• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayanan Kesehatan

Dalam dokumen ringkasan desk review publish (Halaman 34-38)

Promosi dan Pencegahan

Program komunikasi publik menjadi salah satu dari 8 program pencegahan dalam dokumen strategi nasional HIV dan AIDS 2007-2010 yang dirancang oleh KPAN. Dokumen tersebut menyatakan komunikasi publik dapat menurunkan derajat kerentanan dari kelompok– kelompok rentan. Strategi ini didukung oleh pendanaan yang besar dari FHI/USAID dan HCPI/AusAID sebagai mitra internasional KPAN. Strategi promosi ini bertumpu pada petugas

outreach dan kader masyarakat yaitu menyampaikan pesan dan alat pencegahan kepada kelompok populasi kunci, kegiatan yang bersifat event seperti pekan kondom nasional,

edutainment dan iklan layanan masyarakat. Evaluasi terhadap strategi ini, termasuk rasa memiliki dari pemerintah daerah tidak ditemukan oleh peneliti, namun berdasarkan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung bahwa produk komunikasi adalah stimulan, dan diharapkan KPAN mampu melakukan pendampingan terhadap pelaksanaan strategi komunikasi ini pada pemerintah daerah karena dana yang dimiliki pemerintah lokal ada.

Tidak ada kebijakan bahkan strategi nasional dan rencana aksi HIV dan AIDS 2010-2014 yang mengusung strategi komunikasi. Walaupun demikian, HCPI/AusAID tetap menggelontorkan dana untuk mendukung strategi komunikasi untuk Papua (KIE material) dan kelompok MSM (website). FHI 360/USAID juga re-aktivasi perannya dengan memberikan input terkait strategi komunikasi, namun belum menghasilkan produk yang nyata. KPAN bersama dengan

Principal Recipient Global Fund yang lain (PKBI, NU, Kemenkes) terlihat kurang kreatif dalam mengembangkan strategi komunikasi, dengan mengandalkan outreach dan penyuluhan berkelompok, sementara diakui dari hasil assessment seperti MTR-SRAN 2010-2014 bahwa pelaksana outreach dan penyuluhan minim pembekalan bagaimana cara berkomunikasi yang baik ketika melaksanakan tugasnya. Desentralisasi menjadikan kantong-kantong dana tidak hanya dari pusat namun juga co-sharing dengan provinsi dan kota/kabupaten,

20

sangat kecil. Advokasi terfokus pada pemegang keputusan dan pihak swasta jarang menjadi perhatian, dan hal ini membutuhkan ahli strategi komunikasi yang cukup kompeten dan berpengalaman di isu lain, kampanye calon legislative atau executive, dll.

Kebijakan Harm Reduction (HR) di Indonesia melalui proses panjang dengan melibatkan banyak pihak. Dorongan dan keterlibatan Mitra Pembangunan Internasional (AusAID, USAID, GF), Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi para pecandu dan masyarakat umum mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA. Akhirnya dalam lima tahun terakhir telah banyak instrumen regulasi yang mampu mendukung pelaksanaan penyediaan layanan ini termasuk diantaranya pedoman pelaksanaan terapi rumatan metadon, distribusi alat suntik steril, pelibatan komunitas pengguna napza suntik di dalam pengambilan keputusan strategis di KPA Nasional serta pendanaan lokal puskesmas untuk program harm reduction. Dampak dari berbagai kebijakan ini terhadap penyebaran HIV di kalangan penasun bisa dilihat pada hasil STBP 2004, 2007 dan 2011 yang menunjukkan ada kecenderungan menurunnya pemakaian jarum secara bergantian di kalangan para IDU. Perubahan perilaku menyuntik ini dapat mengurangi resiko tertular atau menularkan HIV lewat jarum suntik. Temuan ini menunjukkan keberhasilan program pengurangan dampak buruk melalui jarum suntik di kalangan IDU. Data STBP 2011 juga menunjukkan penurunan prevalensi HIV di kalangan penasun dibandingkan STBP tahun 2007.

Kegiatan pokok pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual menargetkan 80 % populasi kunci terjangkau dengan program yang efektif dan 60 % populasi kunci berperilaku hidup sehat dan menggunakan kondom setiap hubungan seks berisiko.

Tujuan utama adalah menurunkan prevalensi IMS dengan pemakaian kondom konsiten dan pengobatan IMS. Intervensi penularan HIV melalui transmisi seksual pada dasarnya diarahkan pada tingkat komunitas, dari pada tingkat individu (Pekerja Seks). Dimulai sejak

tahu 6, I do esia e gadopsi Progra Pe ggu aa Ko do % PPK % ya g e gikuti odel ya g sa gat sukses di Thaila d. Didorong oleh WHO dan dukungan teknis berbagai mitra, pendekatan ini dikembangkan secara serius di Indonesia. Kebijakan ini terus dikembangkan hingga munculnya konsep penanggulangan HIV secara komprehensif dimulai dari wilayah kecamatan di bawah koordinasi Puskesmas. Penetapan kerangka kerja

21

komprehensif diinisasi oleh FHI/USAID (2008-2010) dan direplikasi oleh KPAN melalui dana GF (2010-2015), kemudian diadopsi oleh konsep Layanan Komprehensif Berkesinambungan/LKB yang dirumuskan dalam Permenkes No. 21/2013. Capaian program PMTS belum menunjukkan hasil yang menggembirakan walau ada tren meningkat. Masalah utama adalah tentang konsistensi pemakaian kondom hampir di semua populasi kunci, termasuk lelaki berisiko tinggi. Hasil tes HIV yang dilakukan baik melalui PITC maupun VCT juga belum memadai di seluruh populasi kunci yang menjadi target dari program PMTS misalnya hanya 14,8 persen pekerja seks atau sebesar 3,3 persen pelanggan pekerja seks.

Perawatan, Dukungan dan Pengobatan

Kegiatan pokok Perawatan, Dukungan dan Pengobatan dalam SRAN 2010 -2014 adalah penguatan dan pengembangan layanan kesehatan serta koordinasi antar layanan dengan target tersedianya layanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik dengan target 100 % ODHA yang memerlukan pencegahan dan pengobatan IO dapat mengakses layanan kesehatan sesuai kebutuhan; Pengobatan Antiretroviral (ARV) dengan target memberikan pengobatan ARV kepada orang terinfeksi HIV yang membutuhkan sesuai dengan standar WHO untuk kualitas hidup yang lebih produktif; Dukungan psikologi sosial dengan target pengembangan perawatan komunitas untuk memberikan dukungan psikologis dan sosial; dan Pendidikan dan Pelatihan ODHA dengan target meningkatkan kapasitas ODHA.

Kebijakan untuk perawatan, dukungan dan pengobatan pada tahun 2004 – 2007 lebih ditekankan pada penambahan jumlah dan sebaran layanan ARV, serta standarisasi layanan dan pemeriksaan diagnostik. Sementara pada tahun 2010-2011 lebih banyak berfokus pada pedoman nasional atas terapi ARV sebagai penyesuaian langkah global bahwa ARV bukanlah

la gkah pe go ata HIV a u se agai pe go ata u tuk pe egaha HIV . “e ara

umum hasil dari kebijakan ini bisa dilihat pada semakin banyaknya layanan terkait dengan Pengobatan, Dukungan dan Perawatan misalnya ketersediaan ARV dan rumah sakit sebagai

site ARV treatment di 14 provinsi yang mencakup 278 rumah sakit dan 68 puskesmas. Jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan Juni 2013 sebanyak 34.961 orang. Pemakaian rejimennya adalah 96,82% (33.487 orang) menggunakan

22

Lini 1 dan 3,17% (1.110 orang) menggunakan Lini 2, sedangkan 0,01% (4 orang) tidak diketahui.

Progam Pengobatan, Dukungan dan Perawatan ODHA saat ini sudah menunjukkan kemajuan. Rumah sakit dan puskesmas dan klinik layanan meningkat pesat jumlahnya sejalan dengan meningkatnya temuan kasus. Berbagai kebijakan dibuat untuk memperbaiki penyediaan layanan. Beberapa hal yang masih ada kesenjangaan terkait PDP adalah masalah akses ke pelayanan, SDM, Penyedia Layanan, dan Pendanaan. Isu utamanya adalah masalah kecukupan, kemerataan dan kualitas. Sedangkan untuk pendanaan adalah masalah sumber dana, peruntukan, dan kecukupan. Selain itu masalah yang timbul dalam PDP adalah sitgma dan diskriminasi yang dialami ODHA dan populasi kunci. Kebijakan yang berhubungan dengan penyediaan layanan, perawatan, dukungan dan pengobatan mayoritas dikeluarkan oleh kementerian kesehatan.

Mitigasi Dampak

Kebijakan yang terkait dengan mitigasi dampak, antara lain; Permenkes No. 21/2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS pada pasal 40. Mitigasi dampak merupakan upaya untuk mengurangi dampak kesehatan dan sosial ekonomi. SRAN 2010 -2014 disebutkan strategi mengurangi dampak negatif dari epidemi dengan meningkatkan akeses program mitigasi sosial mereka yang membutuhkan dengan cara menyediakan kesempatan ODHA dan yang terdampak AIDS, anak yatim, orang tua tunggal, dan janda untuk mendapatkan akses dukungan peningkatan pendapatan, pelatihan keterampilan dan program pendidikan peningkatan kualitas hidup. Kementerian Sosial juga memberikan layanan berupa bantuan/penyediaan shelter untuk ODHA dan orang yang terdampak AIDS.

Akses kepada jaminan kesehatan bagi para populasi kunci dan ODHA masih menjadi masalah sampai saat ini. Apalagi dengan keluarnya kebijakan JKN saat ini. Kendala utama adalah terkait administrasi untuk mengakses JKN. Kebanyakan populasi kunci dan ODHA adalah mereka yang terpinggirkan dan sering tidak mempunyai kelengkapan administrasi kependudukan, seperti; Kartu Keluarga, KTP dan keterangan domisili lainnya. Akibatnya sulit bagai mereka untuk melengkapi JKN dan mengakses layanan JKN.

23

Dalam dokumen ringkasan desk review publish (Halaman 34-38)

Dokumen terkait