• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat pemanfaatan sumberdaya udang di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2006 baru mencapai 4,70% (600 ton). Menurut Azis (1989) diacu oleh Muksin (2006), tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu pertama; tingkat pemanfaatan lebih kecil atau sama dengan 65% dikategorikan dalam pemanfaatan under exploited, kedua; tingkat pemanfaatan lebih besar dari 65% dan lebih kecil dari 100% dikategorikan dalam pemanfaatan yang optimal dan ketiga; tingkat pemanfaatan sama dengan atau

lebih besar dari 100% dikategorikan dalam pemanfaatan over fishing. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka tingkat pemanfaatan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan termasuk dalam kategori pemanfaatan under exploited yaitu sebesar 4,70%.

Kondisi tingkat pemanfaatan yang masih under exploited membuka peluang nelayan untuk lebih mengintensifkan kegiatan penangkapan udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan. Dari pengamatan di lapangan, kendala utama yang menyebabkan rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya udang antara lain alat tangkap dan armada yang digunakan masih sederhana dan rantai pemasaran yang belum tertata dengan baik yang ditunjukkan adanya kondisi pasar masih sederhana, selain itu kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung tingginya nilai jual hasil tangkapan. Hal ini sangat disayangkan karena hasil tangkapan udang yang melimpah seharusnya dapat ditampung dan dikelola dengan semestinya tetapi karena belum ada sarana seperti pabrik es maka hasil tangkapan menjadi berkurang mutunya.

5.3 Prospek Pengembangan Perikanan Udang Penaeid

5.3.1 Usaha penangkapan udang penaeid

Usaha penangkapan udang penaeid yang dilakukan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan menggunakan alat tangkap trammel net dengan armada perahu ketinting, perahu jolor, perahu johnson dan pkp, jika ditinjau secara ekonomi dapat dijelaskan dengan melihat pendapatan usaha, R/C ratio , Break event point (BEP), Return of investment (ROI) dan Payback period (PP) nya. Di bawah ini dijelaskan masing-masing hasil analisa usaha yang telah dilakukan.

a. Pendapatan usaha

Pendapatan yang diterima oleh nelayan trammel net dengan masing- masing armada yang digunakan adalah perahu ketinting sebesar Rp 29.045.833, perahu jolor sebesar Rp 98.106.500 , perahu johnson Rp 126.279.071 dan kapal pkp sebesar Rp 70.135.571. Dilihat dari pendapatan usaha, maka perahu johnson merupakan armada yang paling besar memperoleh pendapatan. Namun pada kenyataannya, nelayan yang menggunakan perahu ketinting lebih menguntungkan dibandingkan jenis-jenis armada lainnya, hal ini dikarenakan perahu ketinting

dioperasikan oleh nelayan yang lebih sedikit (1-2 orang) sehingga dalam pembagian hasil nelayan mendapat porsi yang besar bahkan bagi nelayan yang beroperasi seorang diri maka hasilnya akan lebih besar, juga karena jarak operasi penangkapan yang dekat sehingga resiko keselamatan lebih terjamin dan trip penangkapan yang lebih banyak.

Secara umum pendapatan dari semua jenis armada penangkapan yang digunakan di Kabupaten Sorong Selatan cukup besar, namun apabila ditunjang dengan optimasi unit penangkapan dengan melihat besarnya potensi udang di Kabupaten Sorong Selatan, maka pendapatan yang diterima dengan unit penangkapan trammel net ini akan semakin besar pula.

b. R/C ratio

R/C ratio dari hasil perhitungan didapatkan bahwa R/C ratio pada semua jenis armada yang menggunakan alat tangkap trammel net di Kabupaten Sorong Selatan yang dilakukan selama tahun 2006 memperoleh keuntungan. Hal ini dikarenakan R/C ratio yang didapatkan seluruhnya lebih besar dari 1. Berdasarkan nilai R/C ratio, maka dapat dikatakan bahwa usaha penangkapan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan dengan menggunakan alat tangkap trammel net layak untuk dilanjutkan karena merupakan usaha yang menguntungkan.

c. Break event point (BEP)

Analisa break event point yang dilakukan pada usaha penangkapan trammel net dengan menggunakan perahu ketinting sebesar Rp 7.054.500 untuk nilai produksi dan sebesar 176,363 kg untuk volume produksi. Hal ini mengandung arti bahwa nelayan tidak mengalami untung atau rugi jika total penerimaan yang diperoleh sebesar Rp. 7.054.500 atau 176,363 kg volume produksi yang dihasilkan pertahunnya.

d. Return of investment (ROI)

Nilai ROI yang didapat pada hasil analisa ini adalah sebesar 1,799 untuk trammel net dengan menggunakan perahu ketinting. Nilai tersebut mengandung arti bahwa setiap rupiah investasi yang ditanamkan akan diperoleh keuntungan sebesar Rp. 1,799. Nilai ROI untuk jenis trammel net lainnya adalah 3,991 untuk jolor, 0,935 untuk pkp dan 1,518 untuk johnson. Armada penangkapan jolor dan

ketinting mempunyai nilai ROI yang tinggi dibandingkan dengan armada penangkapan johnson dan pkp. Sehingga armada penangkapan ketinting dan jolor lebih layak diusahakan dan mempunyai peluang untuk dikembangkan dibandingkan dengan armada penangkapan johnson dan pkp

e. Payback period (PP)

Payback period ini digunakan untuk melihat perkiraan waktu yang dibutuhkan dalam pengembalian modal investasi yang telah ditanamkan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan payback period (PP) alat tangkap trammel net dengan menggunakan perahu ketinting adalah selama 0,926 tahun atau kurang lebih 11 bulan 27 hari. Angka tersebut mengandung arti bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian seluruh biaya investasi yang telah dikeluarkan adalah selama 11 bulan 27 hari. Payback period untuk armada lainnya adalah 0,630 untuk jolor, 2,673 untuk pkp dan 1,647 untuk johnson.

5.3.2 Pendapatan nelayan

Pendapatan yang diperoleh oleh nelayan di Kabupaten Sorong Selatan pada usaha penangkapan udang penaeid dengan alat tangkap trammel net tergantung dari jumlah hasil tangkapan dan sistem bagi hasil yang dilakukan. Jumlah hasil tangkapan udang yang cukup besar adalah pada musim timur yaitu pada bulan Juni – September. Sistem bagi hasil untuk armada penangkapan jolor, johnson dan pkp yaitu sebesar 40 % untuk pemilik dan 60 % untuk ABK. Besarnya persentase ABK dalam sistem bagi hasil armada penangkapan jolor, johnson dan pkp karena jumlah ABK pada armada tersebut lebih banyak atau lebih dari satu orang. Untuk armada penangkapan ketinting, sistem bagi hasil nelayan pada umumnya sebesar 60 % untuk pemilik kapal dan 40 % untuk ABK. Namun pada kenyataan di lapangan, sistem bagi hasil sangat sedikit dilakukan oleh nelayan dengan armada ketinting dikarenakan nelayan ketinting di Kabupaten Sorong Selatan dalam melakukan proses penangkapannya umumnya berjumlah satu orang dan merupakan pemilik alat tangkap.

Pendapatan rata-rata nelayan trammel net armada penangkapan ketinting per bulan di Kabupaten Sorong Selatan adalah sebesar Rp 1.452.292 untuk nelayan pemilik dan sebesar Rp 968.194 untuk ABK atau nelayan pengikut.

Namun dikarenakan sistem bagi hasil jarang dilakukan akibat dari pengoperasian alat tangkap trammel net armada penangkapan ketinting umumnya dilakukan oleh satu orang dan berstatus sebagai pemilik, maka dapat dikatakan pendapatan rata- rata per bulan nelayan trammel net armada penangkapan ketinting di Kabupaten Sorong Selatan adalah sebesar Rp 2.420.486. Sedangkan untuk armada penangkapan lainnya yaitu jolor Rp. 3.233.994 (pemilik) dan Rp. 1.616.997

(ABK), johnson Rp. 4.209.302 (pemilik) dan Rp. 901.993 (ABK), pkp Rp. 2.337.852 (pemilik) dan Rp. 701.355 (ABK).

Surat Keputusan Gubernur Propinsi Papua no. 222 tahun 2007 tanggal 05- 12-2007 menetapkan bahwa upah minimum propinsi (UMP) Papua adalah sebesar Rp 1.105.500. Berdasarkan hal tersebut, maka pendapatan per bulan nelayan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan cukup besar karena umumnya berada di atas UMP Papua. Meskipun pendapatan yang cukup besar, keadaan ekonomi keluarga nelayan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan pada umumnya dapat dikategorikan kurang. Kategori tersebut diukur dari kondisi kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan dan papan yang serba kekurangan (BPS Propinsi Papua Barat, 2007) yang didapat berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan nelayan. Besarnya pendapatan yang tidak diimbangi dengan baiknya kesejahteraan rumah tangga dikarenakan dua faktor utama yang dimiliki oleh nelayan, yaitu (1) kemampuan yang lemah dalam mengelola keuangan, (2) pola hidup yang kurang hemat.

Berdasarkan pengamatan di lapangan besarnya pendapatan rata-rata per bulan yang tidak diimbangi dengan kesejahteraan rumah tangga nelayan, maka dibutuhkan suatu pendekatan dari pemerintah berupa pembinaan terhadap nelayan antara lain dengan pembinaan manajemen keuangan keluarga dan kerjasama antar pelaku perikanan misalnya pemberian modal usaha oleh pengusaha perikanan kepada nelayan di Kabupaten Sorong Selatan.

5.4 Strategi Pengembangan Perikanan Udang Penaeid

Strategi pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan diutamakan pada optimasi produksi dan unit penangkapan udang, dan pengembangan perikanan udang penaeid pada level-level yang berkaitan dengan

strategi tersebut. Dalam mencapai optimasi produksi dapat dilakukan dengan penambahan atau pengurangan pada faktor/variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi. Optimasi unit penangkapan dapat dilakukan dengan penambahan atau pengurangan armada penangkapan. Armada penangkapan yang mempunyai hasil tangkapan tinggi dan memenuhi kriteria kelayakan usaha berpeluang untuk dilakukan penambahan yang sesuai dengan daya dukung sumberdaya udang yang ada. Sehingga didapatkan usaha penangkapan udang yang berkelanjutan. Pengembangan perikanan udang penaeid didapatkan dari level-level yang diprioritaskan diantaranya nelayan pada level aktor, potensi SDI pada level faktor dan peningkatan kesejahteraan nelayan pada level tujuan. Alternatif kebijakan dalam pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku, meningkatkan produksi udang penaeid, meningkatkan potensi pasar, meningkatkan sarana dan prasarana dan mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan.

5.4.1 Optimasi produksi dan unit penangkapan

5.4.1.1 Optimasi produksi

1) Faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan

Faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan udang penaeid dengan menggunakan alat tangkap trammel net di Kabupaten Sorong selatan adalah jumlah trip. Pengaruh nyata terhadap produksi tersebut dikarenakan dengan penambahan jumlah trip, maka peluang dalam menemukan lokasi udang akan semakin besar dan hal ini memberikan peluang tertangkapnya udang sebagai hasil tangkapan akan semakin besar juga.

2) Faktor produksi yang tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan (1) Panjang jaring

Panjang jaring tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi udang penaeid karena pengoperasian trammel net yang dibiarkan hanyut (drifting) menyebabkan bentuk atau keragaan trammel net lebih dipengaruhi oleh arah dan

kecepatan arus, sehingga panjang jaring tidak berpengaruh nyata terhadap produksi udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan.

(2) Jumlah BBM

Jumlah BBM tidak berpengaruh nyata terhadap produksi karena wilayah operasi penangkapan trammel net relatif dekat yaitu hanya pada perairan kabupaten atau sejauh 3-4 mil dari garis pantai.

(3) Jumlah nelayan (ABK)

Jumlah nelayan (ABK) tidak memberi pengaruh secara nyata terhadap produksi karena ukuran perahu relatif kecil sehingga hanya dapat memuat ABK sebanyak 2-5 orang.

(4) Daya mesin dan ukuran perahu

Daya mesin dan ukuran perahu tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi karena mesin dan perahu hanya digunakan untuk mencapai lokasi penangkapan (fishing ground) dan perjalanan kembali ke pelabuhan. Pada saat melakukan proses penangkapan ikan, mesin dalam keadaan mati.

5.4.1.2 Optimasi unit penangkapan

Tingkat upaya penangkapan (effort) perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan masih sangat rendah. Salah satu indikasi dari masih rendahnya tingkat upaya penangkapan perikanan udang di Kabupaten Sorong Selatan tersebut adalah armada penangkapan yang digunakan dalam usaha penangkapan udang penaeidsebagian besar masih tergolong kedalam skala kecil. Armada penangkapan yang termasuk kedalam skala kecil tersebut adalah armada penangkapan dengan menggunakan perahu tanpa motor dan armada penangkapan dengan menggunakan perahu motor tempel 5,5 PK. Keberadaan kedua armada tersebut mencapai 88,13 % dari total armada penangkapan yang ada di sana.

Optimasi unit penangkapan merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam optimasi pemanfaatan sumberdaya udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Penelitian ini menunjukan bahwa pemanfaatan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari potensi udang penaeid yang diduga sebesar 12.778,175 ton/tahun sementara yang telah dimanfaatkan sebesar kurang lebih 600 ton/tahun (4,70%). Keadaan ini

disebabkan upaya penangkapan udang penaeid masih tergolong rendah yang ditunjukkan dengan jumlah armada yang masih sedikit yaitu sebesar 172 unit. Jumlah armada yang ada saat ini sebanyak 172 unit dengan rincian perahu ketinting sebanyak 97 unit, perahu jolor 30 unit, perahu johnson 25 unit dan kapal pkp sebanyak 20 unit. Sedangkan dari hasil analisis dengan linear goal programming, untuk pemanfaatan optimum udang penaeid sebesar 12.778,175 ton/tahun bisa dilakukan dengan upaya penangkapan yang menggunakan armada penangkapan sejumlah 481 unit dengan rincian perahu ketinting sebanyak 219 unit, yang berarti dari jumlah yang ada masih bisa dilakukan penambahan sebanyak 122 unit (belum optimum), perahu jolor optimum pada kisaran 217 unit, (masih bisa ditambah dengan 187 unit dari kondisi yang sudah ada), perahu johnson sebanyak 25 unit dan kapal pkp sebanyak 20 unit dinyatakan telah mencapai jumlah optimum.

5.4.2 Pengembangan perikanan udang penaeid

Hasil analisis dengan menggunakan metode AHP menunjukan prioritas utama aktor yang berperan dalam pengembangan perikanan udang penaeid adalah nelayan dengan bobot nilai 0,462. Perolehan nilai ini menggambarkan kondisi riil di lapangan bahwa nelayan merupakan aktor yang paling berperan dalam perolehan tangkapan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Kondisi nelayan Kabupaten Sorong Selatan masih dikategorikan dalam nelayan tradisional yang dicirikan oleh kesederhanaan usaha penangkapan baik dari kuantitas dan kualitas alat tangkap yang digunakan. Tidak dapat disangkal bahwa keadaan nelayan seperti ini berada dalam kemiskinan. Selanjutnya aktor yang berperan selain nelayan adalah dinas perikanan (0,277), pengusaha perikanan (0,160) dan pedagang ikan (0,101).

Vektor prioritas pada level faktor diperoleh nilai potensi SDI (0,336), peluang pasar (0,248), sarana dan prasarana (0,193), teknologi (0,108), aspek kelembagaan (0,072) dan SDM (0,042). Hal ini menggambarkan bahwa, faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan pada pengembangan perikanan udang penaeid adalah faktor potensi SDI diikuti dengan peluang pasar. Hal ini dapat dimengerti karena tingkat pemanfaatan SDI masih tergolong under exploited

dengan nilai sebesar 4,70% (600 ton pada tahun 2006) dari potensial yield sebesar 12.778,175 ton/tahun. Faktor peluang pasar juga merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan, hal ini berkaitan dengan kondisi pasar saat ini yang masih tradisional serta tidak mempunyai fasilitas yang memadai.

Pada level tujuan, peningkatan kesejahteraan nelayan merupakan tujuan utama dari pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Hal ini dapat dijelaskan dari posisi nelayan yang merupakan prioritas utama pada level aktor dan potensi SDI pada level faktor. Keterkaitan antara nelayan, potensi SDI dan peningkatan kesejahteraan nelayan sangat erat. Pemanfaatan secara optimal potensi SDI yang masih dalam kondisi under exploited oleh nelayan yang merupakan aktor utama dalam kegiatan penangkapan diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan. Peningkatan hasil tangkapan akan diikuti penambahan penghasilan yang berimplikasi pada kesejahteran nelayan.

Strategi pengembangan perikanan udang penaeid di kabupaten Sorong Selatan dimulai dengan meningkatkan kinerja pelaku dan kerjasama antar pelaku dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan. Kemudian memfasilitasi faktor-faktor yang dinilai sebagai faktor yang paling mempengaruhi kegiatan usaha. Memfokuskan pencapaian prioritas tujuan yang diharapkan. Mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan sehingga terwujud pemanfaatan sumberdaya udang yang lestari dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan.

5.4.2.1 Pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku

1) Pembinaan nelayan

Tujuan utama dilakukan pembinaan nelayan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Diharapkan dengan adanya pembinaan nelayan, nelayan dapat terlepas dari status miskin menjadi sejahtera bahkan usaha penangkapan udang penaeid tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tetapi dapat memenuhi kebutuhan usahanya .

Untuk meningkatkan peran nelayan dalam upaya pengembangan perikanan udang penaeid maka perlu dilakukan pembinaan nelayan yang kontinyu melalui pelatihan teknis tangkapan, manajemen usaha, dan mengintensifkan

penyuluhan-penyuluhan di lapangan. Selain itu, program pemberdayaan dengan melakukan motorisasi unit penangkapan sangat diperlukan bagi nelayan di Kabupaten Sorong Selatan. Pembinaan nelayan yang kontinyu diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan nelayan dalam menjaga kualitas hasil tangkapan, meningkatkan jenis dan kualitas alat tangkap yang efektif untuk penangkapan udang penaeid, menjamin ketersediaan udang penaeid dan menjaga hubungan antara nelayan dengan nelayan dan antar nelayan dengan pelaku perikanan lain.

Pembangunan masyarakat nelayan tidak terlepas dari pembangunan masyarakat desa pada umumnya. Pembangunan yang dilakukan yaitu untuk membantu masyarakat agar dapat membangun dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri, dengan mendasarkan pada pengembangan potensi alam lingkungan desa. Masyarakat desa ini sebagian besar bermata pencaharian nelayan, karena itu pembangunan masyarakat desa/nelayan penting untuk dilakukan.

Pembinaan nelayan merupakan bagian dari pembangunan masyarakat desa. Tujuan dari pembangunan masyarakat desa dan pembinan nelayan adalah sama untuk meningkatkan kesejahteraan. Sehingga kedepannya usaha-usaha pembangunan masyarakat perlu dilakukan yang merupakan tanggung jawab seluruh pihak yang berkepentingan di dalamnya.

2) Meningkatkan kerjasama antar pelaku

Pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan diharapkan tetap mengacu pada pertimbangan aspek biologis, teknis, sosial dan ekonomi. Pertimbangan aspek-aspek tersebut dimaksudkan agar pemanfaatan potensi sumber daya udang penaeid menguntungkan dan berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya yang optimal dalam upaya meningkatkan produksi diikuti dengan keuntungan ekonomi yang optimal. Upaya peningkatan produksi udang penaeid akan meningkatkan pendapatan seluruh stakeholders perikanan udang penaeid. Terutama nelayan yang menjadi aktor utama dalam upaya penangkapan udang penaeid, sehingga kesejahteraan nelayan akan meningkat. Peningkatan produksi ikan yang ditangkap oleh nelayan, tentunya akan meningkatkan keuntungan usaha pedagang ikan dan pengusaha perikanan dan

bagi pemerintah daerah akan memberikan kontribusi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pungutan retribusi perikanan.

Strategi pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan yang optimal adalah dengan melakukan peningkatan partisipasi dari semua pelaku perikanan udang penaeid , yaitu nelayan, pedagang ikan, pengusaha ikan dan pemerintah. Pembentukan pola kemitraan yang menguntungkan semua pihak merupakan cara yang terbaik untuk hal ini. Dimana kepercayaan antar pelaku menjadi modal utama. Pertemuan-pertemuan dilakukan untuk membicarakan kendala-kendala yang dihadapi oleh masing-masing pelaku dan kemudian memecahkan masalah yang ada dengan pertimbangan keuntungan bersama. Dengan mengacu kepada hasil pengolahan kuisioner, maka nelayan sebagai aktor utama harus menjadi perhatian utama dibandingkan aktor lain. Nelayan sebagai penentu dari hasil tangkapan (produksi) ikan harus tidak dirugikan oleh tekanan harga oleh pedagang dan pengusaha ikan. Maka penataan yang lebih dini dalam pengelolaan sumber daya perikanan kedepan diperbaiki sehingga pemanfaatan udang penaeid akan menguntungkan semua pihak.

Perlunya kerjasama dari masing-masing pelaku untuk mensinergikan peranan dalam pengelolaan sumber daya udang penaeid. Agar masing-masing kebutuhan dari pelaku dapat dipenuhi dengan mempertimbangkan kelangsungan pelaku lainnya. Adanya pola kemitraan yang dibangun dengan baik akan menghasilkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya udang penaeid yang optimal dan berkelanjutan. Suharyano et al., (2005) yang menyatakan bahwa bentuk co-management yang berbasis masyarakat akan sangat membantu untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Masyarakat sekitar tentunya mempengaruhi dalam penentuan kebijakan yang diambil, sehingga berbagai strategi yang ditetapkan dapat terlaksana.

Co-management sendiri dapat dirumuskan sebagai pengaturan kemitaraan kedinasan pemerintah, nelayan, pedagang ikan dan pengusaha ikan yang berbagi tanggung jawab dan otoritas untuk melakukan manajemen perikanan. Sedangkan Co-management berbasis masyarakat mengikutsertakan masyarakat dalam pengaturan kemitraan dimana nantinya mereka diberikan peluang dan tanggung

jawab mengatur sumber daya alam pantai untuk kebutuhannya serta menentukan arah dan tujuan aspirasinya dalam kemitraan.

Menurut Mardianto (2004), pengelolaan yang berdasarkan sumber daya perikanan pantai dapat dilaksanakan berdasarkan beberapa alternatif pendekatan. Salah satu pendekatan adalah model pengelolaan perikanan oleh pemerintah sendiri yang menempatkan pemerintah sebagai otorita sepenuhnya untuk mengatur pemanfaatan sumber daya perikanan. Pola yang dianut oleh pemerintah saat ini merupakan pola yang tidak mengikutsertakan masyarakat dalam penentuan kebijakan. Sehingga banyak terjadi penolakan kebijakan yang telah ditetapkan dan dikeluarkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat harus menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan, agar aturan yang dibuat tidak mandul. Pada akhirnya, bukan tidak jarang konflik terjadi antara pemeritah sebagai pengelola dan nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya. Walaupun hal itu tidak terjadi, maka praktek pelanggaran aturan dilakukan oleh nelayan. Pada gilirannya semua pihak akan menanggung kerugian yang timbul akibat kegagalan mencapai pengelolaan yang baik. Sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang memperhatikan aspirasi masyarakat adalah sebuah keharusan.

5.4.2.2 Meningkatkan produksi udang penaeid

Tentunya semua pihak menginginkan produksi udang penaeid meningkat, karena akan meningkatkan pendapatan semua pihak. Nelayan akan meningkat kesejahteraan keluarganya dengan meningkatnya produksi ikan, sedangkan pedagang ikan dan pengusaha perikanan akan meningkatkan pendapatan usahanya. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menaungi kebutuhan semua pihak, sehingga dengan meningkatnya produksi udang penaeid maka kebijakan yang diterapkan telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, pemerintah mendapatkan keuntungan berupa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang semestinya dikelola untuk kepentingan usaha yang bersangkutan.

Berdasarkan hasil linear goal programming (LGP) tentang armada penangkapan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan yang optimum, maka pendapatan asli daerah (PAD) yang akan didapat setelah kondisi optimum tersebut diduga dapat mencapai Rp. 1.598.701.469 atau naik sebesar 210,798 % dari

pendapatan sebelum kondisi optimum yaitu sebesar Rp. 514.386.449. Pendapatan asli daerah (PAD) tersebut didapat berdasarkan retribusi pada sektor perikanan yang berlaku di Kabupaten Sorong Selatan yaitu sebesar 5 %. Hasil tangkapan udang penaeid yang optimum diduga dapat mencapai 1.142,359 ton dari semua armada penangkapan atau naik sebesar 226,718 % dari hasil tangkapan sebelum kondisi optimum yaitu sebesar 349,646 ton. Namun demikian, besarnya pendapatan asli daerah (PAD) optimum yang dikehendaki perlu diimbangi dengan penyediaan kebutuhan-kebutuhan operasional yang memadai bagi nelayan dalam melakukan operasi penangkapan udang penaeid seperti bantuan pengadaan

Dokumen terkait