• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. PENDAHULUAN

1.2. Peluang dan Tantangan

1.2.1. Peluang

Beberapa peluang Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan yang masih dapat dikembangkan dan dioptimalkan dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi meliputi (a) Norma, Standar, Prosedur, Kriteria, Pedoman Umum, Pedoman Teknis, Regulasi dan Kebijakan; (b) Sumber daya insani, (c) Tersedianya unit kelembagaan pelaksana teknis perkebunan, (d) Sistem informasi manajemen dan teknis lainnya, (e) Momentum Gerakan

39 Desentralisasi Pemerintahan, (f) Partisipasi masyarakat pekebun, (g) Dinamika tata kelola dan reformasi birokrasi, dan (h) Tersedianya anggaran dan permodalan.

A. Norma, Standar, Prosedur, Kriteria, Pedoman Umum, Pedoman Teknis, Regulasi dan Kebijakan

Pelaksanaan pembangunan perkebunan telah mempunyai landasan hukum yang kuat berupa Undang-undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Perundang-undangan turunannya, Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Perundang-undangan turunannya yang didukung dengan Peraturan Presiden Nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian dan

Peraturan Menteri Pertanian nomor

43/Permentan/OT.010/8/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian. Landasan hukum tersebut merupakan salah satu potensi yang bisa digali dalam mengembangkan perkebunan secara menyeluruh dan terpadu. Landasan-landasan hukum lainnya yang mendukung kinerja Ditjen. Perkebunan secara umum dan Sekretariat Ditjen. Perkebunan secara khusus adalah:

1. Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

2. Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN);

3. Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;

4. Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

40 5. Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah;

6. Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi tahun 2010-2025;

7. Peraturan Presiden nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah;

8. Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019; 9. Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2015 tentang

Kementerian Pertanian;

10. Instruksi Presiden RI nomor 3 tahun 2003 tentang e-government;

11. Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional; 12. Peraturan Pemerintah RI nomor 38 tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; 13. Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah (SPI);

14. Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil;

15. Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2012 tentang Makna Bekerja dan Nilai-Nilai Kementerian Pertanian;

16. Permen PPN/Kepala Bappenas nomor 5 tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan dan Penelaahan Renstra K/L tahun 2015-2019;

17. PermenPAN-RB nomor 1 tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB);

41 18. Peraturan Menteri Pertanian nomor 08/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Surabaya;

19. Peraturan Menteri Pertanian nomor 09/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Medan;

20. Peraturan Menteri Pertanian nomor 10/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Ambon;

21. Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPTP Pontianak;

22. Peraturan Menteri Pertanian nomor 23 tahun 2009 tentang Pedoman Umum SPI;

23. Peraturan Menteri Pertanian nomor 50/Permentan/OT.140/8/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian;

24. Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura; 25. Keputusan Menteri Pertanian nomor 3599 tahun 2009

tentang Perubahan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian nomor 511 Tahun 2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura; 26. Keputusan Menteri Pertanian nomor

46/Kpts/PD.300/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Perkebunan Nasional;

Agar kegiatan pembangunan perkebunan lebih praktis dan mudah dilaksanakan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku perlu didukung dengan pedoman

42 umum/teknis dan standar biaya yang diperlukan. Pedoman umum/teknis yang tersedia seperti pedoman perencanaan program dan anggaran, pedoman perencanaan pengajuan usulan kegiatan pembangunan perkebunan melalui e-proposal, pembakuan statistik perkebunan dan buku saku, pelaksanaan program dan anggaran (Renja dan RKA-KL), satuan biaya pengembangan perkebunan, pedoman teknis kegiatan budidaya dan pedoman lainnya masih dapat diperluas dan berpotensi untuk lebih didayagunakan.

B. Sumber Daya Insani

Sebagaimana amanat dari dokumen Strategi Induk Pembanguan Pertanian (SIPP) 2013-2045 bahwa pilar penopang yang ditekankan untuk mewujudkan kokohnya fondasi sistem pertanian bio-industry berkelanjutan adalah pengembangan sumber daya insani berkualitas, modal sosial dan modal politik. SDI Indonesia begitu melimpah dan diproyeksikan akan terus bertambah. SDI ini dapat menjadi salah satu keunggulan kompetitif perkebunan Indonesia yang merupakan pelaksana penggerak proses produksi dan pengembangan rantai nilai. Pengembangan SDI perkebunan harus memperhatikan beberapa hal agar mampu meningkatkan daya saing di tataran Internasional diantaranya: 1) pendidikan dan kemampuan/skills; 2) keberadaan usia SDI yang produktif; 3) adopsi inovasi dan teknologi; 4) kreativitas; 5) peluang pelatihan, penelitian, pemberdayaan dan pendidikan; 6) migrasi tenagakerja ke sektor lain; 7) ketimpangan pendapatan dan sosial ekonomi lainnya; 8) sosial budaya dan karakteristik SDI perkebunan; 9) ketersediaan

43 sarana prasarana kerja dan lingkungan kerja; dan 10) aksesibilitas, konektivitas dan minat.

Potensi sumber daya insani (SDI) di lingkup Direktorat Jenderal Perkebunan sebanyak 1.142 orang yang berkualifikasi pendidikan dari tingkat SD sampai jenjang Doctoral merupakan keunggulan tersendiri. Disamping pendidikan formal, sebagian besar pegawai telah mengikuti diklat penjenjangan/diklat prajabatan/diklat PIM, pelatihan teknis dan non teknis, serta beberapa pegawai sedang mengikuti tugas belajar baik di dalam maupun di luar negeri, yang diharapkan semuanya akan mendukung kinerja Direktorat Jenderal Perkebunan. Peningkatan kualitas, moral dan etos kerja petugas, lingkungan kerja yang kondusif, penerapan sistem karir yang terprogram dan transparan dalam rangka mewujudkan petugas yang profesional, pengembangan kemampuan dan sikap prakarsa yang proaktif dalam mewujudkan pelayanan prima merupakan arah organisasi yang hendak dicapai. Disamping itu untuk menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi UPT, telah diangkat jabatan Fungsional PBT (Pengawas Benih Tanaman) dan POPT (Pengendali Organisme Penggangu Tanaman) sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas pokok dan fungsi di daerah, selain itu terdapat jabatan fungsional lain dalam mendukung kualitas dan kinerja SDI perkebunan dalam bidang perencanaan, data informasi statistik, dan lain-lain, sedangkan dalam melaksanakan fungsi pengawasan di lapangan telah dididik dan diangkat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

44

C. Tersedianya Unit Kelembagaan Pelaksana Teknis

Perkebunan

Tersedianya unit kelembagaan pelaksana teknis perkebunan di seluruh Indonesia membuktikan bahwa dalam bidang penelitian, inovasi dan teknologi, Indonesia memiliki peluang untuk berkembang. Dalam rangka memfasilitasi terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih, penerapan teknologi proteksi tanaman dan memberikan dukungan pelayanan organisasi yang berkualitas sebagai rujukan daerah telah dibentuk 4 unit pelayanan teknis (UPT) pusat yang meliputi Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon serta Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) Pontianak.

Dukungan pengujian, pengawasan mutu benih dan penerapan teknologi proteksi tanaman perkebunan BBP2TP dimaksudkan untuk memfasilitasi terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih, penerapan teknologi proteksi tanaman dan memberikan dukungan pelayanan organisasi yang berkualitas sebagai rujukan UPTD. Untuk bidang Proteksi Tanaman Perkebunan Pontianak (BPTP Pontianak) memiliki tugas dalam melaksanakan analisis teknis dan pengembangan proteksi tanaman perkebunan dalam identifikasi dan penanganan OPT Tanaman Perkebunan, pengembangan teknologi agens hayati OPT Perkebunan, eksplorasi dan inventarisasi musuh alami OPT Perkebunan, pengembangan teknologi proteksi perkebunan yang berorientasi pada implementasi pengendalian hama terpadu, pemanfaatan pestisida nabati serta pengelolaan data, informasi dan analisis teknis dalam bidang proteksi tanaman perkebunan. Kedepan, agar pelayanan teknis kepada masyarakat

45 lebih optimal dengan sebaran yang semakin luas maka jumlah dan fungsi UPT sangat berpotensi untuk ditingkatkan dan penyesuaian wilayah binaannya.

Selain itu, pelaku usaha utama dibidang perkebunan meliputi perusahaan perkebunan besar, koperasi, asosiasi petani, asosiasi eksportir dan pekebun. Jika situasi untuk berinvestasi dapat dibangun secara lebih kondusif dan harga komoditi perkebunan dapat dipertahankan, maka peran masing-masing pelaku usaha dapat ditingkatkan dalam rangka mendukung pengembangan perkebunan.

D. Sistem Informasi Manajemen dan Teknis Lainnya

Semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadikan batas antar daerah maupun antar negara semakin kecil dan jelas. Akses terhadap data dan informasi serta penyebarannya sangat mudah dilaksanakan dan cepat tersebar kepada masyarakat yang membutuhkannya. Perangkat teknologi informatika yang telah dikelola Direktorat Jenderal Perkebunan adalah website, Sistem Informasi Manajemen Pegawai (SIMPEG), Sistem Akuntansi Instansi (SAI), Sistem Monitoring dan Evaluasi (Simonev) serta Sistem Informasi Pengadaan Barang dan Jasa (SIRUP) merupakan teknologi informasi. Selain informasi yang disajikan dalam bentuk softcopy/maya, informasi juga disajikan dalam bentuk hardcopy/fisik seperti buku statistik perkebunan, majalah media perkebunan, ruang display, pusat informasi perkebunan, rencana strategis dan lainnya. Teknologi informasi dan komunikasi Direktorat Jenderal Perkebunan tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka implementasi Instruksi Presiden RI (Inpres) nomor 3 tahun 2003 tentang

e-46 government dan seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi.

Selain informasi manajemen, pelaksanaan kegiatan pembangunan perkebunan dilaksanakan dengan prinsip sinergi antara pola top down policy dan bottom up planning melalui aplikasi e-proposal. Dengan pola ini sangat diharapkan bahwa kegiatan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan tujuan nasional, potensi, kebutuhan dan kesiapan daerah sebagai pelaksananya. Mekanisme pengajuan usulan kegiatan dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan reformasi birokrasi yaitu mewajibkan K/L membangun dan mengembangkan sistem elektronik pemerintah (e-goverment) dengan rencana aksi antara lain pelaksanaan office, planning, budgetting,

e-procurement, e-performance dan e-audit. Implementasi

pelaksanaan e-planning dalam rangka mengefektifkan dan mengefisienkan pengajuan usulan kegiatan dari daerah adalah dalam bentuk e-proposal (elektronik proposal).

Sebagai amanat dari Peraturan Presiden nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah bahwa setiap instansi pemerintah perlu menerapkan suatu rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan atau pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran dan palaporan kinerja pada instansi pemerintah dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah. SAKIP ini memuat 1) perencanaan kinerja (Renstra, Perjanjian Kinerja dan Rencana Kinerja Tahunan); 2) pengukuran kinerja (penetapan Indikator Kinerja Program dan Indikator Kinerja Kegiatan; 3) pengelolaan data kinerja (baseline data, perbandingan realisasi kinerja tahun

47 berjalan dengan target/ sasaran dalam Renstra); 4) pelaporan kinerja (Laporan Kinerja/LAKIN interim dan tahunan); dan 5) reviu dan evaluasi kinerja oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

E. Momentum Gerakan Desentralisasi Pemerintahan

Pemanfaatan momentum gerakan desentralisasi pemerintahan dan partisipasi masyarakat dapat menjadi peluang besar bagi pembangunan perkebunan apabila diarahkan untuk pengembangan sistem politik perkebunan yang digerakkan oleh/dan berorientasi pada pekebun/petani kecil.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 2000, telah terjadi beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan peran pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah yang sebelumnya sangat dominan, saat ini berubah menjadi fasilitator, stimulator atau promotor pembangunan pertanian/ perkebunan. Pembangunan pertanian/ perkebunan pada era otonomi daerah lebih mengandalkan kreativitas rakyat/ masyarakat pekebun di setiap daerah. Selain itu, proses perumusan kebijakan juga berubah dari pola top down dan sentralistik menjadi pola bottom up dan desentralistik. Perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan perkebunan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat menangani aspek-aspek pembangunan pertanian/ perkebunan yang tidak efektif dan efisien bila ditangani oleh pemerintah daerah.

48

F. Partisipasi Masyarakat Pekebun

Pembangunan perkebunan pada dasarnya dilaksanakan oleh masyarakat dan dunia usaha sedangkan fungsi pemerintah lebih bersifat fasilitator, pembinaan dan pendampingan. Terwujudnya peran masyarakat, pekebun dan dunia usaha pada pembangunan perkebunan yang sinergi di semua tingkatan perlu didorong secara maksimal. Untuk itu ditempuh upaya terencana melalui konsultasi, koordinasi dan pengembangan jejaring kerja yang baik dalam suatu sistem yang terintegrasi.

Peran serta masyarakat adalah suatu usaha untuk menumbuhkan semangat dan rasa memiliki terhadap berbagai kegiatan pembangunan masyarakat berdasarkan atas keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan sedangkan menurut peran serta seseorang/masyarakat diartikan sebagai bentuk penyerahan sebagian peran dalam kegiatan dan tanggung jawab tertentu dari suatu pihak ke pihak lain. Faktor yang mempengaruhi peran serta adalah semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dan mempunyai pengaruh terhadap program. Pengaruh disini adalah kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh stakeholder atas program berupa kekuatan untuk mengendalikan keputusan yang dibuat dan memfasilitasi pelaksanaan program.

G. Dinamika Tatakelola dan Reformasi Birokrasi

Kebijakan reformasi birokrasi yang digariskan pemerintah diharapkan akan menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan

49 nepotisme, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi serta memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Sasaran ideal yang ingin dicapai adalah terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

Secara garis besar kebijakan tatakelola pemerintahan yang dijalankan Ditjen. Perkebunan selama ini lebih menekankan pada pengembangan kapasitas institusi yang meliputi 1) pengembangan sumber daya aparatur dan kompetensinya; 2) penguatan organisasi; 3) reformasi penataan kelembagaan; 4) pemberian pelayanan yang berkualitas; 5) pengadaan dan perbaikan sarana prasarana dan lingkungan kerja; dan 6) koordinasi, pendampingan dan pembinaan pembangunan perkebunan di pusat dan daerah. Dengan prioritas tatakelola tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan transparansi penyelenggaraan organisasi dan pembangunan sub sektor perkebunan yang mengedepankan prinsip clean

government dan good governance.

H. Tersedianya Anggaran dan Permodalan

Bila diakumulasikan selama periode 2010-2014, total APBN Ditjen. Perkebunan sekitar Rp. 7,02 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk menjalankan program pembangunan perkebunan dengan prioritas terbesar pada pengembangan kakao (Gernas dan non Gernas) yaitu kurang lebih sebesar Rp. 2,50 triliun atau sebesar 35,66% dari total anggaran Ditjen. Perkebunan selama 2010-2014. Anggaran terbesar lainnya

50 adalah anggaran peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman tebu dengan target swasembada gula nasional tahun 2014 yaitu sebesar Rp. 1,75 triliun atau sebesar 24,93% dari total anggaran Ditjen. Perkebunan selama 2010-2014. Sedangkan anggaran untuk kegiatan dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya selama tahun 2010-2014 sebesar Rp. 719,34 milyar.

Selain anggaran yang berasal dari anggaran pendapatan belanja nasional (APBN), dana perbankan maupun dana masyarakat lainnya juga tersedia untuk pengembangan perkebunan. Kredit yang tersedia berupa: (a) Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) untuk kelompok yang sudah bankable tetapi tidak

feasible kalau dengan bunga komersial. Bunga yang dibayarkan

petani hanya 7% dan sisanya disubsidi oleh pemerintah; (b) Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) untuk kelompok yang sudah bankable tetapi tidak

feasible kalau dengan bunga komersial. Bunga yang dibayarkan

petani hanya 7% untuk kelapa sawit dan kakao dan 6% untuk karet serta sisanya disubsidi oleh pemerintah; (c) Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk kelompok yang sudah feasible tetapi tidak

bankable. Bunga yang dibayarkan petani maksimum 22% untuk

kredit sampai dengan Rp. 5 juta dan maksimum 14% untuk kredit sampai dengan Rp. 500 juta. Persentase yang dijamin oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sebesar 70% dari nilai kredit dan (d) Kredit komersial yang diberikan kepada kelompok yang sudah feasible dan bankable.

Berdasarkan Surat Menteri Keuangan nomor S-5/MK.05/2015 tanggal 6 Januari 2015 perihal Pelaksanaan Kredit Program Skema Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit

51 Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) bahwa secara umum Kementerian Keuangan mendukung adanya program Revitalisasi Perkebunan, namun berdasarkan evaluasi pelaksanaannya, skema pembiayaan tersebut harus dilakukan penyempurnaan lebih lanjut sehingga penyaluran kredit KUPS dan KPEN-RP untuk sementara dihentikan per 1 Januari 2015, namun subsidi bunga atas kredit yang telah disalurkan tetap dibayarkan sampai batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Sedangkan program Revitalisasi Perkebunan tetap dilanjutkan dengan skema pembiayaan yang baru, untuk itu untuk mendorong percepatan penyelesaian skema pembiayaan yang baru seiring dengan skema kredit berpenjamin yang telah memperoleh komitmen bersama dari para Menteri terkait maka perlu disusun desain skema kredit baru melalui koordinasi lintas sektoral.

Direktorat Jenderal Perkebunan, kedepan akan menginisiasi kegiatan fasilitasi kredit program KUR perkebunan yang digagas Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar. Program KUR adalah kredit/ pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup. Penyalur KUR adalah bank atau lembaga keuangan bukan bank yang disetujui oleh Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial debitur KUR oleh Perusahaan Penjamin. Pertimbangan pelaksanaan kegiatan ini bahwa selama ini kredit program untuk sub sektor perkebunan memiliki karakteristik, mengingat umur tanaman dan masa mulai berproduksi pada umumnya merupakan tanaman perennial sehingga memerlukan biaya yang lebih besar

52 untuk pembangunan dan masa tenggang grace period, untuk memfasilitasi kebutuhan dimaksud maka pemerintah telah merancang Kredit Usaha Rakyat.

Pelaksanaan KUR bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas penyaluran KUR kepada usaha produktif; meningkatkan kapasitas daya saing usaha mikro, kecil dan menengah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Usulan fitur Pengembangan Perkebunan, suku bunga KUR Perkebunan sebesar 9% efektif per tahun atau disesuaikan dengan suku bunga flat yang setara. Komoditas yang dibiayai tanaman tahunan, tanaman semusim, tanaman rempah dan penyegar, tumpang sari dengan tanaman pangan dan integrasi dengan ternak, pengolahan pasca panen di tingkat petani. Debitur dan persyaratan debitur antara lain Petani, Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, dan Koperasi yang terdaftar di dalam SIKP (Sistem Informasi Kredit Petani) dan menyusun usulan kebutuhan kredit. Sehubungan dengan program kredit baru bagi perkebunan maka kendala dan masalah yang dihadapi pada masing-masing daerah nantinya juga sangat bervariasi sehingga upaya pemecahan masalah yang ditempuh juga akan bersifat spesifik, disamping tentunya ada kebijakan umum yang menjadi panduan dalam pelaksanaan program KUR perkebunan. Adapun ruang lingkup dalam pelaksanaan Fasilitasi Kredit Program KUR Perkebunan Tahun 2016 mencakup:

a. Penyusunan Permentan Pedoman Kredit Program KUR Perkebunan;

b. Pertemuan Sosialisasi Kredit Program KUR perkebunan dengan instansi terkait;

53 c. Pertemuan Koordinasi dan sosialisasi kredit program KUR di

16 Provinsi.

Dokumen terkait