• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencermatan potensi bahan bangunan reruntuhan pada artefak pasca gempa

KAJIAN DAN DISKUSI

5.1. Pencermatan potensi bahan bangunan reruntuhan pada artefak pasca gempa

Lingkungan hunian pasca gempa menunjukkan pemandangan adanya bangunan hunian yang runtuh namun pepohonan masih dalam keadaan tegak, tidak terdampak gempa. Hasil eksplorasi dari keseluruhan obyek penelitian menunjukan adanya pemahaman yang sama terhadap status reruntuhan rumah. Pemahaman korban terhadap artefak adalah wujud remukan (runtuhan rumah) yaitu dinding dan atap rumah yang telah hancur-runtuh. Wujud bangunan rumah sebelum gempa tidak memberikan perbedaan penggambaran antar sesama bangunan yang telah runtuh, sebagaimana dalam ungkapan mereka:

padha ora duwé omahé, kabѐh lѐsѐh “

“sama-sama tidak memiliki rumah, semua (rumah) hancur”

Lѐsѐh, gambaran pasca gempa yang telah merubah status mereka yang semula duwé omah (memiliki rumah) menjadi ora duwé omah (tidak memiliki rumah). Kondisi tersebut menimbulkan beban psikologis yang berat, rumah sebagai simbol status sosial kondisinya telah luluh lantak, hal ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya walaupun mereka sering mendengarkan penggambaran itu lewal bait suluk wayang yang sering mereka dengarkan dari siaran rekaman pakeliran wayang di radio setempat.

“jan boten naté kepikir yén bakalé onten kedadéan lindu gonjang -ganjing, mangka mѐh nben bengi miringké suluké mbahTimbul kalian mbah Gito, bumi gonjang ganjing…

tidak pernah terpikir kalau nantinya akan terjadi kejadian lindu gonjang-ganjing (gempa besar), padahal hampir tiap malam mendengarkan wayang mbah (Dalang) Timbul dan Gito, bumi

gonjang ganjing……”

Sumber: wawancara dengan Pak Aji, 2013

Fenomena bencana alam gempa telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Bantul, dalam hal ini adalah gempa vulkanik akibat aktivitas gunung berapi Merapi yang intensitas getaran dan dampaknya tidaklah sebesar

101

gempa tektonik 2006. Nizam (2010) menyampaikan bahwa bencana alam terjadi ketika manusia berada pada tempat dan saat di mana bahaya alam tersebut terjadi. Bahaya alamnya sendiri kadang tidak membawa bencana, tetapi bangunan yang

seharusnya melindungi manusia justru bisa membawa bencana, “earthquake don‟t

kill people, building do”. Runtuhnya bangunan menjadi penyebab jatuhnya banyak korban jiwa. Hancurnya bangunan menjadikan tanda tingginya dampak gempa yang terjadi.

Gambaran keadaan hunian yang telah lѐsѐh bagi korban mengandung

berbagai makna. Latar budaya memahami hunian „omah‟ sebagai bandha (harta

benda), kekayaan bendawi sebagai sosok material dan kekayaan maknawi dengan nilai-nilai hidup dan kehidupan yang terkandung di dalamnya. Secara bendawi, rumah tersebut adalah tinggalan (warisan) dari orang tua bahkan dari leluhur

sebelumnya. Kagunan (kemanfaatan) telah dirasakan dengan tinggal didalamnya hingga saat terjadi gempa. Maka walaupun telah leseh, korban tetap berkeyakinan bahwa tinggalan tersebut akan tetap migunani (bermanfaat) bagi kehidupannya. Secara maknawi, rumah tersebut momot sejarah hidup baik dirinya sendiri, keluarga, bahkan sejarah hidup para leluhurnya. Riwayat-urip (kesejarahan) telah terukir dalam rumah tersebut hingga saat terjadi gempa. Maka walaupun telah

lѐsѐh, korban tetap memahami sebagai sesuatu yang aji (bernilai) bagi kehidupannya.

Walaupun belum tegel (tega) untuk bersanding kembali dengan artefak reruntuhan rumahnya, namun dorongan akan kondisi lingkungan dan budaya memahami omah menjadikan korban tergerak untuk segera mengidentifikasi keadaan artefak. Walaupun telah lѐsѐh namun mengandung kagunan dan aji yang tiada ternilai bagi korban. Korban mengidentifikasi artefak dengan melakukan pecermatan berdasarkan keadaan wutuh dan remuk. Korban mencermati bagian-bagian yang masih wutuh yaitu lantai dan podasi, dalam hal ini adalah representasi dari tapak bangunan sebelumnya. Tapak sebagai unit informasi yang secara akurat menginformasikan luasan bangunan sebelum gempa. Beberapa korban mengilustrasikan tapak rumahnya sebagai pengingat pada memori omah-jembar

(rumah luas) yang pernah dimilikinya. Korban juga mencermati bagian-bagian yang sudah remuk yaitu komponen dinding dan atap.

102

Korban melakukan pencermatan kondisi artefak dengan kaidah wutuh-remuk. Terminologi selengkapya adalah “wutuh opo remuk”. Korban menjumpai bagian dari rumahnya dalam keadaan wutuh (utuh) yaitu pondasi dan tapak bangunan, sedangkan komponen bangunan yang lainnya atap dan dinding dalam keadaan remuk (hancur).

Dengan kaidah wutuh-remuk korban mengidentifikasi jenis-jenis

remukan (reruntuhan), berbagai komponen bahan bangunan di artefak dengan berbagai jenis kerusakannya yaitu tugel (patah), slembrѐt (tersayat), uwal (lepas sambungan). Dominasi jenis remuk adalah pada komponen banon (tembok batu-bata) dalam keadaan batu-bata tugel, dengan kondisi sebagian besar menjadi puing-serpihan. Sedangkan slembrѐt dan uwal terjadi pada komponen bangunan yang lainnya dari jenis bahan bangunan kayu.

Kondisi diatas memberikan ilustrasi karakteristik bahan bangunan reruntuhan yang menunjukkan gambaran profil bangunan sebelum runtuh akibat gempa. Perpaduan bahan bangunan kayu sebagai konstruksi utama (struktur rangka) pada komponen kolom dan rangka atap, di kombinasikan dengan batu-bata sebagai struktur bidang pada komponen dinding. Jenis bahan bangunan dengan tingkat duktilitas yang berbeda, sehingga konstruksi batu-bata yang bersifat kaku dan mudah patah menjadi beban ekstra bagi konstruksi kayu yang relatif lebih elastik, sehingga memicu kerusakan slembrѐt dan uwal.

Maka serangkaian kegiatan yang di lakukan korban pada tahapan mencermati artefak dengan didorong oleh nilai filosofi aji-migunani dan menggunakan kaidah wutuh-remuk menghasilkan visualisasi artefak berupa

103

Gambar 5.2. Proses dan temuan identifikasi artefak pasca gempa. Sumber: analisis peneliti, 2016

Pembacaan artefak menunjukkan adanya reruntuhan sebagai potensi bahan bangunan. Dalam konsep reuse, Ervianto (2012) mengkategorikan potensi bahan berupa building, component, dan material. Bangunan lama (pra-keruntuhan) merupakan potensi awal dari sebuah perencanaan disain dengan mempotensikan atau menggunakan kembali bangunan lama tersebut, sehingga metoda/strategi disain akan mengarah pada rekomendasi renovasi atau demolisi.

Korban gempa Bantul dalam melakukan pembacaan terhadap artefak tidak sepenuhnya sejalan dengan Ervianto (2012). Dalam penelitian ini keruntuhan bukan merupakan rangkaian dari proses perencanaan, bukan merupakan skenario disain bangunan pasca gempa. Korban melakukan pembacaan artefak bukan dalam kerangka memahami building, karena bangunan lama telah hancur atau lѐsѐh. Proses awal dalam kerangka konsep reuse, korban melakukan identifikasi untuk memetakan keadaan component, dan material

(bahan bangunan), bukan untuk membuat rekomendasi disain. (Gambar 5.2) Selain itu kasus pasca gempa dalam kerangka kerja arsitektur selaras dengan Maharani (2013) bahwa kemandirian dalam berarsitektur ditandai adanya spontanitas untuk selalu mencoba selaras dengan lingkunganrnya. Kemandirian

Pembacaan artefak dengan melakukan pencermatan segala yang ada dalam artefak baik komponen maupun material, keadaannya masih wutuh (utuh) ataukah sudah remuk (hancur/rusak)

Pencermatan artefak berdasarkan kaidah

wutuh-remuk mengha-silkan visualisasi artefak berupa tabon dan remukan dilandasi oleh pemahaman filosofis aji-migunani

104

untuk menghadirkan karya arsitektur diawali dengan adanya respon terhadap keterbatasan. Korban gempa melakukan identifikasi artefak pasca gempa sebagai bentuk embrio kemandirian berarsitektur, responnya terhadap keterbatasan kondisi pasca gempa dengan melakukan pemetaan keadan komponen dan material bangunan yang telah lѐsѐh. Pembacaan artefak dengan melakukan pencermatan segala yang ada, baik komponen maupun material, keadaannya masih wutuh (utuh) ataukah sudah remuk (hancur/rusak).

Gambar 5.3. Bahan bangunan reruntuhan pasca gempa dalam konsep reuse dan kemandirian berarsitektur.

Sumber: analisis peneliti, 2016