• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanenan dan Penjualan Kayu Hutan Rakyat

C. Pola Campuran (Polikultur)

4.1.3. Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat

4.1.3.3 Pemanenan dan Penjualan Kayu Hutan Rakyat

Sistem pemanenan di Kabupaten Ciamis terdapat 2 macam, yaitu sistem kubikasi dan sistem borongan. Perbedaan kedua sistem tersebut yaitu untuk sistem kubikasi, penjual (petani/pemilik lahan) melakukan pemanenan sendiri dengan menebang dan memotong dalam bentuk log kayu, sehingga ketika dijual kepada pembeli (pedagang) sudah dalam bentuk setengah jadi dan dijual dalam satuan volume atau kubikasi. Sedangkan jika petani melakukan penjualan dengan sistem borongan, maka pemanenan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli.

Sebagian besar petani di Kabupaten Ciamis masih melakukan penjualan dengan sistem borongan, walau dengan keuntungan lebih rendah. Salah satu yang menjadi alasannya karena petani masih belum memahami proses pengelolaan pemanenan dengan baik. Selain alasan tersebut, banyak pemilik lahan atau petani yang tidak mau repot untuk melakukan pemanenan sendiri. Hutan rakyat bagi mereka masih merupakan pendapatan sampingan, sehingga tidak mau mengorbankan waktu banyak untuk kegiatan ini.

Ukuran minimal diameter pohon yang laku dijual di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Gunungkidul hampir sama, yaitu minimal 10 cm, baik untuk jenis jati, mahoni, maupun sengon. Walaupun petani menjual dengan sistem borongan, maka pedagang di lapangan akan memilih ukuran diameter di atas atau sama dengan ukuran minimal tersebut. Pemanenan dilakukan dengan tebang pilih dan tidak dilakukan tebang habis. Tawar menawar harga dilakukan berdasarkan harga dari pohon-pohon berdiri yang layak jual dan dugaan besar volume atau kubikasi yang akan ditebang oleh pedagang. Perhitungan ini ada kemungkinan kurang tepat dan umumnya di bawah harga pasar sehingga merugikan petani.

Sistem “ijon” walaupun sangat jarang tetapi masih ditemui di lapangan terutama pada lokasi yang memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Dengan sistem ini petani menerima uang di muka dengan harga tegakan pada saat itu, tetapi tegakannya tidak bisa dipanen sampai masa waktu tertentu yang telah disepakati pembeli dan penjual.

Sebagian petani telah mengetahui “harga pasar”. Hak tawar ini terjadi karena banyaknya pedagang yang beredar di kalangan petani, sehingga tidak ada monopoli pedagang di tingkat rendah. Informasi tentang adanya petani yang ingin

menjual kayu umumnya cepat beredar di kalangan pedagang ranting, sehingga seorang petani mendapat tawaran harga lebih dari satu pedagang. Persaingan harga antar pedagang ranting akan terjadi. Petani akan memilih pedagang yang memberi harga tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi monopoli antar petani dengan pedagang. Kelemahan posisi petani masih nampak terjadi jika lokasi lahan hutan rakyat berada jauh dari jalan. Petani kesulitan dalam memperhitungkan besarnya biaya eksploitasi, sehingga pedagang dapat mempermainkan harga dalam menilai harga tegakan yang akan dipanen. Harga antara tegakan yang berada di pinggir jalan dengan yang jauh dari jalan sangat jauh berbeda.

Perdagangan kayu rakyat memiliki rantai pemasaran yang panjang (Gambar 22). Dari petani sampai ke pabrik bisa melalui sampai 5 (lima) tahapan. Ketika petani ingin menjual kayunya, maka tahapan pertama adalah berhubungan dengan pedagang tingkat ranting yang kadang disebut dengan tengkulak. Pedagang ranting ini jumlahnya banyak sehingga persaingan antar mereka sering terjadi dalam memperebutkan pembelian kayu di petani. Petani akan menjual kepada pembeli yang menawarkan harga yang lebih tinggi.

Gambar 22 Aliran perdagangan kayu rakyat dari petani sampai konsumen lokal dan pabrik

Perantara (Broker)

- Penampung (Pedagang Besar/

Supplier) - Toko Material - Industri Mebel Petani Pedagang

Ranting

Industri Besar

Peng-gergajian Lokal Konsumen

Lokal

Pedagang ranting merupakan perpanjangan tangan dari pengusaha penggergajian tingkat lokal. Setiap pengusaha penggergajian menempatkan beberapa pedagang ranting di beberapa wilayah desa. Pedagang ranting ini diberi modal untuk melakukan pembelian kayu, sehingga ada keterikatan antara pedagang ranting dengan pengusaha penggergajian. Kemudian setiap pengusaha penggergajian menjual kayu-kayu hasil olahannya kepada penampung (pedagang besar), yang memiliki hubungan langsung dengan pihak pabrik. Penampung ini biasanya ada di kota yang relatif besar seperti Bandung, Banjar, Pangandaran dan kota lainnya di Kabupaten Ciamis. Hasil wawancara terhadap beberapa pihak pedagang dan industri penggergajian menunjukkan bahwa pihak pabrik tidak langsung membayar tunai, maka bisa terjadi bahan baku ditampung pada pihak perantara (broker) sebelum masuk pabrik. Di pihak perantara kayu dapat dibayar langsung secara tunai sehingga perputaran modal tidak terhambat. Jalur panjang ini umumnya terjadi untuk bahan baku ekspor seperti palet, yang saat sekarang sangat diminati yang berasal dari kayu rakyat. Sedangkan untuk furnitur atau kebutuhan lokal, jalur pemasaran lebih singkat yaitu dari industri penggergajian langsung ke konsumen.

Berdasarkan peraturan mengenai pejualan kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Ciamis, kayu yang akan dibawa ke luar wilayah Ciamis harus disertai dengan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAUK) yang dikeluarkan oleh pihak aparat desa. Selain SKAUK, kayu juga harus dibuatkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) dari Dinas Kehutanan setempat. Peraturan yang berbeda terjadi di Kabupaten Gunungkidul (Gambar 23). Pemilik kayu jika akan melakukan penebangan di wilayah lahan miliknya harus mengurus Surat Izin Tebang (SIT) yang dikeluarkan oleh pihak aparat desa. Setelah ditebang, untuk pengangkutan petani harus membuat SKSKB (Surat Keterangan Sah Kayu Bulat) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan (DISHUTBUN) setempat.

Pengamatan di dua lokasi Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul, hampir tidak ada petani yang melakukan sendiri pengurusan surat-surat izin tersebut. Semua pengurusan diserahkan kepada pedagang yang membeli kayu. Umumnya surat izin dibuat oleh pedagang sekaligus untuk beberapa tebangan di beberapa lokasi agar

efisien dengan mengatasnamakan salah satu petani yang tebangannya terbanyak.

Sampai saat ini, petani merasa tidak perlu untuk melaksanakan sendiri pengurusan tersebut. Harga kayu yang ditawarkan oleh pedagang ranting cukup memuaskan mereka, jika dibandingkan dengan pengorbanan waktu yang telah dilakukan untuk pengelolaan hutan rakyat. Menurut petani, pengelolaan hutan rakyat merupakan usaha sampingan yang tidak memerlukan banyak intensitas waktu.

a. Proses SIT b. Proses SKSKB

Gambar 23 Contoh alur ideal perizinan penebangan kayu di Kabupaten Gunungkidul (Sumber : Dishutbun, 2005).

Dokumen terkait