• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wasiska Iyati 1 , Putri Herlia Pramitasari 2

Dalam dokumen UB Local Tripod 26 Maret 2011.compressed (Halaman 150-158)

PENGARUH DESAIN ARSITEKTUR VERNAKULAR KAMPUNG NAGA

TERHADAP KULTUR SOSIAL MASYARAKATNYA

Wasiska Iyati

1

, Putri Herlia Pramitasari

2

1

Magister Arsitektur , Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 Telp 022 2504962

Email: wasiska_0510650070@yahoo.com

2

Magister Arsitektur , Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 Telp 022 2504962

Email: putri_herlia@yahoo.com

Abstrak

Kampung Naga, sebuah desa di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, cukup populer akan keberlanjutan adat istiadat dan kultur sosialnya. Keberlanjutan sistem di desa ini dapat dilihat dari jumlah penduduk dan luas area yang tidak meningkat secara signifikan, sikap selektif dalam merespon teknologi baru, serta keberlanjutan konsep arsitekturnya. Bila ditinjau dari fisik bangunannya, rumah tinggal di Kampung Naga mengalami perkembangan pada jenis, jumlah dan luasan bukaan. Hal ini dapat kita lihat pada luasan bukaan yang semakin besar dan penambahan lubang pencahayaan pada atap bangunan. Beberapa aktivitas masyarakat di siang hari yang biasa dilakukan di golodog, kini juga dilakukan di dalam bangunan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan desain bukaan pada rumah tinggal di Kampung Naga sehubungan dengan kenyamanan visual dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, serta keterkaitannya dengan aktivitas yang dilakukan di siang hari. Observasi lapangan dan studi literatur menunjukkan bahwa desain bangunan yang terbentuk secara vernakular di Kampung Naga turut berperan dalam membentuk kultur sosial masyarakatnya. Peningkatan kenyamanan visual dalam bangunan ternyata tidak mengurangi aktivitas dan interaksi pada ruang sosial a ntar bangunan. Di sisi lain, perkembangan desain bukaan terjadi karena faktor peningkatan kebutuhan, yakni penambahan sekat dan luas masing-masing bangunan yang diikuti dengan peningkatan kepadatan massa bangunan.

Kata kunci:arsitektur vernakular; desain bukaan; Kampung Naga; kultur sosial; rumah tinggal Pendahuluan

Arsitektur vernakular di Indonesia terdiri dari karya-karya bangunan tradisional yang hadir dalam beragam bentuk lokal dari masing-masing daerah (Indonesian Heritage, 1998), merupakan kekayaan arsitektur Indonesia yang patut dilestarikan. Desain vernakular sendiri merupakan penyesuaian model dengan lebih banyak perubahan individu dibandingkan dengan desain primitif, sesuai dengan tapak dan iklim mikro, memiliki ekspresi terbatas dan berkualitas aditif (Tunggadewi, 2004). Karya-karya yang terbentuk secara vernakular merupakan tradisi yang masih dilakukan masyarakat daerah dalam berarsitektur. Tidak hanya melanjutkan tradisi arsitektural, sebagian besar daerah di Indonesia masih menjaga dan menjunjung tinggi tradisi adat istiadat dan kebudayaan setempat.

Kampung Naga, sebuah desa di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, cukup populer akan kekentalan adat istiadat dan sistem sosialnya yang masih terjaga dengan baik hingga saat ini. Pantangan yang merupakan ketentuan hukum tidak tertulis masih mereka junjung tinggi dan patuhi. Misalnya pada ketentuan membangun rumah, bentuk, letak, arah hadap rumah dan sebagainya (Rif’ati dan Sucipto, 2002). Selain keberlanjutan konsep arsitektur tersebut, keberlanjutan sistem kultur sosial masyarakat di desa ini juga dapat kita lihat dari jumlah penduduk dan luas area kampung yang tidak mengalami perkembangan secara signifikan, serta sistem seleksi dalam merespon teknologi baru yang masuk. Hal tersebut merupakan suatu hasil dari keteguhan pribadi-pribadi masyarakat Kampung Naga untuk menjaga tradisi nenek moyang, di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Perkembangan arsitektur vernakular yang terbentuk pada kawasan Kampung Naga hingga saat ini merupakan salah satu contoh upaya adaptasi terhadap perkembangan zaman, salah satunya pada sistem pencahayaan alami bangunannya. Hingga saat ini masyarakat masih mengandalkan minyak tanah sebagai sumber energi untuk penerangan di malam hari, di tengah-tengah pemerataan energi listrik yang makin meluas dan penawaran instalasi sistem sel surya, serta mengoptimalkan cahaya alami di siang hari. Sikap selektif untuk membatasi teknologi baru yang masuk tersebut tetap dilakukan untuk mencegah terjadinya kesenjangan sosial dan menjaga nilai-nilai kebudayaan setempat.

Bila ditinjau dari segi fisik bangunannya, rumah tinggal di Kampung Naga mengalami perkembangan dalam hal desain bukaan pada fasade bangunannya. Hal ini dapat kita lihat dari penambahan luas bukaan, jenis bukaan, dan lubang pencahayaan pada beberapa bagian atap bangunan. Dari segi aktivitas masyarakatnya di siang hari, nampak dalam kesehariannya para warga yang sedang mengrajin di golodog, tangga rumah yang berfungsi sebagai penghubung lantai dengan tanah (Muanas, et. al. 1984). Kondisi tata letak rumah yang rapat dan akses pencahayaan alami yang minim mengindikasikan bahwa kualitas pencahayaan dalam ruang di siang hari kurang optimal untuk melakukan aktivitas yang membutuhkan ketelitian. Hal ini mengindikasikan bahwa para warga sengaja melakukan pekerjaan tersebut di golodog agar dapat saling berinteraksi dengan warga lainnya untuk menjaga keakraban sosial di antara mereka, sehingga ruang dan pencahayaan alami di dalam bangunan rumah tinggal tidak begitu penting untuk mengakomodir aktivitas di siang hari.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan desain bukaan pada bangunan rumah tinggal di Kampung Naga sehubungan dengan kenyamanan visual di dalam ruang dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, serta keterkaitannya dengan aktivitas yang dilakukan warga di siang hari. Studi ini dilakukan melalui observasi lapangan dan studi literatur, serta analisis perkembangan desain bukaan pada rumah tinggal dan desain ruang sosial di Kampung Naga dari segi fisik bangunan sehubungan dengan aktivitas warga di siang hari. Hasil menunjukkan bahwa desain bangunan yang terbentuk secara vernakular di Kampung Naga seperti desain selubung, penyediaan ruang interaksi antar hunian dan penataan massa bangunan turut berperan dalam membentuk kultur sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, kebiasaan aktivitas warga yang melakukan pekerjaan rumah di luar bangunan sambil berinteraksi dengan warga sekitar terbentuk oleh desain arsitektur vernakular Kampung Naga yang konon sudah ada sejak abad ke-16 dan hingga kini masih terjaga dengan baik. Perkembangan desain bukaan pada bangunan rumah tinggal di Kampung Naga dari waktu ke waktu terjadi karena faktor peningkatan kebutuhan dan kenyamanan visual di dalam bangunan. Hal ini disebabkan oleh penambahan sekat dan luas ruang yang diikuti peningkatan kepadatan massa bangunan, perkembangan aktivitas masyarakat di siang hari, serta pengaruh masuknya teknologi baru. Di sisi lain, pemanfaatan ruang sosial yang terletak di antara bangunan rumah tinggal tetap terjaga sekalipun terjadi peningkatan kualitas pencahayaan alami dalam bangunan oleh penambahan bukaan, serta perkembangan jenis aktivitas dalam bangunan di siang hari.

Kajian Pustaka

Persepsi dalam perancangan

Menurut Rapoport dalam Haryadi dan B. Setiawan (1995) persepsi lingkungan merupakan hal yang sangat penting, sehingga keputusan atau pilihan dalam suatu perancangan akan ditentukan oleh persepsi lingkungan perancang. Setiap orang atau kelompok masyarakat juga akan mempunyai persepsi yang berbeda tentang lingkungan yang baik, begitu pula dalam menentukan standar minimal lingkungannya. Setiap manusia juga memiliki peta mental yang berbeda terhadap suatu lingkungan yang sama. Pada permukiman kecil, dimungkinkan masyarakatnya memiliki peta mental yang serupa, sebab secara kolektif masyarakat tersebut memiliki interaksi dan pengalaman yang relatif sama terhadap lingkungannya (Haryadi dan B. Setiawan, 1995). Keserupaan peta mental dan persepsi yang dimiliki suatu komunitas kecil merupakan salah satu latar belakang yang mendominasi terbentuknya kultur arsitektur dalam lingkungan permukiman. Begitu pula dengan kultur arsitektur permukiman tradisional di Indonesia yang memiliki ciri lokalitas daerah dan menjunjung tinggi adanya keberlanjutan dalam bermukim dan berarsitektur.

Tata ruang dan pola permukiman tradisional Jawa Barat

Desain dan tata ruang yang terbentuk pada permukiman tradisional di Indonesia pada umumnya memiliki perancangan fisik yang sangat erat dengan adat dan kebiasaan masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena setiap perancangan fisik ruang memiliki variabel independen yang mempengaruhi perilaku penggunanya (Haryadi dan B. Setiawan, 1995). Permukiman di tanah Sunda sendiri pada umumnya memperlihatkan pola dengan penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu kampung dengan tanah pertanian berada di luar batas kampung, serta terdiri dari rumah-rumah yang terletak berhimpitan dengan dua deret rumah saling berhadapan (Muanas, et al, 1984). Kepadatan massa bangunan yang terbentuk secara vernakular pada permukiman tradisional di Jawa Barat tersebut memiliki tujuan tersendiri untuk menjaga hubungan sosial masyarakatnya. Seperti dikatakan Loo (1977) dalam Haryadi dan B. Setiawan (1995), meskipun secara fisik kepadatan suatu tata ruang sangatlah tinggi, secara situasional hubungan antar individu-individu di dalamnya terjadi secara lebih intim dan saling mengenal satu sama lain.

Desain bukaan dalam arsitektur tradisional Jawa Barat

Elemen jendela pada bangunan tradisional Jawa Barat yang disebut dengan jendela jalosi yang pada umumnya terbuat dari papan-papan kayu ini memiliki fungsi untuk mengatur pertukaran udara dari dalam keluar bangunan dan sebaliknya (Muanas, et al., 1984). Pada karya-karya arsitektur tradisional Jawa Barat, tidak semua rumah tinggal memiliki jendela pada selubung bangunannya. Pada rumah-rumah kuno di masa lampau, jendela

142

memperlihatkan bahwa fungsi utama bukaan pada bangunan tradisional Jawa Barat di masa lampau pada umumnya adalah sekedar sebagai sistem penghawaan alami bangunan.

Aktivitas masyarakat tradisional Jawa Barat

Mata pencaharian pokok masyarakat Sunda pada umumnya adalah bertani. Selain bertani di sawah, masyarakat Sunda juga bercocok tanam di ladang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Seusai panen, mereka juga melakukan kegiatan sampingan seperti membuat kerajinan tangan yang dikerjakan di rumah. Hal ini menyebabkan Jawa Barat menjadi populer sebagai tempat pembuatan berbagai jenis kerajinan tangan, baik yang dibuat dari kayu, bambu, rotan, tanah, batu dan sebagainya (Muanas, et al., 1984). Hal tersebut salah satunya dapat kita jumpai pada masyarakat di Kampung Naga, dimana masyarakat menempatkan padi sebagai dasar kemakmuran dan mempertahankan jenis padi warisan leluhur yang diolah secara tradisional. Di samping itu pada waktu senggang mereka juga menambah penghasilan dengan membuat barang-barang kerajinan dari bambu (Padma, et al., 2001).

Metode Penelitian

Menurut Haryadi dan B. Setiawan (1995), pendekatan ekologis dan fungsional yang dilakukan selama ini pada umumnya mengesampingkan aspek sosio-kultural, sehingga dibutuhkan proses pendekatan yang lebih untuk dapat menyentuh aspek tersebut. Di sisi lain, pendekatan perilaku menekankan keterkaitan yang dialektik antara ruang dengan manusia dan masyarakat yang memanfaatkan atau menghuni suatu ruang. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan perilaku dapat berperan secara lebih menyeluruh dalam mengungkap suatu permasalahan yang berkaitan dengan ruang dan aktivitas sosial di dalamnya. Studi ini dilakukan melalui observasi lapangan dan studi literatur untuk mengetahui perkembangan desain fisik ruang, yakni desain bukaan rumah tinggal berikut desain ruang sosial yang terbentuk pada permukiman di Kampung Naga, serta bagaimana desain ruang sosial tersebut dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Observasi dilakukan dengan wawancara, dokumentasi dan pengamatan lapangan untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan desain fisik ruang dan aktivitas sosial masyarakat, ditinjau dengan studi literatur. Studi ini dibatasai pada faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desain bukaan pada bangunan rumah tinggal di Kampung Naga dalam kurun pertengahan abad ke-20 hingga saat ini.

Studi kasus

Studi ini berfokus pada objek desain arsitektur vernakular di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat yang memiliki keunikan tradisi yang terjaga dengan baik hingga saat ini. Kampung Naga yang merupakan salah satu permukiman adat di Jawa Barat ini terdiri dari 110 rumah tinggal, sebuah balai pertemuan, masjid, lumbung padi, area kolam, pekarangan dan persawahan di atas lahan seluas 1,5 hektar. Permukiman di Kampung Naga yang berada pada tanah berkontur ini tersusun dengan densitas massa bangunan yang berbeda dan membentuk pola yang natural di atas aturan keseragaman bentuk dan orientasi bangunannya. Area permukiman di desa ini didominasi dengan kepadatan bangunan yang cukup tinggi dengan pola berjajar dan berhadapan satu sama lain. Bangunan rumah tinggal di kampung ini secara fisik mengalami perkembangan baik dari segi ukuran, desain tata ruang dalam, hingga desain selubung bangunannya. Bangunan rumah tinggal di kampung ini mengalami peralihan konsep rumah berpintu satu menjadi rumah berpintu dua sejak sekitar tahun 1970an. Saat ini bangunan rumah tinggal berpintu satu hanya tersisa empat buah saja, bahkan di masa yang akan datang jumlahnya dapat berkurang lagi. Ditinjau dari segi aktivitasnya, di samping kegiatan adat dan peribadatannya, aktivitas masyarakat Kampung Naga secara umum dapat digambarkan dengan mata pencaharian pokok bertani dan membuat kerajinan tangan sebagai pekerjaan di waktu luang. Aktivitas-aktivitas tersebutlah yang memaknai ruang-ruang pada kawasan Kampung Naga yang terbentuk secara vernakular.

Hasil dan Pembahasan

Perkembangan desain bukaan rumah tinggal Kampung Naga: adaptasi dalam keberlanjutan arsitektur

Secara umum, konsep arsitektur di Kampung Naga masih mewakili ciri-ciri arsitektur tradisional Jawa Barat. Begitu pula dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya yang bermata pencaharian sebagai petani dan pengrajin. Akan tetapi, Kampung Naga memiliki ciri khas pada konsep keberlanjutan arsitektur dan kultur sosial masyarakatnya. Upaya mempertahankan aturan-aturan keseragaman bentuk dan orientasi bangunan di desa ini merupakan salah satu hal yang menjaga konsep keberlanjutan tersebut.

Pada dasarnya bangunan rumah tinggal yang konon sudah ada sejak abad ke-16 ini merupakan bangunan rumah berpintu satu dengan luas bangunan yang lebih kecil, fungsi ruang terintegrasi, memiliki bukaan-bukaan tunggal pada satu sampai dua bidang fasadenya, serta memiliki jarak yang berjauhan antara satu bangunan dengan bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut berjajar dan saling berhadapan dengan orientasi utara-selatan, dan orientasi memanjang ke arah timur-barat. Pada masa awal terbentuknya hingga sebelum terjadi peralihan konsep rumah tinggal berpintu dua, jumlah bangunan masih sedikit dengan kepadatan massa bangunan yang rendah. Menurut Tunggadewi (2004), dari perkembagan kampung diketahui bahwa pada tahun 1930an letak rumah masih berjauhan, di dalam rumah hanya terdapat pawon dan goah, sedangkan kamar belum berupa ruangan yang terpisah

Kebutuhan privasi

Penambahan sekat-sekat ruang

Peningkatan kepadatan bangunan

Perolehan pencahayaan alami berkurang

Masuknya teknologi kaca Penambahan luas dan jumlah bukaan

dan penggunaan skylight

Penambahan luas bangunan

dan tidak lebih penting daripada pawon dan goah. Hal ini dikarenakan bahwa makna utama rumah pada saat itu adalah sebagai tempat mengolah makanan yang merupakan sumber kehidupan.

Setelah pada sekitar tahun 1956 dibumi hanguskan, kampung ini kemudian mengalami perkembangan, khususnya dalam hal arsitektur bangunan dan kawasannya. Bangunan-bangunan berpintu satu dengan ukuran yang relatif kecil yakni sekitar 4 m x 6 m hingga 5 m x 7,5 m ini kemudian berkembang menjadi bangunan berpintu dua dengan luas rumah yang lebih besar, yakni dengan ukuran sekitar 6 m x 8 m hingga 7 m x 10 m.Dengan posisi dan konsep tata letak bangunan yang tetap berjajar dan saling berhadapan, kepadatan bangunan semakin meningkat akibat perluasan masing-masing bangunan yang berpintu dua ini. Hal ini terjadi karena tidak ada pakem yang membatasi luas bangunan. Dengan kata lain, bangunan rumah tinggal diperbolehkan bertambah jumlahnya maupun luasnya selama lahan masih tersedia dan tidak melanggar aturan keseragaman bentuk dan orientasi bangunan.

Perluasan bangunan atau peralihan rumah berpintu satu menjadi rumah berpintu dua yang mengalami peningkatan di era 1970an ini diawali dengan kebutuhan privasi penghuni bangunan, di saat jumlah anggota keluarga semakin meningkat dan bertambahnya tamu-tamu yang berdatangan ke kampung ini. Rumah tinggal yang awalnya hanya terdiri dari sepen/pangkeng (ruang tidur), pawon (dapur), goah (tempat menyimpan padi), tengah imah (ruang tengah), golodog (tangga/transisi rumah dengan tanah), dibangun kembali dengan penambahan sekat- sekat ruang yang membagi area privat dan semi publik, ditandai dengan penambahan ruang tepas yang berfungsi sebagai ruang tamu. Di sisi lain pada masa lampau rumah berpintu satu tetap bertahan dengan jumlah anggota keluarga masing-masing yang seluruh aktivitas di dalam rumahnya dilakukan dalam ruang yang terintegrasi. Hal ini diindikasikan karena aktivitas bertani di pagi hingga siang hari banyak dilakukan di luar rumah, sehingga rumah tinggal lebih berfungsi sebagai tempat mengolah makanan, berkumpul dan beristirahat sepulang bekerja.

Bagan 1. Faktor yang mempengaruhi perkembangan desain bukaan pencahayaan rumah tinggal Kampung Naga. Perluasan bangunan yang berdampak pada peningkatan kepadatan bangunan di kawasan Kampung Naga ini memberikan pengaruh terhadap perolehan pencahayaan alami dalam bangunan di siang hari. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya perkembangan desain selubung bangunan, yakni dalam hal penambahan jumlah, luas dan jenis bukaan. Bukaan yang dulunya hanya berfungsi hanya sekedar sebagai sistem penghawaan alami, kini juga dipertimbangkan sebagai elemen yang mampu memasukkan cahaya matahari ke dalam bangunan, di tengah-tengah sekat-sekat ruang baru dan kepadatan massa bangunan yang mengurangi akses pencahayaan alami. Pada kawasan ini, terdapat beberapa area massa bangunan rumah tinggal yang memiliki densitas tinggi sehingga ruang di dalam bangunan hanya mendapatkan cahaya matahari dari pantulan cahaya di lorong antar massa banguanan. Untuk itu para warga menambahkan bukaan-bukaan baru seperti jendela dan skylight pada ruang-ruang yang dinggap memerlukan cahaya alami lebih di siang hari, terlebih lagi setelah kehadiran teknologi kaca pada kawasan ini.

144

Gambar 5. Denah tipikal rumah berpintu satu dan dua: penambahan sekat ruang (Sumber: Survai lapangan 2011).

Gambar 6. Jendela pada rumah berpintu satu: bentuk cenderung persegi, jumlah tunggal, terdiri dari daun jendela panil kayu dan jalusi kayu pada lubangnya (Sumber: Survai lapangan 2011).

Gambar 7. Jendela pada rumah berpintu dua: bentuk cenderung persegi panjang, jumlah lebih dari satu, didominasi oleh kaca (Sumber: Survai lapangan 2011).

Keterangan: 1. Golodog 2. Pawon 3. Goah 4. Tepas 5. Tengah imah 6. Pangkeng 1 1 1 2 & 5 2 & 5 2 3 3 3 4 4 5 6 6 6 6

Gambar 2. Layout kepadatan massa bangunan 2004 (Sumber: Tim UI dalam Tunggadewi, 2004)

pagar

Gambar 3. Potongan tipikal kepadatan antar bangunan arah utara-selatan: ruang antara pada fasade depan bangunan memiliki akses cahaya matahari lebih baik daripada bagian

belakang bangunan (Sumber: Survai lapangan 2011).

Gambar 4. Potongan tipikal kepadatan antar bangunan arah timur-barat: terdapat perbedaan perolehan cahaya matahari

akibat penyesuaian letak bangunan terhadap kontur (Sumber: Survai lapangan 2011).

Teknologi kaca masuk ke kawasan ini sekitar tahun 1960an dan dianggap sebagai teknologi yang tidak merugikan, sehingga dapat diterima dengan baik untuk mengatasi permasalahan keterbatasan akses pencahayaan alami pada bangunan-bangunan di kawasan ini. Tidak hanya penambahan bukaan pencahayaan berupa jendela, nampak pada bagian atap-atap rumah tinggal di Kampung Naga yang ditambahkan skylight atau semacam lubang pencahayaan kecil. Lubang pencahayaan pada bagian atap ini dilakukan dengan melubangi material penutup atap, yakni lapisan tepus dan ijuk, kemudian menyelipkan selembar kaca untuk menerangi ruang di bawahnya. Ruang yang diterangi oleh lubang pencahayaan pada atap ini umumnya adalah ruang dapur yang memiliki kualitas pencahayaan rendah.

Gambar 8. Penambahan skylight pada atap-atap bangunan rumah tinggal (Sumber: Survai lapangan 2011). Tabel 1. Karakteristik rumah berpintu satu dan dua dalam konteks perkembangan desain bukaan

Karakteristik Rumah berpintu satu Rumah berpintu dua

Ukuran rumah

Relatif kecil, sekitar 4 m x 6 m hingga 5 m x 7,5 m

Bertambah luas dengan penambahan sekat- sekat ruang baru, sekitar 6 m x 8 m hingga 7 m x 10 m

Kepadatan massa bangunan

Relatif rendah dengan jumlah massa bangunan yang lebih sedikit

Meningkat dengan bertambahnya jumlah rumah tinggal dan luas masing-masing bangunan yang dibangun kembali Pintu

Jumlah Berjumlah satu Berjumlah dua

Material

Kayu dengan anyaman sasag. Kayu dengan anyaman sasag.

Kombinasi panil kayu dan anyaman sasag. Panil kayu.

Jendela

Jumlah Berjumlah satu sampai dua pada satu sampai dua sisi fasade bangunan.

Lebih dari dua, bahkan sampai berjajar tujuh dalam dua sisi fasade.

Karakteristik dan Material

Daun jendela kayu dengan penutup anyaman sasag tanpa jalusi pada lubang jendela.

Daun jendela kayu dengan penutup anyaman sasag tanpa jalusi pada lubang jendela. Daun jendela kayu dengan penutup

anyaman sasag dan jalusi kayu pada lubang jendela.

Daun jendela kayu dengan penutup anyaman sasag dan jalusi kayu pada lubang jendela. Daun jendela panil kayu, tanpa jalusi dan kaca pada lubang jendela.

Daun jendela panil kayu dan jalusi pada lubang jendela.

Daun jendela panil kayu dan bidang kaca pada lubang jendela.

Daun jendela kayu dan kaca tanpa jalusi pada lubang jendela.

Jendela kaca mati dengan kusen kayu. Proporsi Didominasi oleh perbandingan

ukuran mendekati 1:1 dan 3:4

Didominasi oleh ukuran perbandingan mendekati 2:3 dan 1:3.

Lubang

angin Posisi

Atap bangunan Atap bangunan

Bagian atas jendela (terintegrasi) Bagian atas pintu (terintegrasi) Dinding bangunan

Skylight Tidak ada Ada, pada bagian atap bangunan dengan

material kaca. (Sumber: Survai lapangan 2011)

146

Perkembangan desain bukaan yang merupakan dampak dari perkembangan desain ruang dan tata massa bangunan serta pengaruh teknologi menunjukkan adanya peralihan fungsi utama bukaan yang juga dioptimalkan untuk pencahayaan alami. Berbeda dengan konsep bukaan pada rumah tradisional Jawa Barat pada masa lampau yang lebih berfungsi untuk pertukaran udara alami dengan dimensi yang lebih kecil dan jumlah yang sedikit.

Peran desain arsitektur vernakular terhadap kultur sosial masyarakat Kampung Naga

Pada dasarnya rumah tinggal tradisional di Jawa Barat pada zaman dulu dihuni selepas pulang bertani di

Dalam dokumen UB Local Tripod 26 Maret 2011.compressed (Halaman 150-158)