

diantara kedua hal tersebut. Teknik BHS digunakan untuk menyamakan data yang diperoleh dari tuturan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dengan maksim-maksim prinsip kesantunan. Dari penyamaan tersebut, diperoleh apakah tuturan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo mematuhi maksim-maksim prinsip

kesantunan. Lain halnya, teknik HBB digunakan untuk memperbedakan data yang diperoleh dari tuturan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dengan maksim-maksim prinsip kesantunan. Dari pemerbedaan tersebut diperoleh apakah tuturan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo melanggar maksim-maksim prinsip

kesantunan. Apabila mematuhi atau melanggar maka maksim apa yang dipatuhi atau dilanggar dalam wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

Langkah-langkah dalam menganalisis data adalah sebagai berikut. 1) Data yang telah diperoleh dicatat dalam kartu data.

2) Setelah data disimpan dalam kartu data, kemudian dianalisis berdasarkan maksim kesantunan.

(54)

4) Setelah diketahui hasil analisis kemudian diklasifikasikan berdasarkan pelanggaran atau pematuhan maksim kesantunan.

3.12 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data ini merupakan langkah selanjutnya setelah selesai menganalisis data. Penyajian hasil analisis ini berisi segala hal yang ditemukan dalam penelitian. Menurut Sudaryanto (1999:145) Penyajian hasil penelitian dapat dilakukan dalam dua cara, yakni dengan menggunakan metode formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa.

(55)

38 BAB 4 ANALISIS DATA

Setelah dilakukan pengklasifikasian secara mendalam berdasarkan metode dan teknik penyediaan data, ditemukan 50 data. 50 data tersebut terdiri dari 13 data mematuhi prinsip kesantunan, 16 melanggar prinsip kesantunan, serta 22 data mematuhi sekaligus melanggar prinsip kesantunan.

Hal yang akan dianalisis dari ke-50 data tersebut adalah (1) pematuhan prinsip kesantunan, dan (2) pelanggaran prinsip kesantunan dan implikasi pragmatisnya. Kedua analisis tersebut disampaikan satu persatu berikut ini.

4.4. Pematuhan Prinsip Kesantunan.

Tuturan-tuturan pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dimungkinkan mematuhi prinsip kesantunan dengan lebih dari satu maksim. Hal ini dikarenakan adanya percakapan antara Pn dan Pt yang masing-masing bisa mematuhi prinsip kesantunan berupa maksim-maksim yang sama maupun berbeda. Ditemukan 13 data yang mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan (19 tuturan), kedermawanan (1 tuturan), karendahan hati (1 tuturan), kesepakatan (1 tuturan), dan kesimpatian (2 tuturan).

4.1.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan.

(56)

39

percakapan yang meminimalkan biaya sosial kepada pihak lain. Maksim kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun pihak ketiga) yang dibicarakan antara Pn dan Pt di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Ditemukan 7 wacana dialog sama-sama mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan. Dari 7 wacana dialog tersebut, ditampilkan 2 wacana dialog sebagai sampel.

Contoh dialog (1) di bawah ini adalah dialog yang mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan.

(1) Konteks : Seorang pendeta (prêtre) mengunjungi

Gambar

figure du soldat de garde dont la giberne  reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré à mon oreille :

Referensi

Dokumen terkait