DAFTAR LAMPIRAN
2.5. Pati Resisten
2.5.2. Pemanasan Suhu Tinggi dan Pendinginan ( Autoclaving-cooling )
Modifikasi pati untuk menghasilkan pati resisten adalah dengan proses
auto-claving-cooling. Proses autoclaving-cooling dilakukan pada suhu tinggi di atas suhu gelatinisasinya. Suspensi pati bersifat tidak larut dalam air dan mudah
meng-endap sesaat sebelum dan selama proses autoclaving. Pengendapan pati selama
autoclaving tidak dikehendaki, karena dapat menyebabkan proses gelatinisasi pati tidak seragam di seluruh bagian suspensi pati. Adanya pemanasan awal sebelum
proses autoclaving diharapkan dapat menghasilkan pasta pati yang lebih
homo-gen. Penelitian sebelumnya tidak ada yang menjelaskan kondisi suhu dan waktu
pemanasan awal sebelum proses autoclaving. Oleh karena itu, dalam penelitian
ini perlu dilakukan tahapan penentuan kondisi pemanasan awal suspensi pati
sebelum proses autoclaving.
Proses pemanasan pada suhu tinggi di dalam otoklaf (autoclaving)
menye-babkan suspensi pati mengalami gelatinisasi. Pada saat gelatinisasi pati, sifat
bire-fringence granula pati hilang akibat penambahan air secara berlebih dan pema-nasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (ireversibel) (Belitz dan Grosch 1999). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, selama pemanasan suspensi pati di atas suhu gelatinisasinya menyebabkan terjadinya pemutusan (disosiasi) ikatan
35
hidrogen dari struktur double helix amilopektin, pelelehan (melting) bagian
kris-talit dan pelepasan amilosa dari granulanya (amylose leaching) (Tester dan Debon
2000; Waigh et al. 2000).
Proses autoclaving-cooling secara berulang dapat menyebabkan semakin
banyaknya pembentukan fraksi amilosa teretrogradasi atau terkristalisasi. Fraksi amilosa yang berikatan dengan fraksi amilosa lainnya melalui ikatan hidrogen
membentuk struktur double helix. Struktur double helix berikatan dengan struktur
double helix lainnya membentuk kristalit sehingga terjadi rekristalisasi fraksi ami-losa yang dikenal dengan proses pembentukan RS3. Rekristalisasi amiami-losa ini
ter-jadi selama proses pendinginan (cooling) (Gambar 16) (Haralampu 2000).
Gambar 16. Mekanisme pembentukan RS3 dari rekristalisasi amilosa
akibat proses autoclaving-cooling (Haralampu 2000)
Modifikasi fisik pati melalui proses pemanasan suhu tinggi dan pendinginan dapat meningkatkan kadar pati resisten. Proses pemanasan suhu tinggi, misalnya dengan proses pemanasan dalam otoklaf, mengakibatkan pati tergelatinisasi secara
sempurna. Proses penyimpanan suhu rendah dari pasta pati yang dihasilkan akan
mempercepat terjadinya retrogradasi pati (Liu 2005). Menurut Sajilata et al.
(2006), faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan RS3 adalah nisbah
pati dan air atau konsentrasi pati, suhu autoclaving, jumlah siklus
autoclaving-cooling, nisbah amilosa dan amilopektin, panjang rantai amilosa, hidrolisis asam
(lintnerisasi) dan debranching amilopektin.
Salah satu teknik untuk meningkatkan kadar RS3 adalah dengan
menggu-nakan siklus autoclaving-cooling. Metode modifikasi pati ini telah dilaporkan
oleh banyak peneliti, seperti Edmonton dan Saskatoon (1998); Mahadevamma et
36 Prinsipnya, pati disuspensikan dahulu dalam air dengan nisbah penambahan air tertentu (1:3,5 hingga 1:5). Suspensi pati tersebut kemudian dipanaskan dengan menggunakan otoklaf yang mengakibatkan pati tergelatinisasi secara sempurna dan keluarnya fraksi amilosa dari granula pati. Selanjutnya pasta pati didinginkan yang dapat menyebabkan fraksi amilosa mengalami retrogradasi. Kadar RS3
dapat ditingkatkan dengan perlakuan autoclaving-cooling secara berulang.
Sajilata et al. (2006) melaporkan bahwa proses autoclaving-cooling pada
pati gandum dapat meningkatkan kadar pati resisten menjadi sembilan kali lipat
dari pati gandum alami (9,0%). Jumlah siklus autoclaving-cooling juga
mempe-ngaruhi kadar pati resisten yang dihasilkan, misalnya pati gandum yang diproses
dengan tiga kali siklus autoclaving-cooling meningkat kadar RS3-nya menjadi
7,8% bila dibandingkan hanya satu kali siklus (6,2%). Demikian juga pati resisten dari biji barley meningkat kandungan RS3-nya dari 6% menjadi 26% setelah
melewati 20 kali siklus autoclaving-cooling (Szczodrak dan Pomeranz 1991).
Jumlah air yang ditambahkan dalam suspensi pati akan mempengaruhi
kon-sentrasi pati dan berpengaruh dalam proses autoclaving-cooling. Hal ini karena
nisbah pati dan air sangat mempengaruhi proses ekspansi matriks pati dan gelati-nisasi granula (Raja dan Shindu 2000). Jumlah air yang terlalu sedikit kurang menggangu struktur heliks amilosa pada gelatinisasi siklus selanjutnya sehingga
jumlah amilosa yang keluar dari granula tidak optimum (Sajilata et al. 2006). Hal
ini mengakibatkan jumlah amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin yang beraso-siasi pada saat retrogradasi lebih sedikit sehingga kadar pati resistennya pun men-jadi lebih rendah.
Proses autoclaving-cooling yang berulang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan penyusunan amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin dan katan pembentukan kristalin yang lebih sempurna yang berakibat pada
pening-katan kadar RS3 (Leong et al. 2007). Faktor lain yang berpengaruh terhadap
pembentukan RS3 melalui proses autoclaving-cooling adalah konsentrasi pati dan
suhu otoklaf, yaitu pembentukan RS3 yang paling optimum berlangsung bila konsentrasi suspensi pati dalam air sebesar 20% (b/b) dengan suhu otoklaf sebesar
37
Pembentukan RS3 dengan metode autoclaving-cooling dipengaruhi oleh
konsentrasi suspensi pati. Beberapa laporan menyebutkan bahwa konsentrasi sus-pensi pati yang optimum untuk pembentukan RS3 adalah 20% (b/b) (Vasanthan
dan Bhatty 1998; Lehmann et al. 2002; Lehmann et al. 2003). Konsentrasi
suspensi pati yang lebih kecil atau lebih besar dari 20% (b/b) menghasilkan kadar RS3 yang cenderung menurun. Proses gelatinisasi granula pati juga sangat dipengaruhi oleh nisbah pati dan air. Penambahan air yang terlalu sedikit ke dalam suspensi pati menyebabkan jumlah amilosa yang keluar dari granula tidak optimum (Raja dan Shindu 2000). Hal ini dapat mengurangi kadar pati resisten yang terbentuk yang disebabkan oleh menurunnya peluang terjadinya reasosiasi
amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin (Sajilata et al. 2006).
Pemilihan siklus autoclaving-cooling tersebut juga telah dilakukan oleh
Zhao dan Lin (2009) pada pati jagung. Kadar RS3 hasil modifikasi pati jagung meningkat dari 4,10% (1 siklus) menjadi 11,2% (6 siklus), sedangkan untuk 3 siklus sebesar 8,5%, hanya naik sekitar 2,7% dari 6 siklus. Peneliti lain telah
melaporkan bahwa siklus autoclaving-cooling sebanyak 3 kali dapat
meningkat-kan kadar RS3, yaitu dari pati gandum meningkat dari 6,2% menjadi 7,8%
(Bjorck et al. 1987), pati barley 3,8% menjadi 7,0% (Vasanthan dan Bhatty 1998),
dan pati pisang dari 1,51% menjadi 16,02% (Aparicio-Saguilan et al. 2005).
Peningkatan siklus menjadi 5 kali pada pati gandum dapat meningkatkan kadar
RS3 sampai 11,5% (Ranhotra et al. 1991). Eerlingen dan Delcour (1995)
mela-porkan siklus autoclaving-cooling hingga 20 kali yang dapat meningkatkan
jumlah RS3 lebih dari 40% pada sampel pati jagung tinggi amilosa (kadar amilosa 70%).