• Tidak ada hasil yang ditemukan

ringkasan desk review publish

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ringkasan desk review publish"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedoktera Universitas Gadjah Mada

Gedung IKM Baru Sayap Utara

Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 5528 email: chpm@ugm.ac.id

Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425

www.kebijakanaidsindonesia.net Kebijakan AIDS Indonesia

@KebijakanAIDS PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

Kebijakan HIV dan AIDS dalam

Sistem Kesehatan

Ringkasan

Kajian Dokumen

Research Project:

(2)

i

Personil Penelitian dan Lembaga / Organisasi yang Terlibat

Tim Peneliti Inti

PKMK FK UGM : Ignatius Praptoraharjo, PhD; Drs. M. Suharni, M.A; dr. Satiti Retno

Pudjiati, Sp. KK; Ign. Hersumpana, MA; Eunice Priscilla Setiawan, SE; Sisilya Bolilanga, MSc. dan Eviana Hapsari Dewi, MPH

PPH Atma Jaya : Iko Safika, PhD

Research Advisors

PKMK FK UGM : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD.

PPH Atmajaya : Prof. Irwanto, PhD.

Consultative Group

Kemenkes RI Subdit P2PL : dr. Siti Nadia; dr. TrijokoYudopuspito, MSc.PH; dr. Afriana Herlina.

KPAN : dr. Suryadi Gunawan, MPH; Irawati Atmosukarta, MPP.

DFAT : Debbie Muirhead, Adrian Gilbert, Astrid Kartika.

FK UGM : dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD, dr. Yanri Subronto, SpPD,PhD, dr. Ida Safitri,SpA., dr. Eggi Arguni,MSc, SpA, PhD.

(3)
(4)

iii

Ringkasan Eksekutif

Respon terhadap epidemi HIV dan AIDS di Indonesia mencerminkan kontestasi yang rumit dalam sebuah konteks kemasyarakatan yang dinamis antara berbagai pendekatan dan

mazhab. Kontestasi yang pertama adalah antara pendekatan vertikal, yang mengandalkan pengendalian teknis yang terpusat dan ketat dengan pendekatan horizontal yang mengandalkan pendekatan multisektoral dan desentralistis. Kontestasi berikutnya adalah dalam hal rujukan pengambilan kebijakan, antara rujukan kepada data teknis/epidemiologis dan pertimbangan politik ekonomi. Jika merujuk kepada data teknis (pemakaian kondom misalnya) seharusnya bisa dilaksanakan, namun karena pertimbangan politis, program kampanye kondom menjadi tidak mudah diterapkan. Kontestasi yang berikutnya adalah antara aktor nasional dan daerah. Aktor atau respon nasional kelihatan lebih dominan secara teknis karena akses mereka yang lebih besar ke data-data epidemiologi, namun secara politis dan operasional, daerah berperan penting. Kontestasi lainnya adalah antara lembaga yang masing-masing membawa mazhab (school of thoughts) yang berbeda, misalnya antara USAID dan AusAID (sekarang DFAT), Global Funds, NGO Internasional, dan lembaga pemerintah.

(5)

iv

kapasitas pemerintah daerah yang beragam. Salah satu tantangan dan sekaligus kesempatan penting dalam respon daerah terhadap HIV dan AIDS adalah desentralisasi sebagian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah. Penyerahan ini bukan merupakan hal yang mudah karena membutuhkan harmonisasi baik dalam hal kebijakan dan layanan kesehatan. Dalam situasi seperti ini, diperlukan pengembangan sistem kesehatan yang inovatif untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat.

Respon kelembagaan atau pembentukan lembaga dan mengeluarkan peraturan/kebijakan merupakan dua respon yang paling banyak dilakukan dengan anggapan bahwa kedua hal ini akan menjamin keberlangsungan program karena melalui pembentukan lembaga dan kebijakan, pemerintah akan meneruskan investasi yang telah dilakukan oleh donor. Peraturan-peraturan yang dikaji dalam penelitian ini menunjukkan bahwa peraturan dan kelembagaan mengandalkan efektifitas implementasinya pada sistem kesehatan dan tata kelola pemerintahan yang ada atau dengan kata lain, mengasumsikan kapabilitas sektor di luar AIDS, dan sektor kesehatan pada khususnya dalam memberikan respon yang komprehensif. Namun, dalam banyak kasus di daerah penelitian, kedua jenis respon ini lebih mencerminkan hal-hal yang normatif, ada peraturan dan ada lembaga, namun tidak efektif karena kualitas implementasinya yang rendah. Hampir semua provinsi membentuk Komisi Penanggulangan AIDS, namun dengan berbagai alasan, lembaga ini cenderung terbatas perannya dalam memenuhi mandatnya. Peraturan daerah yang dihasilkan terkait AIDS juga tidak efektif di tingkat lapangan karena tanpa sumber daya dan sanksi yang memadai dan seringkali tumpang tindih atau berlawanan dengan peraturan di sektor publik lainnya.

Secara umum, kelemahan mendasar dalam respon daerah terhadap HIV dan AIDS adalah

terlalu ertu pu pada pe gadaa ke ijaka da kele agaa , isal ya pe e tuka

KPA daerah dan Perda, namun sedikit perhatian pada kapasitas implementasi kebijakan. Pendekatan seperti ini sudah jamak dalam bidang kesehatan, tidak hanya di Indonesia saja. Penelitian Prof. Lant Pritchett dari Harvard Kennedy School (2014) mengenai kapabilitas dokter di India, misalnya menyimpulkan bahwa permasalahan pokok pembangunan di negara berkembang adalah pada tahapan i ple e tasi, The pro le ofte is ’t either

policy or capacity — it is the organizational capability for implementation . Le ih la jut

(6)

v

mengecoh musuh yang digunakan seekor ular tidak berbisa dengan menunjukkan penampakan (warna belang-belang) seperti seekor ular yang berbisa. Dengan membentuk lembaga baru, mengeluarkan kebijakan, mengeluarkan komitmen bersama, dan lain sebagainya; seolah-olah kita sudah merespon dengan baik. Kelembagaan dan kebijakan yang kita keluarkan adalah seperti warna belang-belang yang ada pada ular tidak berbisa. Penampakan ini kurang efektif karena tidak diikuti dengan kemampuan implementasi.

Pendanaan dalam penanggulangan HIV dan AIDS sampai saat ini masih mayoritas berasal dari donor luar negeri. Beberapa kebijakan untuk mendorong pemerintah mendanai penanggulangan HIV dan AIDS telah diluncurkan, banyak daerah telah mengalokasikan dana dari APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS, namun sifat pendanaan masih terbatas pada aspek biaya administratif. Dana untuk program dan layanan masih terbatas. Peran masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh komunitas populasi kunci masih belum optimal dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Kelompok ODHA dan pecandu relatif diterima keberadaannya dalam penyebutan identitas diri sebagai komunitas, sedangkan PSK, Waria, LSL dan Gay masih belum mendapat tempat untuk menunjukkan identitasnya dalam masyarakat dan sebagai pemangku kepentingan.

Rekomendasi

(7)
(8)

vii

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif ... iii

Daftar Isi ... vii

Daftar Singkatan... ix

I. Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Metode Kajian ... 3

a. Kajian Dokumen ... 4

b. Kunjungan Lapangan: Wawancara dan Diskusi Kelompok ... 4

c. Waktu Pelaksanaan ... 5

d. Keterbatasan Kajian ... 5

II. Konteks Epidemi ... 7

III. Evolusi Kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia ... 11

A. Konteks Kebijakan ... 11

B. Penelitian sebagai basis kebijakan: Studi tentang HIV di fase awal epidemi ... 14

IV. Kebijakan HIV dan AIDS ... 17

A. Tata Kelola Program ... 17

B. Pelayanan Kesehatan ... 19

C. Informasi strategis ... 23

D. Sumber Daya Manusia ... 24

E. Penyediaan Obat dan Perlengkapan Medik ... 25

F. Partisipasi Masyarakat ... 26

G. Pembiayaan Program HIV/AIDS... 28

V. Integrasi Kebijakan dan Program HIV dan AIDS Dalam Sistem Kesehatan ... 31

A. Desentralisasi: Kontestasi Pusat dan Daerah ... 31

B. Integrasi ke dalam Sistem Kesehatan ... 33

C. Integrasi dengan sektor non Kesehatan ... 36

(9)
(10)

ix

Daftar Singkatan

AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome

AIPH The Australian – Indonesia Partnership for HIV APINDO Asosiasi Pengusaha Indonesia

ART Antiretroviral Treatment ARV Antiretroviral drugs ASA Aksi Stop AIDS

AusAID Australian Agency for International Development USAID United State Agency for International Development APBN/D Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional/Daerah Bapas Balai Pemasyarakatan

Bapeda Badan perencanaan pembangunan daerah Bapenas Badan Perencanaan Nasional

BCC Behaviour Change Communication

BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BLU Badan Layanan Umum

BPPT Badan Penelitan dan Pengembangan Teknologi BPOM Badan Pengawasan Obat dan Makanan

BPS Badan Pusat Statistik

BNN/P/K Badan Narkotika Nasional/Provinsi/Kota/Kabupaten CATS Community Access to Treatment Services Study Dephub Departemen Perhubungan Depdagri Departemen Dalam Negeri Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional Depkes Departemen Kesehatan

Dikbud Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Disnaker Dinas Tenaga Kerja

(11)

x

Ditjen PP dan PL Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Dinpar Dinas Pariwisata Depag Departemen Agama

Depbudpar Deparptemen Budaya dan Pariwisata Depperdag Departemen Perdagangan

Depkominfo Departemen Komunikasi Informasi Depku Departemen Keuangan

DTPK Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan FGD Focus Group Discussion

FHI Family Health International FPI Front Pembela Islam

GFATM The Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria GWL-Ina Gay Waria dan Lesbian Indonesia

HAM Hak Azazi Manusia HAS Hari AIDS Sedunia

HCPI HIV Cooperation Program for Indonesia HIV Human Immunodeficiency Virus

IAKMI Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia IBCA Indonesian Bussiness Coalition on AIDS IDUs Intravenous Drug Users

IMS Infeksi Menular Seksual IDI Ikatan Dokter Indonesia

IBBS Integrated Biological and Behavioral Surveillance IHPCP Indonesia HIV Prevention and Care Project Jamkesda Jaminan Kesehatan Daerah

(12)

xi

KPAN/P/K Komisi Penanggulangan AIDS Nasional / Provinsi /Kota /Kabupaten

KSPI Kongres Serikat Pekerja Indonesia KSPSI Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia KTS Klinik Konseling dan tes HIV

Mennakertrans Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Menpora Menteri Pemuda dan Olahraga NAPZA Narkotik, Psikotropika dan Zat Adiktif

NGO Non Government Organization Ormas Organisasi Kemasyarakatan

PDP Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan Pemda Pemerintah Daerah

Penasun Pengguna Jarum Suntik Perda Peraturan Daerah

Permenkes Peraturan Menteri Kesehatan

Permenko Kesra Peraturan Menteri Koordinator Kesejehteraan Rakyat Permendagri Peraturan Menteri Dalam Negeri

PICT Provider Initiative Counseling Test

PKBI Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

PKMK-UGM Pusat Kebijakan dan Managemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada

(13)

xii

PMKS Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMTCT Prevention from Mother to Child Transmition PMTS Penularan Melalui Transmisi Seksual

Pokdisus Kelompok studi khusus POLRI Polisi Republik Indonesia Pokja Kelompok Kerja

PP Peraturan Pemerintah PPH Pusat Penelitian HIV

PPK UGM Pusat Penelitian Kebijakan Universitas Gadjah Mada PPIA Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak

RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RPJPD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RS Rumah Sakit SRAN Strategi Rencana Aksi Nasional SSP Survei Surveillans Perilaku SOP Standard Operasional Prosedur SPM Standard Pelayanan Minimum

TB-HIV Tuberculosis -Human Immunodeficiency Virus

(14)

xiii

Uncen Universitas Cendrawasih

Unicef The United Nations Children's Fund

UNAIDS Joint United Nations Programme on HIV/AIDS

UU Undang-undang

VCT Voluntary Counselling and Testing Waria Wanita Pria

WPS Wanita Pekerja Seks

(15)
(16)

1

I.

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Respon terhadap epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Dimulai secara formal dengan dibentuknya Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tahun 1994 dan diikuti dengan berbagai program kerjasama internasional baik melalui kerjasama bilateral (misalnya USAID, AusAid, dan DfID), multilateral (GFATM, UN, IPF), dan lembaga non pemerintah. Total dana yang telah dikucurkan baik oleh lembaga internasional maupun pemerintah sejak 1996 sedikitnya US$ 445 juta dimana sebagian besar masih bergantung pada bantuan dari luar negeri1.

Dari sisi kebijakan, pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan berbagai kebijakan baik yang sifatnya normatif (seperti Keputusan Presiden No. 36/1996 tentang pembentukan KPAN, dan beberapa Perda HIV dan AIDS di berbagai daerah) maupun yang berniat untuk menjadi terobosan regulasi, seperti Kepres No. 75/2006 yang merevitalisasi kewenangan KPAN, Permenkes No. 567/2006 dan Permenko Kesra No. 2/2007 tentang distribusi jarum suntik.

Respon berbagai pihak dan kebijakan di atas sepertinya belum cukup membantu pencapaian target pemerintah untuk penangulangan HIV dan AIDS di tahun 2014 yaitu pencegahan 294,000 infeksi baru, terjangkaunya 80% populasi kunci dengan program komprehensif dan 60% pemakaian kondom pada hubungan seks tidak aman (Stranas KPAN 2010-2014). Di tingkat populasi, prevalensi HIV pada populasi kunci masih tinggi, yaitu 42% untuk penasun, waria pekerja seks (22%), perempuan pekerja seks langsung sebesar 10%, perempuan pekerja seks tidak langsung sebesar 3%, dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) sebesar 3% (IBBS, 2011).

Di sisi lainnya, potensi penularan HIV di Indonesia masih sangat tinggi mengingat besarnya populasi yang berisiko (8,7 juta orang)2dan perilaku mereka yang masih berisiko tinggi

1

Diolah dari NASA (2008-2010), GF dan KPAN (The Response to HIV and AIDS In Indonesia 2006-2011: Report on 5 Years Implementation of Presidential Regulation No. 75/2006 on the National AIDS Commission, October 2011, p 72).

2

(17)

2

dimana pemakaian kondom secara konsisten dalam seks komersial masih rendah (32%) dan satu dari tiga penasun masih berbagi jarum (IBBS 2007). Selain itu, di tingkat populasi umum, dalam hal ini orang muda (usia 15-24 tahun) tingkat pemahaman yang komprehensif mengenai HIV dan AIDS masih rendah yaitu 20.7%. Selain tingginya populasi rawan penularan, tingkat penyebaran kewilayahannya sangat cepat. Sedikitnya 7 dari 10 kabupaten/kota di Indonesia saat ini sudah melaporkan kasus HIV dan AIDS di wilayahnya.

Beberapa kajian menunjukkan bahwa salah satu penjelasan untuk situasi di atas adalah respon terhadap HIV masih belum terintegrasi dalam sistem kesehatan yang ada, masih bersifat parsial. Sebagian karena pengaruh kepentingan dan perbedaan prioritas pada setiap

program, namun di sisi yang lain, juga karena pemahaman mengenai bagaimana sistem

kesehatan di Indonesia bekerja, secara formal dan informal, masih beragam dan dalam

beberapa hal, masih kurang.3 Mengingat konteks tata kelola layanan kesehatan menjadi

platform i ter e si HIV da AID“, aka pe guata siste kesehata e jadi necessary and

sufficient condition u tuk efekti itas respo terhadap HIV di Indonesia. Oleh karena itu,

pemahaman mengenai bagaimana sistem kesehatan bekerja menjadi sangat penting untuk

meningkatkan efektivitas dan efisiensi intervensi HIV dan AIDS.

Kajian ini disusun untuk berkontribusi terhadap kesenjangan pemahaman antara sistem kesehatan dan intervensi HIV dan AIDS melalui:

1. Mendokumentasikan sejarah pemikiran dan kebijakan dalam program HIV dan AIDS di Indonesia;

2. Pemetaan kebijakan, peraturan dan program HIV dan AIDS yang saat ini masih berlangsung; dan

3. Identifikasi kesenjangan antara kebijakan dan implementasi program, termasuk kebijakan yang mendukung maupun yang menghambat, dan kemudian:

4. Merekomendasikan agenda kebijakan yang perlu disikapi untuk mengintegrasikan kebijakan penanggulangan AIDS ke dalam sistem (pelayanan) kesehatan yang berlaku di Indonesia.

3

(18)

3

Pertanyaan-pertanyaan kunci yang memandu kajian ini adalah sebagai berikut:

Sejarah pemikiran dan Kebijakan.

Kejadian-kejadian penting atau fakta apa yang menjadi dasar dan pemicu munculnya respon/kebijakan terhadap HIV dan AIDS di Indonesia dalam 25 tahun terakhir? Bagaimana kebijakan-kebijakan ini disusun? Siapa aktor yang terlibat didalamnya? Apa fokus perhatian dari kebijakan saat itu, bagaimana fokus ini berubah?

Kebijakan, situasi epidemi dan praktek saat ini.

Kebijakan: Kebijakan apa, baik di tingkat pusat dan daerah, yang saat ini berlaku untuk program HIV dan AIDS?. Apa saja yang diatur dalam kebijakan-kebijakan ini? (Cakupan kebijakan misalnya relasi pemerintah, swasta organisasi masyarakat sipil soal akses ke dana pemerintah dan layanan kesehata , ke ijaka di sisi supply laya a kesehata Puskes as

dan Rumah Sakit dalam hal skrining IMS, test HIV, jarum steril, methadone, kondom, prostitusi, dll).

Situasi epidemi: Bagaimana situasi epidemi HIV terkini, di tingkat nasional dan daerah (Jakarta, Medan, Denpasar, Surabaya, Makassar, dan Manokwari)?.

Pelaksanaan kebijakan; Program HIV dan AIDS apa saja yang ada di wilayah tersebut? Siapa pelaksananya, dan pendukung dananya? Bagaimana peran pemerintah dan masyarakat lokal? Apakah ada bukti terjadinya koordinasi dan harmonisasi program

ya g e duku g continuum of care ? Apa yang menghambat dan yang mendukung integrasi kebijakan dan layanan HIV dan AIDS dalam sistem pelayanan kesehatan yang berlaku?

B. Metode Kajian

(19)

4

a. Kajian Dokumen

Kajian atas dokumen kebijakan dan program HIV dan AIDS di Indonesia yang dikumpulkan melalui pencarian dokumen yang terpublikasi maupun yang belum terpublikasi, baik dalam bentuk artikel ilmiah, kajian/laporan dan peraturan dan perundangan atau dokumen internal dari lembaga-lembaga yang bekerja dalam bidang HIV dan AIDS atau lembaga penelitian di Indonesia. Metode pencarian dilakukan melalui internet dan pengajuan permohonan ke lembaga-lembaga yang memiliki dokumen terkait. Dokumen yang dikumpulkan dianalisis berdasarkan panduan pertanyaan penelitian dengan kategori informasi sebagai berikut:

1. Peristiwa-peristiwa kunci baik secara nasional maupun internasional dalam kurun waktu 1987 – 2013 yang menjadi konteks munculnya dan berubahnya kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia.

2. Jenis kebijakan dan program terkait dengan promosi dan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV, dan mitigasi dampak.

3. Fungsi sistem kesehatan dalam kebijakan AIDS: tata kelola, penyediaan layanan, pembiayaan, sumber daya manusia, informasi strategis dan penyediaan perlengkapan medik untuk pencegahan dan perawatan.

4. Faktor kontekstual: epidemiologi, komitmen politik, gerakan sosial, komitmen global dan keberlanjutan program. Situasi epidemiologi didapat dari data survei perilaku dan survei HIV, baik yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS atau mitra pembangunan internasional. Lampiran 1 merupakan daftar dokumen yang dianalisis dalam kajian dokumen ini.

b. Kunjungan Lapangan: Wawancara dan Diskusi Kelompok

(20)

5

Penanggulangan AIDS provinsi dan kota/kabupaten, rumah sakit) dan kelompok pemanfaat program yang terdiri dari waria, pekerja seks, LSL, pengguna NAPZA dan orang dengan HIV dan AIDS. Daftar panduan pertanyaan untuk wawancara/diskusi kelompok terarah dan daftar stakeholder yang diwawancarai atau terlibat dalam diskusi di lima provinsi bisa dilihat di lampiran 2 dan 3. Data yang diperoleh dari lapangan ini ditriangulasikan diantara para pewawancara, provinsi dan dengan hasil kajian dokumen untuk melihat pola, konsistensi, maupun variasi data yang diperoleh.

c. Waktu Pelaksanaan

Kajian dokumen tentang perkembangan kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia dilakukan mulai pada bulan September 2013 hingga Januari 2014. Kajian dokumen ini dilaksanakan oleh tim peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (PKMK FK UGM). Sementara itu, kunjungan lapangan dilakukan bersama dengan anggota peneliti dari Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas Negeri Papua dan Universitas Hasanudin pada bulan November 2013.

d. Keterbatasan Kajian

Keterbatasan kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Kajian ini menggunakan perspektif historis untuk menggambarkan perjalanan kebijakan HIV dan AIDS dalam kurun waktu 25 tahun. Panjangnya masa kajian ini menghadapi kendala dalam mengumpulkan data kebijakan dan program yang dilaksanakan di tahun-tahun awal epidemi HIV di Indonesia. Sumber data yang tersedia cukup terbatas sehingga membatasi deskripsi situasi pada awal epidemi. Meski telah tersedia dokumen-dokumen tentang sejarah AIDS di Indonesia, namun sejumlah dokumen ini lebih menyajikan deskripsi perkembangan epidemi daripada kebijakan atau kejadian-kejadian penting sebagai konteks dari kebijakan yang ada.

(21)

6

gambaran secara mendalam kebijakan AIDS di luar sektor kesehatan, misalnya politik-ekonomi di bidang kesehatan yang mempunyai pengaruh kuat dalam program HIV.

(22)

7

II.

Konteks Epidemi

Kasus AIDS pertama kali ditemukan di Pulau Bali pada tahun 1987, dan pada waktu itu para ahli sudah mewanti-wanti akan munculnya epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Sebagai dasar prediksi, mereka menunjuk pada faktor-faktor antara lain besarnya industri seks komersial, tingginya prevalensi infeksi menular seksual (IMS), kemiskinan, dan mobilitas penduduk yang tinggi (Kaldor, 1999). Sampai 12 tahun kemudian (1999) ternyata belum ada peningkatan jumlah kasus yang signifikan sekalipun faktor-faktor tersebut ada. Sebagian besar faktor-faktor yang diyakini sebagai pendorong justru menjadi penghalang bagi meluasnya epidemi. Kemiskinan justru mengurangi permintaan akan jasa komersial seks, walaupun sementara juga menaikkan jumlah pekerja seks. Namun kenaikan ini menyebabkan perputaran pelanggan relatif turun. Menurut Departemen Kesehatan (2003) sekitar 40,000 pekerja seks perempuan menjalani test HIV setiap tahun antara tahun 1991 dan 1995 (jumlah ini hampir seperlima total WPS di seluruh negeri) prevalensi HIV tidak pernah melebihi 0.03%. Data ini membuktikan bahwa sekalipun mobilitas tinggi dan prevalensi IMS juga tinggi, kalau virus HIV itu sendiri tidak ada, meluasnya virus HIV tidak akan terjadi. Situasi ini berubah drastis di akhir tahun 1990an ketika semakin banyak pengguna narkoba suntik (penasun) di kalangan anak muda di kota-kota besar. Tidak ada kasus HIV yang tercatat di kalangan pengguna heroin suntik yang mengikuti program rehabilitasi yang diperiksa di Jakarta di tahun 1997. Empat tahun kemudian, satu dari dua pengguna heroin suntik di Jakarta telah terinfeksi virus ini (RSKO dan Yakita, 2002). Pemakai heroin suntik telah menjadi kantong penyebaran HIV di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Jadi bahan bakar pendorong untuk epidemi ini bukan karena besarnya industri seks dan tingginya prevalensi IMS, namun karena masuknya faktor penasun dalam jaringan epidemi ini (FHI, 2002).

Persimpangan antara penggunaan narkoba suntik dan besarnya industri seks memerlukan

perhatia kita kare a hal i i telah e jadi se uah si ergi u tuk eluas ya epide i HIV di

(23)

8

dan di tahun 2004, hampir satu dari sepuluh penasun juga melaporkan menjual seks. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi bahan bakar meningkatnya prevalensi HIV pada industri seks. Terbukti misalnya di kalangan pekerja seks lokalisasi di Surabaya, prevalensi HIV naik tiga kali lipat menjadi 3,8% antara 2001 dan 2004, sementara di kalangan pekerja seks jalanan, prevalensi HIV melompat dari 4,4% menjadi 12,2% hanya dalam waktu dua tahun. Di Jakarta, prevalensi HIV juga naik dari 1,1% di tahun 2000, menjadi 6,4% tiga tahun kemudian. Tanpa masuknya penasun ke dalam industri seks, laju kenaikkannya diperkirakan tidak akan secepat itu.

Sekalipun prevalensi HIV di kalangan pengguna narkoba suntik sudah melebihi 50%, berdasar estimasi Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPA) tahun 2006, laju pertumbuhan infeksi baru pada pengguna narkoba suntik mulai stagnan, sedangkan pada kelompok lain (pelanggan wanita pekerja seks, waria, wanita pekerja seks) walaupun prevalensinya lebih rendah dari penasun, karena jumlah populasinya lebih banyak, jumlah penderitanya lebih banyak. Dengan data ini KPA meyakini bahwa dalam dekade kedepan, penularan baru akan didominasi oleh penularan melalui jalur seksual yang menyumbangkan hampir 70% dari penularan baru (KPA 2007). Mengingat tren epidemi yang demikian, penelitian mengenai perilaku seks yang berisiko terhadap penularan HIV menjadi penting

u tuk e aha i perilaku epide i, agai a a e gupayaka pe a ggula ga ya g

efektif, dan mengendalikan dampaknya terhadap sektor-sektor lainnya.

Interaksi antara waria (transvestites) penjaja seks dan pelanggannya layak mendapat perhatian kita juga. Sebagian besar pelanggan waria yang melakukan anal seks dengan waria menggangap dirinya adalah heteroseksual, dan banyak dari mereka juga menjadi pelanggan pekerja seks perempuan. Karena tingginya prevalensi HIV pada waria penjaja seks (yang hampir 25% di sebagian besar kota-kota di Indonesia), laki-laki pelanggan menjadi

(24)

9

dengan laki-laki (n=275) yang dilakukan Depkes dan FHI pada tahun 2002 di Jakarta juga memberi gambaran betapa jaringan seksual diantara kelompok berisiko sangatlah rumit. Laki-laki penjaja seks yang pelanggannya adalah laki-laki homoseksual (gay), ternyata juga membeli seks dari wanita penjaja seks.

Epidemi HIV berkembang di Papua dengan cara yang berbeda, dimana pengguna narkoba suntik sangat jarang di sana. Studi antropologi tentang seksualitas orang Papua oleh Leslie Butt (2002) menggambarkan bahwa jaringan seksual di Papua sangat unik dibanding provinsi lainnya, yaitu meliputi seks sebelum nikah (premarital) dan praktek seks antar generasi. Perilaku-perilaku ini menghasilkan pola penularan yang berbeda dan HIV menyebar terutama melalui jaringan seksual ke dalam populasi umum. Survei surveilans perilaku dan biologi yang dilakukan Depkes dan BPS pada tahun 2006 menunjukkan bahwa epidemi di Papua sudah mencapai populasi umum (generalized epidemy), dimana sedikitnya 2.4% populasi dewasa (15-49 tahun) sudah terinfeksi HIV.

Perjalanan epidemi HIV/AIDS di Indonesia dan kaitannya dengan perubahan kemasyarakatan dapat dilihat sebagai berikut: epidemi yang masih terkonsentrasi pada kelompok tertentu (pengguna narkoba suntik dan pekerja seks misalnya) telah menemukan lingkungan pendukungnya (structural conditioning) yaitu meluasnya jaringan penularan sehingga mulai mengancam populasi yang lebih luas.

Struktur populasi berisiko dan struktur sosial kemudian merespon perkembangan (structural

interaction) dan hasilnya adalah suatu struktur dan tugas baru (emergent structure and task)

yang mungkin tetap dalam struktur lama atau menuntut perubahan atau perluasan struktural

(structural elaboration). Sebagai contoh, jaringan seksual pengguna narkoba suntik yang

terinfeksi, sebagian besar dari mereka adalah aktif secara seksual, merupakan katalisator yang

kuat untuk meluasnya virus ke dalam kelompok yang lain, yaitu pasangan seksualnya, baik

pekerja seks maupun ibu rumah tangga. Demikian juga dengan tingkat dukungan layanan

lembaga-lembaga di seputar industri seks di Indonesia ikut menentukan juga luasnya penularan

melalui jalur seksual.4 Singkatnya, disamping karakteristik individu, faktor-faktor di luar individu

juga menjadi faktor penentu bagi meluasnya penularan HIV/AIDS.

4

(25)
(26)

11

III.

Evolusi Kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia

A. Konteks Kebijakan

Di era Orde Baru, respon kebijakan pemerintah Indonesia terhadap epidemi HIV/AIDS di tingkat nasional telah dimulai dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 36/1994 tentang pembentukan Komisi AIDS Nasional sebagai badan koordinasi. Pertimbangan keluarnya Kepres adalah respon terhadap kondisi global untuk pencegahan dan penanggulangan AIDS dan dorongan dari lembaga internasional salah satunya melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dalam sidangnya di bulan Oktober 1987 telah mencanangkan strategi global pencegahan dan penanggulangan AIDS yang diajukan oleh WHO tahun 1985/19865. Boleh dikatakan bahwa komitmen pemerintah terhadap penanggulangan HIV lebih banyak karena pengaruh kampanye di tingkat global ketimbang kesadaran teknokratis atau dorongan dari masyarakat sipil6. Demikian juga di kalangan organisasi masyarakat sipil untuk isu HIV, sebagian besar mereka tumbuh untuk merespon kesempatan mendapat dana dari lembaga internasional7.

Pada tahun 2001 dimulai implementasi desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang dikuti dengan pelaksanaan kebijakan baru tentang pendanaan pembangunan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Mengikuti desentralisasi pemerintahan, terjadi juga desentralisasi kesehatan sebagai konsekuensi dari desentralisasi secara politik yang menjadi inti Undang-Undang (UU) No.22/19998. Daerah diberi kewenangan untuk menentukan prioritas pembangunan di daerahnya. Di beberapa daerah, masalah kesehatan belum mendapat

5

Lihat: Keputusan Presiden Republik Indonesia NOMOR 36 TAHUN 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS

6 Co toh dari teka a i ter asio al i i a tara lai kesepakata Paris “u it 4 ya g e itik eratka

pada perlakuan yang sama dan adil pada ODHA; pertemuan the United Nations Millennium Summit pada September 2000 dimana pemerintah Indonesia menandatangani the Millennium Declaration sebagai komitmen pemerintah untuk bekerja mencapai tujuan the UN Millennium Development Goals (MDGs) dimana HIV dan AIDS termasuk dalam pencapaian tujuan keenam. Selanjutnya, Pada Tahun 2001 pemerintah Indonesia menandatangani the Declaration of Commitment of the UN General Assembly Special Session on HIV/AIDS (UNGASS) dengan 11 butir kesepakatan. Selain itu pada tahun yang sama Indoneisia menandatangani komitmen Menteri-Menteri Asia Pasifik tentang HIV/AIDS 2001, komitmen deklarasi Para Kepala Negara Asean tentang HIV/AIDS tahun 2001, deklarasi Inter Parliamentary Union tentang HIV/AIDS 2001 .

7

Lihat Pisani (2008), The Wisdom of Whores: Bureaucrats, Brothels and the Business of Aids, New York, W.W. Norton. Komposisi pendanaan untuk HIV juga masih didominasi asing (UNDP 2011), apalagi pendanaan untuk organisasi masyarakat sipil untuk HIV dan AIDS, hampir smeuanya tergantung donor.

8

(27)

12

perhatian dan pendanaan yang cukup, misalnya daerah tidak menyediakan dana untuk membuat sistem surveilans yang merupakan dasar untuk menyusun strategi penanggulangan penyakit9. Revitalisasi KPA yang dilakukan tahun 2006 berdasarkan Peraturan Presiden No. 75/2006 semakin menegaskan komitmen pemerintah dalam penanggulangn HIV dan AIDS. Anggota KPAN menurut Perpres ini terdiri dari 12 Menteri, Sekretaris Kabinet,

Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negra RI, 3 Kepala Badan, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia; Ketua Palang Merah Indonesia; Ketua Kamar Dagang dan Industri; Ketua Organisasi ODHA Nasional. Sedangkan Wakil Ketua 1 adalah Menteri Kesehatan dan Wakil Ketua 2 adalah Mendagri. Implikasi dari perubahan struktur KPAN ini berimplikasi pada keterlibatan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian dan Badan yang menjadi anggota KPAN.

Lahirnya Permendagri No. 20/2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di daerah merupakan salah satu bentuk komitmen Kementerian Dalam Negeri untuk mengatasi permasalah HIV melalui kepemimpinan daerah. Dalam Permendagri ini, dicantumkan organisasi KPA tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, tugas dan tanggung jawab, serta sumber pendanaan penanggulangan AIDS di daerah. Merespons kebutuhan pendanaan di daerah, KPA Nasional melalui Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan Permendagri No. 16/2006 jo No. 59/2007 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai dasar pengelolaan perencanaan dan penganggaran. Pertemuan pembahasan pelaksanaan penganggaran ini telah dimulai pada tahun 2007. Sebagai dampaknya, kontribusi pendanaan dari sumber pemerintah semakin meningkat dari 22.37% di tahun 2004, menjadi 39.03% di tahun 2008 (KPAN, 2011).

Salah satu pembelajaran penting dalam respon terhadap HIV dan AIDS adalah desentralisasi, penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah. Penyerahan ini bukan merupakan hal yang mudah. Sering terjadi tumpang tindih atau kekosongan dalam pembagian urusan. Akibatnya, sistem kesehatan menjadi sulit dikelola. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan sistem kesehatan yang inovatif untuk meningkatkan status

9

(28)

13

kesehatan masyarakat. Sistem kesehatan nasional (Perpres No. 72/2012 Pasal 1 angka 2) menunjukkan bahwa pengelolaan kesehatan diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya serta bersifat berjenjang di pusat dan daerah dan memperhatikan otonomi daerah dan otonomi fungsional di bidang kesehatan.

Berdasarkan kerangka desentralisasi seperti itu maka program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia secara nyata masih menghadapi dua tantangan, pertama secara internal dalam sistem kesehatan yaitu keterpaduan antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran, serta pelaksanaan; kedua dalam hubungannya dengan sektor lain, lemahnya sinergi dalam penyusunan kegiatan lintas program. Sebagai contoh adalah penggunaan indikator yang tidak konsisten. Dalam konteks desentralisasi, seperti dilaporkan oleh PKMK UGM10, terdapat gejala belum sinkronnya perencanaan pusat dan daerah. Di dalam lingkup proses perencanaan disadari kesulitan untuk merubah pola pikir dari project oriented atau budget oriented kepada performance based-budgeting . Faktor lai adalah ter atas ya

SDM yang dapat menunjang upaya perencanaan pembangunan kesehatan, serta tidak lancarnya pelaporan kegiatan dan pengembangan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu

perencanaan pembangunan kesehatan.

Pengalaman daerah dalam menyikapi pendekatan vertikal penanggulangan HIV dan AIDS cukup beragam. Misalnya, rencana strategi daerah provinsi tentang pencegahan HIV dan AIDS dimasukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Di tingkat kota/kabupaten juga terihat jelas bagaimana respon pemerintah kota dan kabupaten mencontoh pendekatan nasional. Jika di nasional ada kesepakatan Sentani, maka di tingkat provinsi ada banyak kesepakatan lintas kabupaten/kota yang dibuat.

Tujuan desentralisasi pada hakekatnya adalah mendekatkan pembuat kebijakan dengan masyarakat melalui kebijakan yang disusun di tingkat provinsi atau kabupaten kota. Pada kenyataannya, pengembangan kebijakan daerah secara umum belum dirasakan manfaatnya oleh kelompok penerima manfaat. Misalnya Perda HIV yang telah dihasilkan di berbagai provinsi dan kabupaten/kota sampai sekarang masih dirasa kurang mempunyai gigi. Ada anggapan bahwa ada atau tidak ada perda, program penanggulangan AIDS tetap berjalan

10

(29)

14

seperti biasa. Sebelum terbit Perda, program penanggulangan HIV dan AIDS sudah berjalan dan hampir memenuhi harapan. Sedangkan setelah terbitnya Perda tidak ada tambahan layanan dan kualitas bagi pemanfaat program. Perda HIV bahkan tidak dapat mejadi acuan hukum untuk menggelontorkan dana khusus untuk penanggulangan HIV dan AIDS dari APBD. Bahkan yang ironis, KPA masih bergantung pada dana hibah yang besarannya bergantung pada kepedulian dari Gubernur/Walikota/Bupati.

Secara umum, kelemahan mendasar dalam respon terhadap HIV dan AIDS adalah bertumpu pada aksi kebijakan dan kelembagaan saja, yaitu pembentukan KPA daerah, penyusunan peraturan daerah atau pedoman pelaksanaan namun lemah dalam hal kapasitas implementasi kebijakan. Hal ini sesuai dengan pengamatan oleh Prof. Lant Pritchett dari

Harvard Kennedy School (2014) bahwa permasalahan pokok pembangunan di negara berkembang adalah pada tahapa i ple e tasi, The pro le ofte is ’t either poli y or

capacity—it is the organizational capability for implementation . “ela jut ya Prof. Pri hett

e yataka ah a kita seri gkali e ilih tek ik Isomorphic Mimicry seperti ya g

dilakuka oleh ular je is Scarlet King Snake ya g tidak er isa—dengan mempunyai belang yang seolah-olah irip ular Eastern Coral Snake ya g sa gat er isa. Ular Scarlet

yang tidak berbisa ini mempunyai penampakan seperti ular yang berbisa, yang akan menipu

usuh ya. Tek ik seolaholah er isa i i juga a yak dipakai dala merespon tantangan pembangunan dengan membentuk lembaga baru, mengeluarkan kebijakan, mengeluarkan komitmen bersama, dan lain sebagainya; seolah-olah dengan semua respon ini, kita sudah kelihatan merespon dengan baik. Namun semua hal ini tidak efektif karena kemampuan kelembagaan masih rendah11.

B. Penelitian sebagai basis kebijakan: Studi tentang HIV di fase awal

epidemi

Penelitian mengenai HIV dan AIDS sejalan dengan perkembangan program penanggulangan HIV dan AIDS. Hal ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya data dalam perumusan kebijakan program maupun kebijakan publik. Dalam kurun waktu 1997-2003, di Indonesia

11

Lihat Prichett et al (2012), Looking Like a State: Techniques of Persistent Failure in State Capability for Implementation, diunduh dari

(30)

15

telah diadakan sedikitnya 65 penelitian tentang HIV/AIDS yang tersebar di 12 provinsi. Topik utama penelitian adalah berkisar pada aspek pengetahuan, sikap, dan perilaku (knowledge, attitude and practice) pada populasi wanita penjaja seks/WPS (14 penelitian), pelanggan WPS (10), waria penjaja seks (4 penelitian) dan penasun (7 penelitian) yang terkait dengan risiko tertular infeksi menular seksual dan HIV (Balitbangkes, 2005). Selain itu juga ditemui beberapa penelitian tentang adat/budaya/ritual yang terkait dengan risiko penularan infeksi seksual termasuk HIV (9 penelitian). Selain 65 penelitian tersebut, dilakukan juga Survei Surveilans Perilaku (SSP) oleh Depkes (sekarang Kemenkes) bersama BPS di 13 provinsi. Sebagai sebuah survei surveilans, SSP ditujukan untuk mengetahui bukan hanya tingkat risiko suatu populasi, namun demikian, SSP juga mengumpulkan informasi terkait kondisi sosial ekonomi dan situasi kelembagaan terkait penanganan infeksi menular seksual dan HIV dan AIDS. Penelitian yang dilakukan oleh Endang Basuki et al (2002), Ivan Wolffers et al (1999), Crisovan (2006) telah melihat bagaimana gagasan budaya tentang HIV dan AIDS khususnya persepsi tentang risiko merupakan rujukan yang digunakan untuk membangun sebuah pemahaman yang menyeluruh tentang dampak dan efektivitas program pendidikan HIV dan AIDS yang ada. Konstruksi pe a ggula ga AID“ ya g erdasarka ko sep perilaku

erisiko ter yata seri gkali gagal dala e perti a gka gagasa udaya I do esia

yang berkaitan dengan HIV dan AIDS. Studi-studi ini melihat bahwa terdapat kesenjangan

a tara ko sep risiko a tara pelaksa a progra de ga kelo pok ya g e jadi target

program.

(31)

16

bahwa studi-studi di atas menempatkan dirinya dalam posisi yang saling berhadapan. Yang pertama menekankan peran individu dalam kontrol terhadap perilaku berisiko, sedangkan yang kedua adalah sebaliknya, melihat perilaku berisiko sebagai produk struktural.

Dua pandangan di atas mencerminkan inti dari perdebatan tentang agensi (agency) dan

(32)

17

IV.

Kebijakan HIV dan AIDS

A. Tata Kelola Program

Sejak tahun 1987 sampai 2013 ada 10 kebijakan internasional, 66 kebijakan nasional, dan 55 Perda (17 Perda Provinsi dan 38 Perda Kabupaten/kota). Secara garis besar, pembuatan kebijakan semakin diperkuat dan dipertajam agar dapat merespon kondisi sosial politik yang sudah berubah dari peralihan Era Orde Baru (1987-1998) yang sentralistik ke Era Otonomi yang desentralisik (1998-2013). Namun lebih banyak kebijakan tersebut bersifat teknis pengobatan, namun belum menyentuh ke akar permasalahan perubahan tata pemerintahan desentralistik yang banyak mempengaruhi tata kelola program HIV di Indonesia. Sektor yang aktif mengeluarkan kebijakan didominasi wilayah terkait pengobatan ODHA, dan kebijakan di sektor lain dapat dikatakan minim, padahal 2 dekade bukan lah waktu yang singkat untuk membagi respon HIV ke beberapa sektor.

(33)

18

evaluasi diatur dengan menetapkan beberapa hal sebagai berikut; Target Tahunan Cakupan Program, Kerangka Kerja dan Indikator Kinerja, Mekanisme Monitoring dan Evaluasi serta pengembangan Kapasitas. Merespon perubahan pola penularan HIV di Indonesia, di awal tahun 2007 telah diterbitkan dua kebijakan tingkat menteri. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 2/2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Pengguna Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik. Penyusunan kebijakan ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA Nasional dengan pelibatan Kepala BNN/POLRI, Menteri Kesehatan dan Menteri Hukum dan HAM sebagai Anggota KPA Nasional.

Di tingkat daerah, strategi daerah penanggulangan AIDS juga dibuat mulai dari strategi provinsi sampai strategi kabupaten/kota. Beberapa provinsi di Indonesia telah membuat Strategi dan Rencana Aksi Daerah (SRAD) Penanggulangan HIV dan AIDS pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Ada kecenderungan bahwa penyusunan berbagai dokumen strategi dan aksi pada tingkat sub-nasional mengikuti pola yang ada di SRAN tanpa memperhitungkan permasalahan dan kapasitas lokal dan hubungan antara pusat dan daerah sehingga dokumen ini cenderung sebagai dokumentasi daripada sebagai acuan dari yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan penanggulangan AIDS di daerah tersebut. Dokumen ini semakin tidak berarti ketika semua program penanggulangan HIV dan AIDS termasuk pendanaannya didukung sepenuhnya oleh pusat baik oleh KPAN, Kementerian Kesehatan atau mitra pembangunan internasional.

(34)

19

bahwa pentingnya mempertimbangkan faktor dan kondisi sosial budaya para pemanfaat layanan, yang jika hanya direncanakan dari pusat (sistem vertikal) maka risiko

implementation failure ti ggi.

B. Pelayanan Kesehatan

Promosi dan Pencegahan

Program komunikasi publik menjadi salah satu dari 8 program pencegahan dalam dokumen strategi nasional HIV dan AIDS 2007-2010 yang dirancang oleh KPAN. Dokumen tersebut menyatakan komunikasi publik dapat menurunkan derajat kerentanan dari kelompok– kelompok rentan. Strategi ini didukung oleh pendanaan yang besar dari FHI/USAID dan HCPI/AusAID sebagai mitra internasional KPAN. Strategi promosi ini bertumpu pada petugas

outreach dan kader masyarakat yaitu menyampaikan pesan dan alat pencegahan kepada kelompok populasi kunci, kegiatan yang bersifat event seperti pekan kondom nasional,

edutainment dan iklan layanan masyarakat. Evaluasi terhadap strategi ini, termasuk rasa memiliki dari pemerintah daerah tidak ditemukan oleh peneliti, namun berdasarkan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung bahwa produk komunikasi adalah stimulan, dan diharapkan KPAN mampu melakukan pendampingan terhadap pelaksanaan strategi komunikasi ini pada pemerintah daerah karena dana yang dimiliki pemerintah lokal ada.

Tidak ada kebijakan bahkan strategi nasional dan rencana aksi HIV dan AIDS 2010-2014 yang mengusung strategi komunikasi. Walaupun demikian, HCPI/AusAID tetap menggelontorkan dana untuk mendukung strategi komunikasi untuk Papua (KIE material) dan kelompok MSM (website). FHI 360/USAID juga re-aktivasi perannya dengan memberikan input terkait strategi komunikasi, namun belum menghasilkan produk yang nyata. KPAN bersama dengan

Principal Recipient Global Fund yang lain (PKBI, NU, Kemenkes) terlihat kurang kreatif dalam mengembangkan strategi komunikasi, dengan mengandalkan outreach dan penyuluhan berkelompok, sementara diakui dari hasil assessment seperti MTR-SRAN 2010-2014 bahwa pelaksana outreach dan penyuluhan minim pembekalan bagaimana cara berkomunikasi yang baik ketika melaksanakan tugasnya. Desentralisasi menjadikan kantong-kantong dana tidak hanya dari pusat namun juga co-sharing dengan provinsi dan kota/kabupaten,

(35)

20

sangat kecil. Advokasi terfokus pada pemegang keputusan dan pihak swasta jarang menjadi perhatian, dan hal ini membutuhkan ahli strategi komunikasi yang cukup kompeten dan berpengalaman di isu lain, kampanye calon legislative atau executive, dll.

Kebijakan Harm Reduction (HR) di Indonesia melalui proses panjang dengan melibatkan banyak pihak. Dorongan dan keterlibatan Mitra Pembangunan Internasional (AusAID, USAID, GF), Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi para pecandu dan masyarakat umum mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA. Akhirnya dalam lima tahun terakhir telah banyak instrumen regulasi yang mampu mendukung pelaksanaan penyediaan layanan ini termasuk diantaranya pedoman pelaksanaan terapi rumatan metadon, distribusi alat suntik steril, pelibatan komunitas pengguna napza suntik di dalam pengambilan keputusan strategis di KPA Nasional serta pendanaan lokal puskesmas untuk program harm reduction. Dampak dari berbagai kebijakan ini terhadap penyebaran HIV di kalangan penasun bisa dilihat pada hasil STBP 2004, 2007 dan 2011 yang menunjukkan ada kecenderungan menurunnya pemakaian jarum secara bergantian di kalangan para IDU. Perubahan perilaku menyuntik ini dapat mengurangi resiko tertular atau menularkan HIV lewat jarum suntik. Temuan ini menunjukkan keberhasilan program pengurangan dampak buruk melalui jarum suntik di kalangan IDU. Data STBP 2011 juga menunjukkan penurunan prevalensi HIV di kalangan penasun dibandingkan STBP tahun 2007.

Kegiatan pokok pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual menargetkan 80 % populasi kunci terjangkau dengan program yang efektif dan 60 % populasi kunci berperilaku hidup sehat dan menggunakan kondom setiap hubungan seks berisiko.

Tujuan utama adalah menurunkan prevalensi IMS dengan pemakaian kondom konsiten dan pengobatan IMS. Intervensi penularan HIV melalui transmisi seksual pada dasarnya diarahkan pada tingkat komunitas, dari pada tingkat individu (Pekerja Seks). Dimulai sejak

(36)

21

komprehensif diinisasi oleh FHI/USAID (2008-2010) dan direplikasi oleh KPAN melalui dana GF (2010-2015), kemudian diadopsi oleh konsep Layanan Komprehensif Berkesinambungan/LKB yang dirumuskan dalam Permenkes No. 21/2013. Capaian program PMTS belum menunjukkan hasil yang menggembirakan walau ada tren meningkat. Masalah utama adalah tentang konsistensi pemakaian kondom hampir di semua populasi kunci, termasuk lelaki berisiko tinggi. Hasil tes HIV yang dilakukan baik melalui PITC maupun VCT juga belum memadai di seluruh populasi kunci yang menjadi target dari program PMTS misalnya hanya 14,8 persen pekerja seks atau sebesar 3,3 persen pelanggan pekerja seks.

Perawatan, Dukungan dan Pengobatan

Kegiatan pokok Perawatan, Dukungan dan Pengobatan dalam SRAN 2010 -2014 adalah penguatan dan pengembangan layanan kesehatan serta koordinasi antar layanan dengan target tersedianya layanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik dengan target 100 % ODHA yang memerlukan pencegahan dan pengobatan IO dapat mengakses layanan kesehatan sesuai kebutuhan; Pengobatan Antiretroviral (ARV) dengan target memberikan pengobatan ARV kepada orang terinfeksi HIV yang membutuhkan sesuai dengan standar WHO untuk kualitas hidup yang lebih produktif; Dukungan psikologi sosial dengan target pengembangan perawatan komunitas untuk memberikan dukungan psikologis dan sosial; dan Pendidikan dan Pelatihan ODHA dengan target meningkatkan kapasitas ODHA.

Kebijakan untuk perawatan, dukungan dan pengobatan pada tahun 2004 – 2007 lebih ditekankan pada penambahan jumlah dan sebaran layanan ARV, serta standarisasi layanan dan pemeriksaan diagnostik. Sementara pada tahun 2010-2011 lebih banyak berfokus pada pedoman nasional atas terapi ARV sebagai penyesuaian langkah global bahwa ARV bukanlah

la gkah pe go ata HIV a u se agai pe go ata u tuk pe egaha HIV . “e ara

umum hasil dari kebijakan ini bisa dilihat pada semakin banyaknya layanan terkait dengan Pengobatan, Dukungan dan Perawatan misalnya ketersediaan ARV dan rumah sakit sebagai

(37)

22

Lini 1 dan 3,17% (1.110 orang) menggunakan Lini 2, sedangkan 0,01% (4 orang) tidak diketahui.

Progam Pengobatan, Dukungan dan Perawatan ODHA saat ini sudah menunjukkan kemajuan. Rumah sakit dan puskesmas dan klinik layanan meningkat pesat jumlahnya sejalan dengan meningkatnya temuan kasus. Berbagai kebijakan dibuat untuk memperbaiki penyediaan layanan. Beberapa hal yang masih ada kesenjangaan terkait PDP adalah masalah akses ke pelayanan, SDM, Penyedia Layanan, dan Pendanaan. Isu utamanya adalah masalah kecukupan, kemerataan dan kualitas. Sedangkan untuk pendanaan adalah masalah sumber dana, peruntukan, dan kecukupan. Selain itu masalah yang timbul dalam PDP adalah sitgma dan diskriminasi yang dialami ODHA dan populasi kunci. Kebijakan yang berhubungan dengan penyediaan layanan, perawatan, dukungan dan pengobatan mayoritas dikeluarkan oleh kementerian kesehatan.

Mitigasi Dampak

Kebijakan yang terkait dengan mitigasi dampak, antara lain; Permenkes No. 21/2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS pada pasal 40. Mitigasi dampak merupakan upaya untuk mengurangi dampak kesehatan dan sosial ekonomi. SRAN 2010 -2014 disebutkan strategi mengurangi dampak negatif dari epidemi dengan meningkatkan akeses program mitigasi sosial mereka yang membutuhkan dengan cara menyediakan kesempatan ODHA dan yang terdampak AIDS, anak yatim, orang tua tunggal, dan janda untuk mendapatkan akses dukungan peningkatan pendapatan, pelatihan keterampilan dan program pendidikan peningkatan kualitas hidup. Kementerian Sosial juga memberikan layanan berupa bantuan/penyediaan shelter untuk ODHA dan orang yang terdampak AIDS.

(38)

23

C. Informasi strategis

Sebelum 1996, informasi tentang HIV dan AIDS terbatas pada laporan kasus dari rumah sakit. Mulai tahun 1996, kegiatan sentinel survei HIV pada kelompok-kelompok kunci mulai dilakukan dan dikompilasi oleh Kementerian Kesehatan, namun informasi tidak dapat dibandingkan dari waktu ke waktu dan masih banyak daerah yang tidak melakukan pelaporan rutin kepada pusat pasca era sentralisasi. Ketersediaan dana menjadi kendala pelaksanaan survey sehingga seringkali tidak lagi memenuhi kaidah standar yang ditetapkan oleh Kemenkes. Pada era 2000an, kegiatan survei perilaku pada berbagai populasi kunci dan dilengkapi dengan survei biologis. Survei ini dikelola secara terpusat walaupun saat pelaksanaan melibatkan penuh staf BPS dan Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten. Data survei perilaku dan biologis ini telah dimanfaatkan oleh Kementarian Kesehatan, KPA Nasional, atau Mitra Pembangunan Internasional untuk mengembangkan berbagai kebijakan dan program. Daerah juga sudah mulai menggunakan data untuk menyusun rencana aksi daerah, dengan segala keterbatasan kemampuan analisis data.

Tantangan terkait informasi strategis yang masih harus dihadapi adalah sebagai berikut:

 Masih belum adanya mekanisme yang disepakati oleh para pihak tentang informasi dari

daerah ke nasional. Kompilasi pelaporan kasus HIV dan program dengan koordinasi oleh

KPAD baik provinsi atau kabupaten/kota masih banyak kendala karena pada dasarnya

Dinas Kesehatan dan unit pelaksana teknisnya serta OMS menjadi sumber data yang

sebenarnya.

 Keterkaitan yang lemah antara Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit baik swasta maupun milik pemerintah di dalam pelaporan kasus dan program yang dilaksanakan. Tingkat eselon yang sama antara dinas kesehatan dan RSU serta fungsi pembinaan dinas kesehatan kepada RS swasta dinilai menjadi hambatan dasar dalam pelaporan dan koordinasi. Sejauh ini tidak ada sangsi atau reward bagi pihak yang tidak melaporkan atau melaporkan.

(39)

24

Kepemilikan dan penguasaan analisis data ini diduga menjadi salah satu kesenjangan penting yang menyebabkan daerah mengalami kesulitas untuk memetakan persoalan dan mengembangkan respon yang memadai bagi daerahnya.

D. Sumber Daya Manusia

Selama ini, ragam dan jumlah sumber daya manusia yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan AIDS sangat bervariasi dan besar, meliputi tenaga-tenaga tingkat lapangan (pendidik sebaya, petugas penjangkau, supervisor program lapangan, manajer program tingkat lapangan), tingkat layanan (petugas konselor, dokter spesialis, dokter umum, petugas laboratorium, perawat, petugas administrasi, ahli gizi, bidan, manajer kasus) dan tenaga tingkat koordinasi/KPA di kabupaten dan kota (pengelola program, petugas monev/surveilans, pengelola administrasi keuangan, sekretaris/manajer). Dilihat dari sisi penyedia layanan, ada tiga jenis SDM yang menjalankan kegiatan kesehariannya yakni staf pelayanan yang disediakan oleh pemerintah, staf OMS/OBM, dan staf pelayanan kesehatan swasta. Kebijakan SDM terkait penangggulangan AIDS yang ada saat ini, belum mengatur secara jelas untuk SDM di OMS/OBM dan pelayanan kesehatan swasta khususnya yang tenaga non-kesehatan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam hal penyediaan SDM penanggulangan AIDS. Sebagai gambaran, untuk beberapa kebutuhan SDM sebagai mana yang ditetapkan dalam SRAN 2010 -2014 ada di CSO/CBO yakni tenaga tingkat lapangan; Pendidik Sebaya, Petugas Penjangkau, Supervisor Program Lapangan, dan Manager Program di tingkat Lapangan.

(40)

25

E. Penyediaan Obat dan Perlengkapan Medik

Pengelolaan logistik program penanggulangan HIV dan AIDS meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi, penggunaan, dan pengawasan obat dan perlengkapan medik untuk pencegahan, diagnostik dan terapi. Pengelola logistik ini dalam sistem kesehatan dilakukan kementerian kesehatan di tingkat pusat dan dinas kesehatan di tingkat sub-nasional. Sistem manajemen logistik yang handal diharapkan bisa menjamin bahwa logistik untuk pelaksanaan program ini harus sampai kepada penerima tepat waktu, cukup dan dengan kualitas yang terjaga.

Penyediaan obat dan perlengkapan medik untuk pencegahan dan terapi HIV dan AIDS selama ini masih bergantung terutama dari bantuan luar negeri, kecuali ARV dan beberapa reagen. Pengadaan kebutuhan tersebut sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah pusat atau melalui mitra pembangunan internasioanl. Secara umum kebijakan terkait sediaan farmasi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara 3781) yang menyebabkan pengadaan metadon dan ARV masih terpusat.

Pengadaan material pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harusnya mengikuti kebijakan ini. Kondom selain alat pencegahan HIV dan AIDS juga berfungsi sebagai alat kontrasepsi, sehingga menjadi pertanyaan apakah pengadaan kondom dan pelicin dalam pengadaan alat kesehatan sudah termasuk dalam pengadaan alat kontrasepsi kondom atau ada pengadaan khusus untuk pencegahan HIV. Sebagai contoh, pada tahun 2012 Kemenkes melakukan pengadaan Alat Kontrasepsi Kondom Tahun Anggaran 2012 dengan pagu Rp 25.231.735.000. Ini perlu dipertanyakan karena pengadaan kondom dan alat suntik didanai oleh bantuan dana luar negeri dan dilakukan secara terpusat oleh KPAN dan kemudian didistribusikan langsung ke KPAD, OMS atau Puskesmas.

(41)

26

jarum steril di beberapa puskesmas yang ditunjuk harusnya mudah diakses penasun. Pada awal program petugas lapangan aktif mempromosikan dan membagikan jarum suntik steril. Pendistribusian kondom sering mendapat resistensi dari masyarakat umum. Upaya penyediaan outlet kondom sudah dilakukan sebagai pilot projek di beberapa tempat di Indonesia.

Kebijakan sentralisasi pengadaan ARV, kondom dan jarum suntik yang masih terpusat telah menimbulkan beberapa akibat yang merugikan bagi penerima manfaat khususnya terjadinya stock-out di beberapa daerah. Khusus untuk pengadaan jarum suntik telah menimbulkan ketidakefisienan karena adanya variasi tentang preferensi jenis jarum suntik yang digunakan oleh penasun di berbagai daerah sehingga seringkali jarum yang sudah terbeli tidak bisa diakses. Dari sisi pemanfaatan, distribusi alat suntik steril dan kondom oleh petugas puskesmas atau dilakukan di dalam puskesmas memang menjadi lebih kondusif karena sangat jarang ditentang oleh masyarakat, tokoh agama dan penegak hukum. Namun jaminan ketersediaan alat suntik di beberapa puskesmas masih kurang, dan masih ada

mind-set banyak pasien yang hanya mendatangi puskesmas karena membutuhkan pengobatan, bukan untuk mencegah penyakit.

F. Partisipasi Masyarakat

(42)

27

kesehatan merupakan hak dari warga negara tanpa memandang status sosial dan ekonomi yang wajib dipenuhi oleh negara.

Oleh karena itu kebijakan HIV dan AIDS juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang mengedepankan hak kesehatan sebagai hak asasi manusia. Promosi HAM dan respon HIV tidak boleh terpisah, agar hambatan hak asasi manusia tersebut teratasi dan tidak menghalangi pengguna layanan untuk mengakses layanan pencegahan, pengobatan dan dukungan HIV secara efektif. Kebijakan ditetapkan untuk memastikan bahwa program-program HIV tidak berpotensi maupun tidak melanggar HAM.

Secara nyata, dalam satu dekade terakhir ini, program penanggulangan HIV dan AIDS pada kelompok pengguna napza suntik telah mendorong terjadinya pergeseran cara pandang penegak hukum terhadap hak asasi penasun termasuk dukungan kesehatan dan sosial saat proses hukum dijalankan, maupun penempatan posisi pecandu sebagai pengguna, bukan pengedar NAPZA. Misalnya hal ini bisa dilihat pada UU No. 35/2009 tentang Narkotika Pasal 54 adalah wujud perubahan cara pandang terhadap kejahatan yang harus diikuti aparat penegak hukum, termasuk jaksa. Kemudian pemerintah menindaklanjutinya dengan PP No. 25/2011. Regulasi yang memungkinkan terdakwa pecandu direhabilitasi secara medis dan sosial bukan hanya sebagai bukti perubahan cara pandang terhadap pelaku kejahatan, tetapi juga wujud komitmen negara. Secara hukum, penerapan diskresi melalui rehabilitasi dimungkinkan Pasal 54 UU Narkotika. Pasal ini malah mewajibkan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika direhabilitasi secara medis dan sosial.

(43)

28

pengguna disamakan dengan pengedar narkoba; pemerasan, penindasan dan pelecehan pekerja seks ketika berhadapan dengan penegak hukum (saat razia) atau penyedia layananan, hak untuk memperoleh pengobatan, hak untuk mendapatkan jaminan sosial dan jaminan kesehatan, hak atas pendidikan (bagi anak ODHA) dan hak atas pekerjaan. Hal ini misalnya bisa dilihat dari studi Community Access to Treatment Services Study (CATS) in Indonesia tahun 2013 disebutkan hampir seperlima (18%) dari ODHA responden yang pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan karena status HIV nya termasuk stigma dan diskriminasi. Selain itu, ODHA perempuan dua kali lebih mungkin untuk mengalami stigma dan diskriminasi. Pelaku dari stigma dan diskriminasi beragam juga bisa dari petugas kesehatan, seperti yang diungkapkan oleh CATS Survey. Yang mengejutkan, responden di Jakarta melaporkan, pelaku stigma dan diskriminasi 10% nya adalah petugas kesehatan yaitu dalam bentuk menolak memberikan pertolongan medis pada ODHA.

Masih cukup banyak pertentangan nilai di masyarakat tingkat lokal, seperti yang ditemukan dalam ketentuan Perda. Kontradiksi dalam pengaturan tentang kondom, penyebutan (pengakuan) yang samar-samar mengenai lokasi/lokalisasi pelacuran dan tempat-tempat hiburan (Cafe, Bar, Diskotik, Night Club) hubungan seks pasangan pre maupun luar nikah, merupakan kendala utama dalam memberi makna terhadap efektif tidaknya penegakan ketentuan pidana dalam Perda tentang pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS.

G. Pembiayaan Program HIV/AIDS

Dalam Strategi Nasional penanggulanggan HIV dan AIDS 2010 -2014 disebutkan bahwa ada empat fokus area program yang memerlukan pendanaan yakni (1) pencegahan (57%), (2) perawatan, dukungan dan pengobatan (28%), (3) mitigasi dampak (2%), dan (4) pengembangan lingkungan yang kondusif (13%), di mana di dalamnya adalah pendanaan operasional kelembagaan KPA. Kegiatan program difokuskan pada program yang efektif dan dilaksanakan di 137 kabupaten dan kota, dimana lebih dari 80% populasi kunci berada. Selain itu dibutuhkan juga pendanaan untuk prasarana pencegahan, perawatan dan pengobatan, yang meliputi outlet kondom, layanan VCT, layanan IMS, layanan CST, layanan PMTCT, layanan alat suntik steril, dan layanan PTRM.

(44)

29

menjadi masalah di Indonesia, walaupun tren pendanaan baik dari APBN, APBDP dan APBD Kota dan Kabupaten meningkat tetapi ketergantungan dari bantuan dana hibah luar negeri juga masih dominan. Misalnya hal ini bisa dilihat pada struktur pembiayaan program harm reduction yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan pembiayaan HR bersumber dari:

a. bilateral funding (2009: 1,194 juta USD; 2010: 1,437 juta USD) b. multilateral funding (2009: 193 juta USD; 2010: 228 juta USD) c. APBN and APBD (2009: 173 juta USD; 2010: 68.7 juta USD).

Secara rutin KPAN melakukan analisis tentang pembiayaan HIV dan AIDS berdasarkan sumber-sumber pendanaan baik yang berasal dari kolaborasi dengan Mitra Pembangunan Internasional, dana APBN dan APBD. Pada tahun 2011, pendanaan dari Mitra Pembangunan International, mayoritas (31,07 %) dari dana multinasional (GF), Australia (18,99 %), Amerika Serikat (18,70%), Inggris (18,23%), Badan PBB (10,21) dan sumber dari negara lain (2,80%).

Hal yang menarik adalah sekalipun ketergantungan akan pendanaan luar negeri masih

ti ggi, a u pe eri tah telah e yiapka ke ijaka u tuk exit strategy , salah satu

contohnya adalah Keputusan Dirjen P2PL selaku pimpinan Principal Recipient hibah GFATM No. HK.03.05/D/I.4/532/2012 tentang Pedoman Exit Strategi dana hibah GF-ATM. Meski sudah ada regulasi seperti ini tampaknya upaya untuk merealisasikan exit strategy ini masih belum bisa diwujudkan hingga tahun ini karena adanya sumber dana bagi penanggulangan HIV dan AIDS pada tahun 2014 mengalami penurunan yang signifikan khususnya dalam pengadaan obat ARV yang selama ini seluruhnya ditanggung oleh APBN.

Terkait dengan dana operasional lembaga, maka KPAN, KPAP, dan KPA Kota/Kab, sebagai lembaga -lembaga koordinasi yang sifatnya ad hoc dan bukan SKPD maka operasionalnya memerlukan sumber dan mekanisme tertentu. Mayoritas pendanaan untuk kesekretariatan KPAN, KPAP dan KPAD berasal dari dana pihak lain yang tidak lain mengikat termasuk yang bersumber dari Mitra Pembangunan Internasional.

(45)

30

penggunaan anggaran pemerintah. Sedangkan mobilisasi dana dari mitra internasional baik bilateral maupun multilateral, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyiapkan proposal untuk pengajuan bantuan kepada mitra internasional multilateral. Penentuan program yang akan didanai oleh mitra internasional bilateral disepakati kedua belah pihak dalam pertemuan konsultatif dan tetap mengacu pada dokumen ini. Bantuan finansial lainnya dihimpun dalam satu sistem manajemen keuangan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yaitu Dana Kemitraan AIDS Indonesia (DKAI). Penggunaan dana yang dihimpun ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan pengelolaannya dilakukan oleh Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional atau lembaga lain yang ditunjuk. Di tingkat daerah, dana yang diperoleh dari masyarakat sipil seperti dari pihak swasta sebagai perwujudan CSR dihimpun oleh KPA di daerah bersangkutan dan digunakan untuk penyelenggaraan program yang tertuang dalam rencana aksi daerah.

(46)

31

V.

Integrasi Kebijakan dan Program HIV dan AIDS Dalam

Sistem Kesehatan

A. Desentralisasi: Kontestasi Pusat dan Daerah

Secara kelembagaan, Komisi Penanggulangan AIDS adalah inisiatif pemerintah pusat yang kemudian mengalami penyesuaian karena adanya kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia mulai tahun 2001. Secara struktural, KPA provinsi dan kabupaten/kota memang tidak langsung dibawah KPA Nasional, namun dari sisi program, design dan agenda program KPA daerah merupakan refleksi dari kebijakan program KPAN. Terlebih dengan minimnya dana (yang sebagian besar untuk biaya non-program) dan terbatasnya sumber daya manusia di tingkat KPA daerah, kebergantungan akan program dari KPAN masih besar. Program GF-ATM dan Indonesia Partnership Fund, misalnya semakin memperkuat relasi pusat-daerah ini. Beberapa KPA daerah menunjukkan respon dan perkembangan tingkat kelembagaan yang berbeda. Di daerah di mana masyarakat sipilnya aktif, misalnya Jawa Timur, Sumatera Utara, Bali, KPA daerah cenderung lebih aktif. Permasalahan implementasi kebijakan yang umum ditemui di wilayah yang dikunjungi adalah sinergi kebijakan KPAN dengan prioritas program kesehatan daerah.

Terkait relasi KPAN dengan KPAP/KPAD, sekalipun secara struktural KPAN bukan atasan KPAP/KPAD, dalam relasi suatu proyek, KPAP/KPAD bisa berperan sebagai lembaga pelaksana KPAN yang bertindak sebagai pemegang kontrak dengan donor. Peran Mitra Pembangunan Intenasional sangat besar cenderung mendikte KPAN dan Kemenkes untuk alasan efisiensi dan mengandalkan lembaga pusat sebagai perantara dengan mitra di daerah. Pemda, dalam beberapa kasus di daerah kunjungan, membuat kebijakan termasuk Perda-Perda tentang penanggulangan HIV dan AIDS hanya karena dorongan KPAN dan dukungan dana dari donor. Akibatnya, sering Perda yang ada hanya sebagai dokumen kebijakan yang tidak ditindaklanjuti dengan mekanisme pendanaan yang jelas dan program yang sesuai kondisi daerah.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, intensi pembelian produk fashion khsususnya luxury handbag baik itu original maupun tiruan di antara konsumen muda menjadi suatu hal yang sangat

Pada Tabel 5 terlihat bahwa nilai koefisien determinasi yang diperoleh dalam pengujian adalah sebesar 0,489 hasil tersebut menunjukan bahwa role of conflict ,

Tennis elbow dapat menimbulkan beberapa masalah gangguan gerak dan fungsi yang melibatkan beberapa struktur jaringan spesifik seperti kerobekan microscopic yang

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut “congek atau teleran” adalah radang kronis telinga tengah dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara bimbingan belajar terhadap motivasi belajar

Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun pecah beling Strobilanthes crispus dengan metode DPPH disajikan pada Tabel 2.. Dari Tabel 2 tampak bahwa

Pada syarat pertama dicantumkan validasi usia terlebih dahulu, maka dalam tahap pengujian ini akan dimasukkan usia lebih kecil dari 19 tahun, yaitu 18 tahun,

menjawab SS sebesar 83%. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa produk pembiayaan murabahah diberikan BMT Assyafi’iyah digunakan untuk mengembangkan usaha anggota. Hal ini