• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Pelayanan Informasi Obat Di Apotek

Ada berbagai macam definisi dari informasi obat, tetapi pada umumnya maksud dan intinya sama saja. Salah satu definisinya adalah informasi obat merupakan setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi dan farmakoterapi obat. Informasi obat mencakup tetapi tidak terbatas pada pengetahuan seperti nama kimia, struktur dan sifat fisika-kimia, identifikasi, indikasi diagnostik atau indikasi terapi, mekanisme kerja, waktu mulai kerja dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan, absorbsi, metabolisme detoksifikasi, ekskresi, efek samping dan reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan. Tanda dan gejala, pengobatan toksisitas dan setiap informasi lainnya yang berguna dalam diagnosis dan pengobatan pasien (Siregar, 2006).

Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian, pengevaluasian, pengindeksan, pendistribusian, penyebaran atau penyampaian

informasi tentang obat dalam berbagai bentuk dan berbagai metode kepada pengguna atau keluarga pengguna (Siregar, 2006). Ada dua jenis metode utama dalam pelayanan informasi obat kepada pasien, yaitu dengan metode lisan dan tertulis. Apoteker perlu memutuskan kapan suatu jenis metode akan digunakan untuk memberikan pelayanan informasi obat yang lebih tepat. Dalam banyak situasi klinik, pemberian informasi lisan biasanya diikuti dengan pemberian informasi tertulis.

1. Informasi tertulis

Informasi tertulis merupakan dokumentasi informasi tertentu yang diberikan kepada pasien atau keluarga pasien. Keuntungan dari format tertulis adalah memungkinkan pasien untuk membaca ulang informasi tersebut dan secara pelan-pelan menginterpretasikan informasi tersebut (Siregar, 2006). Pemberian informasi obat secara tertulis dapat dilakukan oleh apoteker dengan jalan memberikan bulletin, leaflet, label obat ataupun catatan kecil kepada pasien (Anonim, 2004).

2. Informasi lisan

Setelah ditetapkan bahwa informasi lisan adalah tepat, apoteker perlu memutuskan jenis metode informasi lisan yang digunakan. Ada dua jenos metode pemberian informasi secara lisan, yaitu komunikasi tatap mukadan komunikasi telepon. Komunikasi tatap muka dengan pasien lebih disukai karena lebih membantu apoteker dalam menilai keberhasilan pemberian informasi obat yang dilakukan (Siregar, 2006).

Mewujudkan pengertian dan penerimaan yang baik antara pasien dan apoteker dalam pelaksanaan konsultasi, menurut Santoso (1994), idealnya mencakup beberapa komponen informasi seperti disebut berikut ini:

a. Informasi tentang masalah kesehatan

Pasien seharusnya diberkan informasi yang sesuai dengan maslah kesehatan yang dideritanya

b. Informasi tentang perawatan

c. Informasi tentang obat dan pemilihan obat

Tujuan yang spesifik dari setiap pemilihan obat dan kerja obat harus diinformasikan secara benar dan objektif. Informasi ini meliputi informasi tentang dosis, frekuensi pemakaian, dan durasi pengobatan

d. Informasi tentang reaksi obat yang digunakan

Pemberian informasi ini seringkali tidak dilakukan karena dirasakan tidak penting bagi pasien untuk mengetahui bagaimana reaksi obat yang digunakan. Penjelasan tentang resiko penggunaan obat tidaklah mudah, akan tetapi perlu diberikan informasi tentang segala sesuatu yang mungkin terjadi.

e. Informasi tentang pengawasan perawatan

Pada akhirnya pasien perlu diberikan informasi tentang bagaimana melakukan pengawasan terhadap akibat dari pengobatan yang dipilihnya. Untuk beberapa kasus, saat dimana efek yang diharapkan terjadi adalah sangat penting untuk diinformasikan. Pasien juga perlu diinformasikan tentang apa yang harus dilakukan apabila terjadi efek samping yang tidak diinginkan (side effect). Saat

ini sangat banyak faktor yang mempengaruhi ketaatan pengobatan. Adapun faktor tersebut adalah (Bauman, 2005):

1) Kompleksnya pengobatan

Kompleksnya pengobatan yang diberikan akan mempengaruhi ketaatan pengobatan pasien. Penggunaan obat asma dengan cara inhalasi sering dirasakan rumit oleh pasien. Hal ini membuat pasien cenderung memilih pengobatan yang lebih mudah, walaupun tidak sesuai standar, seperti penggunaan obat secara oral.

2) Kemampuan memahami informasi

Data menunjukan informasi dan instruksi pengobatan baik dari dokter, apoteker maupu dari brosur penjelasan sangat sulit untuk dipahami pasien. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pasien, latar belakang budaya dan keterampilan penerimaan informasi. Banyak pasien asma menggunakan obatnya hanya ketika timbul gejala. Untuk alasan yang sama, penggunaan obat pelega lebih tinggi dibandingkan dengan obat pengontrol (pencegah), karena obat pelega secara langsung menyebabkan bronkodilatasi, maka efeknya lebih cepat dirasakan oleh pasien.

3) Kepercayaan pasien

Pasien pergi berobat sering karena kepercayaan tentang penyakitnya. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kepercayaan tentang penyakit, manfaat dan hambatannya, berpengaruh terhadap ketaatan pengobatan pasien. Penyakti akut/kronik atau penyakit yang menimbulkan rasa sakit dan mengancam jiwa pasiennya, memerlukan tingkat ketaatan yang lebih

tinggi dibandingkan penyakit yang tidak berat. Penyakit asma dalah penyakit kronik yang dalam kondisi ringan memberikan gejala klinis yang bersifat reversible sehingga pasien asma seringkali menganggap penyakitnya tidak menimbulkan masalah yang berat pada dirinya.

4) Sikap terhadap pengobatan

Komunikasi dan pertanyaan terbuka sangat membantu untuk menemukan sikap pasien terhadap pengobatan. Sikap terhadap pengobatan berhubungan dengan bahaya pengobatan yang diberikan, bahaya ketergantungan dan sikap anti terhadap pengobatan.

5) Komunikasi pasien dengan tenaga kesehatan

Kualitas dari interkasi pasien dengan tenaga kesehatan memberikan pengaruhutama terhadap perilaku pengobatan pasien. Pada penatalaksanaan asma, tenaga kesehatan kurang memperhatikan terkait pemberian infromasi yang cukup, karena waktu yang tersedia terbatas. Idealnya tenaga kesehatan terutama dokter dan apoteker menyediakan informasi yang cukup, meskipun singkat tetapi dapat mudah dimengerti dan diingat oleh pasien. Informasi yang diberikan juga jangan terlalu berlebihan, karena pasien sering sekali melupakan sebagian dari informasi yang diberikan, meskipu informasi yang diberikan sudah jelas (Bauman, 2005). Komunikasi yang baik akan meningkatkan motivasi pasien untuk taat terhadap pengobatannya dan rasa percaya terhadap penatalaksanaan penyakitnya.

Situasi ketika pasien telah mendapat resep, maka komponen informasi yang harus diberikan meliputi (Suryawati, 1998):

a. Memberikan informasi nama obat dan indikasi/kegunaan obat, b. Informasi mengenai cara penggunaan dan aturan pakai khusus,

c. Informasi mengenai efek samping, kontaindikasi, dan peringatan, serta apa yang harus dilakukan kalau terjadi efek samping yang tak diharapkan,

d. Informasi mengenai cara penyimpanan obat dirumah, dan bagaimana mengetahui kalau obat telah rusak.

Apotek sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan memiliki kekuatan yang harus diperhatikan, yaitu harus disadari bahwa obat merupakan komoditi khusus yang harus dilayani kepada pasien dengan informasi. Hal ini yang membedakan apotek dengan toko obat biasa. Kebutuhan penggunaan jasa informasi, perilaku kebutuhan informasi, tingkat penerimaan informasi perlu diketahui untuk mengembangkan pelayanan informasi tersebut. Seringkali kegagalan informasi disebabkan pelayanan yang diberikan belum tentu sesuai dengan kebutuhan penggunaan. Informasi obat tidak secara otomatis dapat mengubah perilaku penggunaan obat, kecuali pelayanan informasi obat memang diarahkan secara khusus untuk intervensi penggunaan obat.

Dokumen terkait