• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil pelayanan informasi obat yang diterima penderita asma di

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

2. Profil pelayanan informasi obat yang diterima penderita asma di

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang memiliki titik fokus kepada pasien untuk mendukung terapi yang tepat dan rasional, menyediakan dan menyalurkan informasi mengenai obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan instansi lain, menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang

berhubungan dengan obat dan meningkatkan profesionalisme apoteker (Dinkes, 2013).

Pharmaceutical care juga harus diterapkan dengan baik di apotek. Beberapa komponen dari pharmaceutical care yang harus diterapkan antara lain pelayanan informasi obat, konseling, monitoring penggunaan obat, edukasi, promosi kesehatan dan evaluasi terhadap pengobatan yang merupakan bagian dari standar pelayanan farmasi komunitas. Berdasarkan standar pelayanan farmasi komunitas, semua informasi tersebut diatas seharusnya diberikan di apotek oleh apoteker dan merupakan hak konsumen (pasien). Informasi yang lengkap dan jelas akan mengurangi resiko terjadinya medication error. Untuk konsumen perlu adanya sosialisasi tentang hak-hak konsumen terutama untuk mendapatkan pelayanan informasi obat yang lengkap dan jelas serta konseling tentang pengobatan harus dilakukan secara intensif sehingga hak-hak pasien terhadap jenis pelayanan farmasi yang seharusnya mereka dapatkan dipahami oleh konsumen terutama untuk konsumen yang merupakan pasien dengan penyakit kronis seperti asma (DepKes RI, 2008).

Komponen informasi obat yang diterima pasien asma pada saat apoteker memberikan pelayanan informasi obat di apotek dapat dilihat pada tabel dibawah ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci dari hasil penelitian dengan jumlah responden yang ikut berpartisipasi sebanyak 31 orang.

a. Profil pelayanan informasi mengenai penyakit kepada penderita asma di Kabupaten Sleman

Apoteker memiliki tanggung jawab dalam proses penyerahan obat yang berkaitan dengan pemberian informasi mengenai kondisi dan obat yang akan diberikan kepada pasien sesuai dengan standar yang berlaku.

Tabel 1I. Komponen informasi mengenai penyakit asma yang diterima penderita asma di Kabupaten Sleman pada bulan Februari-April 2014

No Jenis informasi Jawaban Jumlah

(n=31)

Persentase (%)

1 Sejarah penyakit Pernah 15 48,4

Kadang-kadang 14 45,2

Tidak pernah 2 6,5

2 Faktor pencetus penyakit asma Pernah 21 67,7

Kadang-kadang 7 22,6

Tidak pernah 3 9,7

3 Pemeriksaan penunjang Pernah 7 22,6

Kadang-kadang 14 45,2

Tidak pernah 10 32,3

4 Hal yang dilakukan ketika

terjadi serangan asma

Pernah 14 45,2

Kadang-kadang 13 41,9

Tidak pernah 4 12,9

5 Upaya pencegahan terjadi

serangan asma

Pernah 10 32,3

Kadang-kadang 17 54,8

Tidak pernah 4 12,9

6 Tingkat keparahan penyakit

asma

Pernah 17 54,8

Kadang-kadang 12 38,7

Tidak pernah 2 6,5

7 Cara mengenali serangan asma Pernah 9 29,0

Kadang-kadang 18 58,1

Tidak pernah 4 12,9

8 Hubungan asma dengan

merokok

Pernah 13 41,9

Kadang-kadang 15 48,4

Tidak pernah 3 9,7

9 Gejala timbulnya penyakit

asma

Pernah 13 41,9

Kadang-kadang 16 51,6

Tidak pernah 2 6,5

10 Hal yang dilakukan jika ada

keluhan akibat penggunaan obat

Pernah 9 29,0

Kadang-kadang 14 45,2

11 Kepatuhan mengkonsumsi obat Pernah 9 29,0 Kadang-kadang 15 48,4 Tidak pernah 7 22,6 1) Sejarah penyakit

Berdasarkan Tabel II, dari 31 responden yang diteliti sebanyak 15 orang (48,4%) menjawab pernah menerima informasi mengenai sejarah penyakit yang diderita, 14 orang (45,2%) menjawab kadang – kadang dan 2 orang (6,5%) menjawab tidak pernah. Menurut DepKes RI (2007) tentang “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma” menyebutkan bahwa risiko untuk berkembangnya asma merupakan interaksi antar faktor penjamu (host) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu tersebut yaitu alergi, predisposisi genetik asma, hipereaktifitas bronkus, jenis kelamin dan ras/etnik.

Menurut DepKes RI (2008) tentang pedoman pengendalian penyakit asma mengatakan bahwa seseorang dikatakan mengidap penyakit asma jika memiliki satu atau dua faktor berikut yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Anak yang dilahir dari orangtua yang positif mengidap penyakit asma kemungkinan besar mengidap penyakit asma, hal ini akan menjadi lebih parah oleh adanya faktor pemicu terjadi asma seperti alergen dalam ruangan misalnya debu, asap rokok, binatang berbulu, alergen kecoak, kapang, ragi dan jamur; pemacu misalnya rinovirus, pemakaian β2 agonis dan ozon; pencetus misalnya faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamine, dan metakolin.

Telah dibuktikan oleh banyak penelitian bahwa bila kedua orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 60% anaknya akan menderita

penyakit alergi, baik asma, rhinitis atau bentuk alergi lainnya. Bila salah satu orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 40% anak mereka akan menderita alergi. Apabila kedua orangtuanya tidak terkena penyakit alergi, maka kemungkinan 15% menderita penyakit alergi. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau dan debu (Ramaiah, 2006).

Pemberian informasi mengenai asal-usul penyakit asma ini diperlukan oleh pasien dan kelurga pasien agar mereka mengenali penyakit yang diderita dan mengetahui apa penyebab sehingga mengidap penyakit asma tersebut. Diharapkan dengan mengetahui penyakit yang diderita, pasien asma lebih memperhatikan kondisi fisik dan lingkungan disekitarnya sehingga peluang untuk terjadinya asma dan serangan asma dapat diminimalisir.

2) Faktor pencetus asma

Menurut DepKes RI (2007) tentang “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma” mengatakan bahwa faktor pencetus sehingga seseorang mengalami serangan asma dan asma adalah alergen didalam dan diluar ruangan misalnya debu, kecoak, jamur, tepung sari bunga, asap rokok, polusi udara diluar dan didalam ruangan, infeksi saluran pernapasan, obesitas, olahraga dan hiperventilasi, perubahan cuaca, makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan, ekspresi emosi yang berlebihan, iritan (parfum dan bau-bauan yang merangsang).

Serangan asma mendadak disebabkan oleh faktor yang tidak diketahui maupun yang diketahui seperti paparan terhadap alergen, virus, atau polutan

dalam maupun luar rumah, dan masing-masing faktor ini dapat menginduksi respon inflamasi. Dari hasil penelitian pada Tabel II, 31 responden yang diteliti, sebanyak 21 orang (67,7%) menjawab selalu menerima informasi mengenai faktor pencetus penyakit asma seperti pengaruh debu, serbuk sari, asap rokok, dan udara dingin, 7 orang (22,6%) menjawab kadang – kadang dan 3 orang (9,7%) menjawab tidak pernah menerima informasi mengenai faktor pencetus penyakit asma seperti pengaruh debu, serbuk sari, asap rokok, dan udara dingin.

Gambar 1. Frekuensi pelayanan informasi mengenai faktor pencetus asma yang diterima penderita di Kabupaten Sleman Pada bulan Februari-April 2014

Kebiasaan merokok dapat mempercepat penurunaan fungsi paru dan semakin meningkatnya keparahan penyakit asma. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar daripada pengaruh debu (Suryani, 2005). Asap rokok dan debu merupakan faktor pencetus yang sering menjadi penyebab kekambuhan asma. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suhartati (2014), sebanyak 5 orang dari 9

orang subyek uji yang merupakan apoteker mengatakan bahwa telah memberikan informasi kepada penderita untuk menghindari paparan faktor pencetus terjadinya kekambuhan asma. Hal ini yang menyebabkan banyak responden memilih jawaban selalu diberikan informasi mengenai faktor pencetus.

Faktor pencetus penyakit asma ini harus diperhatikan dalam pemberian informasi oleh apoteker dan terutama oleh pasien karena berhubungan langsung dengan penyakit yang diderita oleh pasien. Bila faktor pencetus tidak diketahui oleh pasien dan keluarga maka akan timbulnya penyakit asma dan semakin sering pasien tersebut mengalami eksaserbasi atau serangan asma.

3) Pemeriksaan penunjang

Menurut DepKes RI (2007) tentang “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma” mengatakan bahwa pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat apakah pasien menderita gejala asma dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan fungi paru.

Dari hasil pada Tabel II, sebanyak 7 orang (22,6%) menjawab pernah menerima informasi mengenai pemeriksaan penunjang untuk pasien asma, seperti pemeriksaan dengan spirometer untuk mengukur kapasitas bernafas dan memeriksa terjadinya gangguan pada sumbatan jalan nafas, 14 orang (45,2%) menjawab kadang – kadang, dan 10 orang (32,3%) menjawab tidak pernah menerima informasi mengenai pemeriksaan penunjang untuk pasien asma, seperti pemeriksaan dengan spirometer untuk mengukur kapasitas bernafas dan memeriksa terjadinya gangguan pada sumbatan jalan nafas.

Gambar 2. Frekuensi pelayanan informasi obat mengenai pemeriksaan penunjang yang diterima penderita asma di Kabupaten Sleman pada bulan Februari-April 2014

Menurut DepKes RI (2007), pemeriksaan fisik untuk mengetahui keadaan fisik pasien seperti apakah tejadi keadaan napas menjadi lebih cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar bunyi mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas) sehingga pemeriksaan fungsi paru dengan menggunakan spirometri atau peak expiratory flow meter untuk mengukur kapasitas bernafas penderita dapat dilakukan.

Asma dapat diklasifikasi pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat – ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan gejala – gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi ini sangat

bergunan untuk penatalaksanaan asma berkaitan dengan terapi yang akan diterima oleh pasien (MenKes, 2008).

Pada pemeriksaan ini diperlukan kerjasama antara pasien dan tenaga kesehatan. Informasi mengenai pemeriksaan ini dan manfaat yang akan diterima harus diberikan kepada pasien oleh apoteker agar pasien mengerti dan menyetujui setiap tindakan/penanganan yang diterima. Dengan mengetahui ini pasien diharapkan bersedia berpartisipasi dalam pengobatan penyakit asma yang diderita dan mempercayai semua pengobatan yang diterima.

4) Hal yang dilakukan ketika terjadi serangan

Penanganan awal ketika terjadi serangan merupakan perawatan untuk menangani asma pada saat terjadi serangan, dimana penderita itu sendiri yang berperan penting untuk dapat mengenadalikan kondisinya. Pada Tabel II tertulis dari 31 responden yang diteliti, sebanyak 14 orang (45,2%) menjawab selalu, 13 orang (41,9%) menjawab kadang – kadang dan 4 orang (12,9%) tidak pernah menerima informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan jika terjadi serangan asma,seperti jangan panik, mencoba bernafas dengan pelan, mencari obat untuk digunakan, dan mencari pertolongan untuk segera dibawa ke dokter.

Gambar 3. Frekuensi pelayanan informasi obat asma mengenai hal yang dilakukan ketika terjadi serangan yang diterima penderita di Kabupaten Sleman pada bulan Februari-April 2014

Menurut Suhartati (2014), informasi terkait cara penanganan awal ketika terjadi serangan asma mandiri (self care) merupakan hal yang penting untuk disampaikan oleh apoteker kepada penderita asma sehingga pada saat terjadi serangan penderita dapat menentukan cara pengambilan keputusan untuk mengatasi serangan asma. Serangan asma dapat menyebabkan sesak nafas dan nafas tidak beraturan sehingga informasi seperti mencoba menarik napas dengan pelan, mencari obat yang sering dipakai untuk mengurangi serangan merupakan penanganan awal ketika terjadinya serangan asma (Mangunegoro, 2004).

Serangan asma dapat terjadi kapan dan dimana saja sehingga hal-hal yang dapat memicu terjadinya serangan asma harus dihindari. Tetapi bila serangan ini tidak dapat dihindari maka pasien harus segera mendapatkan pertolongan (Kumoro, 2008).

Untuk melakukan suatu tindakan pengobatan membutuhkan pengetahuan tentang penyakit tersebut. Bila pasien dan keluarga tidak mengetahui tindakan yang akan dilakukan maka pasien kemungkinan tidak akan bisa diselamatkan. Disinilah peran penting apoteker dalam pemberian informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan ketika terjadi serangan sangat dibutuhkan

5) Upaya pencegahan terjadinya serangan

Aktifitas pencegahan serangan asma adalah upaya untuk mencegah terjadinya kekambuhan asma. Aktifitas pencegahan itu dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan, menjaga kebersihan di sekitar lingkungan tempat tinggal, menghindari faktor pencetus serangan asma dan taat untuk mengkonsumsi obat antiasma yang telah diberikan oleh apoteker (Sundaru, 2007).

Berdasarkan data pada Tabel II, informasi pencegahan terjadinya serangan asma diperoleh hasil bahwa responden yang lebih banyak memilih pada pilihan jawaban selalu (32,3%) dan kadang-kadang (54,8%). Sedangkan responden yang memilih jawaban tidak pernah hanya 12,9% orang dari 31 responden. Hal ini terlihat bahwa apoteker kurang memperhatikan pemberian informasi mengenai pencegahan serangan asma.

Upaya pencegahan terjadinya serangan asma ini harus diketahui oleh pasien agar kualitas hidupnya semakin baik. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan menghindari segala faktor pencetus terjadinya serangan seperti debu, kecoak, jamur, tepung sari bunga, asap rokok, polusi udara diluar dan didalam ruangan, infeksi saluran pernapasan, obesitas, olahraga dan hiperventilasi, perubahan cuaca yang ekstrim, makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna

makanan), obat-obatan, ekspresi emosi yang berlebihan, iritan (parfum dan bau-bauan yang merangsang) (DepKes RI, 2008). Informasi ini penting diberikan kepada pasien oleh apoteker pada saat menerima pelayanan informasi obat agar menghindari terjadinya peningkatan pasien yang mengalami serangan asma.

6) Tingkat keparahan penyakit asma

Dari 31 responden yang diteliti, sebanyak 17 orang (54,8%) mejawab selalu, 12 orang (38,7%) menjawab kadang – kadang dan 2 orang (6,5%) mejawab tidak pernah menerima informasi mengenai bagaimana mengetahui seberapa berat penyakit asma yang dialami, seperti adanya gejala sesak nafas, batuk, mengeluarkan bunyi saat menghembuskan nafas (mengi), dada terasa sesak saat bernafas yang muncul setiap hari, dan aktifitas fisik terbatas sebagai pertanda asma yang dialami sudah cukup berat.

Gambar 4. Frekuensi pelayanan informasi obat mengenai tingkat keparahan penyakit asma yang diterima penderita di Kabupaten Sleman pada bulan Februari-April 2014

Menurut Chabra (2008) menyatakan bahwa pasien dengan derajat asma yang semakin berat maka semakin rendah tingkat kontrol asma pada pasien tersebut. Apabila penderita mengalami sesak nafas, dada terasa sesak, batuk dan aktifitasnya menurun maka tingkat keparahan penyakitnya semakin berat, sebaliknya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa derajat asma yang berat merupakan faktor yang berhubungan dengan buruknya kontrol pasien terhadap penyakit asma yang dideritanya. Disebutkan bahwa pasien dengan tingkat kontrol yang buruk, derajat asma yang berat, biasanya mempunyai kepatuhan pengobatan yang rendah, akibatnya akan lebih memperparah gejala asmanya.

Namun ada penelitian lain (Cockroft dkk, 1996) menyatakan bahwa pasien dengan derajat asma yang berat bisa juga memiliki kontrol yang baik, dan sebaliknya, meskipun lebih jarang ditemukan.hal yang mempengaruhi pasien antara lain manajemen terapi yang baik dan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

Informasi mengenai tingkat keparahan penyakit harus diberikan untuk mengetahui seberapa berat asma yang dialami oleh penderita untuk menentukan penatalaksanaan terapi yang akan diberikan oleh apoteker.

7) Cara mengenali serangan asma

Penderita asma ketika tidak patuh dalam pengobatan dan tidak mengenali penyakitnya secara detail maka kemungkinan terjadi serangan akan semakin besar. Menurut DepKes RI (2008) menyebutkan bahwa seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan berat, bahkan

serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan pada Tabel II, 31 responden yang diteliti, sebanyak 9 orang (29,0%) selalu menerima informasi mengenai cara mengenali serangan asma, 18 orang (58,1%) kadang – kadang menerima informasi bagaimana cara mengenali serangan asma dan 4 orang (12,9%) tidak pernah menerima informasi bagaimana cara mengenali serangan asma.

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan lebih baik, biasanya mengi (wheezing) dan/ batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis untuk penyakit asma.Kunci untuk menghentikan serangan asma adalah mengenali dan mengobati serangan asma seawal mungkin dengan mengikuti semua saran yang diberikan oleh apoteker (Renganis, 2008). Pertanyaan mencakup apa yang harus dilakukan bila serangan asma semakin parah, dan bagaimana menghadapi serangan asma ketika sedang berlangsung merupakan pertanyaan yang wajib disampaikan kepada apoteker oleh pasien.

8) Hubungan asma dengan merokok

Merokok dan asap rokok menjadi salah satu penyebab kekambuhan asma bagi penderita asma. Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pemejanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa seperti asma pada usia dini (DepKes RI, 2008). Apabila terpejan dalam waktu yang lama maka akan asma yang dialami semakin tinggi tingkat kekambuhannya.

Dari 31 responden yang diteliti diperoleh hasil pada Tabel II no. 8 bahwa sebanyak 13 orang (41,9%) selalu menerima informasi mengenai hubungan asma dengan merokok, 15 orang (48,4%) kadang – kadang menerima informasi mengenai hubungan asma dengan merokokserta 3 orang (9,7%) tidak pernah menerima informasi mengenai hubungan asma dengan merokok.

Plaschke, dkk. (2011), pemejanan yang terus menerus pada penderita juga dapat menyebabkan semakin berat tingkat keparahan penyakit asma yang diderita sedangkan pada perokok aktif yang tidak mempunyai riwayat penyakit asma dapat mengalami penurunan fungsi pada paru dan selanjutnya akan mengalami penyakit asma. Selain itu merokok merupakan faktor resiko asma pada pasien usia dewasa. Pasien asma yang merokok memiliki gejala yang lebih berat, kebutuhan obat pelega yang lebih tinggi, dan status kesehatan yang lebih buruk dibandingkan pasien asma yang tidak merokok. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat pasien asma dalam mengontrol penyakitnya. Berdasarkan hal ini maka informasi mengenai adanya pengaruh dari rokok terhadap penyakit asma yang diderita menjadi hal yang penting dalam pemberian informasi obat.

9) Gejala timbulnya penyakit asma

Asma dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari gejala yang ringan sampai pada gejala yang parah. Gejala asma untuk setiap orang mungkin berbeda dan bisa juga berbeda pada orang yang sama tetapi di waktu yang berbeda. Gejala umum asma seperti mengi, batuk dan sesak nafas tidak normal atau dispnea (Sundaru, 2008). Dari 31 responden yang diteliti, sebanyak 13 orang (41,9%) menjawab selalu, 16 orang (51,6%) menjawab kadang – kadang dan 2

orang (6,5%) tidak pernah menerima informasi mengenai gejala timbulnya penyakit asma,mengi pada saat menghirup nafas, dada terasa sesak yang berulang, nafas tersengal-sengal, dan nafas tidak beraturan disiang hari.

Gambar 5. Frekuensi pelayanan informasi obat mengenai gejala asma yang diterima penderita di Kabupaten Sleman pada bulan Februari-April 2014

Menurut DepKes RI (2007) tentang pharmaceutical care untuk penyakit asma, gejala asma bersifat episodik, seringkali reversible dengan/ atau tanpa pengobatan. Gejala awal berupa batuk pada malam/dini hari, sesak napas, napas berbunyi yang terdengar pada saat pasien menghembuskan napasnya, rasa sesak didada dan dahak sulit keluar. Informasi mengenai gejala awal seperti mengi dan dada terasa sesak memperoleh frekuensi yang sama tinggi karena gejala ini dapat menandakan penderita mengalami serangan asma.

Berdasarkan gejala asma yang berat dan dapat berakibat kematian maka informasi dan edukasi dari tenaga kesehatan terutama apoteker yang berperan

langsung dalam melayani obat kepada pasien menjadi hal yang penting dan wajib dilakukan. Jika pasien tidak mengetahui gejala yang dialami adalah awal mula timbulnya suatu penyakit, hal yang membahayakan keselamatannya dapat terjadi. Edukasi pasien dan menghindari penyebab asma merupakan manajemen strategi asma untuk meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma, meningkatkan kemampuan dalam penatalaksanaan dan pengontrolan asma. Kunci topik edukasi meliputi pengetahuan dasar tentang asma (termasuk mengenai symptom dan tindakan yang dilakukan jika symptom berkembang), aturan pakai pengobatan, cara penggunaan alat inhalasi yang tepat, saran untuk menghindari alergen, dan kegunaan dari pengobatan sendiri. Penting untuk melibatkan keluarga pasien dalam edukasi ini karena keluarga pasien juga ikut berperan serta dalam proses terapi pasien tersebut (Anonim, 2009).

Informasi keluhan yang muncul setelah penggunaan obat berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit asma yang diderita. Hal ini disebabkan tingkat keparahan penyakit menentukan pilihan terapi farmakologi yang akan direkomendasikan oleh apoteker kepada pasien (DepKes RI, 2007).

Penatalaksanaan asma lakukan untuk menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut, meningkatkan dan mempertahankan fungsi paru seoptimal mungkin, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara serta mencegah kematian karena asma (Mangunnegoro, 2004).

Pada tabel II, sebanyak 9 orang (29,0%) selalu menerima informasi mengenai apa yang harus dilakukan jika terjadi keluhan setelah menggunakan obat asma, 14 orang (45,2%) kadang – kadang menerima informasi mengenai apa yang harus dilakukan jika terjadi keluhan setelah menggunakan obat asma serta 8 orang (25,8%) tidak pernah menerima informasi mengenai apa yang harus dilakukan jika terjadi keluhan setelah menggunakan obat asma.

Keadaan fisik seseorang berbeda setiap individu sehingga penerimaan tubuh terhadap obat pun berbeda setiap individu. Beberapa pasien menerima pengobatan yang sama tetapi sering kita menemukan respon tubuh pasien yang satu bisa berbeda dengan pasien yang lain yang menerima pengobatan yang sama. Hal ini yang mengakibatkan terdapat keluhan-keluhan pada pasien setelah pasien menggunakan obat. Penggunaan obat harus sesuai dengan resep dan sesuai dengan yang telah di informasikan oleh apoteker sehingga pada saat pasien menebus obat, apoteker harus memberikan informasi yang detail mengenai obat yang diterima (DepKes RI, 2007). Informasi mengenai apa yang harus dilakukan jika tejadi keluhan adalah hal yang wajib disampaikan misalnya segera menghubungi dokter atau apoteker untuk mengetahui apa yang terjadi.

11)Kepatuhan mengkonsumsi obat

Kepatuhan dalam menggunakan obat didefenisikan sebagai sikap menjaga dan mengikuti dosis serta saran atau anjuran dari tenaga kesehatan terhadap penyakit yang diderita. Kepatuhan dalam mengikuti suatu terapi menunjukan sebuah pemahaman tentang begaimana obat digunakan (Genaro, 2000). Hasil yang diperoleh, sebanyak 9 orang (29,0%) selalu menerima

informasi mengenai saran dari apoteker untuk selalu patuh menggunakan obat secara teratur, 15 orang (48,4%) kadang – kadang menerima informasi mengenai saran dari apoteker untuk selalu patuh menggunakan obat secara teratur serta 7 orang (22,6%) tidak pernah menerima informasi mengenai saran dari apoteker untuk selalu patuh menggunakan obat secara teratur.

Penggunaan obat tersebut juga memenuhi syarat – syarat rasionalitas. Penggunaan obat yang rasional didefinisikan sebagai tepat golongan, tepat obat, sesuai antara keluhan dengan indikasi obat, tepat dosis, tepat lama pengobatan dan jika sakit berlanjut harus menghubungi tenaga kesehatan serta waspada pada efek samping obat (DepKes RI, 1996). Sehingga untuk mencapai efek terapi yang diinginkan maka diperlukan adanya kepatuhan yang dapat diukur dari dosis, cara penggunaan, interval, dan lama penggunaan obat.

Dokumen terkait