• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konon, dahulu kala sebuah istana kerajaan di Tanah Pakpak sekitar Benua Har-har. Rajanya bernama

Pu

Rempur Mayap­ Mayap. Raja

ini

termasyhur kaya-raya, memiliki banyak hamba sahaya untuk bekerja, ternaknya tiada terhitung banyak, seperti : kerbau, kambing, babi dan ayam. Itulah sebabnya maka

Pu

Rem­ pur Mayap-Mayap tersohor ke mana-mana sampai ke negeri Timur ataupun Barat. Beliau dijuluki gelar pujaan, "Benar-benarlah beliau putera mahkota yang padanya tak kurang suatu apa dalam hal kewibawaan kepemimpinan. Kata titahnya tak pernah dibantah orang, tikarnya tak pernah digulung, selalu terbentang setiap saat karena tamu-tamu kerajaannya terus silih berganti datang bertamu ke istananya karena keagungan dan kemegahan panji-panji mah­ kotanya".

W

alaupun demikian halnya, ada masa senang dan ada masa susahnva. Negeri yang telah adil dan makmur, rakyat yang hidup i-ukun dan damai salinJ? tolong-menolong serta rajanya yang di­ hormati dan amat dicintai rakyatnya, kadang-kadang dengan tak diSangka-sangka mendapat ancaman dari negeri lain yang ingin mengembangkan kerajaannya. Begitu juga keadaan kerajaan

ini.

Dari sebuah kerajaan seberang, seorang raja yang bernama Raja Bulbulen memerintahkan segenap raja-raja hulubalangnya meng­ gempur kerajaan Benua Har-har yang sedang makmur-makmur­ nya itu. Hulubalang raja tersebut menggunakan topeng daun

sengkut

(sejenis daun pandan di hutan). Mereka diperintahkan

raja Bulbulen untuk menundukkan dan memperluas wilayahnya serta melenyapkan raja-raja yang

ingin

bertahan dan menentang kehendak raja. Ternyata maksud raja Bulbulen

ini

mendapat

tantangan dari raja

Pu

Rempur Mayap-Mayap bersama-sama

rakyatnya hingga mengakibatkan terjadinya

pergajahan

(peperang­ an) yang tak dapat dielakkan. Siang dan malam

gra_ha

(perang) semakin berkobar-kobar dan korban jatuh bergelimpangan di mana-mana. Sampai tujuh bulan lamanya peperangan itu ber­ langsung tetapi raja

Pu

Rempur MayaJ>.Mayap belum juga ter­ kalahkan.

Tetapi, pada suatu hari kiranya malang tak dapat ditolak

*) Diambil clari bah

..

daerah Batak (Pakpak

-

Dairi), artinya :

untuhg tak dapat diraih, mungkin perlawanannya itu belum direstui semangat kesaktian arwah-arwah nenek moyang mereka di kerajaan Benua Har�har. Mereka mengalami kekalahan sehingga sebagian besar rakyatnya dan pasukannya gugur dalam medan laga. Dan kekalahan tak terelakkan lagi oleh kerajaan Benua Har-har. Ratap tangis rakyatnya terdengar di mana-mana, dan yang sangat memilukan hati raja Pu Rempur sendiri mati dalam pertempuran itu.

Mereka terkenang kembali bagaimana agungnya kerajaan mereka yang telah lalu serta membayangkan betapa malangnya nasib mereka berada dalam tawanan, perbudakan dan di bawah kekuasaan raja seberang untuk masa waktu yang tak dapat di­ tentukan. Mengenang kekalahan itu mereka menangis; tua muda, besar kecil, terlebih·lebih kaum ibu, semuanya berkabung dengan hati yang amat pedih dan pilu.

Akan tetapi di antara mereka itu masih ada tujuh orang hulubalang Pu Rempur Mayap-Mayap yang selamat bersama putera mahkota dan dapat menyingkirkan diri dari keganasan pedang musuh. Mereka sating bertemu di hutan timba dan seia-sekata membuat sumpah dan tekad bulat di bawah pimpinan langsung putera mahkota yang bemama si Pandirabar.

Mereka bertekad ingin merebut kembali kerajaannya dan menegakkan panji-panji mahkota Benua Har-har di kemudian hari. Mereka pun meneruskan perjalanannya dengan maksud me­ nemui kerajaan lainnya agar dapat memperoleh bantuan di negeri yang jauh sambil memantapkan ilmu keperwiraan dan belajar dan bertapa untuk mencari kesaktian. Hal ini menurut mereka akan dapat diperoleh d�ngan jalan menemui kramat nenek Batara Guru di gunung kramat Batu Ardan. Sebagimana diketahui, puncak gunung Batu Ardan yang amat dikeramatkan, masa itu dikawal oleh puluhan ekor harimau hitam dan binatang-binatang purbakala sebagai piaraan nenek Batara Guru. Masing-masing mereka ada membawa bekal satu sumpit beras dan satu tabung garam. Kiranya nasib masih malang dalam perjalanan di rimba belantara itu, ke delapan kesatria itu .tersesat hingga tak tahu lagi persis di mana mereka berada. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari pohon kayu raksasa yang tinggi di mana tumbuh sejenis tumbuhan anggrek raksasa (dalam bahasa Pakpak disebut:

peldang).

Peldang tersebutlah mereka jadikan tempat menginap untuk .menghindar­ kan diri dari bahaya serangan binatang-binatang buas yang mencari

rtt

angsanya malam hari. Akhirnya, Pandirabar memutuskan agar di tempat penginapan itu saja mereka bertapa untuk selanjutnya pada suatu saat kelak dapat memperoleh ilham dari nenek Batara Guru sesuai dengan cita-cita mereka.

Sesudah tujuh tahun Pandirabar beserta ketujuh hulubalang­ nya berada di pertapaan itu, bahkan dalam mendapatkan bahan makanan sehari-hari pun mereka sudah sempat berladang di celah­ celah hutan itu. Selama bertapa itu mereka tidak memakan beras dan garam perbekalan yang dibawa dari istana. Beras yang sesum­ pit dan garam yang setabung itu tetap disimpan baik-baik karena bahan itu dianggap mereka sebagai obat pelipur dan penawar rindu ke istana. Beras dan garam itu baru akan dimakan kalau jalan lain untuk memperoleh bahan makanan tak ada lagi.

Pada suatu senja, mereka melihat seekor burung kramat se­ jenis murai (istilah Pakpak : Peduk Pegga), pada masa itu dikenal sebagai Peduk Perkutahtih. Setelah melayang-layang beberapa saat lamanya, burung itu lantas hinggap bertengger di atas tunggul kayu di ladang Pandirabar dan bersikap seolah-olah ingin mengatakan sesuatu kepada Pandirabar. Keadaan itu menjadi bahan perhatian bagi sang putera mahkota Benua Har-har itu. Setelah beberapa saat, sang Peduk Perkutahtih berucap .Kepada Pandirabar,

"Wahai Pandirabar, inginkah kamu saya sampaikan hal yang akan menolongmu dari kekalahan melawan musuhmu agar kamu memperoleh kegagahan dan jadi panglima perkasa di antara keraja­ an-kerajaan negerimu? ... karena sang Maha Dewa telah me­ merintahkan kepada nenek Batara Guru puncak gunung Batu

Ardan agar kami sampaikan pesan kepadamu tentang Pe/Ieng

Peneppuh Babah.

Bahkan sudah diperintahkan nenek kramat Sitaka Langit. Marilah saya akan menunjukkan bahan-bahannya yang akan jadi ramuan yang dipergunakan untuk itu'', kata burung itu. Akan tetapi pute­

ra mahkota Pandirabar kurang yakin dengan kedatangan sang

peduk itu, lantas dengan rasa jengkel dijawabnya,

"Wahai Peduk Perkutatih! .... Apakah gerangan maksudmu berkata-kata demikian? Apakah k�mu tak tahu bahwa saya ini adalah putera mahkota dari istana lienua Har-har yang datang ke marl untuk bersenang-senang, dan sekedar mencari-cari tempat perladangan yang cocok dan subur?" .... "

"Oooo .. .. wahai Pandirabar, sesungguhnyalah; saya sudah tahu halmu yang sebenarnya. Kamu hanya segan mengucapkan hal

yang sesungguhnya padaku. Aku tahu bahwa Pandirabar adalah julukan putera mahkota Benua Har-har yang dikalahkan oleh hulu­ balang raja Bulbulen. Hal itu sudah sejak lama kami dengar dari

sang Bincala Balekat (sejenis burung yang suka berkicau di waktu

pagi-pagi). Tetapi namun demikian, jangan putus asa, karena sang Maha Dewa nenek Batara Guru dari puncak gunung Batu Ardan tetap sayang padamu asal kamu bersatu-padu dengan keluargamu dan rakyatmu menebus kekalahanmu itu", jawab burung.

"Oooo .... , kalau begitu hal yang sebenarnya, wahai Peduk Perkutahtih, maafkanlah daku dan terlebih dahulu aku ucapkan terima kasih padamu. Harap sampaikanlah padaku pesan nenek

Batara Guru itu karena memang sebenarnya di rimba ini dan me­

mutuskan bertapa untuk mendapatkan ilham dari nenek Batara Guru yang mulia itu". Pendirabar dengan nada memohon me­ nambahkan lagi agar segeralah sang Peduk Perkutahtih menyam­ paikan pesan sang Maha Dewa nenek Batara Guru dari puncak gunung Batu Ardan.

"Marilah . . . . , ikutilah saya, agar kutunjukkan padamu macam-macam ramuan yang diperlukan untuk Pelleng Peneppuh Babah itu", katanya pada Pandirabar. Kemudian Pandirabar diajak ke_ hulu Sicike-cike. Di sana ditunjukkanlah sebatang cabai rawit halus yang lagi merah ran um seraya disuruh petik oleh Pandirabar sebanyak tujuh kali tujuh buah. Diberitahukan oleh Peduk Perku­

tahtihlah bahwa batang cabe rawit (istilah Pakpak : cina hembun)

itu bukannya ditanam oleh manusia tetapi tumbuh sendiri dan terkenal pedasnya bukan main. Pandirabar sangat gembira menu­ ruti ajakan burung tersebut. Kemudian diajak lagi ke serumpunan

koning bunga (sejenis kunyit) lalu disuruh menggalinya sebanyak tujuh siung. Setelah selesai, Pandirabar diajak lagi ke bukit Panga­

cemmen untuk memetik buah rimbo bunga (jeruk nipis/asam)

tujuh buah. Dari sana terus ke Uruk Siganderrang untuk meng­

ambil tujuh batang bawang ganderra (bawang halus) yang lazim

digunakan orang Pakpak. Kemudian disuruh lagi mengumpulkan beberapa jenis pucuk sayur-sayuran tujuh macam. Ramuan lainnya adalah seekor ayam jantan merah saga.

Setelah semua ramuan itu lengkap, kembalilah mereka ke pohon kayu raksasa. Sesampai di sana, hulubalang nan tujuh orang yang telah menanti-nanti itu disuruh menyembelih ayam jantan merah saga Jtu. ,Sebagian daging ayam itu dipanggang, yakni se­ genap buku-buku, tulang bongkolnya, perut besarnya, lehernya,

ujung sayapnya dan satu lagi yang bernama upah kilapah. Cabai rawit merah ditumbuk halus, sebagian digabung dengan bongkol­ bongkol dan ujung-ujung sayap dan leher yang dicincang halus, lalu digabung dengan nasi sekaligus bersama kunyit dengan jeruk nipis, bawang ganderra serta garam secukupnya. Ramuan itulah semuanya diaduk dalam piring Urpuk (sejenis daun pisang yang belum kembang). Nasi inilah yang disebut plleng (baca : pelleng). Sesudah nasi dihidangkan satu piring tiap orang (di atas daun langge) lengkap dengan nasi (plleng) tadi, maka mereka disuruh duduk bersila.

''Wahai Pandirabar beserta kawan-kawanmu nan tujuh orang", ujar Peduk Perkutahtih menjelaskan cara memulai upacara itu. Anggota hulubalang dan Pandirabar dengan serentak meletak­ kan tangan di atas nasi pelleng, lalu disuruh Peduk Perkutahtih mengulang-ulang sodip (tabas, mantra) bersama yang ingin beroleh restu dan berkat dengan tenaga magis dan khidmat nasi plleng tersebut. Begini bunyi mantranya,

'En no kupangan kami plleng peneppuh babah, asa isen nai me­ nangkih merseppuh mobabah, mersira mo rana lako maraloken musuh silako menaban. Enmo kumakan kami plleng peneppuh babah, talu mo musuh kincal mo daging nami maraloken musuh. En mo tuhu kumakan kami plleng peneppuh babah, bage niajarken mpung Batara Guru, asa dos mo arih bage perpeddas ni pleeng mo petpeddas ukurnami mi graha maraloken musuh Batara Kaseh. En mo tuhu kumakan kami plleng peneppuh babah ikeke matawari, asa bage ni plleng mo tuhu ate dekket pusuh-pusuhna silako alo graha, bage nirep-repnami en mo buku-bukuna janah kumeke mo berrat bung hombang, berrat tahu, bage perbincer matawari cak­ gen en mo bincer sumasak sangap dekket tuah mendahi kami, ndaoh kali ndaoh habat, mbuah page lambang dukut, tergempang kennah cinari dekket sumangan menjungjung mengratahi Batara Kaseh".

Artinya : "Di sirti kami makan nasi penyepuh mulut ini, maka semakin bersepuhlah mulut kami, bergaramlah badan melawan musuh yang bermaksud melawan Di sini kami makan nasi penye­ puh mulut kalahlah musuh, tergeraklah badan kami melawan musuh. Di sini, benarlah kami makan nasi penyepuh mulut seperti yang diajarkan nenek Batara Guru, agar serupa terik harilah, seper­ ti pedasnya nasi plleng inilah pedasnya hati kami memerangi musuh yang berniat jahat. Di sini, benarlah kami makan nasi

pe-nyepuh mulut pada waktu matahari naik, agar seperti nasi plleng­