• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unit Pengelolaan Hutan Rakyat

1.6. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

2.1.5. Unit Pengelolaan Hutan Rakyat

Menurut Awang et al. (2002), pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat sering dipandang banyak pihak sebagai sesuatu yang tidak perlu. Pandangan seperti ini tercipta ketika orang berfikir bahwa hutan rakyat itu dikelola dengan skala tidak ekonomis, luasannya kecil dan tidak menguntungkan. Jika dibandingkan dengan unit pengelolaan hutan milik negara dan swasta, maka luasan hutan rakyat tidak berarti. Kendati hutan rakyat tidak dalam skala ekonomi tetapi hutan rakyat dengan segala komoditasnya telah secara signifikan membantu kebutuhan pemiliknya, baik untuk tambahan pendapatan, bahan obat-obatan, sumber pangan, sumber pakan ternak, sebagai tabungan untuk pendidikan anak dan sumber bahan bangunan perumahan dan meubeler.

Menurut Hardjanto et al. (1987), untuk tujuan pengelolaan maka terdapat beberapa unsur kesatuan pengelolaan yang harus terpenuhi untuk mencapai prinsip kelestarian hasil dan kelestarian usaha. Unsur-unsur yang dimaksud, yaitu:

1). Azas kekekalan suplai

Menurut azas ini, luas yang ditebang sama dengan luas yang ditanam. Hal ini dapat diartikan persediaan kayu ada sepanjang waktu dengan jumlah yang dipanen sesuai dengan riap pohon bersangkutan.

2). Azas kekekalan pengusahaan

Kekekalan pengusahaan dapat berupa cara menggunakan investasi seefisien mungkin agar didapat suatu keuntungan dengan masa pengambilan yang relatif singkat. Dalam pengusahaan kayu rakyat, faktor luasan (optimum) menjadi penting, oleh karena akan menjadi pembatas dalam perhitungan finansial. Disamping itu, perlu ditetapkan suatu jangka waktu tertentu antara penanaman dan penebangan, atau penanaman dan penanaman berikutnya atau dalam bidang kehutanan disebut daur.

3). Kesatuan organisasi pelaksanaan pekerjaan.

Pembentukan organisasi terlebih dahulu harus melihat lingkup kegiatan yang ditangani, dan menentukan kemampuan petugas yang akan ditempatkan atau mengukur volume pekerjaan setiap bagian tugas yang harus dikerjakan oleh setiap anggota organisasi. Permasalahan yang timbul adalah jenis pekerjaan apa yang dapat memberikan ukuran yang jelas ke dalam luasan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Pekerjaan ini akan merupakan dasar bagi organisasi pelaksanaan pekerjaan. Pekerjaan tersebut berupa penyuluhan kepada petani yang mencakup seluruh kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat.

4). Kesatuan organisasi pengusahaan terkecil.

Dalam ilmu manajemen dikenal adanya hukum jenjang pengawasan (span of control). Hukum ini mengatakan bahwa apabila seorang petugas atau organisasi dari tingkat organisasi bawahan mempunyai wewenang untuk mengadakan interprestasi tentang perintah yang diterima dari atasannya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, maka perbandingan antara yang mengawasi dan yang diawasi menurut pengalaman adalah 1: 4-6. Oleh karena tenaga penyuluh merupakan tenaga yang mempunyai wewenang mengadakan interpretasi, maka perbandingan antara pimpinan penyuluh dan penyuluh mengikuti aturan tersebut. Jika kemampuan seorang tenaga penyuluh adalah satu desa dalam melaksanakan penyuluhan, maka satu kesatuan organisasi pembinaan lebih kurang 4-6 desa.

Rentang pengawasan adalah jumlah terbanyak bawahan langsung yang dapat dipimpin dengan baik oleh seorang atasan tertentu. Jumlah pejabat bawahan bagi seorang pejabat atasan dapat banyak apabila pekerjaan yang dilakukan oleh para pejabat bawahan itu termasuk pekerjaan yang tidak memerlukan waktu lama untuk penyelesaiannya. Sebaliknya apabila untuk tiap-tiap pekerjaan yang harus dikerjakan oleh para pejabat bawahan itu selalu memakan waktu lama sehingga pejabat atasan harus selalu mengawasi atau membimbing beberapa kali maka sebaiknya jumlah yang dipimpin oleh pejabat atasan sebaiknya sedikit saja. Menurut Sutarto (1984) dari beberapa pendapat

tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rentangan kontrol adalah terbatas dimana jumlah angka pedomannya adalah :

a. Untuk satuan utama jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar 3 sampai dengan 10 orang.

b. Untuk satuan lanjutan jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar antara 10 sampai dengan 20 orang.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi jenjang pengawasan (span of control) adalah :

1). Kesamaan fungsi.

2). Kedekatan geografis.

3). Tingkat pengawasan langsung yang dibutuhkan.

4). Tingkat koordinasi pengawasan yang dibutuhkan.

5). Perencanaan yang dibutuhkan.

6). Bantuan organisasional yang tersedia bagi pengawas.

Lastini (2005) melakukan pengelompokan hutan rakyat dengan berbagai peubah dimana menghasilkan peubah kepadatan penduduk dan jarak ke kota besar terdekat merupakan peubah dominan yang menghasilkan dugaan potensi hutan rakyat lebih baik dibanding dengan peubah lainnya.

Awang (2006), mencoba pelakukan pendekatan kebutuhan terbentuknya unit manajemen hutan rakyat berdasarkan kebutuhan DAS terhadap keberadaan hutan, dimana hutan rakyat merupakan salah satu pendukung yang sangat berarti.

Terdapat dua pemikiran pokok yang mendasari terbentuknya unit manajemen hutan rakyat (UMHR), yaitu :

1). Penguatan kelompok-kelompok pengelola hutan rakyat.

2). Penataan kawasan unit manajemen hutan rakyat.

Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah membuat Pedoman LEI 99-41 sampai LEI 99-46 mengenai Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Didalam pedoman tersebut telah disusun tipologi Unit Manajemen berdasarkan aspek ekologi, sosial, dan produksi. Unit manajemen yang terbentuk yaitu sekelompok masyarakat, dimana kelompok ini bisa berupa kumpulan rumah tangga petani yang masing-masing mandiri namun membangun kesepakatan khusus menyangkut aturan-aturan produksi bersama untuk menjamin

kelestarian pengelolaan hutan. Dari segi fisik satu unit manajemen adalah kumpulan lahan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), seperti hutan rakyat yang berada atau sebagian besarnya berada dalam satu hamparan yang relatif kompak. Di Desa Selapuro Wonogiri, unit manajemen berupa komunitas petani dalam satu dusun yang terdiri dari 682 keluarga dan luas hutan 262.77 ha (terletak di lahan pekarangan 96.22 ha, dan tegalan 166.55 ha). Sedangkan di Desa Sumberejo Wonogiri unit manajemen terdiri dari 958 keluarga petani dengan luas hutan 526.19 ha (terletak di lahan pekarangan 166.22 ha, dan tegalan 359.97 ha).

Tabel 1 Beberapa contoh unit pengelolaan pada hutan rakyat

Nama Unit Pengelolaan Luas/Jumlah orang Desa Sumberejo dan Desa

Selopuro (Wonogiri)

809,95 ha (2 desa : Desa Sumberejo 958 kk dan Desa Selopuro 682 kk) Koperasi Wana Manunggal

1179 ha (4 desa : Ngrejo, Karangmojo, Jatingarang, dan Alasombo)

Sedangkan Forest Stewardship Council (FSC) menciptakan istilah Hutan-hutan yang dikelola dengan Intensitas Rendah dan Berskala Kecil (Small and Low Intensity Managed Forest – SLIMF). Hutan-hutan berukuran kecil (hutan tanaman dan non hutan tanaman) ditetapkan sebagai area yang luasnya kurang dari 1000 ha (dengan kemungkinan pengurangan hutan dari ukuran rata-rata nasional). Pada hutan-hutan yang dikelola dengan intensitas rendah, nilai tebangan harus dibawah 20% dari nilai rata-rata kenaikan tambahan (riap) tahunan dari seluruh produksi unit pengelolaan di kawasan hutan tersebut. Total tebangan setahun dari kawasan hutan tadi tidak lebih dari 5000 m3. Pengelompokan

sertifikasi dimungkinkan menurut kebijakan SLIMF, sepanjang seluruh anggota kelompok merupakan Hutan Kecil atau Hutan-Hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah.

Berdasarkan data tahun 2008 telah ada 6 (lima) unit manajemen hutan rakyat yang telah diberikan sertifikasi dari beberapa lembaga sertifikasi seperti : Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) dan SmartWood yang berpedoman pada skema FSC (Tabel 1). Luasan setiap unit pengelolaan beragam antara 159 ha sampai yang paling luas berkisar 2434 ha, dengan kesatuannya berdasarkan kumpulan kelompok petani dan koperasi.

Dokumen terkait