• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemakaman Desa

Dalam dokumen UB Local Tripod 26 Maret 2011.compressed (Halaman 94-100)

Hammam Rofiqi Agustapraja, Agung Murti Nugroho, Lisa Dwi Wulandar

3. Pemakaman Desa

Secara Umum, pemakaman ini tidak ubahnya seperti pemakaman biasa hanya berupa tanah Luas, yang berisi makam yang berjajar, tetapi ketika hari-hari tertentu yaitu ketika hari upacara-upacara ritual di adakan, tempat ini menjadi ruang budaya-ruang bersama, dikarenakan pusat semua kegiatan bersekala Desa, puncaknya berada di tempat ini.

Biasanya mereka mengadakan, makan-makan dan ada acara hiburan disini (tayuban) disini, setiap keluarga mereka membuat “ruang” sendiri untuk berkumpul di makam keluarga mereka. karena menurut mereka, apabila mereka mendapatkan susah dan senang, mereka harus selalu ingat terhadap leluhur mereka (makam keluarga)

.

Gambar 1. Lokasi Kediaman kepala Desa Ngadas , dan Denah Rumah Kepala Desa Ngadas Sumber: Analisis pribadi 2010

Kaki Badan Kepala 1. Padanyangan 2. Sanggar Pemujaan 3. Pemakaman Desa 4. Pure 5. Balai Desa 6. Gedung Sekolah

Gambar 1. Zonasi wilayah Desa Ngadas berdasarkan adat. Sumber: Analisis Pribadi 2010

Pembentukan Ruang Budaya pada Upacara Karo sebagai Ritual Desa Ngadas

Upacara ini dilakukan selama 7 hari, dan dilaksanakan untuk selamatan Desa yang melibat seluruh Perangkat Desa dan masyarakatnya. Ruang yang terpakai pada saat penyelenggaraan Upacara ini adalah Rumah Kepala Desa, Jalan Desa dan Pemakaman Desa

Rumah Kepala Desa dipilih sebagai tempat penyelenggaraan dikarenakan masyarakat mempercayai bahwa sosok Kepala Desa adalah Pengayom dan pelindung Masyarakat, sehingga dengan diselenggarakan di Rumah Kepala Desa, sebagai wujud penghormatan. Segala bentuk kegiatan Upacara Karo ini merupakan bentuk partisipatorik masyarakat Desa, baik dari segi biaya, maupun tenaga. Dari segi biaya, untuk penyelenggaraan Upacara karo mereka di mintai iuran Desa sebesar Rp 75.000 untuk + 350 KK. Sedangkan untuk tenaga masak di dapur, keseluruhan menggunakan tenaga masyarakat desa.

Mengingat Upacara Karo ini berlangsung selam 7 hari, berikut adalah jadwal ritual beserta pembentukan ruang budaya yang terbentuk.

HARI 1

Pukul 18.00 WIB:

Hari pertama Upacara Karo diawali ketika matahari sudah terbenam, hal ini dikarenakan pergantian Hari Jawa itu dimulai ketika matahari terbenam. Acara yang berlangsung adalah Tari Sodoran, yaitu semacam acara tari tradisional yang diikuti oleh masyarakat Desa Ngadas dan hal ini berlangsung sampai terbitnya matahari, sedangkan Tempat yang digunakan adalah Pelataran Rumah Kepala Desa.

Tari Sodor adalah gerakan-gerakan simbolisasi asal mula (proses) terjadinya manusia yang divisualisasikan dengan gerakan yang sangat mempertimbangkan kesopanan. Tari Sodor dilakukan oleh para warga dari desa-desa suku Tengger yang ada di Gunung Bromo. Para penari menggunakan sodor (tongkat) yang pada klimaks tariannya akan memuntahkan biji-bijian yang disimbulkan sebagai kesuburan. Tari Sodor hanya dipentaskan dalam upacara tradisional perayaan Hari Raya Karo. Penarinya bisa berpasangan sesama laki-laki, tapi bisa juga dilakukan laki-laki dan perempuan.

Disamping digelar Acara Tari Sodor, sebagai pelengkap acara disediakan makanan dan minuman, hal tersebut boleh di makan oleh siapa saja mereka yang lapar, dan pemisah antara tempat Tari Sodor dan tempat makan hanya diberi sekat kain. Pengadaan makanan tersebut dilakukan oleh masyarakat Desa Karo, baik yang memasak maupun yang menyiapkan makanannya, dan ruang yang digunakan adalah dapur besar yang disediakan oleh Kepala Desa Ngadas.

KETERANGAN 1: tempat untuk gamelan

2 : tempat Tari Sodor berlangsung 3 : Tempat Undangan

4 : Ruang masyarakat desa yang menonton

1

2

3

4

Gambar 3. Letak Pemakaman Desa Ngadas Sumber : Analisis Pribadi 2010 Gambar 2. Sirkulasi Jalan Desa Ngadas,

Sumber: Analisi Pribadi 2010 Jalan umum (keluar desa) Jalan utama Desa

86

HARI 2

Pukul 09.00 WIB

Hari Kedua diawali ketika setiap Kepala Keluarga membawa bungkusan makanan yang dibungkus dengan daun pisang, bungkusan makanan tersebut terdiri dari nasi, jajanan pasar, dan pisang.

Pengumpulan makanan tersebut diletakkan pada teras Rumah Kepala Desa yang sebelumnya telah diberi terpal, dan berdasarkan urutan (absen) sehingga Keluarga yang belum dipanggil mereka mengantri di jalan.

Pukul 10.00 WIB

Setelah semua bungkusan terkumpul, kemudian di doakan dukun kira-kira selam 15 menit. Setelah semua terkumpul, bungkusan makanan tersebut diperebutkan untuk “mengalap” berkah.

Pukul 11.00 WIB

Setelah perebutan tersebut, dukun kemudian mendatangi setiap rumah, dari pintu ke pintu untuk mendoakan sesaji dan keselamatan keluarga mereka, dan ritual ini dihentikan ketika sore hari dan dilanjutkan ke-esokan harinya.

Gambar 5. Penggunaan Teras Rumah sebagai tempat Tari Sodor, dari kiri: Ruang Tayub, tempat untuk undangan, masyarakat desa yang menonton Sumber: Zulkarnaen 2008

1

2

KETERANGAN 1: Dapur umum

2 : tempat makan yang disediakan ketika tayuban

Gambar 6. Ruang Makan dan letak dapur umum Sumber: Analisi Pribadi 2010

Gambar 7. Dari kiri: Suasana Dapur umum untuk memasak ketika Tari Sodor berlangsung, “Ruang Makan” yang disediakan ketika Tayuban berlangsung

HARI 3 dan 4

Dukun menyelesaikan kunjungan ke rumah-rumah penduduk, yang terdiri dari kurang lebih 350 KK.

HARI 5 dan 6

Tidak ada ritual kusus, hanya setiap keluarga mengunjungi tetangga, sanak saudaranya, seperti ketika silaturahmi Idul Fitri bagi Muslim

HARI 7

Ini merupakan puncak dari kegiatan ritual Upacara Karo Masyarakat Desa Ngadas, atau yang disebut sebagai SADRANAN / NYADRAN

Pukul 09.00 WIB

Perangkat Desa Ngadas berkumpul di kediaman Kepala Desa, dan disini juga tempat berkumpulnya kesenian “Jaran Joget” sebagai salah satu instrumen ritual, yang merupakan budaya asli masayarakat Desa Ngadas.

Untuk masyarakat Desa Ngadas, mereka berduyun-duyun ke Pemakaman Desa sambil membawa makanan dan pakaina terbaik mereka, acara akan dimulai ketika “Jaran Joget” dan Perangkat Desa sudah memasuki Pemakaman Desa. Selama perjalanan “Jaran Joget” menunjukan aksinya di sepanjang jalan desa

Pukul 12.00 WIB

“Jaran Joget” dan Perangkat Desa sampai di Pemakaman Desa, dan menunjukan aksinya, dengan warga desa mempersiapkan makanan, mereka menempati ruang diatas makam orang tua/leluhur mereka masing-masing. Pukul 12.30 WIB

Adanya sambutan dari perangkat desa, kemudian Dukun Desa mendoakan untuk semua keselamatan dan keerkatan Desa, kemudian di sudahi dengan makan bersama, yang diiringi oleh “Tayuban” di panggung yang ada di

Gambar 11. Perebutan makanan, setelah makanan tersebtu didoakan Gambar 9. “Ruang antri” yang terbentuk

ketika masyarakat, menunggu giliran untuk mengumpulkan bungkusan

Gambar 10. Dukun memberikan do’a, ketika semua makan terkumpul di Teras Kepala

Desa Sumber: Zulkarnaen 2008

Gambar 8. Ruang yang terpakai dan terbentuk ketika ritual Tumpeng Agung berlangsung

Sumber : analisis Pribadi 2010

KETERANGAN

1: Tempat bungkusan makanan dikumpulkan 2 : posisi Dukun

3 : posisi perangkat desa dan tamu undangan 4 : Ruang yang terbentuk ketika masyarakat menunggu mengumpulkan makanannya.

1

2

4

barat

3

Gambar 12. Dukun mendoakan sesajinddari rumah ke rumah dan letak sesajin di tempatkan pada salah satu rumah warga Sumber: Zulkarnaen 2008

88

Setelah makan bersama selesai mereka pulang kerumah masing-masing

Kesimpulan

Pembentukan Ruang Budaya yang terjadi ketika Upacara Karo, berawal dari masyarakat yang masih memegang pada aturan adat-budaya yang berlaku di Desa Ngadas, yang kemudian masyarakat tersebut menyesuaikan diri dengan tempat yang ada, dan kemudian tebentuklah sebuah ruang budaya untuk melakukan Ritual Upacara Karo. Jadi peran Adat setempat dalam pembentukan ruang, menjadi sebuah patokan.

Ucapan Terima kasih

Alhamdulillah, puji sukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kelancaran kegiatan penelitian ini, Begitu pula terima kasih kami ucapkan terhadap Agung Murti Nugroho ST., MT., Ph.D., Dr. Lisa Dwi Wulandari ST., MT. atas bimbingan dan masukan yang sangat berharga, serta teman-teman seangkatan yang mendukung penelitian ini, tak lupa juga buat warga Desa Ngadas dan Bapak Kartono selaku Kepala Desa Ngadas, yang telah memberikan informasi dan bantuan untuk penelitian ini, dan pihak Universitas Brawijaya terutama Arsitektur, atas terselenggaranya acara Seminar Nasional ini.

Daftar Pustaka

---. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Lang, Jon.(1987). Creating Architectural Theory: Van Nostand Reinhold, New York

Robinson, Julia w. (2006). Institutional space, domestic space and revisting territoriality with space syntax, university of minnesota. www.undertow.arch.gatech

Sugiarti, Atik. (2006). Perubahan fungsi ruang-dalam rumah industri kecil ‘tas’ di Tanggulangin, Sidoarjo, seminar proposal, Malang:jurusan Arsitektur fakultas teknik Universitas Brawijaya, (tidak dipublikasikan)

Adinugroho, Singgih (2003). Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Bentuk dan Tata Ruang Masjid Makam Menara Kudus. Tesis. Semarang Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro

Gambar 13. Ruang yang digunakan pada Upacara Karo di desa Ngadas Sumber : Analisis Pribadi 2010

Gambar 14. Ruang yang digunakan untuk panggung (kuning) dan ruang untuk masyarakat desa (merah)

Sumber: Analisis Pribadi 2010

Gambar 16. Masyarakat yang sudah menunggu diatas nisan leluhur mereka

Sumber: Zulkarnaen 2008

Gambar 15. Jaran Joget melewati jalan Desa Gambar 17. Suasana di Pemakaman Desa

Taufik, Mohamad. (1996). Implikasi dan pengaruh sosial budaya terhadap bentuk tatanan lingkungan permukiman tradisional kawasan menara kudus. Tesis. Semarang Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro

90

MAKNA LOKAL RUMAH TINGGAL BERGAYA JENGKI DI KOTA

Dalam dokumen UB Local Tripod 26 Maret 2011.compressed (Halaman 94-100)