• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman penggunaan kembali bahan bangunan dalam rekonstruksi pasca gempa

sakdadiné sejadinya

2. Metode penggunaan kembali bahan bangunan reruntuhan

5.5. Diskusi penelitian sejenis

5.5.3. Pemahaman penggunaan kembali bahan bangunan dalam rekonstruksi pasca gempa

Rakhman (2012) pada studi kasus gempa bumi Yogyakarta 2006: Pemberdayaan kearifan lokal sebagai modal masyarakat tangguh menghadapi bencana merumuskan bahwa korban gempa memiliki kemampuan mensikapi keadaan yang terjadi dengan tingkat pemahaman 3N, yaitu tingkatan niténi

(memperhatikan), niroaké (menirukan), dan nambahaké (menambahkan). Wujud penerapan konsep niténi terlihat dari kemampuan memperhatikan dan memahami fenomena yang terjadi, memetakan potensi material berdasarkan pengetahuan material bangunan yang dimiliki. Tingkat kemampuan reuse lebih berkembang pada niroaké dan nambahaké. Kemampuan merekam budaya membangun diterapkan kembali dengan disertai kemampuan melakukan adaptasi. Material lama diterapkan kembali dengan melakukan penyesuaian terhadap keadaan baru yang terjadi. (Diagram 5.15).

Diagram 5.15: Pemahaman melakukan rekonstruksi Sumber: disarikan dari Rakhman (2012)

Sedangkan dalam penelitian penggunaan kembali bahan bangunan reruntuhan dalam arsitektur tanpa arsitek pada pasca gempa di Bantul ini tingkat

169

pemahaman korban terjadi dalam empat tingkatan atau 4N. Korban gempa mampu melampaui proses lahirnya gagasan tidak hanya sebatas: niténi, niroaké, dan

nambahaké, tetapi lebih jauh mampu nemoaké (menemukan, menggagas) lahirnya karya kreatif menyikapi terbatasnya material. Disamping itu penelitian ini juga mengkoreksi Rakhman (2012) pada tataran nambahaké lebih dalam pada kemampuan meningkatkan kemampuan internal yaitu ngundhakaké. (Diagram 5.16)

Diagram 5.16: Pemahaman melakukan rekonstruksi dengan menggunakan kembali bahan bangunan reruntuhan

Sumber: peneliti 2016

Penyandingan dari Rakhman (2012) dengan temuan dari penelitian ini akan memperjelas tingkat pemahanan yang terjadi dalam rekonstruksi pasca gempa 2006. (Tabel 5.12).

Tabel 5.12. Pemahaman rekonstruksi pasca gempa

Rakhman (2012) Sunoko (2016)

Metodologi

Rekonstruksi pasca gempa 2006, fokus pada kasus bangunan tradisional joglo.

Rekonstruksi pasca gempa 2006, fokus pada penggunaan kembali bahan bangunan dan proses kemandirian dalam rekonstruksi hunian

Pemahaman dalanenggunaan bahan bangunan

Tiga tingkatan pemahaman yaitu niténi, niroaké, dan

nambahaké

Empat tingkatan pemahaman yaitu niténi, niroaké, ngundhakaké dan nemoaké Sumber: Rakhman (2012), peneliti

170

Dari pemaparan diatas maka kedudukan penelitian ini terhadap Rakhman ( 2012) adalah pada konteks yang sama yaitu rekonstruksi hunian pasca gempa 2006 di wilayah Yogyakarta, tetapi pada fokus unit amatan yang berbeda. Rakhman (2012) lebih fokus kepada jenis bangunannya yaitu unit amatan berupa bangunan joglo, sedangkan peneliti lebih fokus kepada proses kemandirian mewujudkan bangunan hunian pasca gempa. Dengan demikian maka secara metodologi kedua penelitian inipun memiliki perbedaan yang signifikan. Rakhman (2012) lebih dominan pada sumber data sekunder berupa data-data kajian terdahulu terkait bangunan joglo sebagai unit analisisnya, sedangkan penelitian ini lebih dominan pada data primer berupa pengamatan lapangan, wawancara dengan korban/responden dan narasumber di lapangan.

Sedangkan pada temuan tentang pemahaman dalam penggunaan bahan bangunan, penelitian ini menemukan empat tingkatan pemahaman, sedangkan Rakhman (2012) kemampuan korban gempa dalam memahani rekonstruksi hunian pada tiga tingkatan. Dalam penelitian penggunaan kembali (reuse) bahan bangunan reruntuhan pada arsitektur tanpa arsitek pasca gempa di Bantul ini, bahwa tingkatan pemahaman nemokaké menggambarkan tingkatan taksonomi yang lebih komprehensif. Nemokake mencerminkan kemampuan membuat terobosan baru dengan menggunakan material sakanané (seadanya) dengan teknik yang sederhana tetapi ide gagasan yang kreatif menjawab tantangan kebutuhan konstruksi. Kebutuhan akan konstruksi dengan dimensi yang lebih besar dan lebih panjang dibandingkan material yang tersedia. Kemampuan merangkai dan menyambung material merupakan kemampuan spesifik yang diperlukan pada tingkatan ini.

Pembacaan Rakhman (2012) tentang pemahaman rekonstruksi sangat terkait dengan diskusi sebelumnya tentang konsep partisipasi (Handayani, 2012) dan gotong royong (Setyonugroho, 2013). Tataran pemikiran lebih bersifat pasif-aktif, dimaknai korban akan mampu mendistribusikan pemikiran-pemahamannya bergantung pada peran arsitek-donatur dalam membuka diri menerimanya. Pembacaan konsep 3N (Rakhman, 2012) terhadap penelitian ini hanya akan menjangkau pada peran aktif korban menduplikasi atau merepro gagasan-gagasan disain yang telah ada,sedangkan temuan penelitian ini menjangkau lebih dalam

171

pada peran korban sebagai arsitek “pelaku desain konstruksi”. Tataran nemoaké

adalah tataran aktif-kreatif sebagai proses disain aplikatif menyelesaikan problem lapangan “problem solving

172

173

BAB 6 KESIMPULAN

Bab ini merupakan tahapan akhir dari penelitian penggunaan kembali bahan bangunan reruntuhan dalam arsitektur tanpa arsitek pada pasca gempa di Bantul yaitu tahap penyimpulan dari pemaparan fenomena empiris, pendalaman dan pemahaman fenomena yang telah dilakukan sebelumnya.

6.1. Temuan

Penelitian ini berada pada ranah arsitektur tanpa arsitek (arsitektur vernakular) pada lingkup rekonstruksi pasca gempa. Perbedaan terhadap penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya (gap knowledge”) adalah pada penggunaan kembali (reuse) bahan bangunan reruntuhan dan praktik rekonstruksi mandiri. Penelitian ini juga berada pada lingkup rekonstruksi pasca gempa. Temuan pengetahuan tentang rekonstruksi pasca gempa memposisikannya sebagai pengetahuan penanggulangan pada siklus bencana gempa, pada tataran praktis-teknis adalah pengetahuan rekonstruksi tetapi lebih luas adalah sebagai pengetahuan mitigasi siklus gempa

Teori, temuan, dan hasil penelitian arsitektur tanpa arsitek (arsitektur vernakular) yang telah ada sebelumnya lebih menegaskan peran bahan bangunan alami yang tersedia di alam, serta peran donatur-arsitek dalam proses maupun metode rekonstruksi pasca gempa (rekonstruksi formal). Sedangkan pada penelitian ini bahan bangunan alami terpahami sebagai bahan bangunan reruntuhan yang tersedia pada tabon (site) berupa artefak pasca gempa.

Bahan bangunan reruntuhan pasca gempa Bantul yang tersedia di tabon

dan digunakan kembali untuk mewujudkan hunian pasca gempa di dominasi oleh bahan bangunan kayu. Maka hal ini menunjukkan besarnya kontribusi bahan kayu dalam rekonstruksi yang dilakukan oleh korban. Konstruksi berbahan kayu memiliki fleksibilitas dan ketahanan yang memadai terhadap dampak gempa, dan keruntuhannya masih memberikan peluang untuk bisa digunakan kembali

174

Kemandirian berarsitektur tanpa peran arsitek menunjukkan aspek disain dan konstruksi merupakan satu kesatuan berfikir teknis-non teknis yang berjalan secara spontan dan simultan melebur dalam pengelolaan yang dilakukan oleh korban secara mandiri, terjadi secara spontan sebagai respon yang sangat mendesak akibat ketiadaan hunian pasca gempa, dan mencakup penjabaran secara serentak perencanaan, pengorganisasian kerja, penggerak dan control, sehingga korban merepresentasikan dirinya secara sekaligus sebagai perencana, konstruktor, dan pengawas.

Tahapan, metode, nilai filosofis dalam penggunaan kembali bahan bangunan reruntuhan menunjukkan kuatnya kemandirian berarsitektur tanpa arsitek serta kuatnya pemikiran lokal terhadap bahan bangunan reruntuhan dan rekonstruksi pasca gempa dalam hal mencermati artefak, melakukan inventarisasi, penggunaan bahan bangunan reruntuhan, dan pengelolaan rekonstruksi. Hal itu dapat dikerangkakan pada Gambar 6.1 sebagai berikut:

Gambar 6.1. Tahapan, metode, dan filosofi penggunaan kembali bahan bangunan reruntuhan pasca gempa

Sumber: analisa penulis

Tahapan penggunaan kembali bahan bangunan reruntuhan yaitu tahapan pencermatan artefak, tahapan inventarisasi reruntuhan, tahapan pelaksanaan rekonstruksi yaitu meliputi tahap penggunaan bahan bangunan reruntuhan dan

175

tahap pengelolaan rekonstruksi. Sedangkan metode meliputi kaidah dan cara (metode) yang digunakan korban dalam tiap-tiap tahapan tersebut, yaitu kaidah

wutuh-remuk (utuh-hancur) pada tahapan mencermati artefak, metode milah-milih pada tahapan inventarisasi. Kaidah ajeg-kukuh-longgar (tetap-kokoh-leluasa) pada tahap penggunaan bahan bangunan reruntuhan, serta metode 4N :

nitѐni-niroakeé-ngundhakaké, nemoaké (memperhatikan-menirukan-meningkat-kan-menemukan) pada tahapan pengelolaan rekonstruksi.

Nilai-nilai filosofis yang melandasinya adalah aji-migunani (berharga-berguna) pada tahapan pencermatan artefak, opѐn-gematѐn (perhatian-kasih sayang) pada tahapan inventarisasi reruntuhan, sakmadya-nrima ing pandum

(bersahaja-bersyukur) pada tahap penggunaan bahan bangunan reruntuhan, dan 3S: sakanané-sakisané-sakdadiné (seadanya-sebisanya-sejadinya) pada tahap pengelolaan rekonstruksi.

Kemampuan korban menghasilkan produk hunian pasca gempa merupakan upaya spontanitas kemandiriannya, sehingga produk “arsitektur tanpa

arsitek” yang dihasilkan walaupun hingga penelitian ini berakhir masih

digunakan, namun tetap merupakan hunian sementara, yang sewaktu-waktu akan diubah atau digantikan dengan bangunan yang lebih representatif berdasarkan pekembangan kehidupan korban di masa mendatang.