• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pemanfaatan VCT

2.2.1. Voluntary Counseling and Testing (VCT)

Klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) adalah sarana pelayanan kesehatan yang digunakan dalam upaya penanggulangan kasus HIV/AIDS. Klinik VCT juga memberikan pengobatan dan dukungan bagi ODHA agar tidak menularkan kepada orang lain dan agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. VCT juga merupakan pintu masuk untuk membantu setiap orang mendapatkan akses ke semua pelayanan, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial.

VCT memiliki arti tersendiri yaitu: huruf V (voluntary) berarti mendorong orang untuk hadir di layanan-layanan yang mungkin tadinya mereka tolak. Huruf C (counselling) berarti lebih efektif daripada sekedar menyediakan informasi kesehatan. Dan huruf T (testing) yang berarti layanan yang berkualitas dan selesai satu hari lebih hemat dan meningkatkan orang melakukan tes dan permintaan untuk VCT. Dalam hal ini membuktikan bila seseorang dipaksa tes mereka akan menolak dan menjauh

dibandingkan dengan memberikan pengertian dan informasi yang benar (Gunung, 2005)

Pada tahun 1993, VCT sudah mulai diadakan di Kalimantan Barat. Di Jakarta, pelayanan VCT di RS Cipto Mangunkusomo mulai diadakan pada tahun 1995. Dalam lima tahun berikutnya pelayanan VCT telah dikembangkan ke berbagai daerah dengan dukungan dari USAIDS, GFATM dan AusAID. Saat ini telah tersedia 236 pelayanan VCT di hampir 100 dari 440 kabupaten dan 19 dari 33 provinsi. Pedoman pelayanan VCT secara nasional diformulasikan pada tahun 2005 dan pelayanan VCT juga mulai dimasukkan ke dalam rencara strategis nasional tahun 2003-2007 (www.searo.who.int, 2007).

VCT dibentuk dengan tujuan dan alasan sebagai berikut: 1. Pencegahan HIV

Mereka yang menggunakan jasa pelayanan VCT di dalam dirinya ada perasaan yang kuat tentang tata nilai, aktivitas seksual dan diagnosis (apakah positif atau negatif) dan seringkali mereka betul–betul menurunkan perilaku beresikonya. VCT menawarkan kepada para pasangan untuk mencari tahu status HIV dan perencanaan hidup mereka berkaitan dengan hal itu.

2. Pintu masuk menuju terapi dan perawatan

VCT telah terbukti sangat bernilai tinggi dalam hal sebagai pintu gerbang menuju pelayanan medik dan dukungan sesuai dengan yang dibutuhkan. Akses VCT penting untuk memastikan keamanan dan efektivitas dari semua intervensi. (Depkes, 2004)

2.2.2. Pelayanan Kesehatan

VCT merupakan salah satu bagian dari sarana pelayanan kesehatan secara umum. Menurut Azwar (1996) yang mengutip pendapat Levey dan Loomba, pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat. Agar pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan yang diinginkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: tersedia (availale), wajar (appropriate), berkesinambungan (continue), dapat diterima (acceptable), dapat dicapai (accesible), dapat dijangkau (affordable), efisien (efficient), dan bermutu (quality).

Karakteristik pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan berdasarkan jenis, tujuan maupun unit kesehatan. Pelayanan kesehatan berdasarkan jenis/tipe seperti pelayanan di rumah sakit, psikolog, dokter gigi, perawat dan lain- lain. Pelayanan kesehatan juga dikategorikan berdasarkan tujuan, seperti: pelayanan primer, sekunder, tersier maupun custodian. Karakteristik terakhir menggambarkan pemanfaatan kesehatan berdasarkan unit kesehatan seperti jumlah pertemuan dengan tenaga kesehatan selama periode waktu tertentu (Andersen, 1973).

Menurut Sarwono (2007) yang mengutip pendapat Mechanic proses yang terjadi dalam diri individu sebelum dia menentukan untuk mencari upaya pengobatan, antara lain: (a) dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala/tanda-tanda yang menyimpang dari keadaan biasa, (b) banyaknya gejala yang dianggap serius dan

diperkirakan menimbulkan bahaya, (c) dampak gejala itu terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja dan dalam kegiatan sosial lainnya, (d) frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak dan persistensinya, (e) nilai ambang dari mereka yang terkena gejala (susceptibiliy) atau kemungkinan individu untuk diserang penyakit, (f) informasi pengetahuan dan asumsi budaya tentang penyakit itu, (g) perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenal, (h) adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit, (i) tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut, tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial (rasa malu, takut dan sebagainya). Dari faktor di atas dapat dibuat kategorisasi faktor pencetus perilaku sakit, yaitu faktor persepsi yang dipengaruhi oleh orientasi medis dan sosio budaya; faktor intensitas gejala (menghilang atau terus menetap); faktor motivasi individu untuk mengatasi gejala yang ada serta faktor sosial psikologis yang memengaruhi respons sakit.

Berdasarkan gejala yang dirasakan, faktor-faktor yang membuat seseorang mencari pelayanan kesehatan adalah: (a) gejala penyakit terasa mengerikan sedangkan perawatannya tersedia, (b) orang biasanya akan berobat terhadap gejala penyakit diperkirakan akan menyebabkan akibat yang serius, (c) merasa cemas, hal ini terkait dengan krisis interpersonal, (d) gejala penyakit yang timbul dapat mengancam hubungan dengan orang lain, dan (e) ada dukungan dari orang lain seperti teman untuk mencari pelayanan kesehatan (DiMatteo, 1991).

Penyakit adalah gangguan fungsi dari organ tubuh diakibatkan oleh lingkungan biologis, psikososial sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dalam

beraktivitas sehari-hari. Menurut Notoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat Becker perilaku yang berkaitan dengan tindakan seseorang yang sedang sakit untuk mencari penyembuhan disebut perilaku sakit. Dalam hal ini ada beberapa tindakan yang timbul adalah: (a) Didiamkan saja, artinya sakit tersebut diabaikan dan tetap menjalankan kegiatan sehari-hari, (b) Mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri, baik obat tradisionil maupun dengan beli obat di warung, (c) Mencari penyembuhan atau pengobatan keluar yakni ke fasilitas kesehatan.

Seseorang baru akan mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan itu sendiri didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut (Sarwono, 2007).

Menurut Tjiptoherijanto (1993) yang mengutip pendapat Arrow, hubungan antara keinginan sehat dan permintaan akan pelayanan kesehatan hanya kelihatannya saja sederhana, tetapi sebenarnya sangat kompleks. Penyebab utamanya adalah karena misalnya persoalan informasi yang umumnya dilakukan oleh para ahli kesehatan kepada masyarakat. Dari informasi yang mereka sebarkan itulah masyarakat kemudian terpengaruh untuk melakukan permintaan dan penggunaan pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Shapiro dkk (1999) yang dimuat dalam jurnal asosasi kesehatan Amerika tentang variasi pelayanan kesehatan pada ODHA usia dewasa menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan pemanfaatan perawatan kesehatan pada orang yang terinfeksi HIV, dimana wanita lebih mau mendatangi pelayanan kesehatan daripada laki-laki.

2.2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut pendapat Andersen (1973) pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh: (1) predisposisi individu untuk menggunakan pelayanan kesehatan, (2) faktor enabling dan (3) tingkatan penyakitnya.

Komponen predisposisi mencakup: demografik (seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan, pengalaman penyakit masa lalu), struktur sosial (seperti pendidikan, ras, pekerjaan, jumlah keluarga, suku, agama, perpindahan tempat tinggal) dan keyakinan (seperti penilaian terhadap status sehat dan sakit, sikap terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit). Komponen kedua yaitu faktor enabling yang terdiri atas: faktor keluarga (seperti: pendapatan, asuransi kesehatan ataupun sumber-sumber lainnya), dan faktor komunitas (seperti jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia, biaya untuk pelayanan kesehatan, karakter penduduk pedesaan atau perkotaan). Komponen terakhir adalah level/tingkatan penyakit yang mencakup: variabel perceived (seperti jumlah hari sakit yang dilaporkan, jumlah gejala penyakit yang dialami dan laporan tentang keadaan kesehaan umum) dan variabel evaluated (seperti gejala dan keluhan penyakit berdasarkan aspek klinik dan memerlukan pengobatan).

Seseorang apabila menderita penyakit atau merasakan suatu kelainan pada bagian tubuhnya akan berusaha dan bertindak untuk mengetahui penyebabnya dan upaya penyembuhannya. Banyak upaya yang dapat dilakukan, antara lain dengan mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan yang tersedia (Azwar, 1996).

Menurut teori Health Belief Model, suatu tindakan kesehatan yang dilakukan dipengaruhi oleh variabel sosial psikologis dan demografis. Perilaku pada saat mengalami gejala penyakit dipengaruhi secara langsung oleh persepsi individu mengenai ancaman penyakit dan keyakinannya terhadap manfaat dari suatu tindakan kesehatan. Orang tidak akan mencari pertolongan medis bila mereka kurang mempunyai pengetahuan dan motivasi relevan dengan kesehatan, bila mereka memandang keadaan tidak cukup berbahaya, bila tidak yakin terhadap keberhasilan suatu intervensi medis dan bila mereka melihat adanya beberapa kesulitan dalam melaksanakan perilaku kesehatan yang disarankan (Sarwono, 2007).

Alan Dever (1984) menyebutkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor sosiokultural, yang terdiri dari faktor teknologi pengobatan dan norma atau nilai yang berlaku di masyarakat

2. Faktor organisasi, yang terdiri dari ketersediaan sumber daya, akses geografis, akses sosial, karakteristik proses dan struktur organisasi pelayanan kesehatan 3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen, yang terdiri dari: (a) faktor

sosiodemografis yaitu umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, status perkawinan dan status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, penghasilan) dan (b) faktor sosial psikologis yaitu persepsi terhadap penyakit serta sikap dan keyakinan tentang pelayanan kesehatan.

4. Faktor yang berhubungan dengan produsen, yang terdiri dari faktor ekonomi dan karakteristik provider.

Menurut Sarwono (2007) yang mengutip pendapat Mechanic reaksi optimal dari individu jika dia terkena suatu penyakit dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu persepsi atau definisi individu tentang situasi/penyakit, serta kemampuan individu untuk melawan serangan penyakit tersebut.

Menurut pendapat Green (2004) kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan seseorang, termasuk keluarga, teman, guru, dan petugas kesehatan.

Keyakinan masyarakat awam tentang kesehatan dan kesakitan lebih spesifiknya mengenai etiologi juga akan memengaruhi perilaku mencari bantuan, yaitu apakah orang akan mencari bantuan atau tidak serta pegawai kesehatan mana yang akan dimintai konsultasi oleh si sakit. Selain itu ciri-ciri demografis seperti jenis kelamin, ras, umur yang sering ditetapkan dalam berbagai literatur menjadi variabel yang penting dalam hubungannya dengan perilaku mencari bantuan. Perbedaan demografis seperti: orang yang lebih tua (umur), wanita (jenis kelamin), tidak menikah atau diceraikan (status perkawinan), orang yang hidup sendiri (status kediaman), pengangguran (status pekerjaan), tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi, melaporkan lebih banyak gejala penyakit (Smet, 1994).

Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan termasuk VCT dipengaruhi oleh karakteristik predisposisi, dukungan keluarga dan level penyakit. Oleh karena itu penting untuk diteliti pengaruh ketiga variabel tersebut terhadap pemanfaatan VCT pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Dokumen terkait