• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga Dan Level Penyakit Orang Dengan HIV/AIDS Terhadap Pemanfaatan VCT Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga Dan Level Penyakit Orang Dengan HIV/AIDS Terhadap Pemanfaatan VCT Di Kota Medan"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR PREDISPOSISI, DUKUNGAN KELUARGA DAN LEVEL PENYAKIT ORANG DENGAN HIV/AIDS TERHADAP

PEMANFAATAN VCT DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

KHAIRURRAHMI 067012045/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH FAKTOR PREDISPOSISI, DUKUNGAN KELUARGA DAN LEVEL PENYAKIT ORANG DENGAN HIV/AIDS TERHADAP

PEMANFAATAN VCT DI KOTA MEDAN

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

KHAIRURRAHMI 067012045/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Telah diuji pada :

Tanggal 4 Februari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K) Anggota : 1. dr.Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK

(4)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR PREDISPOSISI, DUKUNGAN KELUARGA DAN LEVEL PENYAKIT ORANG DENGAN HIV/AIDS TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Khairurrahmi Nomor Pokok : 067012045

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K)) (dr.Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B., MSc)

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR PREDISPOSISI, DUKUNGAN KELUARGA DAN LEVEL PENYAKIT ORANG DENGAN HIV/AIDS TERHADAP

PEMANFAATAN VCT DI KOTA MEDAN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2009

(6)

ABSTRAK

Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan sarana untuk memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Hingga bulan Desember 2007, terdapat 33,2 juta ODHA di seluruh dunia. Di Indonesia, jumlah ODHA yang tercatat mencapai 17.207 kasus. Di Kotamadya Medan jumlah ODHA hingga bulan Februari 2008 mencapai 916 orang. Namun, jumlah ODHA yang memanfaatkan VCT masih sangat sedikit. Hingga Desember 2006, hanya 4% dari perkiraan jumlah ODHA yang memanfaatkan sarana ini.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi (umur, jenis kelamin, status pekawinan, status pekerjaan, tingkat pendidikan, persepsi tentang penyakit, persepsi tentang pelayanan kesehatan), dukungan keluarga dan level penyakit (pemeriksaan CD4 dan persepsi tentang keparahan penyakit) ODHA terhadap pemanfaatan VCT. Jumlah sampel adalah 50 ODHA yang diambil secara purposif sampling. Analisa data menggunakan uji korelasi Pearson dan regresi logistik.

Hasil penelitian dengan korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin, status perkawinan, status pekerjaan, persepsi tentang pelayanan kesehatan, dukungan keluarga, pemeriksaan CD4 dan persepsi tentang keparahan penyakit dengan pemanfaatan VCT. Variabel yang tidak berhubungan adalah umur, tingkat pendidikan dan persepsi tentang penyakit. Dari hasil uji regresi logistik hanya variabel status pekerjaan, persepsi tentang pelayanan kesehatan dan dukungan keluarga yang berpengaruh terhadap pemanfaatan VCT.

Kepada manajemen VCT disarankan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada ODHA, seperti: ketepatan dan kecepatan, jaminan mutu, komunikatif dan pelayanan konseling yang lebih baik. Dukungan keluarga juga dibutuhkan bagi ODHA untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik termasuk dalam bentuk pendampingan saat ODHA melakukan kunjungan ke VCT dan tidak mendiskriminasi ODHA karena HIV/AIDS yang mereka derita.

(7)

ABSTRACT

Voluntary Counselling and Testing (VCT) is facility for the nursing, support and medication of people living with HIV/AIDS (PLHA). Until December 2007, there were 33,2 milions PLHA in the world. In Indonesia, there have been 17.207 case of HIV/AIDS. In Medan, until February 2008, the total of PLHA had reached 916, but the PLHA who using VCT was still low. Until December 2006, only 4% of the PLHA which is estimated using these facilities.

The purpose of this research is to analyze the influence of predisposing factors (age, gender, marital status, occupation, level of education, perception of illness and perception of health care), family support and the PLHA’s illness level (check up of CD4 and perception of illness seriousness) on utilization of VCT. The samples for this study were 50 PLHA selected through purposive sampling technique. The data obtained were analyzed through Pearson correlation and Logistic regression tests.

The result of Pearson correlation shows that there are relationship between sex; marital status; occupation; perception of health care; family support; check up of CD4; perception of illness seriousness and utilization of VCT. There are not relationship between age; level of education; perception of illness and utilization of VCT. The result of logistic regression tests shows that only variable occupation, perception of health care and family support which have an influence on utilization of VCT.

The management of VCT is suggested to increase the quality of health services for PLHA, such as: accuracy and the velocity, quality assurance, communicative, and better counselling. Family’s support are also needed for PLHA to get the best treatment in VCT, include to accompany PLHA when visiting VCT and does not discriminate PLHA; it’s because they have HIV/AIDS.

(8)

KATA PENGANTAR

Syukur dari segenap dan sedalam qolbu kepada Allah SWT, karena hanya dengan izin dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul: “Pengaruh Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga dan Level Penyakit Orang Dengan HIV/AIDS Terhadap Pemanfaatan VCT”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus penulis penuhi guna dapat menyelesaikan pendidikan Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi, selaku Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku komisi pembanding dalam penulisan tesis ini. 5. Bapak Prof.Dr.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K), selaku ketua Komisi Pembimbing

(9)

6. Bapak dr.Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK selaku Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis.

7. Ibu Sri Supriyantini, S.Psi, Msi selaku komisi pembanding yang telah memberikan saran dan masukan.

8. Teman-teman AKK yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

Secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta Drs, Muhsin Mukhlis, MH dan Siti Rahmah MK, BA yang dengan penuh kasih dan sayang telah membesarkan, mendidik, dan memberikan pandangan serta dukungan kepada penulis, tak lupa penulis ucapkan terima kasih atas do’a dan dukungan adik tercinta, Syukrunaddawami.

Penulis berharap tesis ini bermanfaat.

Medan, Februari 2009

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Khairurrahmi, lahir pada tanggal 11 Agustus 1983 di Takengon, Aceh Tengah. Anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Drs, Muhsin Mukhlis, MH dan Siti Rahmah, MK, BA.

(11)

DAFTAR ISI

2.1. Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) ... 10

2.2. Pemanfaatan VCT ... 21

2.3. Landasan Teori ... 29

2.4. Kerangka Konsep ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1. Jenis Penelitian ... 32

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 32

3.3. Populasi dan Sampel ... 32

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 33

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 35

3.6. Metode Pengukuran ... 37

3.7. Metode Analisis Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 40

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 40

(12)

4.3. Dukungan Keluarga ... 48

4.4. Level Penyakit ... 50

4.5. Pemanfaatan VCT ... 52

4.6. Analisis Bivariat ... 52

4.7. Analisis Multivariat ... 56

BAB V PEMBAHASAN ... 58

5.1. Pengaruh Faktor Predisposisi (Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Status Pekerjaan, Tingkat Pendidikan, Persepsi tentang Penyakit dan Persepsi tentang Pelayanan Kesehatan) Terhadap Pemanfaatan VCT ... 58

5.2. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Pemanfaatan VCT ... 65

5.3. Pengaruh Level Penyakit (Pemeriksaan CD4 dan Persepsi tentang Keparahan Penyakit) Terhadap Pemanfaatan VCT ... 67

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1. Kesimpulan ... 70

6.2. Saran ... 70

(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1. Metode Pengukuran ... 38

4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Status Pekerjaan dan Tingkat Pendidikan ... 43

4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Tentang Penyakit ... 45

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi Tentang Penyakit ... 46

4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Tentang Pelayanan Kesehatan ... 46

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi Tentang Pelayanan Kesehatan ... 48

4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga... 49

4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Dukungan Keluarga... 50

4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Pemeriksaan CD4 Responden... 50

4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Tentang Keparahan Penyakit ... 51

4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi Tentang Keparahan Penyakit ... 52

4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan VCT ... 52

4.12. Hasil Uji Korelasi Pearson Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga dan Level Penyakit Dengan Pemanfaatan VCT... 53

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 75

2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 78

3. Hasil Uji Korelasi Pearson ... 82

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Epidemi HIV/AIDS telah melanda seluruh dunia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Hawari (2006) menyebutkan bahwa masalah HIV/AIDS sudah menjadi global effect dengan kecepatan penyebaran yang sangat pesat. Badan kesehatan dunia (WHO) menyebutkan penyakit ini sebagai wabah paling mematikan sepanjang sejarah dan mengantisipasi hal ini dengan membentuk organisasi khusus penanggulangan HIV/AIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS) dan menetapkan tanggal 1 Desember sebagai hari AIDS se dunia.

Setiap hari di seluruh dunia lebih dari 6800 orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5700 orang meninggal karena AIDS, kebanyakan hal ini karena akses terhadap pencegahan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. (www.unaids.org).

(17)

Kasus AIDS pertama di Indonesia terjadi di Bali pada bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya (Muninjaya, 1998).

Penularan HIV/AIDS pada 10 tahun pertama masih tergolong rendah. Akhir tahun 1997, jumlah kasus AIDS kumulatif hanya 153 kasus dan HIV positif 486 orang. Pada akhir abad ke 20 terlihat kenaikan kasus AIDS yang sangat berarti dan di beberapa daerah pada sub populasi tertentu, angka prevalensinya sudah mencapai 5%, sehingga sejak itu Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara dengan epidemi terkonsentrasi (www.undp.or.id, 2007).

Jumlah kumulatif pengidap infeksi HIV/AIDS di seluruh Indonesia pada akhir Desember 2007 telah mencapai 17207 kasus, yang terdiri dari 6066 HIV dan 11141 AIDS dengan jumlah kematian sebanyak 2369 orang (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2007).

Para ahli epidemiologi Indonesia dalam kaitannya tentang kecenderungan epidemi HIV/AIDS memproyeksikan bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang bermakna, maka pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS dapat menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang, dan pada tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang (www.undp.or.id, 2007).

(18)

virus ini. Mereka adalah sumber yang paling tepat dan paling dalam mengenai HIV/AIDS (Rahz, 2001).

Program yang dilakukan untuk ODHA diantaranya adalah program peningkatan sarana pelayanan kesehatan, program peningkatan penyediaan distribusi obat dan reagensia, program pendidikan dan pelatihan dan program peningkatan penjangkauan dan dukungan ODHA (www.undp.or.id, 2007).

Sejak tahun 1993, pemerintah telah menyediakan klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) sebagai tempat konseling sukarela dan memeriksakan status HIV, tetapi pemanfaatannya masih sangat rendah. Hingga akhir Desember 2006, hanya 4% (sekitar 8197) dari perkiraan jumlah 193.030 ODHA yang memanfaatkan sarana ini (www.searo.who.int, 2007).

Klinik VCT adalah sarana pelayanan kesehatan yang digunakan dalam upaya penanggulangan kasus HIV/AIDS. Klinik ini bekerja sama dengan berbagai pihak dalam melakukan pemetaan, estimasi dan pencarian kasus sedini mungkin, terutama pada kelompok resiko tinggi (high risk population). Klinik VCT juga memberikan pengobatan dan dukungan bagi ODHA dengan tujuan: agar tidak menularkan kepada orang lain dan agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Di negara maju, VCT merupakan komponen kunci dalam program HIV, namun di negara berkembang, VCT belum menjadi strategi besar dalam penanggulangan HIV/AIDS.

(19)

Dengan HIV/AIDS (ODHA), rumah sakit yang menjadi rujukan dalam perawatan dan pengobatan ODHA adalah RSU H.Adam Malik, RSU Dr. Pirngadi, RS Bhayangkara Tk II Sumut, RS Kesdam II Bukit Barisan dan Haji Us Syifa Medan.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, hingga bulan Desember 2007, di lima klinik VCT di Kota Medan telah melayani 454 kasus HIV/AIDS. Jumlah ini belum mencakup keseluruhan ODHA yang sebenarnya membutuhkan pengobatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Di Kota Medan jumlah ODHA yang tercatat mencapai 916 orang, terdiri dari 592 HIV positif dan 324 penderita AIDS. Relatif rendahnya ODHA yang datang memeriksakan diri dan konseling diasumsikan bahwa pemanfaatan klinik VCT masih rendah

AIDS merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan serangan-serangan infeksi opportunistik. Penderita HIV/AIDS memerlukan pelayanan kesehatan serupa dengan penderita penyakit menahun yang lain. Mereka memerlukan pelayanan kesehatan berkesinambungan, pemantauan yang seksama untuk mencegah infeksi serta pengobatan segera agar infeksi sekunder tidak berlarut-larut menyebabkan cacat (Djoerban, 2001).

(20)

Menurut hasil penelitian Lewden (2007) dalam Journal of Aquired Immune Deficiency Syndrome, ODHA yang menggunakan pengobatan ARV jangka panjang, kekebalan tubuhnya dapat pulih kembali, hal ini tercermin dari jumlah limfosif CD4 lebih dari 500 sel/mm3 dalam waktu yang cukup lama, sehingga mortalitas atau angka kematiannya sama seperti masyarakat umum.

Pengobatan ARV memberikan harapan bagi kualitas hidup ODHA, meskipun masih terdapat perlakuan yang berbeda terhadap mereka. Berdasarkan hasil penelitian Irwanto (2007) tentang ODHA dan akses pelayanan kesehatan disimpulkan bahwa sekitar 31% orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia masih ditolak dari pusat pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan masih adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di masyarakat.

Sebuah hasil penelitian lainnya tentang pelanggaran hak asasi manusia terhadap ODHA yang dilakukan pada tahun 2001 menyimpulkan bahwa 31% responden mempunyai pengalaman pernah ditolak oleh rumah sakit atau dokter, bahkan 15% responden tertunda perawatan atau pengobatannya karena masalah status HIV yang positif. Satu dari sepuluh responden atau 9,5% juga diketahui tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan, baik atas saran teman dan keluarga atau lainnya (www.spiritia.or.id, 2001).

(21)

melakukan pengobatannya atau tidak adalah keyakinan terhadap pelayanan kesehatan.

Menurut pendapat Andersen (1973) faktor-faktor yang memengaruhi seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan atau tidak antara lain: (1) predisposisi individu untuk menggunakan pelayanan kesehatan, (2) faktor enabling

dan (3) tingkatan penyakitnya. Komponen predisposisi mencakup: demografik (seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan, pengalaman penyakit masa lalu), struktur sosial (seperti pendidikan, ras, pekerjaan, jumlah keluarga, suku, agama, perpindahan tempat tinggal) dan keyakinan (seperti penilaian terhadap status sehat dan sakit, sikap terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit). Komponen kedua yaitu faktor enabling yang terdiri atas: faktor keluarga (seperti: pendapatan, asuransi kesehatan ataupun sumber-sumber lainnya), dan faktor komunitas (seperti jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia, biaya untuk pelayanan kesehatan, karakter penduduk pedesaan atau perkotaan). Komponen terakhir adalah level/tingkatan penyakit yang mencakup: variabel perceived (seperti jumlah hari sakit yang dilaporkan, jumlah gejala penyakit yang dialami dan laporan tentang keadaan kesehaan umum) dan variabel evaluated (seperti gejala dan keluhan penyakit berdasarkan aspek klinik dan memerlukan pengobatan).

(22)

faktor motivasi individu untuk mengatasi gejala yang ada serta faktor sosial psikologis yang memengaruhi respons sakit.

Hasil penelitian Putri (2007) menyimpulkan bahwa persepsi terhadap tenaga kesehatan berhubungan langsung dengan keputusan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Menurut Sarwono (2007) yang mengutip pendapat Rosenstock, perilaku seseorang yang mengalami gejala penyakit untuk mencari pertolongan medis atau tidak dipengaruhi secara langsung oleh persepsi individu mengenai ancaman penyakit dan keyakinannya terhadap manfaat dari suatu tindakan kesehatan.

Hasil penelitian Salvado (2007) menyimpulkan bahwa faktor demografi mempengaruhi permintaan terhadap pelayanan kesehatan. Selain itu kondisi penyakit yang kronik juga meningkatkan permintaan terhadap pelayanan kesehatan. Hasil penelitian lainnya oleh Geotoni dkk (2007) menyimpulkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh keadaan kesehatan individu, umur, penghasilan, jenis kelamin dan agama.

(23)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan penelitian adalah : “Apakah ada pengaruh faktor predisposisi, dukungan keluarga dan level penyakit orang dengan HIV/AIDS terhadap pemanfaatan VCT”.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi, dukungan keluarga dan level penyakit orang dengan HIV/AIDS terhadap pemanfaatan VCT.

1.4. Hipotesis

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka yang menjadi hipotesis penelitian adalah “Terdapat pengaruh faktor predisposisi (umur, jenis kelamin, status pekawinan, status pekerjaan, tingkat pendidikan, persepsi tentang penyakit dan persepsi tentang pelayanan kesehatan), dukungan keluarga dan level penyakit (pemeriksaan CD4 dan persepsi tentang keparahan penyakit) orang dengan HIV/AIDS terhadap pemanfaatan VCT .

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Medan dalam penanggulangan HIV/AIDS.

(24)

3. Sebagai informasi dan pengembangan untuk penelitian sejenis secara berkelanjutan.

4. Dapat memberi informasi lebih lanjut bagi ODHA tentang pentingnya pengobatan yang tepat sehingga tidak menularkan HIV/AIDS.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) 2.1.1. Definisi AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yaitu suatu gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke dalam tubuh seseorang. AIDS disebabkan oleh infeksi HIV atau Human Immuno-deficiency Virus (Depkes, 2005). HIV dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit yang sangat ringan sekalipun.

Badan kesehatan dunia (WHO) telah mengembangkan definisi AIDS pada orang dewasa dan anak-anak. AIDS pada orang dewasa didefinisikan sebagai adanya minimal dua gejala mayor seperti penurunan berat badan yang drastis, diare kronis, demam berkepanjangan dan satu gejala minor seperti kandidiasis, batuk, kudis atau pembengkakan getah bening. Pada anak-anak minimal dua gejala mayor dan dua gejala minor harus ada. Tes HIV positif bukan merupakan syarat mutlak (Aggleton, 1994).

(26)

cara yang dapat dipercaya, (b) Tidak adanya sebab-sebab immunodefisiensi seluler lainnya (kecuali infeksi HIV) (Gunawan, 1992).

Pada saat pertama kali Indonesia mengetahui adanya kasus AIDS pada bulan April 1987, sikap pemerintah pada mulanya justru memungkiri adanya kasus ini. Sikap dan tindakan lain yang juga muncul di masyarakat adalah dalam bentuk pengucilan penderita dan keluarganya. Semua sikap tersebut merupakan reaksi sosial masyarakat yang emosional karena kurangnya pemahaman mereka tentang perjalanan penyakit ini, terutama tentang cara penularannya (Muninjaya, 1998).

Dalam perkembangannya yang begitu pesat, persoalan AIDS memang lebih terkonsentrasi pada aspek human right si penderita. Deklarasi KTT AIDS sedunia di Paris tahun 1994 menegaskan agar masyarakat menghargai kebebasan dan hak asasi penderita AIDS tanpa kecuali (Gunawan, 1997).

2.1.2. Cara Penularan AIDS

AIDS merupakan sindrom kehilangan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. Virus ini menyebabkan tubuh mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal. Serangan penyakit ini bukan merupakan ancaman bagi orang-orang yang sistem kekebalannya bekerja dengan normal.

HIV ditularkan melalui tiga jalur, yaitu: (a) melalui hubungan seksual, (b) melalui pemakaian alat-alat yang sudah tercemar HIV, seperti jarum suntik dan

(27)

dapat terjadi melalui darah, air mani dan cairan vagina seorang pengidap HIV dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi orang lain. Sedangkan melalui cairan-ciaran tubuh yang lain (seperti air mata, keringat, air liur dan air seni) tidak pernah dilaporkan adanya kasus penularan HIV (Djoerban, 2001).

Penularan HIV sendiri hanya akan terjadi bila: (a) Virus HIV berhasil hidup di dalam tubuh manusia, (b) Virus harus dalam jumlah besar, (c) HIV harus masuk ke tubuh orang melalui cara penularan tertentu (Aggleton, 1994).

HIV akan memengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu, masa ini disebut sebagai masa jendela (window period). Selama masa jendela pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksi akut ini yakni demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang ini sangat mudah menularkan infeksinya kepada orang lain, dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan laboratorium serum antibodi HIV (Depkes, 2004).

2.1.3. Aspek klinik AIDS

(28)

terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, mula-mula sedikit saja yang menjadi penderita AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal (Djoerban, 2001).

Virus HIV mempunyai masa inkubasi antara 5-10 tahun. Orang yang mengidap HIV masih nampak sehat dan selama itu dapat menularkan pada orang lain tanpa disadarinya (Hawari, 2006).

Sel tubuh manusia yang terutama diserang oleh HIV adalah CD4 yaitu limfosit dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap kuman penyakit. Bila jumlah dan fungsi CD4 berkurang, maka sistem kekebalan orang yang bersangkutan akan rusak, sehingga mudah dimasuki dan diserang oleh berbagai kuman penyakit. Segera sesudah terinfeksi HIV, jumlah limfosit CD4 akan berkurang sedikit demi sedikit (Djoerban, 2001).

Hitungan CD4 dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Dengan berlanjutnya infeksi pada pase akhir penyakit akan ditemukan hitung sel CD4<200/mm3 (Zein, 2006).

Seseorang yang menderita AIDS pertama kali akan mengalami gejala-gejala umum seperti influenza. Kemudian penyakit AIDS ini akan menjadi bervariasi pada kurun waktu antara 6 bulan sampai 7 tahun (Hawari, 2006).

(29)

beberapa jenis organisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tersentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini biasa saja bisa menjadi ganas dan menimbulkan penyakit. Penyakit opportunistik ini biasanya dalam bentuk infeksi dan sebagian kecil berkembang dalam bentuk neoplasma yang tidak lazim seperti sarkoma kaposi, limfoma dan karsinoma serviks (Zein, 2006).

Salah satu hambatan untuk menghasilkan vaksin AIDS adalah seringnya terjadi mutasi pada virus HIV yang mengakibatkan perubahan pada struktur molekuler lapisan protein luar dari virus (Gunawan, 1992).

Global Programme on AIDS dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi tingkat klinik infeksi HIV sebagai berikut:

a. Tingkat klinik 1 (asimptomatik)

Pada tingkat ini pasien belum mempunyai keluhan dan dapat melakukan aktivitasnya secara normal.

b. Tingkat klinik 2 (dini)

Pada tingkat ini, pasien sudah menunjukkan gejala tetapi aktivitas tetap normal. Penurunan berat badan kurang dari 10%.

c. Tingkat klinik 3 (menengah)

Pada tingkat klinik 3 ini, penderita biasanya berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan lebih.Penurunan berat badan lebih dari 10% d. Tingkat klinik 4 (lanjut)

(30)

selama lebih dari satu bulan, atau (b) kelemahan kronik dan panas tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari satu bulan (Djoerban, 2001).

Infeksi HIV dapat diperiksa dengan suatu tes darah yang disebut ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). ELISA mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV di dalam aliran darah. Sekalipun tes antibodi tidak secara langsung menunjukkan terdapatnya virus, suatu hasil tes yang positif (disebut seropositif) umumnya menandakan bahwa orang itu telah tertular HIV dan bahwa imun tubuhnya telah menghasilkan antibodi terhadap infeksi tersebut. Selain itu ada tes western blot yang dilakukan terhadap orang yang seropositif untuk menjamin bahwa hasil semula itu benar. Tes western blot ini menguji adanya pola khusus pada rantai protein yang khas bagi virus tersebut (Hutapea, 1995).

2.1.4. Pelayanan Kesehatan Untuk AIDS

AIDS adalah penyakit menahun yang ditandai dengan serangan-serangan infeksi oportunistik. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa HIV ternyata terus menerus berkembang biak di dalam tubuh ODHA dan replikasi HIV tersebut mempunyai dampak buruk terhadap sistem kekebalan dan kesehatan ODHA (Djoerban, 2001).

(31)

medik, asuhan keperawatan, konseling, dan dukungan psikososial untuk ODHA, keluarganya dan mereka yang tergantung padanya.

Menurut Aggleton (1994) ada tiga strategi yang memungkinkan bagi perawatan penyakit HIV:

1. Melawan virus HIV untuk memperlambat atau melindungi akibat kerusakan yang ditimbulkan pada sistem kekebalan tubuh.

2. Perawatan atau pencegahan infeksi opportunistik yang dapat menyebabkan kerusakan pada sistem sistem kekebalan tubuh.

3. Memperkuat sistem kekebalan tubuh

Penderita HIV/AIDS memerlukan pelayanan kesehatan serupa dengan penderita penyakit menahun yang lain. Mereka memerlukan pelayanan kesehatan berkesinambungan, pemantauan yang seksama untuk mencegah infeksi, serta pengobatan segera agar infeksi sekunder tidak berlarut- larut menyebabkan cacat. Fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh penderita HIV/AIDS adalah sebagai berikut:

a. Fasilitas perawatan akut

(32)

b. Fasilitas perawatan khusus

Merupakan fasilitas perawatan yang sudah terbiasa merawat pasien AIDS. Unit ini menyediakan perawatan untuk pasien AIDS yang tidak dalam fase akut tetapi memerlukan perawatan di rumah sakit untuk rehabilitasi.

c. Fasilitas perawatan intermediate

Fasilitas ini diperlukan untuk penderita yang tidak terus-menerus memerlukan dokter atau perawat yang berpengalaman. Ini berlaku baik untuk fasilitas rawat inap maupun berobat jalan.

d. Fasilitas perawatan masyarakat (shelter)

Penderita AIDS yang sedang tidak dirawat di rumah sakit kadang-kadang memerlukan beberapa jenis fasilitas non medik, seperti perumahan, pengadaan makanan dan bantuan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum atau ke toilet.

e. Pusat kesehatan masyarakat

Puskesmas yang diperlukan adalah yang dilengkapi dengan pelayanan psikologi, rehabilitasi, sosial, gizi dan pendidikan kesehatan.

f. Perawatan kesehatan di rumah

(33)

Namun, sering kali merawat penderita penyakit ini lebih sulit dari penyakit kronik lain, karena (a) terbatasnya tenaga yang terdidik dan terlatih, (b) penderita memerlukan dukungan emosi khusus, (c) pemantauan medik untuk mencegah kekambuhan sehingga dapat dicegah perawatan di rumah sakit, (d) beberapa tenaga kesehatan sendiri masih cemas dan ketakutan untuk merawat (Djoerban, 2001).

Untuk mengurangi penderitaan akibat HIV/AIDS dan mencegah penularan lebih lanjut infeksi HIV serta meningkatkan kualitas hidup ODHA diperlukan program-program sebagai berikut:

a. Program peningkatan sarana pelayanan kesehatan

Jumlah dan mutu pelayanan untuk konseling dan testing sukarela (VCT), pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayinya (PMTC) dan perawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA (CST) ditingkatkan.

b. Program peningkatan penyediaan, distribusi obat dan reagensia

Untuk memenuhi kebutuhan ODHA dan sejalan dengan peningkatan jumlah sarana perawatan dan pengobatan, ketersediaan ARV, obat infeksi opportunistik dan reagensia ditingkatkan jumlah dan mutunya serta harganya diupayakan terjangkau. Manajemen obat dan reagensia disempurnakan sehingga pengadaan dan distribusi obat dan reagensia terjamin.

c. Program pendidikan dan pelatihan

(34)

pelatihan teknis diberikan kepada mereka yang berkarya dalam upaya penanggulangan AIDS sesuai dengan bidang kerjanya.

d. Program peningkatan penjangkauan dan dukungan ODHA

Upaya yang sungguh-sungguh untuk menjangkau sedikitnya 80% kelompok berperilaku resiko tinggi agar mereka yang memerlukan perawatan dan pengobatan dapat akses kepada pencegahan, perawatan, pengobatan dan dukungan yang diperlukan (www.undp.or.id).

2.1.5. Strategi Penanggulangan HIV/AIDS

Respons nasional terhadap epidemi HIV dan AIDS di Indonesia telah dimulai pada tahun 1985 dan terus meningkat selaras dengan meningkatnya jenis dan besaran masalah yang dihadapi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Respons utama dalam kurun waktu tersebut adalah pembentukan komisi penanggulangan AIDS, penetapan wajib lapor kasus AIDS, penetapan laboratorium untuk pemeriksaan HIV, penyiapan dan penyebaran bahan komunikasi, informasi dan edukasi, surveilans HIV pada sub populasi tertentu, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan non kesehatan serta lahirnya banyak lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap HIV/ AIDS.

(35)

1. Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan mengujicoba cara-cara baru

2. Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan untuk mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang memerlukan akses perawatan dan pengobatan

3. Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat dan daerah melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan

4. Meningkatkan survei dan penelitian untuk memperoleh data bagi pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS

5. Memberdayakan, individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV dilingkungannya

6. Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan monitoring dan evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS

7. Memobilisasi sumber daya dan mengharmonisasikan pemanfaatannya di semua tingkat (www.undp.or.id).

(36)

pelayanan untuk mencegah penularan ibu anak, (d) Mengembangkan akses terhadap pelayanan bagi populasi beresiko, termasuk pengguna narkoba suntik (penasun) dan pria yang berhubungan seksual sesama jenis, (e) Usaha pencegahan untuk ODHA, (f) Meningkatkan akses layanan pencegahan, diagnosa dan pengobatan TB berkualitas bagi ODHA, (g) Mengenali khitan pada pria sebagai upaya penting lain dalam pencegahan HIV dan (h) Mengarahkan pertimbangan mengenai ketahanan keuangan jangka panjang (www.depkes.go.id, 2007).

2.2. Pemanfaatan VCT

2.2.1. Voluntary Counseling and Testing (VCT)

Klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) adalah sarana pelayanan kesehatan yang digunakan dalam upaya penanggulangan kasus HIV/AIDS. Klinik VCT juga memberikan pengobatan dan dukungan bagi ODHA agar tidak menularkan kepada orang lain dan agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. VCT juga merupakan pintu masuk untuk membantu setiap orang mendapatkan akses ke semua pelayanan, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial.

(37)

dibandingkan dengan memberikan pengertian dan informasi yang benar (Gunung, 2005)

Pada tahun 1993, VCT sudah mulai diadakan di Kalimantan Barat. Di Jakarta, pelayanan VCT di RS Cipto Mangunkusomo mulai diadakan pada tahun 1995. Dalam lima tahun berikutnya pelayanan VCT telah dikembangkan ke berbagai daerah dengan dukungan dari USAIDS, GFATM dan AusAID. Saat ini telah tersedia 236 pelayanan VCT di hampir 100 dari 440 kabupaten dan 19 dari 33 provinsi. Pedoman pelayanan VCT secara nasional diformulasikan pada tahun 2005 dan pelayanan VCT juga mulai dimasukkan ke dalam rencara strategis nasional tahun 2003-2007 (www.searo.who.int, 2007).

VCT dibentuk dengan tujuan dan alasan sebagai berikut: 1. Pencegahan HIV

Mereka yang menggunakan jasa pelayanan VCT di dalam dirinya ada perasaan yang kuat tentang tata nilai, aktivitas seksual dan diagnosis (apakah positif atau negatif) dan seringkali mereka betul–betul menurunkan perilaku beresikonya. VCT menawarkan kepada para pasangan untuk mencari tahu status HIV dan perencanaan hidup mereka berkaitan dengan hal itu.

2. Pintu masuk menuju terapi dan perawatan

(38)

2.2.2. Pelayanan Kesehatan

VCT merupakan salah satu bagian dari sarana pelayanan kesehatan secara umum. Menurut Azwar (1996) yang mengutip pendapat Levey dan Loomba, pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat. Agar pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan yang diinginkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: tersedia (availale), wajar (appropriate), berkesinambungan (continue), dapat diterima (acceptable), dapat dicapai (accesible), dapat dijangkau (affordable), efisien (efficient), dan bermutu (quality).

Karakteristik pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan berdasarkan jenis, tujuan maupun unit kesehatan. Pelayanan kesehatan berdasarkan jenis/tipe seperti pelayanan di rumah sakit, psikolog, dokter gigi, perawat dan lain-lain. Pelayanan kesehatan juga dikategorikan berdasarkan tujuan, seperti: pelayanan primer, sekunder, tersier maupun custodian. Karakteristik terakhir menggambarkan pemanfaatan kesehatan berdasarkan unit kesehatan seperti jumlah pertemuan dengan tenaga kesehatan selama periode waktu tertentu (Andersen, 1973).

(39)

diperkirakan menimbulkan bahaya, (c) dampak gejala itu terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja dan dalam kegiatan sosial lainnya, (d) frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak dan persistensinya, (e) nilai ambang dari mereka yang terkena gejala (susceptibiliy) atau kemungkinan individu untuk diserang penyakit, (f) informasi pengetahuan dan asumsi budaya tentang penyakit itu, (g) perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenal, (h) adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit, (i) tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut, tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial (rasa malu, takut dan sebagainya). Dari faktor di atas dapat dibuat kategorisasi faktor pencetus perilaku sakit, yaitu faktor persepsi yang dipengaruhi oleh orientasi medis dan sosio budaya; faktor intensitas gejala (menghilang atau terus menetap); faktor motivasi individu untuk mengatasi gejala yang ada serta faktor sosial psikologis yang memengaruhi respons sakit.

Berdasarkan gejala yang dirasakan, faktor-faktor yang membuat seseorang mencari pelayanan kesehatan adalah: (a) gejala penyakit terasa mengerikan sedangkan perawatannya tersedia, (b) orang biasanya akan berobat terhadap gejala penyakit diperkirakan akan menyebabkan akibat yang serius, (c) merasa cemas, hal ini terkait dengan krisis interpersonal, (d) gejala penyakit yang timbul dapat mengancam hubungan dengan orang lain, dan (e) ada dukungan dari orang lain seperti teman untuk mencari pelayanan kesehatan (DiMatteo, 1991).

(40)

beraktivitas sehari-hari. Menurut Notoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat Becker perilaku yang berkaitan dengan tindakan seseorang yang sedang sakit untuk mencari penyembuhan disebut perilaku sakit. Dalam hal ini ada beberapa tindakan yang timbul adalah: (a) Didiamkan saja, artinya sakit tersebut diabaikan dan tetap menjalankan kegiatan sehari-hari, (b) Mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri, baik obat tradisionil maupun dengan beli obat di warung, (c) Mencari penyembuhan atau pengobatan keluar yakni ke fasilitas kesehatan.

Seseorang baru akan mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan itu sendiri didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut (Sarwono, 2007).

(41)

2.2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut pendapat Andersen (1973) pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh: (1) predisposisi individu untuk menggunakan pelayanan kesehatan, (2) faktor enabling dan (3) tingkatan penyakitnya.

Komponen predisposisi mencakup: demografik (seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan, pengalaman penyakit masa lalu), struktur sosial (seperti pendidikan, ras, pekerjaan, jumlah keluarga, suku, agama, perpindahan tempat tinggal) dan keyakinan (seperti penilaian terhadap status sehat dan sakit, sikap terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit). Komponen kedua yaitu faktor enabling yang terdiri atas: faktor keluarga (seperti: pendapatan, asuransi kesehatan ataupun sumber-sumber lainnya), dan faktor komunitas (seperti jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia, biaya untuk pelayanan kesehatan, karakter penduduk pedesaan atau perkotaan). Komponen terakhir adalah level/tingkatan penyakit yang mencakup: variabel perceived (seperti jumlah hari sakit yang dilaporkan, jumlah gejala penyakit yang dialami dan laporan tentang keadaan kesehaan umum) dan variabel evaluated (seperti gejala dan keluhan penyakit berdasarkan aspek klinik dan memerlukan pengobatan).

(42)

Menurut teori Health Belief Model, suatu tindakan kesehatan yang dilakukan dipengaruhi oleh variabel sosial psikologis dan demografis. Perilaku pada saat mengalami gejala penyakit dipengaruhi secara langsung oleh persepsi individu mengenai ancaman penyakit dan keyakinannya terhadap manfaat dari suatu tindakan kesehatan. Orang tidak akan mencari pertolongan medis bila mereka kurang mempunyai pengetahuan dan motivasi relevan dengan kesehatan, bila mereka memandang keadaan tidak cukup berbahaya, bila tidak yakin terhadap keberhasilan suatu intervensi medis dan bila mereka melihat adanya beberapa kesulitan dalam melaksanakan perilaku kesehatan yang disarankan (Sarwono, 2007).

Alan Dever (1984) menyebutkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor sosiokultural, yang terdiri dari faktor teknologi pengobatan dan norma atau nilai yang berlaku di masyarakat

2. Faktor organisasi, yang terdiri dari ketersediaan sumber daya, akses geografis, akses sosial, karakteristik proses dan struktur organisasi pelayanan kesehatan 3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen, yang terdiri dari: (a) faktor

sosiodemografis yaitu umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, status perkawinan dan status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, penghasilan) dan (b) faktor sosial psikologis yaitu persepsi terhadap penyakit serta sikap dan keyakinan tentang pelayanan kesehatan.

(43)

Menurut Sarwono (2007) yang mengutip pendapat Mechanic reaksi optimal dari individu jika dia terkena suatu penyakit dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu persepsi atau definisi individu tentang situasi/penyakit, serta kemampuan individu untuk melawan serangan penyakit tersebut.

Menurut pendapat Green (2004) kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan seseorang, termasuk keluarga, teman, guru, dan petugas kesehatan.

Keyakinan masyarakat awam tentang kesehatan dan kesakitan lebih spesifiknya mengenai etiologi juga akan memengaruhi perilaku mencari bantuan, yaitu apakah orang akan mencari bantuan atau tidak serta pegawai kesehatan mana yang akan dimintai konsultasi oleh si sakit. Selain itu ciri-ciri demografis seperti jenis kelamin, ras, umur yang sering ditetapkan dalam berbagai literatur menjadi variabel yang penting dalam hubungannya dengan perilaku mencari bantuan. Perbedaan demografis seperti: orang yang lebih tua (umur), wanita (jenis kelamin), tidak menikah atau diceraikan (status perkawinan), orang yang hidup sendiri (status kediaman), pengangguran (status pekerjaan), tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi, melaporkan lebih banyak gejala penyakit (Smet, 1994).

(44)

2.3. Landasan Teori

Konsep umum yang digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini adalah konsep Andersen dan Newman (1973) yang digunakan untuk menilai faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu faktor-faktor predisposisi, faktor enabling (pemungkin) dan level penyakit (illness level).

(45)

Determinan individu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan

Predisposisi a. Demografi

(umur, jenis kelamin, status perkawinan) b. Struktur sosial

(Pendidikan, ras, pekerjaan, jumlah keluarga, suku, agama, perpindahan tempat tinggal)

c. Keyakinan

(Penilaian terhadap status sehat sakit, sikap terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit)

Faktor Pemungkin a. Kemampuan keluarga

(penghasilan, asuransi kesehatan, sumber lain, dukungan keluarga dan teman) b. Komunitas

(Jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia, biaya untuk pelayanan kesehatan,

karakter penduduk pedesaan/perkotaan)

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Level Penyakit

a. Perasaan subjektif tentang penyakit (jumlah hari sakit, gejala dan keluhan yang dirasakan)

b. Evaluasi klinis

(gejala dan keluhan berdasarkan aspek klinik, seperti jumlah CD4)

(46)

2.4. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dan studi kepustakaan dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Orang Dengan HIV/AIDS Faktor Predisposisi

1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Status Perkawinan 4. Status Pekerjaan 5. Tingkat Pendidikan 6. Persepsi tentang penyakit 7. Persepsi tentang pelayanan

kesehatan

Dukungan keluarga

PEMANFAATAN VCT

Level Penyakit

1. Pemeriksaan CD4

2. Persepsi tentang keparahan penyakit

Gambar 2: Kerangka Konsep Penelitian

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei explanatory research untuk menjelaskan pengaruh antara variabel penelitian melalui pengujian hipotesa pada penelitian yaitu pengaruh faktor predisposisi, dukungan keluarga dan level penyakit terhadap pemanfaatan VCT di Kota Medan.

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan dengan pertimbangan, Kota Medan memiliki jumlah ODHA yang paling besar dan memiliki sarana klinik VCT yang paling banyak. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2008.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah semua ODHA (orang dengan HIV/AIDS) yang pernah memanfaatkan klinik VCT di Kota Medan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, Bulan Desember 2007 jumlah ODHA yang pernah mendapatkan pelayanan di klinik VCT di Kota Medan yaitu 454 orang.

(48)

10% ini diambil untuk menghindari apabila ada data dari responden yang terpilih tidak lengkap sehingga harus dikeluarkan saat akan dilakukan perhitungan secara statistik.

Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling pada kelompok-kelompok orang dengan HIV/AIDS, dengan kriteria sebagai berikut :

1. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dewasa (≥ 20 tahun) 2. Berdomisili di Kota Medan

3. Pernah memanfaatkan klinik VCT sebagai sarana pelayanan kesehatan bagi ODHA

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden (sampel) langsung melalui wawancara berpedoman pada kuesioner yang telah disusun mencakup variabel independen yaitu faktor predisposisi, dukungan keluarga dan level penyakit serta variabel dependen pemanfaatan VCT. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Sumatera Utara dan referensi yang berhubungan dengan HIV/AIDS.

(49)

menyatakan hasil pengukuran yang ingin diukur. Uji validitas dilakukan terhadap instrumen penelitian dengan memakai rumus korelasi produk moment dari Pearson. Suatu pertanyaan dikatakan valid atau bermakna sebagai alat pengumpul data bila korelasi hasil hitung (r hitung) lebih besar dari angka kritik nilai korelasi. Nilai r hitung adalah 0,230. Analisis output dapat dilihat sebagai berikut:

1. Persepsi tentang penyakit 1, nilai 0,5413 > 0,230, kesimpulan valid 2. Persepsi tentang penyakit 2, nilai 0,6345 > 0,230, kesimpulan valid 3. Persepsi tentang penyakit 3, nilai 0,4907 > 0,230, kesimpulan valid 4. Persepsi tentang penyakit 4, nilai 0,7479 > 0,230, kesimpulan valid 5. Persepsi tentang penyakit 5, nilai 0,6117 > 0,230, kesimpulan valid 6. Persepsi tentang penyakit 6, nilai 0,3989 > 0,230, kesimpulan valid 7. Persepsi pelayanan kesehatan 1, nilai 0,6598 > 0,230, kesimpulan valid 8. Persepsi pelayanan kesehatan 2, nilai 0,6731 > 0,230, kesimpulan valid 9. Persepsi pelayanan kesehatan 3, nilai 0,6392 > 0,230, kesimpulan valid 10.Persepsi pelayanan kesehatan 4, nilai 0,6509 > 0,230, kesimpulan valid 11.Persepsi pelayanan kesehatan 5, nilai 0,6509> 0,230, kesimpulan valid 12.Persepsi pelayanan kesehatan 6, nilai 0,6874 > 0,230, kesimpulan valid 13.Persepsi pelayanan kesehatan 7, nilai 0,5758 > 0,230, kesimpulan valid 14.Persepsi pelayanan kesehatan 8, nilai 0,5918 > 0,230, kesimpulan valid 15.Persepsi pelayanan kesehatan 9 nilai 0,5267> 0,230, kesimpulan valid 16.Dukungan keluarga 1, nilai 0,9222 > 0,230, kesimpulan valid

(50)

18.Dukungan keluarga 3, nilai 0,6801 > 0,230, kesimpulan valid 19.Dukungan keluarga 4, nilai 0,7462 > 0,230, kesimpulan valid

20.Persepsi tentang keparahan penyakit 1, nilai 0,7817 > 0,230, kesimpulan valid 21.Persepsi tentang keparahan penyakit 2, nilai 0,5759 > 0,230, kesimpulan valid 22.Persepsi tentang keparahan penyakit 3, nilai 0,3118 > 0,230, kesimpulan valid

Reliabilitas digunakan untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Uji reliabilitas dilakukan terhadap instrumen penelitian dengan memakai metode cronbach’s alpha. Suatu pertanyaan dikatakan reliabel bila korelasi hasil r alpha lebih besar dari r tabel. Nilai r tabel adalah 0,60. Analisis output dapat dilihat sebagai berikut:

1. Persepsi tentang penyakit, nilai 0,8092 > 0,60, kesimpulan reliabel 2. Persepsi pelayanan kesehatan, nilai 0,8820 > 0,60, kesimpulan reliabel 3. Dukungan keluarga, nilai 0,9065 > 0,60, kesimpulan reliabel

4. Persepsi tentang keparahan penyakit, nilai 0,7170 > 0,60, kesimpulan reliabel

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Independen

1. Faktor Predisposisi

(51)

b. Jenis Kelamin adalah perbedaan biologis responden, dibedakan atas: (1) laki-laki dan (0) perempuan.

c. Status perkawinan adalah status perkawinan responden, dibedakan atas: (1) kawin, (0) belum kawin.

d. Status pekerjaan adalah status pekerjaan responden, dibedakan atas: (1) bekerja dan (0) tidak bekerja.

e. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang telah dicapai oleh responden, dibedakan atas: (1) pendidikan dasar (2) pendidikan menengah dan (3) pendidikan tinggi.

f. Persepsi tentang penyakit adalah penilaian tentang akibat-akibat yang mungkin timbul dari penyakit yang diderita, dibedakan atas (1) baik dan (0) tidak baik

g. Persepsi tentang pelayanan kesehatan adalah penilaian tentang pelayanan kesehatan di klinik VCT seperti pelayanan dokter, perawat atau konselor, yang dibedakan atas: (1) baik dan (0) tidak baik.

2. Dukungan Keluarga

(52)

3. Level Penyakit

a. Pemeriksaan CD4 adalah tindakan pasien untuk mengetahui tingkat CD4 melalui pemeriksaan dokter, yang dibedakan atas: (1) baik, (0) tidak baik.

b. Persepsi tentang keparahan penyakit adalah penilaian subjektif terhadap kondisi kesehatan yang dirasakan, yang dibedakan atas: (1) baik dan (0) tidak baik.

3.5.2. Variabel Dependen

Pemanfaatan VCT adalah tindakan ODHA dalam mengatasi masalah kesehatannya dengan mendatangi sarana pelayanan kesehatan berupa klinik VCT yang ada di Kota Medan dalam satu tahun terakhir.

3.6. Metode Pengukuran 3.6.1. Variabel Independen

(53)

Secara lebih rinci metode pengukuran variabel independen dapat dilihat pada Tabel 3.1. berikut:

Tabel 3.1. Metode Pengukuran No Variabel

(54)

3.6.2. Variabel Dependen

Variabel dependen yaitu pemanfaatan VCT dalam satu tahun terakhir. Untuk mengetahui tingkat pemanfaatan VCT digunakan skala nominal dikotomi dengan penilaian (1) baik, jika memanfaatkan klinik VCT dalam satu tahun terakhir dan (0) tidak baik jika tidak memanfaatkan klinik VCT dalam satu tahun terakhir.

3.7. Metode Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik regresi logistik yaitu untuk menguji pengaruh variabel faktor predisposisi, dukungan keluarga dan level penyakit terhadap pemanfaatan VCT.

(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan pintu masuk untuk membantu setiap orang mendapatkan akses ke semua pelayanan, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial. Klinik VCT adalah sarana pelayanan kesehatan yang digunakan dalam upaya penanggulangan kasus HIV/AIDS. Klinik ini bekerja sama dengan berbagai pihak dalam melakukan pemetaan, estimasi dan pencarian kasus sedini mungkin, salah satunya pada kelompok resiko tinggi (high risk population). Klinik VCT juga memberikan pengobatan dan dukungan bagi ODHA agar tidak menularkan kepada orang lain dan agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Secara geografis Kota Medan memiliki luas wilayah 265,10 km2 berbatasan dengan wilayah-wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan selat malaka

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang d. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

(56)

Di Kota Medan, terdapat lima rumah sakit rujukan dan satu Puskesmas yang ditunjuk sebagai rumah sakit yang menyediakan sarana pelayanan klinik VCT yaitu RSU H.Adam Malik, RSU Dr. Pirngadi, RS Bhayangkara Tk II Sumut, RS Kesdam II Bukit Barisan, Haji Us Syifa Medan dan Puskesmas Padang Bulan.

Tujuan dibentuknya konseling dan testing sukarela antara lain:

1. Mencegah penularan dari orang yang terinfeksi pada orang yang tidak terinfeksi (pasangannya).

2. Mencegah penularan pada orang yang tidak terinfeksi oleh orang yang terinfeksi (pasangannya)

3. Mencegah penularan dari ibu yang terinfeksi kepada janinnya.

4. Mempromosikan orang untuk secara dini memanfaatkan layanan, seperti: pelayanan medik, pelayanan kesehatan primer (terapi ARV, pengobatan dan pencegahan infeksi opportunistik), KB, dukungan dan perawatan emosional psikologis, konseling untuk ODHA, dukungan sosial dan kesejahteraan serta bantuan hukum dan rencana masa depan (Gunung, 2005).

(57)

VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan, yaitu:

1. Layanan VCT dilakukan berdasarkan kebutuhan klien saat mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif, diantaranya konseling, dukungan, terapi suportif, terapi oportunistik dan ART. 2. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh

intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan resiko HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS, mempelajari status dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku beresiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat. 3. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera

setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi dan resiko.

Prinsip pelayanan konseling dan testing HIV / AIDS antara lain: (a) sukarela dalam melaksanakan testing, (b) saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas. (c) mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif, dan (d) testing merupakan salah satu komponen dari VCT (Depkes, 2005)

(58)

4.2. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi responden dapat dilihat melalui umur, jenis kelamin, status perkawinan, status pekerjaan, tingkat pendidikan, persepsi tentang penyakit dan persepsi tentang pelayanan kesehatan. Berikut adalah distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor predisposisi:

Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Status Pekerjaan, dan Tingkat Pendidikan

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan , Status Pekerjaan dan Tingkat Pendidikan

Hasil Penelitian

No Karakteristik Umum

Frekuensi %

3 Status Perkawinan a. Belum kawin

4 Status Pekerjaan a. Tidak bekerja

5 Tingkat Pendidikan a. Pendidikan dasar b. Pendidikan menengah c. Pendidikan tinggi

(59)

Jumlah responden pada penelitian ini adalah 50 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berumur 20-40 tahun lebih banyak dari pada yang berumur di atas 40 tahun yaitu sebanyak 96%. Berdasarkan jenis kelamin, responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 70% (Tabel 4.1).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang belum menikah lebih banyak dari pada yang memiliki pasangan atau berstatus kawin yaitu sebanyak 52%. Responden yang bekerja lebih banyak jumlahnya dari pada yang tidak bekerja yaitu sebanyak 54% (Tabel 4.1).

Berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah responden dengan tingkat pendidikan menengah adalah yang paling tinggi dibandingkan tingkat pendidikan dasar dan tinggi yaitu sebanyak 54% (Tabel 4.1).

4.2.2. Persepsi Responden Tentang Penyakit

Persepsi responden tentang penyakit meliputi pendapat responden tentang kerentanan tubuh terhadap infeksi, kemungkinan AIDS bisa disembuhkan, penurunan kekebalan tubuh, dampak AIDS terhadap kegiatan sehari-hari, pengucilan dari keluarga, dan pengucilan masyarakat.

(60)

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Tentang Penyakit Hasil Penelitian No Persepsi

Frekuensi % 1 HIV membuat tubuh rentan terkena infeksi

a. Ya

2 AIDS bisa disembuhkan a. Ya

3 HIV menurunkan kekebalan tubuh a. Ya

4 HIV/AIDS mengganggu kegiatan sehari-hari a. Ya

5 HIV/AIDS membuat penderita dikucilkan keluarga a. Ya

6 HIV/AIDS membuat penderita dikucilkan masyarakat a. Ya

(61)

penderita HIV/AIDS, meskipun masyarakat dianggap masih mengucilkan penderita HIV/AIDS yaitu sebanyak 66%

Keseluruhan hasil penelitian persepsi tentang penyakit direkapitulasi dan dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu baik dan tidak baik. Berdasarkan hasil rekapitulasi tersebut didapatkan bahwa responden yang persepsinya baik sebanyak 60% sedangkan yang dikategorikan berpersepsi tidak baik sebanyak 40% (Tabel 4.3). Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi Tentang

Penyakit

No Kategori Frekuensi Persen

1 Tidak Baik 20 40

2 Baik 30 60

Total 50 100

4.2.3. Persepsi Responden Tentang Pelayanan Kesehatan

Persepsi responden tentang pelayanan kesehatan meliputi pendapat responden tentang kemampuan, kehadiran dan perhatian dokter, perawat dan konselor.Gambaran persepsi responden tentang pelayanan kesehatan dapat dilihat pada Tabel 4.4.berikut: Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Tentang Pelayanan

Kesehatan

Hasil Penelitian No Persepsi

Frekuensi % Persepsi tentang dokter

1 Kemampuan dokter dalam menangani pasien HIV/AIDS a. Baik

(62)

Lanjutan Tabel 4.4.

3 Perhatian dokter dalam menangani pasien HIV/AIDS a. Baik

4 Kemampuan perawat dalam menangani pasien HIV/AIDS a. Baik

5 Kehadiran perawat dalam menangani pasien HIV/AIDS a. Baik

6 Perhatian perawat dalam menangani pasien HIV/AIDS a. Baik 7 Kemampuan konselor dalam menangani pasien

HIV/AIDS

8 Kehadiran konselor dalam menangani pasien HIV/AIDS a. Baik

9 Perhatian konselor dalam menangani pasien HIV/AIDS a. Baik

(63)

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kemampuan (52%) dan perhatian (54%) perawat dalam menangani pasien HIV/AIDS dianggap masih kurang, sedangkan tingkat kehadiran perawat masih cukup baik (52%) (Tabel 4.4.).

Sementara kemampuan (56%) dan perhatian (54%) konselor dianggap cukup baik dalam menangani pasien HIV/AIDS, namun tingkat kehadiran konselor justru dianggap kurang (64%) (Tabel 4.4.).

Keseluruhan hasil penelitian berdasarkan persepsi tentang pelayanan kesehatan tersebut direkapitulasi, dan selanjutnya dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu baik dan tidak baik. Berdasarkan hasil rekapitulasi tersebut didapatkan bahwa responden yang persepsinya baik hanya 46% sedangkan yang persepsinya tidak baik sebanyak 54% (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi Tentang Pelayanan Kesehatan

No Kategori Frekuensi Persen

1 Tidak Baik 27 54

2 Baik 23 46

Total 50 100

4.3. Dukungan Keluarga

(64)

Gambaran dukungan keluarga terhadap responden dapat dilihat pada Tabel 4.6. berikut:

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga Hasil Penelitian

No Dukungan Keluarga

Frekuensi % 1 Keluarga mengetahui responden terkena HIV/AIDS

a. Ya

2 Keluarga menjauhi / mengucilkan responden karena HIV/AIDS

3 keluarga menyarankan berobat a. Ya

4 keluarga mendampingi saat berobat a. Ya

Berdasarkan Tabel 4.6. di atas diketahui bahwa sebagian besar responden diketahui terkena HIV/AIDS oleh keluarganya yaitu sebanyak 54%. Dari responden yang diketahui status HIV/AIDS oleh keluarga, sebagian besar (85,1%) tidak dijauhi / dikucilkan keluarganya. Sebagian besar keluarga responden yang mengetahui status HIV/AIDS menyarankan untuk berobat (77,8%) dan mendampingi responden saat berobat (62,9%).

(65)

mendapat dukungan keluarga kategori baik sebanyak 54% sedangkan yang dikategorikan tidak baik sebanyak 46% (Tabel 4.7).

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Dukungan Keluarga

No Kategori Frekuensi Persen

1 Tidak Baik 23 46

2 Baik 27 54

Total 50 100

4.4. Level Penyakit

Level penyakit (tingkat penyakit) dapat dilihat berdasarkan pemeriksaan CD4 (evaluated) dan persepsi tentang keparahan penyakit (perceived). Distribusi responden berdasarkan pemeriksaan jumlah CD4 dapat dilihat pada Tabel 4.8. berikut:

Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pemeriksaan CD4 responden Hasil Penelitian Berdasarkan Tabel 4.8. di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden tidak memeriksa CD4, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar orang dengan HIV/AIDS tidak mengetahui tingkat CD4 nya, sehingga akan sulit menentukan waktu memulai pengobatan selanjutnya.

(66)

Gambaran persepsi responden tentang keparahan penyakit dapat dilihat pada Tabel 4.9. berikut:

Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Keparahan Penyakit

Hasil Penelitian No Persepsi

Frekuensi % 1 Keluhan karena HIV/AIDS yang dialami perlu

diobati

2 Keluhan karena HIV/AIDS yang dialami dapat diobati secara medis

3 Pengobatan HIV/AIDS yang dialami perlu dilakukan melalui konseling

Berdasarkan Tabel 4.9. di atas diketahui bahwa sebagian besar responden (58%) menyatakan bahwa HIV/AIDS perlu diobati dan yakin bahwa penyakit HIV/AIDS yang mereka derita dapat diobati secara medis (60%).

(67)

Tabel 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi tentang Keparahan Penyakit

No Kategori Frekuensi Persen

1 Tidak Baik 19 38

2 Baik 31 62

Total 50 100

4.5. Pemanfaatan VCT

Pemanfaatan VCT merupakan variabel dependen pada penelitian ini, dinilai dari jawaban yang diberikan oleh ODHA atas pertanyaan yang diajukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 68% responden memanfaatkan pelayanan VCT dalam satu tahun terakhir minimal sekali dan sebanyak 32% responden menyatakan tidak memanfaatkan pelayanan VCT selama setahun terakhir (Tabel 4.11).

Tabel 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan VCT Hasil Penelitian

Pemanfaatan VCT

Frekuensi % Memanfaatkan klinik VCT

1. Tidak baik 2. Baik

16 34

32 68

Total 50 100

4.6.Analisis Bivariat

(68)

Tabel 4.12. Hasil Uji Korelasi Pearson Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga dan Level Penyakit Dengan Pemanfaatan VCT

Pemanfaatan VCT No Variabel Independen

tidak

3 Status Perkawinan 1. Belum kawin 4 Status Pekerjaan

1. Tidak bekerja 5 Tingkat Pendidikan

1. Pendidikan dasar 2. Pendidikan

6 Persepsi Tentang Penyakit 1. Tidak baik 7 Persepsi tentang pelayanan

kesehatan 8 Dukungan keluarga

1. tidak baik 9 Pemeriksaan CD4

1. tidak baik

(69)

Berdasarkan Tabel 4.12 di atas diketahui bahwa pemanfaatan VCT yang baik paling banyak terdapat pada kelompok umur 20-40 tahun, namun korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan antara umur dengan pemanfaatan VCT (p>0,05).

Berdasarkan jenis kelamin, pemanfaatan VCT yang baik paling banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan pemanfaatan VCT (p<0,05).

Berdasarkan status perkawinan, pemanfaatan VCT yang baik paling banyak terdapat pada kelompok responden yang berstatus belum kawin. Hasil korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan antara status perkawinan dengan pemanfaatan VCT (p<0,05).

Berdasarkan status pekerjaan, pemanfaatan VCT yang baik paling banyak terdapat pada kelompok responden yang tidak bekerja. Hasil korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan antara status pekerjaan dengan pemanfaatan VCT (p<0,05).

Berdasarkan tingkat pendidikan, pemanfaatan VCT yang baik paling banyak terdapat pada responden dengan tingkat pendidikan menengah. Namun korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemanfaatan VCT (p>0,05).

(70)

Namun korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan antara persepsi tentang penyakit dengan pemanfaatan VCT (p>0,05).

Berdasarkan persepsi tentang pelayanan kesehatan, pemanfaatan VCT yang baik paling banyak terdapat pada kelompok responden yang persepsinya cukup baik terhadap pelayanan kesehatan. Hasil korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan antara persepsi tentang pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan VCT (p<0,05).

Berdasarkan Tabel 4.13 di atas diketahui bahwa pemanfaatan VCT yang baik paling banyak terdapat pada responden yang mendapatkan dukungan keluarga. Hasil korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan VCT (p<0,05).

Berdasarkan Tabel 4.14. di atas diketahui bahwa pemanfaatan VCT yang baik paling banyak terdapat pada responden yang memeriksakan jumlah CD4. Hasil korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan antara pemeriksaan CD4 dengan pemanfaatan VCT (p<0,05).

(71)

4.7. Analisis Multivariat

Untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, status pekerjaan, tingkat pendidikan, persepsi tentang penyakit, persepsi tentang pelayanan kesehatan), dukungan keluarga dan level penyakit (pemeriksaan CD4 dan persepsi tentang keparahan penyakit) terhadap pemanfaatan VCT dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.

Dalam penelitian ini terdapat 10 variabel penelitian yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, status pekerjaan, tingkat pendidikan, persepsi tentang penyakit, persepsi tentang pelayanan kesehatan, dukungan keluarga, pemeriksaan CD4, dan persepsi tentang keparahan penyakit.

Berdasarkan hasil uji bivariat dengan metode korelasi Pearson diperoleh hasil bahwa terdapat enam variabel yang berhubungan dengan pemanfaatan VCT yaitu jenis kelamin, status perkawinan, status pekerjaan, persepsi tentang pelayanan kesehatan, dukungan keluarga, dan pemeriksaan CD4.

(72)

Uji regresi logistik dilakukan dengan memasukkan kedelapan variabel yang dianggap signifikan. Melalui metode Forward Stepwise diperoleh hasil bahwa terdapat tiga variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen dengan nilai p lebih kecil dari 0,05 yaitu status pekerjaan, persepsi tentang pelayanan kesehatan, dan dukungan keluarga.

Hasil uji multivariat dengan metode regresi logistik dapat dilihat pada Tabel 4.13. berikut:

Tabel 4.13. Variabel yang Memengaruhi Pemanfaatan VCT

Variabel p

Pekerjaan

Persepsi tentang pelayanan kesehatan Dukungan Keluarga

Constant

0,008 0,009 0,021 0,555

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 2: Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Metode Pengukuran Kategori
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan , Status Pekerjaan dan Tingkat Pendidikan Karakteristik Umum Hasil Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keinginan yang berlebih untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadikan seseorang berbuat apa saja yang penting harpannya dapat dipenuhi, meskipun kegiatannya menimbulkan

1) Motivasi dan semangat siswa dalam mengikuti pembelajaran mengalami peningkatan. 2) Proses belajar mengajar sudah mengarah ke metode demonstrasi secara lebih

Photogrammetry was selected to build the above- water model, since images suffice to compute a 3D point cloud, but also to estimate the trajectory of the boat, in order to

Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar

Dalam film yang aktor/aktris atau obyek lain muncul dengan tiba-tiba misalnya “pop in” pada layar maka aktor/aktris dalam adegan akan diminta untuk diam.. Orang atau obyek

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa dari ketiga variabel yang dipakai yakni variabel ukuran perusahaan, laba rugi perusahaan dan ukuran Kantor

2009, Efek 2-Methoxyethanol Terhadap Kadar Testosteron dan Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.), Tesis, Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

[r]