• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons Pertumbuhan dan Produksi Bibit Kentang (Solanum tuberosum L.) dengan Perbedaan Bobot Bibit dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair di Rumah Kassa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respons Pertumbuhan dan Produksi Bibit Kentang (Solanum tuberosum L.) dengan Perbedaan Bobot Bibit dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair di Rumah Kassa"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIBIT KENTANG (Solanum tuberosum L.)

DENGAN PERBEDAAN BOBOT BIBIT (G1) DAN KONSENTRASI PUPUK ORGANIK CAIR DI RUMAH KASSA

SKRIPSI

OLEH :

MARIA MASELA S. SITANGGANG/ 090301196 AGROEKOTEKNOLOGI

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIBIT KENTANG (Solanum tuberosum L.)

DENGAN PERBEDAAN BOBOT BIBIT (G1) DAN KONSENTRASI PUPUK ORGANIK CAIR DI RUMAH KASSA

SKRIPSI

OLEH :

MARIA MASELA S. SITANGGANG/ 090301196 AGROEKOTEKNOLOGI

Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Skripsi : Respons Pertumbuhan dan Produksi Bibit Kentang (Solanum tuberosum L.) dengan Perbedaan Bobot Bibit dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair di Rumah Kassa

Nama : Maria Masela S. Sitanggang

Nim : 090301196

Minat : Budidaya Pertanian dan Perkebunan Program Studi : Agroekoteknologi

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Ir. T. Irmansyah, MP. Ir. Jasmani Ginting, MP. Ketua Anggota

Mengetahui,

(4)

ABSTRAK

MARIA MASELA S. SITANGGANG : Respons Pertumbuhan dan Produksi Bibit Kentang (Solanum tuberosum L.) dengan Perbedaan Bobot Bibit (G1) dan

Konsentrasi Pupuk Organik Cair di Rumah Kassa, dibimbing oleh T. IRMANSYAH dan JASMANI GINTING

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kassa Kebun Percobaan Berastagi yang berada pada ketinggian ± 1340 mdpl dari bulan April sampai Juli 2013, menggunakan rancangan petak terbagi dengan dua faktor yaitu konsentrasi pupuk organik cair (0, 2, 4 dan 6 cc/L) dan bobot bibit G1 (≤ 3, 3-6, 6-9 dan 9-12 g). Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah batang utama, durasi daun hijau, jumlah umbi pertanaman, bobot umbi pertanaman, total produksi perplot, persentase grade umbi, dan jumlah mata tunas pergrade.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap parameter durasi daun hijau. Perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah batang utama,

jumlah umbi pertanaman, total produksi perplot dan persentase grade umbi >10-20g. Interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap persentase grade umbi ≤ 5g. Hasil terbaik dari interaksi ini diperoleh pada perlakuan konsentrasi pupuk organik cair 6 cc/L dan bobot bibit 9-12 gr.

(5)

ABSTRACT

MARIA MASELA S. SITANGGANG: Response in Growth and Yield of Potatoes (Solanum tuberosum L.) according to tuber weight difference (G1) and organic liquid fertilizer concentration in screen house, supervised by T. IRMANSYAH and JASMANI GINTING

The research was conducted at Screen house Experiment Berastagi at ± 1340 m asl from April until July 2013 using split plot design with two factor, i.e. organic liquid fertilizer concentration (0, 2, 4, and 6 cc/L) and tuber weight difference (≤ 3, 3-6, 6-9 and 9-12 g). Parameter observed were plant height, main stem number, duration of green leaves, tuber weight per plant, tuber number per plant, weight tuber per plot, tuber grade percentage and tuber bud per grade

The result showed organic liquid fertilizer treatment significantly effected on duration of green leaves parameter observed. Tuber weight difference treatment significantly effected on parameters plant height, main stem number, tuber number per plant, weight tuber per plot and tuber grade percentage on >10-20g. The interaction of two factor significantly effected on parameters tuber grade percentage on ≤ 5g. The best result was showed by organic liquid fertilizer concentration 6 cc/L and tuber weight 9-12 g.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Batam pada tanggal 12 September 1991 dari ayah Sulung

Sitanggang dan ibu Karolina Manullang. Penulis merupakan anak kedua dari tiga

bersaudara.

Tahun 2009 penulis lulus dari SMA KATOLIK CAHAYA, Medan dan

pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur seleksi

nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Penulis memilih minat

Budidaya Pertanian dan Perkebunan, Program Studi Agroekoteknologi.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan

Mahasiswa Agroekoteknologi (Himagrotek).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT. Perkebunan

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Respons Pertumbuhan dan Produksi Bibit Kentang (Solanum tuberosum L.) dengan Perbedaan Bobot Bibit (G1) dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair di

Rumah Kassa”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada orang tua

yang telah memberikan dukungan finansial dan spiritual. Penulis juga

mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ir. T. Irmansyah, MP. selaku ketua

komisi pembimbing dan Bapak

pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan selama penulisan

skripsi ini serta Ibu Agustina br Marpaung, STP sebagai pembimbing lapangan.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf pengajar, staf pegawai

serta sahabat di lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang

telah banyak membantu dalam kelancaran studi dan penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu

penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga hasil

skripsi ini bermanfaat bagi budidaya kentang serta bermanfaat bagi pihak yang

membutuhkan. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Desember 2013

(8)
(9)

Panen ... 19

Pengamatan Parameter ... 19

Tinggi tanaman (cm) ... 19

Jumlah batang (batang) ... 20

Durasi daun menghijau (helai) ... 20

Bobot umbi per tanaman (g) ... 20

Jumlah umbi per tanaman (umbi) ... 20

Total produksi per plot (g) ... 20

Persentase grade umbi (%) ... 20

Jumlah mata tunas umbi per grade (mata umbi) ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 22

Pembahasan ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 49

Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Rataan tinggi tanaman 4-10 MST (cm) pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1) ... 23 2. Rataan jumlah batang utama (batang) pada pemberian pupuk organik cair

dan perbedaan bobot bibit (G1) ... 26 3. Rataan durasi daun hijau (helai) pada pemberian pupuk organik cair dan

perbedaan bobot bibit (G1) ... 28 4. Rataan jumlah umbi pertanaman (umbi) pada pemberian pupuk organik

cair dan perbedaan bobot bibit (G1) ... 32 5. Rataan bobot umbi pertanaman (g) pada pemberian pupuk organik cair

dan perbedaan bobot bibit (G1) ... 33 6. Rataan total produksi perplot (g) pada pemberian pupuk organik dan

perbedaan bobot bibit (G1) ... 34 7. Rataan persentase grade umbi (%) pada pemberian pupuk organik dan

perbedaan bobot bibit (G1) ... 36 8. Rataan jumlah mata tunas umbi (mata tunas) pergrade pada pemberian

pupuk organik dan perbedaan bobot bibit (G1) ... 40

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman 4-10 MST (cm) pada pemberian beberapa konsentrasi pupuk organik cair ... 24 2. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman 4-10 MST (cm) pada perbedaan

bobot bibit (G1) ... 25 3. Histogram hubungan tinggi tanaman 10 MST (cm) dengan perlakuan

bobot bibit (G1) ... 26 4. Histogram hubungan jumlah batang utama (batang) dengan perlakuan

bobot bibit (G1 ... 27 5. Grafik perkembangan durasi daun hijau (helai) pada beberapa perbedaan

bobot bibit (G1) ... 29 6. Grafik perkembangan durasi daun hijau (helai) pada beberapa

konsentrasi pupuk organik cair ... 30 7. Grafik hubungan durasi daun (helai) 85 HST dengan perlakuan

konsentrasi pupuk organik cair ... 31 8. Histogram hubungan jumlah umbi pertanaman (umbi) dengan perlakuan

perbedaan bobot bibit ... 32 9. Histogram hubungan total produksi perplot (g) dengan perlakuan

perbedaan bobot bibit ... 35 10. Histogram hubungan persentase grade umbi (%) >10-20 g dengan

perlakuan perbedaan bobot bibit. ... 38 11. Histogram interaksi konsentrasi pupuk organik cair dan perbedaan bobot

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Deskripsi kentang varietas Granola ... 54

2. Bagan penelitian ... 55

3. Bagan Letak Tanaman pada plot ... 56

4. Jadwal kegiatan pelaksanaan penelitian ... 57

5. Data hasil analisis pupuk organik cair ... ..58

6. Data pengamatan tinggi tanaman 4 MST (cm) ... 59

7. Sidik ragam tinggi tanaman 4 MST ... 59

8. Data pengamatan tinggi tanaman 6 MST (cm) ... 60

9. Sidik ragam tinggi tanaman 6 MST ... 60

10. Data pengamatan tinggi tanaman 8 MST (cm) ... 61

11. Sidik ragam tinggi tanaman 8 MST ... 61

12. Data pengamatan tinggi tanaman 10 MST (cm) ... 62

13. Sidik ragam tinggi tanaman 10 MST ... 62

14. Data pengamatan jumlah batang utama (batang) ... 63

15. Sidik ragam jumlah batang utama ... 63

16. Data pengamatan durasi daun hijau 50 HST (helai) ... 64

17. Sidik ragam durasi daun hijau 50 HST ... 64

18. Data pengamatan durasi daun hijau 57 HST (helai) ... 65

19. Sidik ragam durasi daun hijau 57 HST ... 65

20. Data pengamatan durasi daun hijau 64 HST (helai) ... 66

21. Sidik ragam durasi daun hijau 64 HST ... 66

22. Data pengamatan durasi daun hijau 71 HST (helai) ... 67

23. Sidik ragam durasi daun hijau 71 HST ... 67

24. Data pengamatan durasi daun hijau 78 HST (helai) ... 68

25. Sidik ragam durasi daun hijau 78 HST ... 68

26. Data pengamatan durasi daun hijau 85 HST (helai) ... 69

27. Sidik ragam durasi daun hijau 85 HST ... 69

28. Data pengamatan jumlah umbi pertanaman (umbi) ... 70

29. Sidik ragam jumlah umbi pertanaman ... 70

30. Data pengamatan bobot umbi pertanaman (g) ... 71

31. Sidik ragam bobot umbi pertanaman ... 71

32. Data pengamatan total produksi perplot (g) ... 72

33. Sidik ragam jumlah total produksi perplot ... 72

34. Data pengamatan persentase grade umbi ≤ 5g (%) ... 73

35. Sidik ragam persentase grade umbi ≤ 5 g ... 73

(13)

37. Sidik ragam persentase grade umbi ≤ 5 g setelah transformasi

... 74 38. Data pengamatan persentase grade umbi >5-10 g (%) ... 75 39. Sidik ragam persentase grade umbi >5-10 g ... 75 40. Data pengamatan persentase grade umbi >5-10 g (%) setelah

transformasi ... 76 41. Sidik ragam persentase grade umbi >5-10 g setelah transformasi

... 76 42. Data pengamatan persentase grade umbi >10-20 g (%) ... 77 43. Sidik ragam persentase grade umbi >10-20 g ... 77 44. Data pengamatan persentase grade umbi >10-20g (%) setelah

transformasi ... 78 45. Sidik ragam persentase grade umbi >10-20 g setelah transformasi

... 78 46. Data pengamatan persentase grade umbi >20 g (%) ... 79 47. Sidik ragam persentase grade umbi >20 g ... 79 48. Data pengamatan persentase grade umbi >20 g (%) setelah

transformasi ... 80 49. Sidik ragam persentase grade umbi >20 g setelah transformasi

... 80 50. Data pengamatan jumlah mata tunas pergrade ≤ 5g (mata tunas) ... 81 51. Sidik ragam jumlah mata tunas pergrade ≤ 5g ... 81 52. Data pengamatan persentase grade umbi ≤ 5g (%) setelah

transformasi ... 82 53. Sidik ragam persentase grade umbi ≤ 5 g setelah transformasi

... 82 54. Data pengamatan jumlah mata tunas pergrade >5-10 g (mata

tunas) ... 83 55. Sidik ragam jumlah mata tunas pergrade >5-10 g ... 83 56. Data pengamatan persentase grade umbi >5-10 g (%) setelah

transformasi ... 84 57. Sidik ragam persentase grade umbi >5-10 g setelah transformasi

... 84 58. Data pengamatan jumlah mata tunas pergrade >10-20 g (mata

tunas) ... 85 59. Sidik ragam jumlah mata tunas pergrade >10-20 g ... 85 60. Data pengamatan persentase grade umbi >10-20 g (%) setelah

transformasi ... 86 61. Sidik ragam persentase grade umbi >10-20 g setelah transformasi

(14)

64. Data pengamatan persentase grade umbi >20g (%) setelah

transformasi ... 88

65. Sidik ragam persentase grade umbi >20g setelah transformasi ... 88

66. Foto Perbedaan Bibit Kentang (G1)... 89

67. Foto Pertumbuhan Tanaman 2 Bulan Setelah Tanam ... 89

68. Foto Total Produksi Per plot ... 90

69. Foto Jumlah Umbi Per Sampel ... 92

(15)

ABSTRAK

MARIA MASELA S. SITANGGANG : Respons Pertumbuhan dan Produksi Bibit Kentang (Solanum tuberosum L.) dengan Perbedaan Bobot Bibit (G1) dan

Konsentrasi Pupuk Organik Cair di Rumah Kassa, dibimbing oleh T. IRMANSYAH dan JASMANI GINTING

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kassa Kebun Percobaan Berastagi yang berada pada ketinggian ± 1340 mdpl dari bulan April sampai Juli 2013, menggunakan rancangan petak terbagi dengan dua faktor yaitu konsentrasi pupuk organik cair (0, 2, 4 dan 6 cc/L) dan bobot bibit G1 (≤ 3, 3-6, 6-9 dan 9-12 g). Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah batang utama, durasi daun hijau, jumlah umbi pertanaman, bobot umbi pertanaman, total produksi perplot, persentase grade umbi, dan jumlah mata tunas pergrade.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap parameter durasi daun hijau. Perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah batang utama,

jumlah umbi pertanaman, total produksi perplot dan persentase grade umbi >10-20g. Interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap persentase grade umbi ≤ 5g. Hasil terbaik dari interaksi ini diperoleh pada perlakuan konsentrasi pupuk organik cair 6 cc/L dan bobot bibit 9-12 gr.

(16)

ABSTRACT

MARIA MASELA S. SITANGGANG: Response in Growth and Yield of Potatoes (Solanum tuberosum L.) according to tuber weight difference (G1) and organic liquid fertilizer concentration in screen house, supervised by T. IRMANSYAH and JASMANI GINTING

The research was conducted at Screen house Experiment Berastagi at ± 1340 m asl from April until July 2013 using split plot design with two factor, i.e. organic liquid fertilizer concentration (0, 2, 4, and 6 cc/L) and tuber weight difference (≤ 3, 3-6, 6-9 and 9-12 g). Parameter observed were plant height, main stem number, duration of green leaves, tuber weight per plant, tuber number per plant, weight tuber per plot, tuber grade percentage and tuber bud per grade

The result showed organic liquid fertilizer treatment significantly effected on duration of green leaves parameter observed. Tuber weight difference treatment significantly effected on parameters plant height, main stem number, tuber number per plant, weight tuber per plot and tuber grade percentage on >10-20g. The interaction of two factor significantly effected on parameters tuber grade percentage on ≤ 5g. The best result was showed by organic liquid fertilizer concentration 6 cc/L and tuber weight 9-12 g.

(17)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas yang mendapat prioritas tinggi di bidang penelitian dan pengembangan sayuran di Indonesia.

Berdasarkan volume, kentang adalah tanaman pangan keempat dunia setelah

gandum, jagung dan padi. Dalam mencukupi kebutuhan pangan dunia,

peranannya juga semakin besar (Oktovani, 2002).

Granola adalah varietas kentang yang umum ditanam di Indonesia.

Varietas ini diperkirakan meliputi area sebesar 85-90% pertanaman kentang di

Indonesia. Varietas ini beradaptasi dengan baik terhadap sistem perakaran yang

intensif di dataran tinggi (Asandhi, 1996).

Produksi kentang di Indonesia dari tahun 2008 sampai 2011 mengalami

peningkatan namun tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada tahun

2008, kebutuhan benih kentang 103.272 ton, namun ketersediaanya hanya

8.066 ton atau baru terpenuhi sekitar 8 persen. Pada 2009, kebutuhan benih

kentang 103.375 ton, namun ketersediaannya hanya 13.481 ton atau hanya

13 persen. Pada 2010, kebutuhan benih kentang 103.478 ton,

sedangkan ketersediaannya hanya 14.702 ton atau 14 persen. Dan pada tahun

2011 dibutuhkan 103.582 ton padahal ketersediaannya hanya 15.537 ton atau

hanya 15 persen. Selama empat tahun terakhir, data Kementerian

Pertanian menunjukkan ketersediaan jumlah benih selalu kurang sekitar 8-14%

(Rosalina, 2011).

Ketidakmampuan petani Indonesia dalam memenuhi pasokan kentang

(18)

sektor tersebut dikarenakan terjadinya penurunan produktivitas pada tahap

produksi bibit kentang yang disebabkan bakteri dan virus yang menyerang bibit.

Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan menghasilkan bibit G0

(Generasi awal) yang bebas virus melalui kultur meristem dan dilanjutkan dengan

perbanyakan G0 yang menghasilkan bibit G1 yang bebas virus.

Untuk mencegah penurunan produktivitas dalam menghasilkan bibit G2,

juga diperlukan bibit G1 (Generasi pertama) dalam jumlah yang banyak yang

dapat menutupi kekurangan saat produksi bibit G2 (Generasi kedua) terutama jika

bakteri dan virus mulai menyerang bibit.

Menurut Suryadi dan Sahat (1992), bibit yang berukuran besar (>30 g)

memberikan hasil umbi lebih banyak untuk bibit. Rerata hasil panen yang baik

hanya menghasilkan 30% ukuran umbi bibit antara 25-50 g. Menurut penelitian

Sutapradja (2008), walaupun jarak tanam yang digunakan untuk pertanaman

kentang sama, tetapi produksi umbi yang dihasilkan dapat berlainan karena bobot

umbi yang digunakan untuk bibit berbeda, seperti perlakuan menggunakan ukuran

sedang 2,6 - 5 g sedikit lebih tinggi hasilnya dibandingkan umbi berukuran terlalu

kecil atau terlalu besar. Umbi yang baik untuk bibit adalah yang sehat dengan

ukuran 45 - 60 g. Makin tinggi kelas bobot umbi yang ditanam akan menghasilkan

umbi yang semakin banyak. Sutater, Asandhi, dan Hermanto (1993)

menambahkan bahwa semakin besar ukuran umbi bibit, maka semakin banyak

pula jumlah tanaman yang dipanen, hal ini diduga besarnya cadangan makanan

yang terdapat dalam umbi.

Upaya penyediaan bibit kentang bermutu juga perlu dilandasi dengan

(19)

produksi bibit. Salah satu pemecahannya adalah dengan menggunakan pupuk

organik cair. Pupuk organik cair merupakan pupuk yang berbentuk cairan, dibuat

dengan cara melarutkan bahan alami tertentu ke dalam air dengan melalui

serangkaian proses pembuatannya. Pupuk organik cair kebanyakan diaplikasikan

melalui daun atau disebut sebagai pupuk cair foliar yang mengandung hara makro

dan mikro esensial (N, P, K, S, Ca, Mg, B, Mo, Cu, Fe, Mn, dan bahan organik)

sehingga lebih cepat diserap oleh tanaman (Yenty, 2007).

Pemberian pupuk organik cair harus memperhatikan konsentrasi yang

diaplikasikan terhadap tanaman. Berdasarkan penelitian Ashar (2012) mengenai

pertumbuhan dan produksi umbi kentang (Solanum tuberosum L.) pada berbagai konsentrasi pupuk organik cair dan paclobutrazol, perlakuan pupuk organik cair

dengan konsentrasi 4 cc/ liter air dapat menghasilkan bobot umbi per petak

tertinggi sebesar 17,67 kg dan bobot umbi per ha tertinggi sebesar 58888,89 kg

sedangkan perlakuan dengan menggunakan pupuk organik cair 0 cc/liter air

menghasilkan bobot umbi per ha lebih rendah.

Jumiati (2007) menambahkan semakin tinggi dosis dan konsentrasi pupuk

yang diberikan maka kandungan unsur hara yang diterima oleh tanaman akan

semakin tinggi, begitu pula dengan semakin seringnya frekuensi aplikasi pupuk

daun yang dilakukan pada tanaman, maka kandungan unsur hara juga semakin

tinggi. Namun, pemberian dengan dosis dan konsentrasi yang berlebihan justru

akan mengakibatkan timbulnya gejala kelayuan pada tanaman. Oleh karena itu,

pemilihan dosis dan konsentrasi yang tepat perlu diketahui oleh para peneliti

maupun petani dan hal ini dapat diperoleh melalui pengujian-pengujian di

(20)

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

respon pertumbuhan dan produksi bibit kentang terhadap perlakuan bobot bibit

G1 dan konsentrasi pupuk organik cair di rumah kassa. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat diterapkan oleh petani dalam memanfaatkan bibit kentang di

lingkungan lahan pertanian sebagai upaya melakukan pertanian berkelanjutan

yang ramah lingkungan. Pupuk organik cair selain dapat memperbaiki sifat fisik,

kimia, dan biologi tanah, membantu meningkatkan produksi tanaman,

meningkatkan kualitas produk tanaman, mengurangi penggunaan pupuk

anorganik dan sebagai alternatif pengganti pupuk kandang. Selain itu, penggunaan

bibit dengan ukuran yang berbeda-beda perlu diteliti untuk mengetahui respon

pertumbuhan dan produksi pertanaman kentang selanjutnya. Dengan demikian

dapat diperoleh pertumbuhan dan hasil kentang yang optimal.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon

pertumbuhan dan produksi bibit kentang (Solanum tuberosum L.) dengan perbedaan bobot bibit (G1) dan konsentrasi pupuk organik cair di rumah kassa.

Hipotesis Penelitian

Perbedaan bobot bibit kentang G1 dan konsentrasi pupuk organik cair di

rumah kassa memberikan pengaruh yang nyata dalam meningkatkan pertumbuhan

(21)

Kegunaan Penelitian

Sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu

syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Klasifikasi tanaman kentang dalam Rukmana (1999) adalah

Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Sub Divisio : Angiospermae,

Kelas : Dicotyledonae, Ordo : Tubiflorae, Famili : Solanaceae, Genus : Solanum

dan species : Solanum tuberosum L.

Kentang adalah tanaman berumur pendek. Tanaman kentang yang

dihasilkan secara aseksual dari umbi memiliki akar serabut dengan percabangan

yang halus, agak dangkal, dan akar adventif berserat yang menyebar, sedangkan

tanaman yang berasal dari biji membentuk akar tunggang ramping dengan akar

lateral yang banyak (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Batang kentang kecil, lunak, bagian dalamnya berlubang dan bergabus.

Bentuknya persegi, tertutup dan dilapisi bulu - bulu halus. Pada dasar batang

utama akan tumbuh akar dan stolon. Stolon yang beruas ini akan membentuk

umbi, tetapi ada yang tumbuh menjadi tanaman baru. Dengan demikian,

stolon merupakan perpanjangan dari batang. Dengan kata lain umbi kentang

merupakan batang yang membesar. Sementara itu, akarnya bercabang

membentuk akar rambut yang berfungsi menyerap hara makanan dari dalam tanah

(Sunarjono, 2007).

Helaian daun tanaman kentang berbentuk lonjong, dengan ujung

meruncing, memilki anak daun primer dan sekunder, tersusun dalam tangkai daun

secara berhadap hadapan (daun majemuk) yang menyirip ganjil. Warna daun hijau

(23)

sudut kurang dari 45˚. Pada dasar tangkai daun terdapat tunas ketiak yang dapat

berkembang menjadi cabang sekunder (Rukmana, 2006).

Bunga kentang adalah zygomorph (mempunyai bidang simetris), berjenis

kelamin dua (hermaphroditus) warna mahkota brbentuk terompet dengan ujung

seprti bintang, lima benang sari berwarna kuning melingkari tangkai putiknya.

Bunga kentang tersusun dalam bentuk karangan bunga (inflorescens)

yang tumbuh diujung batang. Satu karangan bunga memiliki 1 – 30 bunga. Tetapi

pada umumnya 7 – 15 bunga untuk tiap karangan bunga. Bunga kentang

membuka pada pagi hari dan menutup pada sore hari yang berlangsung 3 – 7 hari

(Soelarso, 1997).

Seminggu setelah penyerbukan, bakal buah membesar dan sampai

keunguan, berbentuk bulat, bergaris tengah ± 2,5 cm dan berongga dua. Buah

kentang mengandung 500 bakal biji dan yang dapat berkembang menjadi biji

hanyalah berkisar antara 10 – 300 biji. Buah kentang dapat dipanen kira – kira 6 –

8 minggu setelah penyerbukan (Soelarso, 1997).

Buku (internode) yamg memanjang dan melengkung pada bagian

ujungnya disebut stolon. Ujung stolon membengkak sebagai tempat

berkumpulnya zat cadangan makanan yang disebut umbi kentang. Seluruh stolon

tidak dapat membentuk umbi. Stolon yang tidak tertutup tanah akan berkembang

menjadi batang vertical yang ditumbuhi daun. Jumlah mata umbi 2 – 14 buah,

tergantung ukuran umbi. Mata umbi tersusun dalam lingkaran spiral pada

permukaan umbi dan berpusat pada ujung umbi. Waktu tumbuh tunas berkisar

(24)

Syarat Tumbuh Iklim

Kentang menghendaki iklim yang ideal dengan suhu rata-rata harian 18° -

28°C, dan kelembaban 70 – 90%. Kombinasi suhu rendah dengan penyinaran

matahari yang relatif pendek dapat berpengaruh baik terhadap pembentukan dan

perkembangan umbi kentang (Gunawan, 2009). Ketika umbi terbentuk, maka

dibutuhkan suhu malam optimum 15˚ – 18˚ C dan suhu siang hari 24˚ - 30˚ C.

Suhu yang lebih rendah dapat diperoleh dengan memberikan naungan

berupa jaring (shading net) sehingga mampu menahan cahaya masuk sampai 50%

(Otazu, 2010).

Di Indonesia, tanaman kentang banyak diusahakan di datarn tinggi dengan

ketinggian berkisar 500 – 3.000 m dpl (Asandhi dan Gunadi, 1989). Menurut

Gunadi (2000), tanaman kentang asal biji botani (TPS) tumbuh dan memberikan

hasil umbi terbaik di daerah dengan ketinggian tempat di atas 1.500 m dpl.

Cahaya diperlukan oleh tanaman untuk fotosintesis. Intensitas cahaya dan

lama penyinaran akan mempengaruhi jumlah energi matahari yang sampai ke

bumi, bila intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman terlalu besar, maka

gelombang cahaya yang diterima oleh daun akan berubah menjadi panas,

akibatnya akan terjadi perubahan fisiologis dalam jaringan sehingga klorofil akan

rusak dan warna daun menjadi kuning atau terbakar (Gunawan, 2009).

Curah hujan antara 200 mm – 300 mm / bulan dan rata – rata 1000 mm

selama masa pertumbuhan. RH tanah yang paling baik adalah 40% sampai dengan

60%. RH udara yang tinggi 80% - 90% sangat baik untuk pertumbuhan kentang

(25)

Tanah

Tanaman kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang mempunyai struktur

cukup halus atau gembur, drainase baik, tanpa lapisan kedap air, debu atau debu

berpasir dan sedikit kering. Tanaman kentang lebih menyukai tanah – tanah

vulkanis (andosol) yang gembur dan bayak mengandung humus atau subur. pH

tanah yang cocok adalah 6 – 7 (Ashari, 1995).

Menurut Martodireso dan Suryanto (2001) tanah yang cocok untuk

tumbuh dan berkembangnya tanaman kentang adalah tanah yang berdrainase baik,

gembur, dan banyak mengandung bahan organik. Ketersediaan air tidak boleh

kurang dari 50% kapasitas lapang. Kedalaman air tanah 15 cm dan derajat

keasaman (pH) tanah yang dikehendaki adalah 5 - 6.5.

Bila pH melebihi batas toleransi maka tanaman akan memperlihatkan

gejala kekurangan unsur hara tertentu. Keadaan seperti ini menurut Jensen dan

Collin (2005) dapat diatasi dengan memberikan asam kuat seperti asam nitrat

(HN03), asam sulfat (H2S04) atau asam posfat (H3PO4).

Bobot Bibit

Dari segi agronomis yang mempengaruhi produksi kentang ialah besarnya (ukuran) umbi yang ditanam untuk menghasilkan bibit. Pada dasarnya semua ukuran umbi kentang dapat dipakai untuk bibit. Untuk menghasilkan umbi berukuran bibit harus ditanam umbi yang mempunyai ukuran tertentu, karena ada kecenderungan bahwa dengan menanam bibit yang besar akan diperoleh umbi yang kecil dan demikian pula sebaliknya. Asal dan ukuran umbi bibit sangat berpengaruh terhadap hasil. Penggunaan umbi bibit yang berukuran besar selain memboroskan biaya

(26)

Umumnya petani menggunakan umbi bibit kentang berukuran kecil

sampai sedang (10-60 g) yang diproduksi sendiri dan tidak menggunakan bibit

yang berkualitas tinggi. Hal ini diduga karena selain harga bibit yang mahal

lebih kurang 40-50% dari biaya produksi, kebutuhan bibit (kg) per satuan

luas juga semakin besar bila menggunakan umbi yang berukuran lebih besar

(Susanto, 1999).

Menurut Gunadi (1989) ukuran umbi yang dapat digunakan untuk bibit,

yaitu umbi yang mempunyai bobot 20-60 g tiap umbi. Hasil penelitian yang

dilakukan Tampubolon, Damanik dan Tarigan (1977) menunjukkan bahwa

penggunaan umbi bibit yang semakin besar dapat meningkatkan pertumbuhan

vegetatif, hasil umbi dan persentase jumlah umbi bibit.

Dalam Wattimena (1995) menyatakan bahwa ukuran umbi mini yang lebih

kecil dari 1 gram akan menghasilkan tanaman yang kurang baik, sedangkan umbi

yang mempunyai ukuran lebih besar dari 10 gram akan merugikan

petani/produsen bibit. Oleh karena itu dalam produksi umbi mini harus

diusahakan persentase umbi yang terbanyak berada antara umbi 1 – 10 gram.

Menurut Permadi, Wasito dan E. Sumiati (1989) dengan volume

lingkungan tumbuh yang lebih kecil akan dihasilkan jumlah umbi yang lebih

banyak tetapi dengan ukuran umbi yang lebih kecil. Pertumbuhan umbi yang

sangat cepat terjadi antara minggu ke 4 – 8 minggu setelah tanam.

Berdasarkan penelitian Sutapradja (2008) mengenai respon bibit kentang

terhadap perlakuan bobot umbi dan jarak tanam mengemukakan bahwa rerata

jumlah batang varietas granola bervariasi dari waktu ke waktu bergantung kepada

(27)

perlakuan dengan ukuran umbi mini >5,1 g dan jarak tanam 80x15 cm dan

berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan ukuran umbi mini <2,5 g pada

jarak tanam 80x15 cm dan 80x30 cm. Dengan semakin besar ukuran umbi bibit

maka akan menghasilkan jumlah batang lebih banyak, hal ini disebabkan

banyaknya cadangan zat makanan pada umbi.

Pertunasan diasosiasikan dengan mobilitas dan translokasi ke tunas.

Perkembangan stolon pada saat proses pembentukan umbi ditandai dengan

berhentinya pertambahan panjang dari stolon yang selanjutnya diikuti dengan

pembesaran kearah samping sebagai akibat terbentuknya jaringan penyimpanan

bahan makanan (Van Es dan Hartman, 1985).

Ukuran umbi yang digunakan sebagai bibit merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi jumlah batang. Semakin besar umbi bibit yang digunakan,

maka batang juga semakin banyak. Hal ini disebabkan umbi yang berukuran

besar biasanya mempunyai mata yang lebih banyak. Mata umbi ini yang nantinya

akan tumbuh menjadi batang. Semakin banyak jumlah batang maka semakin

banyak juga jumlah umbi. Konsekuensi dari jumlah umbi yang banyak adalah

ukuran umbi yang kecil, karena terjadi kompetisi fisiologi antar tanaman

(Permadi, dkk., 1989).

Hasil penelitian Maris (1988) menyebutkan bahwa terdapat korelasi positif

antara karakter jumlah batang dengan karakter-karakter lainnya,

yaitu tinggi tanaman, jumlah umbi dan hasil umbi. Produksi umbi kentang

dipengaruhi oleh pertumbuhan bagian tanaman di atas permukaan tanah,

diantaranya yaitu jumlah batang dan tinggi tanaman. Pada tanaman kentang,

(28)

umbi. Hal ini dikarenakan umbi kentang merupakan perubahan bentuk dari

batang. Sehingga semakin banyak jumlah batang maka kemungkinan tanaman

tersebut mempunyai jumlah umbi yang banyak

Pupuk Organik Cair

Unsur hara merupakan salah satu faktor yang menunjang pertumbuhan dan

perkembangan tanaman kentang yang optimal. Penggunaan pupuk sebagai salah

satu usaha untuk meningkatkan produksi kentang sudah sangat membudaya dan

para petani telah menganggap bahwa pupuk dan cara pemupukan sebagai salah

satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan usaha tani (Parman, 2007).

Pertumbuhan suatu tanaman di bawah kondisi yang kurang optimum

menunjukkan adanya penurunan kemampuan tumbuh dan berproduksi pada

tanaman tertentu. Pada kondisi tersebut perlu ditambahkan masukan yang dapat

mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman yaitu dengan pemberian pupuk

organik. Industri obat masih mensyaratkan penanaman tanaman obat

menggunakan bahan alami saja, sehingga perlu diketahui pengaruh pemberian

pupuk alami untuk mendukung pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan

bahan bioaktif tanaman dalam kondisi ternaungi (Musyarofah, 2006).

Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri

atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui

proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan

organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Bahan/pupuk

organik dapat berperan sebagai pengikat butiran primer menjadi butir sekunder

tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini besar pengaruhnya

(29)

Pupuk organik/bahan organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti:

(1) penyediaan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro seperti Zn, Cu,

Mo, Co, B, Mn, dan Fe, meskipun jumlahnya relatif sedikit. Penggunaan bahan

organik dapat mencegah kurangnya unsur mikro pada tanah marginal atau tanah

yang telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang;

(2) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah; dan (3) dapat membentuk

senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan

Mn (Simanungkalit,Suriadikarta, Rasti, Diah, dan Wiwik, 2006).

Selain itu, pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat lain

diantaranya dapat mendorong dan meningkatkan pembentukan klorofil daun

sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman, dapat meningkatkan

vigor tanaman sehingga tanaman menjadi kokoh dan kuat, meningkatkan daya

tahan tanaman terhadap kekeringan, cekaman cuaca dan serangan pathogen

penyebab penyakit, merangsang pertumbuhan cabang produksi, serta

meningkatkan pembentukan bunga dan bakal buah (Rizqiani, 2007).

Nitrogen meningkatkan bagian protoplasma menimbulkan beberapa akibat

antara lain terjadi peningkatan ukuran sel, menyebabkan daun dan batang tanaman

menjadi lebih sekulen dan kurang keras, juga meningkatkan bagian air sebagai

akibat meningkatnya kandungan air protoplasma dan mengurangi bagian kalsium.

Dosis pupuk dalam pemupukan haruslah tepat artinya dosis tidak terlalu sedikit

atau terlalu banyak yang dapat menyebabkan pemborosan atau dapat merusak

akar tanaman (Damanik, Hasibuan, Fauzi, Sarifuddin, dan Hanum 2010).

Penggunaan pupuk organik alam dapat dipergunakan untuk membantu

(30)

baku berupa kotoran ternak, kompos, limbah alam, hormon tumbuhan dan

bahan-bahan alami lainnya yang diproses secara alamiah selama 4 bulan. Pupuk organik

cair selain dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, membantu

meningkatkan produksi tanaman, meningkatkan kualitas produk tanaman,

mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan sebagai alternatif pengganti pupuk

kandang (Indrakusuma, 2000).

Penggunaan pupuk organik cair juga dapat menghambat proses penuaian

melalui bahan alami yang terdapat didalamnya misalnya sitokiniN yang berfungsi

menghambat proses penuaian pada tanaman. Proses penuaan terjadi karena

penguraian protein menjadi asam amino oleh enzim protease RNA-ase, dan

DNA-ase. Adanya sitokinin maka kerja enzim-enzim tersebut akan dihambat sehingga

umur protein menjadi lebih panjang (Wattimena, 1988).

Dilihat dari kandungannya, pupuk organik memiliki kandungan nutrisi

yang lebih lengkap baik makro maupun mikro. Namun takarannya sedikit dan

komposisinya tidak pasti. Setiap pupuk organik mempunyai kandungan nutrisi

dengan komposisi yang berbeda-beda. Penyerapan nutrisi atauzat hara pada

pupuk organik lebih sulit dicerna tanaman karena masih tersimpan dalam ikatan

kompleks. Namun secara jangka panjang akan meningkatkan kapasitas tukar

kation tanah yang bisa memudahkan tanaman menyerap unsur-unsur tadi.

Sedangkan pada pupuk kimia sintetis kandungan haranya bisa diserap langsung

oleh tanaman. Kelemahannya, zat hara tersebut sangat mudah hilang dari tanah

(31)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di rumah kassa kebun percobaan

Berastagi, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, dengan ketinggian ± 1340

meter dari permukaan laut yang mulai bulan April 2013- Juli 2013.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bibit kentang G1 varietas

Granola, arang sekam, pupuk kandang, pupuk organik cair, fungisida

difenokonasol, akarisida sammite dan air.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran, plastik

transparan, timbangan analitik, kotak penanaman, cangkul, gembor, pisau, tali

plastik, ember, amplop coklat, plangkat nama, alat tulis, kalkulator, dan buku data.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah (RPT) dengan

faktor perlakuan yaitu :

Petak Utama (Main Plot) : Konsentrasi Pupuk Organik Cair (C)

Co = Tanpa pupuk organik cair

C1 = Pupuk organik cair 2 cc/l air

C2 = Pupuk organik cair 4 cc/l air

(32)

Anak Petak (Sub Plot) : Ukuran Bibit Umbi G1

U1 = ≤ 3 g/umbi

U2 = 3 – 6 g/umbi

U3 = 6 – 9 g./umbi

U4 = 9 - 12 g/umbi

Diperoleh kombinasi perlakuan sebanyak 16 kombinasi, yaitu :

C0U1 C0U2 C0U3 C0U4

C1U1 C1U2 C1U3 C1U4

C2U1 C2U2 C2U3 C2U4

C3U1 C3U2 C3U3 C3U4

Jumlah ulangan : 3 ulangan

Jumlah plot seluruhnya : 48 plot

Ukuran plot : 3,5 m x 0,7 m

Jarak Tanam : 15 cm x 20 cm

Jarak antar plot : 50 cm

Jumlah tanaman/plot : 20 tanaman

Jumlah tanaman seluruhnya : 1344 tanaman

Jumlah sampel/plot : 4 tanaman

Jumlah sampel seluruhnya : 192 tanaman

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dengan model

linear aditif sebagai berikut :

(33)

Dimana:

Yijk : Hasil pengamatan pada blok ke-i akibat bobot bibit G1 (U) taraf ke-j dan

pengaruh konsentrasi pupuk organik cair (C) pada taraf ke-k

µ : Nilai tengah

KK : Efek dari blok ke-k

αi : Efek perlakuan bobot bibit pada taraf ke-i

βj : Efek konsentrasi pupuk organik cair pada taraf ke-j

(αβ)ij : Interaksi antara pengaruh bobot bibit taraf ke-i dan konsentrasi pupuk

organik cair taraf ke-j

εik : Pengaruh faktor bobot bibit pada taraf ke-i pada kelompok ke-k

σijk : Galat dari blok ke-i, bobot bibit ke-j dan konsentrasi pupuk organik cair

ke-k

Terhadap sidik ragam yang nyata, maka dilanjutkan analisis

lanjutan dengan menggunakan Uji Beda Rata – Rata Duncant dengan taraf 5 %

(34)

PELAKSANAAN PENELITIAN

Persiapan Bahan Tanam

Disiapkan kotak sebagai wadah penanaman berukuran 3,5 m x 0,7 m dan

diisi dengan media berupa arang sekam + pupuk kandang (2:1) yang sudah diayak

dan disterilisasi lalu disusun dalam rumah kassa dengan jarak antar plot 50 cm.

Sebagai pemisah antar perlakuan, digunakan plastik transparan dengan lebar 1 m.

Untuk bahan tanam, disiapkan umbi G1 yang telah bertunas ± 0,5 cm dan

ditimbang sesuai perlakuan ukuran yang diuji ditanam.

Penanaman

Penanaman dilakukan dengan membuat jarak lubang tanam 15 x 20 cm

pada wadah penanaman. Penanaman dilakukan pada lubang tanam dengan cara

memasukkan bibit ke lubang tanam yang telah ditentukan seuai dengan perlakuan

bobot bibit lalu ditutup dengan media tanam dan disiram.

Aplikasi Pupuk Organik Cair

Pupuk organik cair diberikan pada saat tanaman berumur 2 minggu setelah

tanam. Pupuk organik cair diaplikasikan sesuai dengan konsentrasi perlakuan

yang diuji. Pengaplikasian dilakukan 1 x seminggu sampai tanaman berumur

75 hari setelah tanam.

Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman terdiri dari penyiraman, penyiangan,

pembumbunan dan pengendalian hama dan penyakit.

Penyiraman

Penyiraman dilakukan dua hari sekali tergantung pada kondisi lingkungan

(35)

Penyiangan

Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan

saat gulma sudah mulai tumbuh pada wadah penanaman. Tumbuhan pengganggu

perlu dikendalikan agar tidak menjadi saingan bagi tanaman utama dalam hal

penyerapan unsur hara serta untuk mencegah serangan hama dan penyakit.

Pembumbunan

Pembumbunan dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan dan

disesuaikan dengan kondisi wadah penanaman.

Pengendalian Hama dan Penyakit

Untuk mengendalikan penyakit tanaman dilakukan penyemprotan

fungisida Difenokonasol 250 g dengan konsentrasi 2 g/ltr air serta untuk

pengendalian tungau dilakukan penyemprotan dengan akarisida Sammite 1 cc/ltr

air. Penyemprotan dilakukan sekali dua minggu.

Panen

Pemanenan dilakukan pada saat tanaman berumur ± 90 hari setelah tanam

dengan cara mencabut semua tanaman sampel. Umbi dipisahkan dari tanaman dan

dibersihkan. Kriteria yang siap panen adalah daun tanaman tampak menguning,

dan kulit umbi tidak mudah terkelupas.

Pengamatan Parameter Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman diamati pada umur 1; 1,5; 2 dan 2,5 bulan setelah tanam.

(36)

Jumlah batang utama (batang)

Jumlah batang utama diamati pada saat tanaman berumur 2 bulan setelah

tanam. Jumlah batang utama dihitung pada setiap sampel.

Durasi daun hijau (helai)

Pengamatan durasi daun hijau dilakukan saat tanaman berumur 50, 57, 64,

71, 78, dan 85 hari setelah tanam. Durasi daun hijau dilakukan dengan

menghitung jumlah daun hijau pada saat terjadi perubahan warna pada daun

sampel.

Jumlah umbi per tanaman (umbi)

Jumlah umbi per tanaman diamati pada saat panen dengan cara

menghitung jumlah umbinya per tanaman.

Bobot umbi per tanaman (gr)

Bobot umbi kentang per tanaman diamati pada saat telah panen (± 3 bulan

setelah tanam) dengan cara ditimbang umbinya per tanaman.

Total produksi per plot (g)

Total produksi per plot dilakukan pada saat panen dengan cara menimbang

umbi keseluruhan dalam plot.

Persentase grade umbi (%)

Persentase grade dilakukan pada saat pemanenan dengan menimbang umbi

pada saat panen lalu dibagi atas bobot umbi dengan 4 kategori grade yaitu

≤ 5 g/umbi, > 5 - 10 g/umbi, < 10-20 g/umbi dan > 20 g/umbi. Lalu dihitung

persentase grade umbi dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(37)

Jumlah mata tunas umbi per grade (mata tunas)

Jumlah mata umbi per grade dilakukan saat panen dengan cara

menghitung mata tunas yang terdapat pada umbi sesuai dengan gradenya yaitu

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 6-65) diketahui bahwa

pemberian pupuk organik berpengaruh nyata terhadap parameter durasi daun hijau

(75 dan 85 HST). Perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh nyata terhadap

parameter tinggi tanaman (4, 6, 8 dan 10 MST), jumlah batang utama, jumlah

umbi pertanaman, total produksi perplot dan persentase grade umbi (>10-20 g).

Interaksi antara konsentrasi pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)

berpengaruh nyata terhadap parameter persentase grade umbi (≤ 5 g).

Tinggi Tanaman (cm)

Data pengamatan tinggi tanaman mulai pengamatan 4, 6, 8 dan 10 MST

dicantumkan pada lampiran 6, 8, 10, dan 12 sedangkan hasil sidik ragam

masing-masing pengamatan dicantumkan pada lampiran 7, 9, 11 dan 13. Berdasarkan

hasil sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi pupuk organik cair berpengaruh

tidak nyata terhadap tinggi tanaman dan perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh

nyata terhadap tinggi tanaman 4, 6, 8 dan 10 MST. Interaksi konsentrasi pupuk

organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh tidak nyata terhadap

tinggi tanaman.

Rataan tinggi tanaman bibit kentang 4-10 MST pada pemberian pupuk

(39)

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman 4-10 MST (cm) pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)

Konsentrasi

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa pada perlakuan konsentrasi pupuk organik

cair rataan tinggi tanaman tertinggi pada umur 10 MST terdapat pada perlakuan

C3 (70.40 cm) yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan C0, C1 dan C2. Tinggi

tanaman terendah terdapat pada perlakuan C2 (64.44 cm).

Pada perlakuan bobot bibit, rataan tinggi tanaman tertinggi pada umur 10

MST terdapat pada perlakuan U4 (72.44 cm) yang berbeda nyata dengan

perlakuan U1 namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan U2 dan U3. Tinggi

(40)

Grafik perkembangan tinggi tanaman kentang akibat perlakuan pemberian

pupuk organik cair dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman 4-10 MST (cm) pada beberapa konsentrasi pupuk organik cair.

Berdasarkan Gambar 1 diatas terlihat bahwa tinggi tanaman pada

perlakuan pemberian pupuk organik cair yaitu : C0 (kontrol), C1 (2 cc/L),

C2 (4 cc/L) dan C3(6 cc/L) memiliki perbedaan yang sangat sedikit.

Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan C3 (70.40 cm) dan terendah pada

C1 (64.44 cm). Hal ini menyebabkan perlakuan pemberian pupuk organik cair

berbeda tidak nyata terhadap tinggi tanaman kentang.

Hubungan perbedaan bobot bibit (G1) terhadap pertumbuhan tinggi

(41)

Gambar 2. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman 4-10 MST (cm) pada perbedaan bobot bibit (G1).

Berdasarkan Gambar 2 di atas terlihat bahwa pertumbuhan tinggi tanaman

pada perlakuan bobot bibit yaitu : U1 (≤ 3 g), U1 (3-6 g), U3 (6-9 g)

dan U4 ( 9-12 g) memiliki pengaruh yang berbeda nyata. Tanaman tertinggi

diperoleh pada perlakuan U4 (72.44 cm) dan terendah pada perlakuan

U1 (61.63 cm). Hal ini menyebabkan perlakuan bobot bibit berbeda nyata

terhadap tinggi tanaman kentang. Histogram hubungan perlakuan bobot bibit

terhadap tinggi tanaman kentang pada 10 MST dapat dilihat pada gambar 3

(42)

Gambar 3. Histogram hubungan tinggi tanaman 10 MST (cm) dengan perlakuan perbedaan bobot bibit (G1)

Jumlah Batang Utama (batang)

Data pengamatan jumlah batang utama dicantumkan pada lampiran 14

sedangkan hasil sidik ragam dicantumkan pada lampiran 15. Berdasarkan hasil

sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi pupuk organik cair berpengaruh tidak

nyata terhadap jumlah batang utama dan perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh

nyata terhadap jumlah batang utama. Interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata

terhadap jumlah batang utama. Rataan jumlah batang utama pada pemberian

pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan jumlah batang utama (batang) pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)

Konsentrasi

(43)

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada perlakuan konsentrasi pupuk organik cair

rataan jumlah batang utama tertinggi pada perlakuan C3 (1.48 batang) yang

berbeda tidak nyata dengan perlakuan C0, C1 dan C2. Jumlah batang utama

terendah terdapat pada perlakuan C2 (1.44 batang).

Pada perlakuan bobot bibit, rataan jumlah batang utama tertinggi terdapat

pada perlakuan U4 (1.75 batang) yang berbeda nyata dengan perlakuan U1 dan

U2 namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan U3. Jumlah batang utama

terendah terdapat pada perlakuan U1 (1.17 batang). Hubungan perbedaan bobot

bibit (G1) terhadap jumlah batang utama dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Histogram hubungan jumlah batang utama (batang) dengan perlakuan perbedaan bobot bibit

Durasi daun hijau (helai)

Data pengamatan durasi daun hijau mulai pengamatan 50, 57, 64, 71, 78

dan 85 HST dicantumkan pada lampiran 16, 18, 20, 22, 24, dan 26 sedangkan

hasil sidik ragam masing-masing pengamatan dicantumkan pada lampiran 17, 19,

21, 23, 25 dan 27. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa pemberian

(44)

dan perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh tidak nyata terhadap durasi daun

hijau. Interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap durasi daun hijau.

Rataan durasi daun hijau 50 - 85 HST pada pemberian pupuk organik cair

dan perbedaan bobot bibit (G1) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan durasi daun hijau (helai) 50 - 85 HST pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)

(45)

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pada perlakuan konsentrasi pupuk organik

cair, rataan durasi daun hijau 85 HST yang tertinggi terdapat pada perlakuan

C3 (21.33 helai) yang berbeda nyata dengan perlakuan C0, C1 dan C2. Rataan

durasi daun hijau terendah terdapat pada perlakuan C0 (17.38 helai).

Pada perlakuan bobot bibit, rataan durasi daun hijau 85 HST tertinggi

terdapat pada perlakuan U4 (19.29 helai) yang berbeda tidak nyata dengan

perlakuan U1, U2 dan U3. Rataan durasi daun hijau terendah terdapat pada

perlakuan U1 (18.60 helai).

Grafik perkembangan durasi daun hijau akibat perlakuan perbedaan bobot

bibit dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik perkembangan durasi daun hijau (helai) pada beberapa perbedaan bobot bibit (G1).

Berdasarkan Gambar 5 diatas terlihat bahwa durasi daun pada perlakuan

perbedaan bobot bibit yaitu : : U1 (≤ 3 g), U1 (3-6 g), U3 (6-9 g) dan

U4 (9-12 g) memiliki perbedaan yang sangat sedikit. Rataan durasi daun tertinggi

(46)

Hal menyebabkan perlakuan perbedaan bobot bibit berbeda tidak nyata terhadap

durasi daun hijau.

Grafik perkembangan durasi daun hijau akibat perlakuan konsentrasi

pupuk organik cair dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik perkembangan durasi daun hijau (helai) pada beberapa konsentrasi pupuk organik cair.

Berdasarkan Gambar 6 di atas terlihat bahwa perkembangan durasi daun

hijau pada perlakuan konsentrasi pupuk organik cair yaitu : C0 (kontrol),

C1 (2 cc/L), C2 (4 cc/L) dan C3(6 cc/L) memiliki perbedaan yang nyata.

Durasi daun tertinggi diperoleh pada perlakuan C0 (2.98 helai) dan terendah pada

C3 (2.46 helai). Hal ini menyebabkan perlakuan pupuk organik cair berbeda nyata

terhadap durasi daun hijau.

Hubungan konsentrasi pupuk organik cair dengan durasi daun pada 85

(47)

Gambar 7. Grafik hubungan durasi daun (helai) 85 HST dengan perlakuan konsentrasi pupuk organik cair.

Berdasarkan Gambar 7 di atas diketahui bahwa hubungan pemberian

beberapa konsentrasi pupuk organik cair dengan durasi daun 85 HST

menunjukkan hubungan linier positif. Hal ini berarti, semakin tinggi konsentrasi

pupuk organik cair yang diberikan hingga batas 6 cc/L dapat meningkatkan

durasi daun hijau.

Jumlah Umbi pertanaman (umbi)

Data pengamatan jumlah umbi pertanaman dicantumkan pada lampiran 28

sedangkan hasil sidik ragam dicantumkan pada lampiran 29. Berdasarkan hasil

sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi pupuk organik cair berpengaruh tidak

nyata terhadap jumlah umbi sedangkan perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh

nyata terhadap jumlah umbi pertanaman. Interaksi konsentrasi pupuk organik cair

dan perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah umbi

pertanaman.

(48)

Tabel 4. Rataan jumlah umbi pertanaman (umbi) pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)

Konsentrasi

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan bobot bibit memberikan

pengaruh nyata terhadap parameter dimana rataan jumlah umbi pertanaman

tertinggi terdapat pada perlakuan U4 sebanyak 5.06 umbi yang berbeda nyata

dengan U1, U2 dan U3. Rataan jumlah umbi terendah terdapat pada perlakuan U1

sebanyak 3.69 umbi.

(49)

Bobot Umbi pertanaman (g)

Data pengamatan bobot umbi pertanaman dicantumkan pada lampiran 30

sedangkan hasil sidik ragam dicantumkan pada lampiran 31. Berdasarkan hasil

sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi pupuk organik cair dan perbedaan bobot

bibit (G1) berpengaruh tidak nyata terhadap bobot umbi pertanaman. Interaksi

konsentrasi pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh tidak

nyata terhadap bobot umbi pertanaman.

Rataan bobot umbi pertanaman pada pemberian pupuk organik cair dan

perbedaan bobot bibit (G1) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan bobot umbi pertanaman (g) pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)

Konsentrasi

Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi pupuk organik cair dan

perbedaan bobot bibit memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter bobot

umbi pertanaman.

Total produksi perplot (g)

Data pengamatan total produksi perplot dicantumkan pada lampiran 32

sedangkan hasil sidik ragam dicantumkan pada lampiran 33. Berdasarkan hasil

sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi pupuk organik cair berpengaruh tidak

nyata terhadap total produksi perplot dan perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh

(50)

perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh tidak nyata terhadap total produksi

perplot.

Rataan total produksi perplot pada pemberian pupuk organik cair dan

perbedaan bobot bibit (G1) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan total produksi perplot (g) pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa pada perlakuan konsentrasi pupuk organik

cair rataan total produksi perplot tertinggi pada perlakuan C3 (1525 g) yang

berbeda tidak nyata dengan perlakuan C0, C1 dan C2. Total produksi perplot

terendah terdapat pada perlakuan C1 (1356.67 g).

Pada perlakuan bobot bibit, rataan total produksi perplot tertinggi terdapat

pada perlakuan U4 (1970 g) yang berbeda nyata dengan perlakuan U1 dan U2

namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan U3. Total produksi perplot terendah

terdapat pada perlakuan U1 (859.17 g). Hubungan perbedaan bobot bibit (G1)

(51)

Gambar 9. Histogram hubungan total produksi perplot (g) dengan perlakuan perbedaan bobot bibit

Persentase Grade Umbi (%)

Data pengamatan persentase grade umbi (≤ 5, >5-10, >10-20, dan >20 g)

dicantumkan pada lampiran 34, 36, 38, 40, 42, 44, 46, 48 sedangkan hasil sidik

ragam dicantumkan pada lampiran 35, 37, 39, 41, 43, 45, 47, dan 49. Berdasarkan

hasil sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi pupuk organik cair berpengaruh

tidak nyata terhadap persentase grade umbi dan perbedaan bobot bibit (G1)

berpengaruh nyata terhadap persentase grade umbi >10-20 g. Interaksi keduanya

berpengaruh nyata terhadap persentase grade umbi (≤ 5 g).

Rataan persentase grade umbi pada pemberian pupuk organik cair dan

(52)

Tabel 7. Rataan persentase grade umbi ( %) pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kelompok kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Dari tabel 7 dapat diketahui bahwa pada persentase grade umbi ≤ 5 g baik

perlakuan konsentrasi pupuk organik cair maupun perlakuan perbedaan bobot

bibit (G1) tidak berpengaruh nyata namun interaksi keduanya berpengaruh nyata.

Pada perlakuan konsentrasi pupuk organik cair, persentase tertinggi terdapat pada

perlakuan C3 (12.57%) dan yang terendah pada perlakuan C0 (6.59%). Sedangkan

pada perlakuan bobot bibit, persentase tertinggi terdapat pada perlakuan U3

(11.69%) dan yang terendah pada U1 (6.25%).

Pada persentase grade umbi >5-10 g baik perlakuan konsentrasi pupuk

organik cair, perlakuan perbedaan bobot bibit (G1) maupun interaksi keduanya

(53)

persentase tertinggi terdapat pada perlakuan C1 (18.60%) dan yang terendah pada

perlakuan C0 (10.96%). Sedangkan pada perlakuan bobot bibit, persentase

tertinggi terdapat pada perlakuan U3 (17.17%) dan yang terendah pada

U1 (10.85%).

Pada persentase grade >10-20 g, perlakuan bobot bibit berpengaruh nyata

dengan rataan tertinggi terdapat pada U1 (36.237%) dan persentase grade terendah

terdapat pada perlakuan U3 (21.71%). Sedangkan perlakuan konsentrasi pupuk

organik cair tidak berpengaruh nyata dimana persentase tertinggi terdapat pada

perlakuan C3 (33.90) dan persentase terendah terdapat pada perlakuan

C0 (28.33%).

Pada persentase grade umbi >20 g baik perlakuan konsentrasi pupuk

organik cair, perlakuan perbedaan bobot bibit (G1) maupun interaksi keduanya

tidak berpengaruh nyata. Pada perlakuan konsentrasi pupuk organik cair,

persentase tertinggi terdapat pada perlakuan C2 (51.35%) dan yang terendah pada

perlakuan C0 (41.61%). Sedangkan pada perlakuan bobot bibit, persentase

tertinggi terdapat pada perlakuan U3 (49.13%) dan yang terendah pada

U4 (45.25%).

Hubungan perbedaan bobot bibit (G1) terhadap persentase grade umbi

(54)

Gambar 10. Histogram hubungan persentase grade umbi (%) >10-20 g terhadap perbedaan bobot bibit (G1)

Dari gambar 10 dapat diketahui pada persentase grade >10-20 g rataan

tertinggi terdapat pada perlakuan U1 (36.23%) yang berbeda nyata dengan

perlakuan U3 namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan U1 dan U2.

Persentase grade terendah terdapat pada perlakuan U3 (21.71).

Interaksi antara konsentrasi pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit

(G1) menunjukkan respons yang nyata terhadap persentase grade umbi ≤5 gr

namun menunjukkan respon yang berbeda tidak nyata terhadap persentase grade

umbi >5-10 g, >10-20 g dan >20 g.

Interaksi antara konsentrasi pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit

(55)

Gambar 11. Histogram interaksi konsentrasi pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1) terhadap persentase grade umbi (%) ≤ 5g

Berdasarkan Gambar 11 diketahui bahwa kombinasi tertinggi diperoleh

pada C3U4 (konsentrasi pupuk organik cair 6 cc/L dan bobot bibit 9-12 g) sebesar

20.70% dan terendah pada kombinasi C2U1 (konsentrasi pupuk organik cair

4 cc/L dan bobot bibit ≤ 3 g) sebesar 0%

Jumlah Mata Tunas pergrade (mata tunas)

Data pengamatan jumlah mata tunas pergrade umbi (≤ 5, >5 -10, >10-20,

dan >20 g) dicantumkan pada lampiran 50, 52, 54, 56, 58, 60, 62, dan 64

sedangkan hasil sidik ragam dicantumkan pada lampiran 51, 53, 55, 57, 59, 61,

63, dan 65. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi pupuk

organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh tidak nyata terhadap

jumlah mata tunas pergrade umbi. Interaksi konsentrasi pupuk organik cair dan

perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah mata tunas

pergrade umbi.

(56)

Tabel 8. Rataan jumlah mata tunas (mata tunas) pergrade umbi pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)

Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi pupuk organik cair dan

perbedaan bobot bibit memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter

jumlah mata tunas pergrade baik grade ≤ 5 g, >5 -10 g, >10-20 g maupun >20 g.

Kedua perlakuan tidak menunjukkan kecenderungan peningkatan maupun

penurunan terhadap jumlah mata tunas pergrade.

Pembahasan

Pengaruh konsentrasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan produksi bibit kentang (Solanum tuberosumL.)

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam diketahui bahwa perlakuan

konsentrasi pupuk organik cairberpengaruh nyata terhadap parameter durasi daun

(57)

Pada perlakuan konsentrasi pupuk organik cair, rataan durasi daun hijau

tertinggi pada perlakuan C3 (21.33 helai) yang berbeda nyata dengan perlakuan

C0, C1 dan C2. Rataan durasi daun hijau terendah terdapat pada perlakuan

C0 (17.38 helai). Perlakuan ini membentuk hubungan linier positif. Hal ini berarti,

semakin tinggi konsentrasi pupuk organik cair yang diberikan hingga batas 6 cc/L

dapat meningkatkan durasi daun hijau.

Pada parameter durasi daun hijau baik pada 75 HST maupun 85 HST,

durasi daun tertinggi terdapat pada perlakuan C3 dan terendah terdapat pada C0.

Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan C0, jumlah klorofil daun semakin

lama semakin menurun dan jumlah unsur hara yang diperoleh juga semakin

rendah. Sedangkan pada C3 yang menunjukkan durasi daun yang tinggi

menunjukkan bahwa klorofil daun cukup lama bertahan sehingga unsur hara yang

dikandung masih bertahan dan memungkinkan pembentukan umbi masih

berlanjut lebih lama. Hal ini dikarenakan terdapatnya sitokinin yang berasal dari

air kelapa. Air kelapa mengandung hormon seperti sitokinin 5,8 mg/l, auksin 0,07

mg/l yang dapat menstimulasi perkecambahan dan pertumbuhan. Sitokinin

berfungsi mencegah terjadinya penguningan daun dan timbulnya proses penuaian.

Hal ini disebabkan oleh kemampuan sitokinin menghambat perombakan

butir – butir klorofil dan protein. Hal ini sesuai dengan literatur Wattimena (1988)

yang menyatakan bahwa proses penuaan terjadi karena penguraian protein

menjadi asam amino oleh enzim protease RNA-ase, dan DNA-ase. Adanya

sitokinin maka kerja enzim-enzim tersebut akan dihambat sehingga umur protein

(58)

Namun tidak dengan parameter lainnya seperti tinggi tanaman, jumlah

batang utama, total produksi per plot, bobot umbi pertanaman, jumlah umbi

pertanaman, persentase grade umbi dan jumlah mata tunas per grade umbi. Hal ini

kemungkinan besar dipengaruhi karena kandungan material dari pupuk organik

yang belum tentu dapat diserap oleh tanaman sehingga pupuk organik cair tidak

menunjukkan pengaruh terhadap parameter lainnya. Hal ini sesuai dengan literatur

Musyarofah (2006) yang menyatakan bahwa penyerapan nutrisi atauzat hara pada

pupuk organik lebih sulit dicerna tanaman karena masih tersimpan dalam ikatan

kompleks. Sedangkan pada pupuk kimia sintetis kandungan haranya bisa diserap

langsung oleh tanaman. Kelemahannya, zat hara tersebut sangat mudah hilang

dari tanah karena erosi.

Pengaruh perbedaan bobot bibit (G1) terhadap pertumbuhan dan produksi bibit kentang (Solanum tuberosumL.)

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam diketahui bahwa perlakuan

perbedaan bobot bibit (G1) berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman

(4, 6, 8 dan 10 MST), jumlah umbi pertanaman, jumlah batang utama, total

produksi perplot, dan persentase grade umbi (>10-20 g).

Pada parameter tinggi tanaman, rataan tinggi tanaman tertinggi pada umur

10 MST terdapat pada perlakuan U4 (72.44 cm) yang berbeda nyata dengan

perlakuan U1 namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan U2 dan U3. Tinggi

tanaman terendah terdapat pada perlakuan U1 (61.63 cm). Hal ini berkaitan

dengan jumlah cadangan makanan yang terkandung dalam umbi tersebut. Jumlah

persediaan cadangan makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan

kualitas bahan tanam. Cadangan makanan pada umbi berguna untuk mendukung

(59)

unsur hara, pertumbuhan tanaman sepenuhnya disokong oleh cadangan makanan

yang terdapat didalam umbi untuk diubah menjadi bahan yang diserap oleh

tanaman. Bibit kentang sejak ditanam sampai menjadi tanaman muda memiliki

peranan utama sebagai sumber makanan bagi tanaman muda sampai organ

tanaman aktif berfotosintesis. Hal ini sesuai dengan literatur Van Es dan Hartman

(1985) yang menyatakan bahwa pertunasan diasosiasikan dengan mobilitas dan

translokasi ke tunas.

Pada parameter jumlah batang utama, rataan tertinggi terdapat pada

perlakuan U4 (1.75 batang) yang berbeda nyata dengan perlakuan U1 dan U2

namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan U3. Jumlah batang utama terendah

terdapat pada perlakuan U1 (1.17 batang) dimana U1 (≤ 3 g), U1 (3-6 g),

U3 (6-9 g) dan U4 (9-12 g). Hal ini diduga terdapat pengaruh ukuran bibit,

semakin besar ukuran umbi, semakin banyak pula cadangan makanan terdapat

dalam umbi, sehingga menghasilkan anakan yang lebih banyak. Terbentuknya

anakan yang lebih banyak akan diikuti dengan munculnya daun yang lebih banyak

dengan luasan yang lebih besar memungkinkan tanaman menangkap sinar

matahari secara maksimal sehingga dapat meningkatkan hasil fotosintesis

Cadangan makanan yang terdapat pada bibit yang berukuran lebih besar akan

lebih banyak sehingga dapat mendorong peningkatan aktivitas metabolisme di

dalam tubuh tanaman. Tanaman dapat hidup dari unsur hara yang disuplai oleh

umbi bibit itu sendiri sampai pada keadaan dimana daun-daun mampu melakukan

proses fotosintesis. Jumlah persediaan cadangan makanan merupakan salah satu

faktor yang menentukan kualitas bahan tanam. Cadangan makanan pada umbi

(60)

berfungsi untuk menyerap unsur hara, pertumbuhan tanaman sepenuhnya

disokong oleh cadangan makanan yang terdapat didalam umbi untuk diubah

menjadi bahan yang diserap oleh tanaman. Bibit kentang sejak ditanam sampai

menjadi tanaman muda memiliki peranan utama sebagai sumber makanan bagi

tanaman muda sampai organ tanaman aktif berfotosintesis.

Perlakuan bobot bibit menunjukkan pengaruh nyata terhadap jumlah umbi

pertanaman dimana rataan jumlah umbi pertanaman tertinggi terdapat pada

perlakuan U4 sebanyak 5.06 umbi dan rataan jumlah umbi terendah terdapat pada

perlakuan U1 sebanyak 3.69 umbi. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan vegetatif

dimana jumlah batang yang nyata lebih banyak akan menghasilkan stolon yang

banyak. Pada saat umbi terbentuk, pada tanaman terjadi kelebihan karbohidrat

setelah digunakan untuk pertumbuhan tanaman dan kelebihan ini ditranslokasikan

ke arah stolon. Kelebihan karbohidrat yang dihasilkan oleh daun ini ada

hubungannya dengan jumlah batang. Semakin banyak jumlah batang maka jumlah

stolon yang terdapat pada batang akan semakin banyak dan jumlah umbi yang

terbentuk juga meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Rukmana (1999) yang

menyatakan bahwa asal dan ukuran umbi bibit sangat berpengaruh terhadap hasil.

Pada parameter total produksi perplot diperoleh rataan tertinggi terdapat

pada perlakuan U4 (1970 g) dan rataan total produksi perplot terendah terdapat

pada perlakuan U1 (859.17 g) dimana U1 (≤ 3 g), U1 (3-6 g), U3 (6-9 g) dan

U4 (9-12 g). Total produksi perplot diduga sejalan dengan jumlah batang utama

pada tanaman dimana jumlah batang yang banyak memungkinkan jumlah umbi

yang banyak pula. Terdapat dua proses pada waktu pembentukan umbi, yaitu

Gambar

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman 4-10 MST (cm) pada pemberian pupuk organik cair dan perbedaan bobot bibit (G1)
Grafik perkembangan tinggi tanaman kentang akibat perlakuan pemberian
Gambar 2. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman 4-10 MST (cm) pada perbedaan  bobot bibit (G1)
Gambar 3. Histogram hubungan tinggi tanaman 10 MST (cm) dengan perlakuan perbedaan bobot bibit (G1)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagi sekolah, dapat dijadikan bahan masukan, pertimbangan, dan meningkatkan mutu sekolah yang diperoleh dari pelaksanaan kemampuan guru pembimbing dalam meningkatkan

Dari hasil analisis Two Way Anova menunjukkan bahwa nilai probabilitas &gt; 0.05 (p &gt; 0.05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi antara dosis pupuk

Dalam makalah ini ditinjau hasil penentuan koefisien muai termal dan perubahan panjang sebagai fungsi temperatur dan waktu pada pelat elemen mini, bahan bakar U 3 Si 2− Al

Hasil penelitian ini adalah: Belief pembelajar orang Indonesia terhadap kegiatan peer response cenderung positif sebelum dan sesudah kegiatan peer response, bahkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola penggunaan obat antituberkulosis (OAT) dan mengevaluasi kesesuaian penggunaan OAT berdasarkan Pedoman Penanggulangan

Pada penilaian IKM tahun ini sembilan unsur penilaian yang mengalami kenaikan, yaitu unsur Prosedur Pelayanan (U1), unsur Persyaratan Pelayanan (U2), unsur Kejelasan

Vokal growl hadir tidak lepas dari pengaruh genre death metal. Teknik vokal ini memiliki nama lain, yaitu scream rendah. Karena pada dasarnya teknik ini sama dengan

Pada penelitian ini dilakukan pengujian toksisitas akut untuk melihat LD 50 dan subakut untuk melihat gambaran histopatologi hati serta aktivitas enzim