• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tembut-Tembut (Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tembut-Tembut (Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA

FAK U LT AS I LMU SOSI AL DAN I LM U POLI T I K

H ALAM AN PERSET U J U AN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh Nama : Romi Oktolius Ginting NIM : 020905011

Departemen : Antropologi

Judul : Tembut- Tembut ( Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut ) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo.

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

( Drs. Agustrisno, M. Sp ) ( Drs. Zulkifli Lubis, MA) Nip. 131 659 306 Nip. 131 882 275

Dekan FISIP USU

(2)

KATA PENGANTAR

(3)

ABSTRAKSI

Ginting, Romi Oktolius, 2008, Tembut-Tembut (Arti Simbolik dan Terian Tembut-Tembut) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo,

Skripsi ini berjudul Tembut (Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut ) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo fokus utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan arti simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo.

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskripsi untuk mengumpulkan data dan informasi kualitatif, untuk menjelaskan secara terperinci mengenai arti simbolik dari Tarian Topeng Tembut-Tembut, proses pembuatan topeng dan peran topeng tembut-tembut dalam Masyarakat Karo,untuk mengumpulkan data lapangan dilakukan metode wawancara dan observasi lapangan. Data yang di peroleh tersebut akan di analisis secara kualitatif. Proses analisa data pada penelitian ini di mulai dengan menelaah seluruh data yang di peroleh dari observasi dan wawancara, kemudian mengklasifikasikannya sesuai dengan kebutuhan dalam menjawab permasalahan yang seterusnya di susun secara sistematis agar lebih mudah di pahami.

Penelitian ini menggunakan teori simbol dari Victor Turner, dimana simbol didefenisikan sebagai sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili dan mengingatkan kembali dengan kualitas yang sama dalam membayangkan dalam kenyataan atau pikiran. Simbol sangat merangsang perasaan seseorang dan berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang sedang disimbolkan.

Dari penelitian ini diperoleh bahwa saat ini penggunaan Topeng Tembut-Tembut lebih berorientasi sebagai media hiburan pada Masyarakat Karo, sementara awalnya topeng ini memiliki dua fungsi yaitu sebagai media Ndilo Wari Udan dan media hiburan. Topeng Tembut-Tembut yang terdiri dari lima karakter tokoh yang berbeda dan memiliki peran tersendiri. Namun dalam pertunjukannya kelima topeng tersebut tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena dalam setiap rangkaian acara pertunjukan Tembut-Tembut, kelima karakter ini saling melengkapi.

Tembut-tembut saat ini biasanya hanya digunakan sebagai sarana hiburan saja, misalnya pertunjukan pada acara-acara tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat Karo baik yang berada di Desa Seberaya maupun di luar Desa Seberaya. Selain itu digunakan juga sebagai sarana mengumpulkan massa atau masyarakat dalam rangka acara tertentu.

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR ... 1

ABSTRAKSI... 3

DAFTAR ISI ... 4

DAFTAR TABEL ... 7

DAFTAR GAMBAR ... 8

DAFTAR LAMPIRAN ... 9

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah ... 10

I.2 Ruang lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian ...14

I. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...15

I.4 Tinjauan Pustaka ...16

1.5 Metode Penelitian ... ....21

1.5.1 Wawancara ...21

1.5.2 Observasi (pengamatan)...22

(5)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

II.1 Identifikasi Desa ...24

II.1.1 Lokasi Desa Seberaya...24

II.2 Sejarah Desa Seberaya ... 26

II.3 Keadaan Penduduk ... 28

II.4 Topografi Desa Seberaya ... 31

BAB III

TEMBUT-TEMBUT SEBERAYA

III.1 Sejarah tembut-Tembut ... 37

III.2 Karakter Tembut-Tembut ...41

III.3 Cerita lakon Tembut-Tembut ...48

III.4 Bentuk Tembut-Tembut dan Pembuatannya ...50

III.5 Memainkan Tembut-Tembut ...52

III.6 Musik penggiring Tembut-Tembut ...53

III.7 Sesajen Untuk Tembut-Tembut ...55

BAB IV

FUNGSI TEMBUT-TEMBUT

DALAM

KEHIDUPAN MASYARAKAT KARO

IV.1 Fungsi Tembut-Tembut Sebagai Sarana Ritual ...58

IV.1.1 Upacara Ndilo Wari Udan ...59

IV.1.2 Persiapan Upacara Ndilo Wari Udan ...60

IV.1.3 Persiapan Khusus Untuk Tembut-Tembut ...62

IV.1.4 Bagian-Bagian Upacara Ndilo Wari Udan ...63

IV.1.4.1 Ersimbu ...64

(6)

IV.1.4.3 Ertembut- Tembut ...68

IV.1.4.4 Ertoto Ku Sembahen ...69

IV.1.5 Unsur-Unsur Dalam Upacara Ndilo Wari Udan ...70

IV.1.5.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara ...71

IV.1.5.2 Pemimpin dan Pendukung Upacara ...72

IV.1.5.3 Perlengkapan Upacara ...73

IV.2 Fungsi Tembut-Tembut Sebagai Sarana Hiburan ...74

IV.3 Fungsi Tembut-Tembut Sebagai Presentasi Estetis ...75

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan ...76

V.2 Saran ...78

(7)

DAFTAR TABEL

Judul Halaman

Tabel I Penggunaan Lahan ...24

Tabel II Mata Pencaharian Penduduk ...30

Tabel III Bentang Lahan ...32

Tabel IV Kondisi Geografis ...32

Tabel V Kesuburan Tanah ...32

Tabel VI Jalan Sentra Pertanian Seberaya ...34

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar I Foto Topeng Tembut-Tembut ...41

Gambar II Foto Panglima ...42

Gambar III Foto Kikir Labang ...44

Gambar IV Foto Anak Perana ...45

Gambar V Foto Singuda-nguda ...46

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Peta Tanah Karo

2.

Peta Desa Seberaya

3.

Surat Izin Penelitian dari FISIP USU

4.

Surat Rekomendasi dari Kesbang

(10)

ABSTRAKSI

Ginting, Romi Oktolius, 2008, Tembut-Tembut (Arti Simbolik dan Terian Tembut-Tembut) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo,

Skripsi ini berjudul Tembut (Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut ) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo fokus utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan arti simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo.

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskripsi untuk mengumpulkan data dan informasi kualitatif, untuk menjelaskan secara terperinci mengenai arti simbolik dari Tarian Topeng Tembut-Tembut, proses pembuatan topeng dan peran topeng tembut-tembut dalam Masyarakat Karo,untuk mengumpulkan data lapangan dilakukan metode wawancara dan observasi lapangan. Data yang di peroleh tersebut akan di analisis secara kualitatif. Proses analisa data pada penelitian ini di mulai dengan menelaah seluruh data yang di peroleh dari observasi dan wawancara, kemudian mengklasifikasikannya sesuai dengan kebutuhan dalam menjawab permasalahan yang seterusnya di susun secara sistematis agar lebih mudah di pahami.

Penelitian ini menggunakan teori simbol dari Victor Turner, dimana simbol didefenisikan sebagai sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili dan mengingatkan kembali dengan kualitas yang sama dalam membayangkan dalam kenyataan atau pikiran. Simbol sangat merangsang perasaan seseorang dan berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang sedang disimbolkan.

Dari penelitian ini diperoleh bahwa saat ini penggunaan Topeng Tembut-Tembut lebih berorientasi sebagai media hiburan pada Masyarakat Karo, sementara awalnya topeng ini memiliki dua fungsi yaitu sebagai media Ndilo Wari Udan dan media hiburan. Topeng Tembut-Tembut yang terdiri dari lima karakter tokoh yang berbeda dan memiliki peran tersendiri. Namun dalam pertunjukannya kelima topeng tersebut tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena dalam setiap rangkaian acara pertunjukan Tembut-Tembut, kelima karakter ini saling melengkapi.

Tembut-tembut saat ini biasanya hanya digunakan sebagai sarana hiburan saja, misalnya pertunjukan pada acara-acara tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat Karo baik yang berada di Desa Seberaya maupun di luar Desa Seberaya. Selain itu digunakan juga sebagai sarana mengumpulkan massa atau masyarakat dalam rangka acara tertentu.

(11)

Bab I

Pendahuluan

I.1

Latar Belakang Masalah

Masing-masing unsur kebudayaan saling berkaitan dan mempengaruhi sehingga merupakan satu sistem yang bersifat holistik. Dengan demikian, unsur kesenian misalnya, tidak tercipta tersendiri atau hanya untuk seni saja, melainkan merupakan unsur universal kebudayaan yang berkaitan erat dengan adat istiadat, aktivitas sosial, teknologi dan lainnya. Oleh karenanya kesenian bukan hanya milik dari sekelompok seniman yang berada dalam satu wilayah saja, namun milik setiap anggota kelompok, dan mengatur perilaku sosial orang-orang yang ada dalam lingkup kelompok tersebut ( Edy Sedyawati, Seni Pertunjukaan Indonesia, Topeng Dalam Budaya. Jakarta, Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1993 )

Kesenian adalah unsur dan ekspresi kebudayaan manusia, yang berhubungan erat dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Sampai sekarang dalam kajian saintifik, kesenian dibagi menjadi rumpun-rumpun. (a) seni pertunjukan (performing art) atau pertunjukan budaya (cultural performance) yang terdiri dari : musik, tari, dan teater yang kadang kala meluas sampai kajian pada bidang olah raga, sirkus, prosesi dan juga ritual; (b) seni rupa atau seni visual yang terdiri dari: seni lukis, seni patung, pahat, kerajinan dan lainnya; (c) seni media rekam yang terdiri dari : radio, televisi, komput er dan lain-lain.

(12)

Menurut masyarakat Karo, masing-masing gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu. Masing-masing perlambangan tersebut selalu menggambarkan sifat manusia maupun hubungan seseorang dengan orang lain di dalam kehidupan sosialnya (A. G Sitepu, Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo Seri B. Bali Screen, 1998 )

Seni pertunjukan dalam masyarakat Karo merupakan bagian integral dari kebudayannya. Seni pertunjukan ini mencerminkan ide-ide budaya yang terwujud dalam aktivitas dan artifak. Dalam seni pertunjukan masyarakat Karo dapat dijumpai sistem-sistem yang relevan sampai saat ini. Dalam seni pertunjukan Karo terkandung juga keunikan-keunikan yang memperjelas dan mempertajam jatidiri masyarakat Karo.

Salah satu teater tradisional di Sumatera Utara yang cukup terkenal dalam konteks pariwisata adalah tembut-tembut dari Budaya Karo. Di Simalungun terdapat teater Toping-toping atau Huda-huda, sementara dalam kebudayaan Melayu contohnya adalah bangsawan, tonil, dan sandiwara. Pada masyarakat Batak adalah Opera Batak. Tembut-tembut di daerah Karo yang dikenal adalah yang ada di daerah Seberaya sehingga sering disebut Tembut-tembut Seberaya. Tema ceritanya adalah hiburan bagi raja yang ditinggal mati anaknya (Tridah Bangun, Manusia Batak Karo, Jakarta, Inti Indramayu, 1992)

(13)

digunakan untuk menyenangkan hati masyarakat yang menontonnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyajiannya dilaksanakan dalam konteks ndilo wari udan (upacara memanggil hujan). Kapan awalnya pemakaian tembut-tembut

dalam konteks ndilo wari udan pun tidak diketahui secara pasti (Putro Brahmana, Karo Dari Zaman Ke Zaman, Medan, Ulih Saber, 1999).

Tembut-tembut Seberaya terdiri dari dua jenis karakter (perwajahan), yaitu

karakter manusia dan karakter hewan. Karakter manusia terdiri dari empat tokoh (peran) yaitu satu bapa (ayah), nande (ibu), satu anak dilaki (putra) dan satu anak diberu (putri). Karakter binatang hanya mempunyai satu tokoh (peran) yaitu

gurda-gurdi (burung enggang).

Jalannya pertunjukan tembut-tembut adalah dimulai dengan membawa tembut-tembut serta kelengkapannya ke tempat penyajian. Di tempat penyajian

masing-masing pemain memakai tembut-tembut dan pakaiannya sesuai dengan perannya masing-masing. Selepas itu, pemimpin penyajian menyuruh pemain musik supaya memainkan gendang dengan ucapan ”palu gendang ena..” yang artinya ”mainkan musiknya..”. Pemain musik memainkan gendang dan pemain tembut-tembut mulai menari. Posisi awal penari tembut-tembut adalah sejajar

membelakangi pemain musik. Posisi ini dipertahankan hingga pemusik memainkan dua buah lagu yaitu lagu perang empat kali dan lagu simalungen rayat.

(14)

mematuk tokoh (peran) anak diberu (anak perempuan). Penari yang berkarakter ayah selalu berusaha menghalangi gangguan burung enggang tersebut.

Bila pemain yang berkarakter ayah gagal menghalanginya maka pemain yang berkarakter anak laki-laki datang membantu. Demikian lakon pemain penari dapat dilihat pada waktu pertunjukan diiringi dengan lagu kuda-kuda dan lagu tembutta yang lebih cepat dibanding lagu kuda-kuda.

Dewasa ini keberadaan topeng tembut-tembut tampak kurang mendapat perhatian dari masyarakat Karo sendiri. Hal ini terlihat dari semakin kurangnya pemakaian tembut-tembut dalam upacara-upacara atau kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual, dimana dulunya pada kegiatan ini topeng tembut-tembut memiliki peran yang cukup besar dalam berjalannya acara. Melihat fenomena yang terjadi pada masyarakat Karo, dikhawatirkan generasi muda Karo akan melupakan dan tidak dapat menikmati salah tembut-tembut sebagai salah satu produk asli budaya Karo.

(15)

Dari beberapa uraian tentang keberadaan tembut-tembut pada masyarakat Karo saat ini maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tembut-tembut, khususnya di daerah asal tembut-tembut yaitu Desa Seberaya dan

Barusjahe. Tulisan ini akan mendeskripsikan secara umum makna simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo dan keberadaan tembut-tembut pada masyarakat Karo yang saat ini semakin jarang ditemui dalam setiap upacara-upacara adat Karo.

I.2

Ruang lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka fokus utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan arti simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo. Melalui hal tersebut maka masalah utama ini dirinci menjadi beberapa pertanyaan kecil yaitu :Bagaimana arti simbolik yang ada pada topeng tembut-tembut dan pada tarian tembut-tembut, bagaimana peran topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo dan bagaimana proses pembuatan topeng tembut-tembut.

(16)

Alasan lain untuk memilih daerah ini sebagai lokasi penelitian adalah, karena desa Seberaya merupakan tempat pertama kali diciptakannya topeng tembut-tembut (gundala-gundala), selain itu desa ini juga terdapat banyak tokoh

adat yang mengetahui proses penciptaan topeng tembut-tembut. Desa Seberaya juga merupakan tempat tinggal dari tokoh pewaris topeng gundala-gundala, hal ini dikuatkan oleh adanya pengakuan dari pemerintah setempat bahwa tokoh tersebut merupakan pewaris sah dari Topeng Gundala-Gundal.

Sedangkan di Desa Barusjahe terdapat beberapa perajin atau seniman pembuat topeng gundala-gundala. Pembuat gundala-gundala yang ada di Desa Barusjahe ini sering diminta membuat topeng untuk acara-acara di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa orang asing yang pernah melihat pertunjukan gundala-gundala, kemudian memesan topeng tersebut sebagai koleksi pribadi.

I. 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian

(17)

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah tulisan ilmiah mengenai keberadaan topeng tembut-tembut dulu dan saat ini. Disamping itu tulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat Karo yang ingin mengetahui tentang tembut-tembut yang semakin jarang ditemui dalam upacara-upacara adat. Mengingat topeng tembut-tembut ini adalah salah satu ciri budaya Karo yang telah lama dikenal luas dan merupakan salah satu warisan nenek moyang masyarakat Karo yang harus tetap dijaga. Dengan harapan bahwa masyarakat Karo akan semakin mencintai dan melestarikan budaya Karo agar masyarakat Karo tidak kehilangan salah satu ciri budaya Karo tersebut.

1.4

Tinjauan Pustaka

(18)

Selanjutnya Victor tiga dimensi arti simbol. Pertama, dimensi eksegetik arti simbol. Dimensi ini meliputi penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada peneliti. Penjelasan-penjelasan atau interpretasi harus digolongkan menurut ciri-ciri sosial dan kualifikasi informan. Eksegenesisnya meliputi apa yang dikatakan orang tentang simbol-simbol ritual mereka. Ada tiga arti yang mendasar dari arti eksigenetik simbol ritual yaitu nominal, substansial dan arti faktual. Dasar nominal adalah dasar yang memberikan nama pada simbol atau sekurang-kurangnya dari mana simbol itu berasal. Dasar substansial terdiri dari sifat-sifat alamiah. Dasar arti faktual ditampilkan dengan objek simbolik, karya seni manusia sendiri dan digunakan dalam konteks ritual. Dasar ini yang menghubungkan dengan tujuan ritus diadakan.

Kedua, dimensi operasional, dimensi ini meliputi tidak hanya penafsiran yang diungkapkan secara verbal, tetapi juga apa yang ditunjukkan pada pengamat dan peneliti. Dalam hal ini simbol perlu dilihat dalam rangka apa simbol itu digunakan. Perlu dilihat ekpresi-ekpresi apa saja yang muncul sewaktu simbol-simbol itu digunakan, misalnya kegembiraan, kesedihan, ketakutan, dan lain-lain.

Ketiga, dimensi posisional, dimana bahwa arti simbol-simbol itu berasal dari relasinya dengan simbol lain. Pada ritus tertentu mungkin simbol tertentu sangat ditekankan sedangkan pada ritul lainnya simbol tersebut tidak ditekankan meski masih dipakai, semua itu berhubungan dengan tujuan ritus digunakan (Wartaya Y.W Winangun dalam Masyarakat Bebas Struktur, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1990).

(19)

disebut juga kedok atau penutup muka dikenal ada beberapa suku di Indonesia, bentuk dan fungsinya berbeda-beda. Topeng merupakan benda asli budaya manusia yang mungkin setua budaya manusia itu sendiri, ia juga dikenal sejak jaman pra-sejarah. Penggunaan topeng sejak dahulu telah dikenal penerapannya terlihat pada benda-benda pakai seperti, gagang senjata, keris, tombak, parang, yang diletakkan di atas pintu candi disebut hiasan kala dan banaspati. Bahkan pada pertunjukkan wayang orang, penggunaan topeng sangat dominan. Menurut Sedyawati dijelaskan bahwa, topeng adalah “ merupakan salah satu wujud ekspresi simbolis yang dibuat oleh manusia untuk maksud tertentu” (1993 : 1). Topeng juga dapat didefinisikan sebagai tiruan wajah yang dibentuk atas bahan dasar yang tipis, atau ditipiskan dengan memperhitungkan untutk dipergunakan di permukaan wajah manusia, sehingga wajah yang menggunakannya tertutup.

Perlu direnungkan, apa kiranya dasar-dasar orang membuat topeng. Sedyawati juga mengatakan bahwa “yang, melandasi makna kepada topeng ialah bahwa wajah adalah wakil dari keseluruhan kepribadian, maka manusia lebih lanjut menggambarkan suatu pribadi melalui simbolisasi visual yang dipusatkan pada gambaran wajah, maka muncullah ide untuk membuat topeng tersebut”. (1993 : 1).

(20)

konsepsi-konsepsi keagamaan khususnya berkaitan dengan kekuatan gaib tertentu. Fungsi yang kedua topeng merupakan ekspresi simbolis untuk menyalurkan tanggapan, kesan atas alam beserta sifat-sifatnya maupun konsep budaya tertentu melalui bentuk visual yang terencana.

Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa kebudayaan suku bangsa di Indonesia, peran topeng pada awalnya mempunyai fungsi keagamaan kemudian beralih kepada fungsi kesenian, khususnya dalam seni pertunjukkan.

Berdasarkan ukuran topeng dapat digolongkan menjadi dua yaitu : topeng besar, dan topeng kecil. Sedyawati mengatakan “topeng besar adalah topeng yang berukuran diatas ukuran normal wajah manusia. Sedangkan topeng kecil adalah topeng yang kurang lebih seukuran dengan ukuran normal wajah manusia”. (1993 : 3).

Lebih lanjut Sedyawati mengatakan bahwa: “secara garis besar topeng dapat dipisahkan antara yang bergaya natural dan bergaya grostesk (1993 : 4). Bergaya natural yaitu yang dalam pemberian bentuk maupun proposisi antara

(21)

jahat, seperti yang ditemukan dalam bentuk kala dan banaspati di candi Hindu Indonesia.

Tembut-tembut adalah sejenis topeng (penutup wajah) yang dipakai dalam

acara tarian ritual, yang rupa dan bentuknya mempunyai karakter yang berbeda, dan memiliki fungsi dan makna tersendiri bagi masyarakat Karo. Lahirnya tembut-tembut dikalangan masyarakat Karo berhubungan erat dengan kepercayaan

lama (animisme), dimana kepercayaan itu dianggap sebagai sesuatu yang teramat penting. Karena menurut kepercayan masyarakat Karo kuno, topeng tembut-tembut memiliki suatu hal yang luar biasa, dan mempunyai kekuatan magis.

Dengan adanya kepercayaan ini topeng tembut-tembut harus tetap dipelihara dan dilestarikan keberadaanya.

Peran topeng (tembut-tembut) dulunya sangat erat hubungannya dengan berbagai kegiatan ritual, salah satunya adalah untuk memanggil hujan (ndilo wari udan), praktek pelaksanaanya adalah dalam bentuk tarian (menari bersama)

(22)

1.5

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskripsi untuk mengumpulkan data dan informasi kualitatif, untuk menjelaskan secara terperinci mengenai arti simbolik dari Tarian Topeng Tembut-Tembut, proses pembuatan topeng dan peran topeng tembut-tembut dalam Masyarakat Karo.

Penelitian mengenai topeng tembut-tembut (gundala-gundala) ini dilakukan dengan menggunakan penelitian yang bersifat kualitatif Untuk mengumpulkan data lapangan dilakukan dengan beberapa cara yang relevan dalam pencapaian tujuan penelitian ini.

a. Wawancara.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terutama data primer yang diperoleh melalui wawancara. Wawancara yang sifatnya mendalam (depth interview) terutama ditujukan kepada informan kunci yaitu keturunan Sembiring Mergana sebagai merga Simantek Kuta, para pewaris topeng tembut-tembut yang ada di dua Desa tersebut. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data atau menjawab pertanyaan penelitian tentang bagaimana arti simbolik yang ada pada topeng tembut-tembut dan pada tarian tembut-tembut serta bagaimana peran topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo pada masa lalu dan saat ini.

(23)

atau sering disebut pemain topeng tembut-tembut, para pemusik (penggual) yang biasanya menjadi pengiring dalam tarian topeng tembut-tembut.

Wawancara dengan informan biasa yaitu masyarakat yang desa tersebut yang telah menyaksikan tarian topeng tembut-tembut dan kelompok masyarakat yang pernah melakukan ritual dengan menggunakan topeng tembut-tembut, misalnya dalam upacara ndilo wari udan (memanggil hujan) dilakukan untuk memperoleh gambaran umum tentang bagaimana peran topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo saat ini.

Dalam wawancara ini peneliti menggunakan alat perekam untuk menghindari adanya data yang hilang pada saat wawancara. Catatan-catatan kecil juga disediakan jika informan tidak merasa nyaman dengan adanya alat perekam.

b. Observasi (pengamatan).

(24)

1.7

Analisa Data

(25)

Bab II

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

II.1 Identifikasi Desa

II.1.1 Lokasi Desa Seberaya

Penelitian ini dilakukan di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo. Adapun jarak desa dengan kota kecamatan sekitar 3 Km, dari ibukota kabupaten sekitar 12 Km dan dari ibukota propinsi sekitar 76 Km. Dekat dengan ibukota kacamatan, desa ini memiliki batas-batas wilayah yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ajimbelang dan Desa Ajijahe, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kutabalai dan Tigapanah, sebalah Barat berbatasan dengan Desa Lepar Samura dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kubu Colia, Bertah-Kutajulu dan Desa Sukanalu. Luas wilayah desa ini sekitar 1.125 Ha dengan perincian penggunaan lahan yang tertera pada tabel berikut :

Tabel I Penggunaan Lahan

No Penggunaan Lahan LUAS

(Ha)

1 Pemukiman Umum 15,0

2 Perkantoran 0,02

(26)

4 Tempat Ibadah 0,6

5 Pertokoan/ Dagang 0,02

6 Kuburan/ Makam 0,75

7 Jalan Besar 6m x 8.000m 4,5

8 Pertanian-Sawah 40,0

9 Hutan 25,0

10 Ladang-Tegalan 1016,0

11 Perikanan Darat/ Air Tawar 1,0 12 Padang rumput ladang / Gembala 20,0

Jumlah Luas Seluruhnya 1125Ha

Jarak desa ini dari Kota Medan sebagai ibukota propinsi sekitar 76 Km. Angkutan yang dapat digunakan untuk mencapai desa ini dari Kota Medan diawali dengan menaiki Sinabung Jaya, Borneo, Sutra atau angkutan umum yang melewati Berastagi atau Kabanjahe. Sampai di Berastagi atau di Kabanjahe, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan Astra atau Sibayak yang menuju Desa Seberaya.

(27)

dan jenis tanaman holtikultura. Antara perladangan yang satu dengan perladangan lain milik warga sebagian besar hanya dibatasi dengan kawat duri atau hanya ditanami pohon kembang sepatu serta pohon pisang yang ditanam dengan jarak yang rapat.

Wilayah pemukiman desa berada di sepanjang jalan besar desa ini, sebagian besar rumah yang ada di desa ini adalah permanen. Rumah-rumah tersebut terdiri dari beberapa lapis yang dibatasi oleh pekarangan atau jalan kecil yang hanya dapat dilewati gerobak kerbau yang biasa digunakan warga petani untuk mengangkat hasil pertanian mereka ke rumah. Secara umum letak rumah penduduk pada lapisan kedua sudah tidak beraturan, hal ini terlihat dari banyak diantara rumah yang menghadap tidak searah dengan rumah yang di depannya. Hanya rumah yang menghadap jalan besar yang letaknya beraturan dengan batas jalan setapak atau gang kecil yang hanya dapat dilewati 1 orang.

II.2 Sejarah Desa Seberaya

Dalam sejarah terbentuknya Desa Seberaya dan penamaan Desa Seberaya, masyarakat Desa Seberaya memiliki cerita sendiri dan cerita sejarah ini diakui dari generasi ke generasi penduduk Desa Seberaya. Kata Seberaya ini sebenarnya berasal dari kata Serayan, dalam bahasa Karo serayan artinya kelompok atau kelompok kerja. Kata serayan ini juga dapat disamakan dengan kata aron dalam bahasa Karo yang berarti kelompok kerja, biasanya untuk mengerjakan ladang anggota kelompoknya.

(28)

lahan untuk dijadikan tempat tinggal. Kelompok orang ini adalah 3 keluarga yang masih memiliki hubungan darah (satu keluarga) dengan marga Karo Sekali. Karena merasa cocok dengan daerah tersebut, akhirnya ketiga keluarga ini memutuskan untuk menetap dan mendirikan rumah-rumah bagi keluarga dan keturunan masing-masing mereka. Daerah yang semula tidak ada namanya ini kemudian diberi nama Serayan karena mereka yang mula-mula mendiami daerah ini adalah sekelompok orang. Seiring dengan berjalannya waktu, kata serayan berubah menjadi kata Seberaya, tidak ada yang mengetahui jelas kapan dan siapa yang mengubah nama serayan menjadi Seberaya.

Dalam budaya Karo, ada istilah merga simentek kuta, yaitu marga orang yang awalnya mendiami daerah tersebut atau orang yang mendirikan kampung atau desa tersebut dan istilah anak beru kuta. Desa Seberaya marga simantek kuta adalah marga Karo Sekali, karena kelompok orang dengan Marga Karo Sekali lah yang awalnya mendiami dan mendirikan desa ini. Sementara anak beru kuta adalah Merga Sembiring.

Di seberaya sendiri, ada tiga kesain besar, kesain dalam bahasa Indonesia berarti kelompok pemukiman yang berada dalam sebuah wilayah desa. Kesain tersebut adalah Kesain Rumah Karo Raja Urung, Kesain Saribu dan Kesain Julun. Nama-nama kesain ini diyakini adalah nama ketiga kepala keluarga yang awalanya mendiami daerah Seberaya ini. Dari ketiga nama ini, Karo Raja Urung adalah yang tertua, disusul oleh kedua saudaranya yaitu Saribu dan Julun.

(29)

Karo dengan marga Karo Sekali kemungkinan besar adalah berasal dari Desa Seberaya.

II.3 Keadaan Penduduk

Desa Seberaya berpenduduk sekitar 3.270 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 1.510 jiwa dan perempuan sekitar 1.760 jiwa. Kepadatan penduduk desa ini sekitar 291 jiwa/ Km. Penduduk desa ini sebagian besar beragama Kristen (95%). Panduduk yang beragama Kristen Protestan sekitar 70%, beragama Kristen Katolik sekitar 25% dan sisanya adalah beragama Islam.

(30)

Dari segi tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Desa Seberaya sudah menamatkan SMP, terutama para warga yang sudah diatas usia 40 tahun, hanya sebagian kecil yang tamat SD atau tidak tamat sekolah sama sekali (warga yang sudah lanjut usia). Anak remaja atau anak muda usia produktif sebagian besar telah tamat SMA. Banyak anak remaja dari Desa Seberaya yang melanjutkan jenjang kuliah di luar kota propinsi atau di ibukota propinsi (Medan), ada juga yang menjalani bangku SMA di Kota Medan. Sekolah SMA yang dapat dijangkau pulang balik dari Desa Seberaya adalah SMA yang ada di Tigapanah, Kabanjahe, Barusjahe dan Berastagi. Hal ini membuat banyak juga anak-anak terpelajar yang berasal dari Desa Seberaya yang telah menduduki jabatan penting baik di tingkat daerah kabupaten, propinsi maupun tingkat nasional.

Bertani merupakan mata pencaharian mayoritas warga desa ini, meskipun mata pencaharian pokoknya bukan dari bertani (misalnya mereka bekerja di instansi pemerintahan), namun mereka tetap memiliki lahan untuk dijadikan tempat bercocok tanam. Orang dengan pekerjaan pokok bukan sebagai petani, biasanya mengerjakan lahan mereka ketika mereka selesai melakukan pekerjaan di kantor atau tempat lain. Tanaman yang paling banyak ditanam oleh warga desa adalah tanaman jeruk, namun disela-sela tanaman atau di bagian lain dari lahan mereka yang tidak ditanami jeruk ditanami lagi jenis tanaman palawija, seperti padi, sayur-sayuran dan buah-buahan lainnya. Desa Seberaya juga terkenal dengan penghasil tanaman bunga dengan berbagai macam jenis mulai dari bunga anggrek, melati dan sebagainya.

(31)

menguntungkan bagi warga desa. Hal ini karena sebagian besar tanaman warga sangat membutuhkan air yang cukup. Kemarau juga akan sangat mengganggu bagi kesehatan hewan peliharaan warga karena rumput yang menjadi makanan utama ternak mereka menjadi kering dan selit didapat.

[image:31.595.121.516.330.757.2]

Berikut ini merupakan tabel mata pencaharian penduduk Desa Seberaya.

Tabel II

Mata Pencaharian Penduduk

No Jenis Pekerjaan Jumlah Orang

1 Petani 1.754

2 Beternak 298

3 Usaha Perikanan 3

4 Pertambangan Galian C 12

5 Industri Kecil dan Kerajinan 17

6 PNS 71

7 Pensiunan ABRI/ Sipil 57

8 Pegawai Swasta 19

9 Perkreditan rakyat 19

10 Asuransi 3

11 Jasa Dagang 15

12 Warung 23

13 Kios 18

(32)

15 Mobil Kenderaan Umum 15

16 Tukang Jahit 1

17 Tukang Cukur 2

JUMLAH 2.324

II.4 Topografi Desa Seberaya

Jenis tanah desa ini tidak jauh berbeda dengan jenis tanah di Tanah Karo pada umumnya yaitu gembur dan berwarna hitam. Jenis tanah seperti ini cocok untuk lahan pertanian terutama pertanian janis tanaman palawija. Namun tidak semua lahan tanah di desa ini memiliki kondisi seperti diatas. Ada wilayah yang tanahanya berwarna kecoklatan dan sedikit berpasir, biasanya tanah seperti ini adalah tanah atau lahan yang berada dekat dengan aliran sungai yang melintasi desa. Meskipun tanah seperti ini kurang sesuai sebagai lahan pertanian, namun dengan pemupukan yang teratur akan membuat lahan ini bisa ditanami jenis tanaman tertentu seperti jagung dan padi.

(33)

Tabel III Bentang Lahan

NO Bentang Lahan Luas (Ha)

1 Dataran 1.095

2 Perbukitan atau Pegunungan 30

Jumlah 1.125

[image:33.595.122.512.141.756.2]

Tabel IV Kondisi Geografis

NO Kondisi Geografis Keterangan

1 Tinggi tempat dari permukaan laut 1200m – 1300m 2 Curah Hujan rata-rata pertahun 1000m - 1400 m 3 Keadaan Suhu Rata-rata 17 *c – 24 *c

Tabel V Kesuburan Tanah

NO Tingkat Kesuburan Luas (Ha)

1 Sangat Subur -

2 Subur 675

3 Sedang 450

4 Tidak Subur -

[image:33.595.121.517.166.280.2]
(34)

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar lahan atau tanah di Desa Seberaya adalah tanah dataran yang landai, hanya sebagian kecil yang berbukit. Dengan curah hujan yang cukup setiap tahunnya (hanya sesekali warga menghadapi kekurangan air) membuat tanaman warga dapat tumbuh dengan baik. Namun, belakangan kasuburan tanah di Desa Seberaya yang juga dialami oleh desa-desa yang ada di Tanah Karo mengalami penurunan kesuburan karena pemakaian pestisida dan pupuk yang berlebihan demi memacu pertumbuhan buah atau menghilangkan serangga pada tumbuhan. Akibat yang ditimbulkan dari pemakaian pestisida secara terus menerus dan pupuk tersebut tidak hanya pada turunnya kesuburan tanah, melainkan juga semakin kebalnya serangga perusak tumbuhan terhadap pestisida, sehingga kadarnya racunnya harus terus ditingkatkan. Tentunya ini sangat berbahaya bagi lahan dan kesehatan manusia.

Di Desa Seberaya, areal perladangan atau yang dalam bahasa Karo disebut Perjumaan, dibagi menjadi beberapa bagian, dimana setiap bagian dibuat nama

oleh para petani yang berada dalam kelompok areal tersebut. Areal perladangan ini dapat dijumpai dari sejak awal memasuki wilayah desa. Adapun nama-nama areal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Juma Sabah Pertumbuken

2. Juma Sabah Sumabai

3. Juma Sabah Tada-tada

4. Juma Sabah Kamedan

5. Juma Kata Beski

6. Juma Telen Gugung

(35)

8. Juma jabi-jabi

9. Juma Kayu Silima

10. Juma Senduduk

11. Juma Gajah-Gajah

12. Juma Tiga Belawan

13. Juma Sikambing

Areal perjumaan ini tidak dibagi berdasarka marga atau keturunan, melainkan pembagian areal yang memang telah ditentukan sebelumnya oleh kesepakatan warga desa.

[image:35.595.114.513.553.749.2]

Jalan sentra pertanian atau perladangan di Desa Seberaya juga telah dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah desa setempat, sehingga jika ingin menunjuk atau menuju salah satu ladang atau areal perladangan warga tidak sulit mendeskripsikannya. Nama jalan beserta cabang jalan, lebar jalan dan panjang jalan tersebut dapat dilihat melalui tabel dibawah ini:

Tabel VI

Jalan Sentra Pertanian Desa Seberaya

No Nama Jalan Cabang Jalan Lebar

Rata-rata Pnjng (m) Total

1 Kamedan Simp.Kamedan-Juma Inget T Juma Inget T- Gung Tinjo Juma Inget T-Juma Bp.Jakaria

(36)

2 Kuta Beski Simp.Ka.Beski-Simp.Rih Pulau Juma Hardi Pandia-Juma Bp. Jasmin

Simp. Rih Pulau-Rih Pulau

Simp. Rih Pulau- Juma K. Badak 5m 3m 5m 4m 1.600 400 400 500 2.900 m

3 Gajah-gajah Simp. Gajah-gajah- Juma Bakti Karo Sekali

4,6m 550 550m

4 Simpagul Simp.Simpagul-Simp.Sikambing Juma Nd. Dirman-Poris Gt Bp. Billi KS-Simp. Sikambing Bp.Billi KS- Juma Mentok Simp. Juma Bp. Agusti- Juma Arah Barat

Simp. G. Tebing- Darma KS Simp.G.Tebing-Bp.Markioano Simp.g.Tabing-Juma Pino

Simp.3 (Juma Bakti KS-Jln.G. Tebing) 4,5m 3.,2m 4,2m 4m 3m 3m 3m 3m 3m 350 400 220 500 200 450 600 300 850 5 Putri Hijau Simp.Putri Hijau-Bp. Supel T

(37)

Bp.Supel-Juma Peraturen Depari/Simp.Gerat

Simp.Juma Peraturen-Ke Great

4m

3,5m

250

720 6 Juma Purba

Kubu Colia

Rumah Julun-Jembatan Jembatan-Simp.Kubu Colia Juma Purba-Juma Gusta Juma Agusta-Juma Lihtar

Juma Gusta-Simp.3 (Bp.Lindung)

Bp. Lindung-Keci-keci

Simp.3 (Bp. Lindung-Pa langit)

4,7m 5m 4m 3,5m 3,5m

3,5m 3m

280 500 1320 300 210

(38)

Bab III

Tembut-Tembut Seberaya

III.1 Sejarah tembut-Tembut

Tembut-Tembut yang terdapat di Desa Seberaya dibuat Oleh Pirei

Sembiring Depari, diperkirakan sekitar tahun 1910-an. Pirei Sembiring Depari semasa hidupnya adalah seorang tukang ukir dan tukang pahat yang tersohor. Kepandaiannya yang utama adalah menempa atau membentuk pisau, parang dan belati. Masyarakat Karo pada masa itu mangakui pisau dan belati hasil buatan Pirei Sembiring Depari memiliki kualitas yang sangat baik.

Pirei Sembiring Depari hidup dari pekerjaannya sebagai penempa pisau dan belati serta juga pengukir batu. Popularitas Pirei Sembiring Depari sampai juga pada pemerintahan Belanda yang pada masa itu mengusai Tanah Karo sebagai penjajah. Hal ini membuat pihak Belanda memesan belati buatan Pirei Sembiring Depari, dan pesanan-pesanan tersebut membuat kehidupan Pirei Sembiring Depari makin membaik dari segi ekonomi.

Pirei Sembiring Depari memiliki satu sifat yang kurang baik yaitu gemar bermain judi. Dalam kegiatannya bermain judi, Pirei sering mengalami kekalahan. Pada suatu hari, sehabis dia kalah bermain judi dia pulang melewati areal perladangan, dimana di areal perladangan tersebut banyak dipajang Gundala-Gundala yang digunakan petani untuk menakut-nakuti hewan pengganggu

(39)

Meskipun telah memiliki niat untuk membuat gundala-gundala yang dilihatnya dalam perjalanan menuju pulang, namun Pirei Sembirng Depari belum dapat menemukan apa bahan atau kayu apa yang akan dipahat untuk membuat gundala-gundala tersebut. Hal ini membuat Pirei dalam melakukan perjalanan

kemanapun dia pergi melakukan pengamatan terhadap pohon-pohon yang dijumpainya, memilih kayu apa yang cocok untuk rencananya membuat gundala-gundala.

Dalam sebuah perjalannya menuju suatu tempat, Pirei Sembiring Depari melihat pohon gecih. Pohon kayu tersebut berbentuk lurus, bersih dan tak bercacat serta mudah dipahat. Hal ini membuat Pirei menjatuhkan pilihat pada kayu gecih untuk dijadikan kayu pembuat gundala-gundala. Pada suatu hari Pirei Sembiring Depari berniat menebang pohon tersebut, namun ketika hendak menebang pohon ini tiba-tiba petir datang menyambar dan hujan pun turun dengan lebatnya, hal ini membuat usaha Pirei untuk mebang pohon tersebut gagal. Berkali-kali Pirei Sembiring Depari mencoba menebang kembali pohon tersebut, namun selalu gagal dengan adanya sambaran petir dan turunnya hujan. Keadaan seperti ini tidak membuat Pirei menyerah untuk mendapatkan pohon tersebut, akhirnya Pirei meminta petunjuk dari para orang tua bagaimana cara agar penebangannya berhasil.

(40)

permisi untuk menebang salah satu pohon yang ada di dalam hutan tersebut. Setelah melakukan ritual pemberian sesajen pada kekuatan gaib pemilik hutan, akhirnya Pirei dapat melakukan penebangan terhadap kayu gecih ini. Pada saat penebangan kayu ini, petir memang tidak datang lagi menyambar, namun hujan masih tetap turun, namun ini tidak begitu mengganggu penebangan yang dilakukan Pirei.

Dari kayu gecih tersebut Pirei Sembiring Depari membentuk dan mengukir seperangkat gundala-gundala. Gundala-gundala tersebut terdiri dari empat topeng dan satu kepala burung. Mengacu pada gundala-gundala, maka Pirei Sembiring Depari dalam membuat patung atau topeng tersebut berusaha semirip mungkin dengan imajinasinya. Namun, topeng yang dihasilkan oleh Pirei Sembiring Depari, menurut orang-orang pada saat itu lebih seram dan menakutkan dari gundala-gundala biasanya. Hal ini membuat gundala-gundala buatan Pirei Sembiring Depari disebut Tembut-Tembut.

(41)

Namun setiap tembut-tembut tersebut dimainkan maka selalu saja turun hujan, sehingga masyarakat dan Pirei sendiri pun marasakan keganjilan. Sampai pada suatu saat Pirei Sembiring Depari mendapatkan suatu “bisikan” gaib dalam tidurnya. Bisikan tersebut mengatakan kalau dia harus menjaga dan merawat tembut-tembut tersebut sampai pada anak cucunya nanti. Pirei juga diwajibkan untuk memandikan dan memberi sesajen pada waktu-waktu tertentu pada tembut-tembut tersebut, tembut-tembut-tembut-tembut ini juga hanya dapat dimainkan oleh anak beru

dari pihak Pirei Sembiring Depari.

Berdasarkan hal tersebut diataslah sehingga sampai saat ini tembut-tembut yang dibuat oleh Pirei Sembiring Depari tetap dijaga dan dipelihara oleh keturunnya. Dari Pirei Sembiring Depari sampai sekarang, sudah empat generasi yang menjadi ahli warisnya. Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilihat dari urutannya sebagai berikut :

1. Pirei Sembiring Depari = Pembuat tembut-tembut pertama 2. Ngasal Sembiring Depari

3. Firman Sembiring Depari

(42)

III.2 Karakter Tembut-Tembut

Mengacu pada gundala-gundala, maka Pirei Sembiring Depari juga membentuk lima topeng yang mewakili lima karakter dan tokoh. Lima karakter dan tokoh tembut-tembut tersebut adalah Panglima, Kikir Labang, Manuk Si Gurda Gurdi, Anak Perana dan Singuda-nguda.

Foto I

(43)

Untuk mewakili kelima tokoh atau karakter tembut-tembut tersebut, maka Pirei Sembiring Depari mambuat penafsiran dan interpretasi sendiri. Tembut-tembut yang dibuatnya untuk tokoh Panglima, topengnya berwarna hitam, dengan

karakter wajah seperti orang tua dan juga memunculkan kesan keperkasaan, kebijaksanaan, keberanian, kekuatan ilmu dan kesepuhan. Untuk mendukung kesan-kesan tersebut dalam topeng ini, maka topeng ini diberi alis, kumis dan jenggot yang panjang dan berwarna putih. Sebagai bahan untuk alis, kumis dan jenggot terbuat dari kulit kambing yang disesuaikan kemudian dilengketkan pada topeng tersebut.

Foto II

(44)

Topeng Kikir Labang diinterpretasikan berwarna kuning, berkarakter wanita tua dengan gigi hitam yang dikikir rata. Hal ini mengacu pada kebiasaan pada masyarakat Karo pada jaman dahulu untuk membuat penampilan lebih baik, adalah dengan mengkikir giginya sendiri. Namun kebiasaan mengkikir gigi ini hanya dilakukan oleh wanita yang sudah berada diatas usia 60 tahun. Untuk membedakan Kikir Labang dengan Singuda-nguda, yaitu dimana Kikir Labang adalah wanita tua dan singuda-nguda adalah gadis muda, maka warna kuning pada topeng Kikir Labang dibuat lebih pucat sementara warna kuning pada topeng singuda-nguda dibuat lebih cerah. Selain itu, topeng Kikir labang ini juga diberi

warna merah pada bibirnya, mengacu pada salah satu kebiasaan wanita di dalam masyarakat Karo yaitu memakan sirih. Dalam konteks gundala-gundala, Kikir Labang ini juga disebut Kemberahen atau permaisuri, sementara dalam konteks

tembut-tembut lebih dikenal dengan Kikir Labang.

(45)

Foto III

(46)

Untuk topeng anak perana, Pirei Sembiring Depari menginterpretasikannya dengan topeng berwarna kuning denga karakter laki-laki yang masih muda. Bentuk wajah topeng lebih menonjol dari semua tokoh lain.

Foto IV

(47)

Untuk topeng singuda-nguda juga diinterpretasikan topeng warna kuning dengan karakter anak gadis yang cantik, diperjelas dengan memakai anting-anting berbentuk kudung-kudung. Kedua topeng tersebut, yaitu anak perana dan singuda-nguda mamakai warna kuning yang cerah, melambangkan anak muda.

Kemudian ketiga topeng itu, Kikir Labang, Singuda-nguda dan anak perana bagian atasnya diberi cat warna hitam sebagai lambang dari rambut, namun topeng panglima diatas diberi cat warna putih sebagai lambang dari rambut orang yag telah tua (ubanan).

Foto V

(48)

Sedangkan Manuk Si Gurda Gurdi karena merupakan binatang buas dan mampu memangsa manusia, maka diinterpretasikan memiliki paruh yang panjang. Karena paruhnya yang panjang tersebut maka di Desa Seberaya tokoh ini dikenal dengan nama Tubinggang, karena paruhnya panjang menyerupai burung enggang. Dalam hal gerak, Tubinggang ini cenderung melakukan gerakan-gerakan yang melambangkan kebuasan dengan mengejar, melompat, berjongkok dan seolah-olah akan menerkam.

Foto VI

(49)

Dalam masyarakat Karo, ada beberapa warna yang selalu ada pada setiap peralatan adat masyarakat Karo, misalnya kain adat, baju adat dan sebagainya. Warna-warna tersebut adalah mbiring (hitam), megara (merah), megersing (kuning) dan mbentar (putih). Adapun arti dari masing-masing warna tersebut adalah :

1. mbiring (hitam) melambangkan kesabaran dan ketekunan (megenggeng). 2. megara (merah) melambangkan teguh dalam mempertahankan kejujuran. 3. megersing (kuning) melambangkan penyejuk atau pengobat hati.

4. mbentar (putih) melambangkan kesucian.

III.3 Cerita lakon Tembut-Tembut

Tidak ditemukannya catatan yang tertulis mengenai kisah cerita tembut-tembut membuat ada beberapa versi kisah yang dikenal dalam masyarakat Karo.

Hal ini merupakan satu kebiasaan dari tradisi lisan, yang kadang diadaptasi sesuai dengan kemahiran dan keinginan orang atau oknum yang menceritakannya. Dalam berbagai konteks pertunjukan tembut-tembut, biasanya melakonkan kisah sebagai berikut :

(50)

Akhirnya dia memperoleh kesaktian dari hasil bergurunya, namun hal itu juga yang membuatnya berubah menjadi seekor Burung Enggang.

Dengan kesaktiannya yang dapat berubah wujud menjadi manusia atau burung, maka pemuda tersebut dapat dengan mudah mengintai gadis pujaannya kapan dia inginkan. Pamuda tersebut merubah wujudnya menjadi burung ketika akan mendekati gadis itu, karena jika melihat wajahnya gadis tersebut takut dan selalu menghindar. Pada suatu hari pemuda yang telah berubah menjadi burung enggang tersebut tidak dapat lagi menahan keinginannya untuk memiliki si gadis, sehingga dia berniat untuk menerkam dan melarikan gadis pujaan.

Namun rencana jahat pemuda tersebut diketahui oleh orang tua sang gadis. Dikarenakan orang tua gadis tidak sanggup melawan kasaktian si pemuda, maka orang tua si gadis meminta pertolongan kepada anak beru jabunya yang memiliki kekuatan atau kesaktian. Pertarungan terjadi antara anak beru dengan burung jelmaan tersebut. Setelah pertarungan sengit yang terjadi, akhirnya anak beru dapat mengalahkan burung jelmaan pemuda tersebut. Setelah mengalami kekalahan, burung tersebut kembali lagi berubah menjadi manusia dan kehilangan kesaktiannya, sejak saat itu pemuda tersebut berjanji tidak akan mengganggu anak gadis keluarga itu lagi.

Selanjutnya dalam pertunjukan tembut-tembut, diyakini bahwa singuda-nguda adalah seorang putri raja. Hubungan dari kelima tokoh tersebut adalah bahwa Panglima adalah anak beru, sedangkan Kikir Labang adalah salah seorang pengasuh (dayang-dayang) putri raja, yang juga memiliki kekuatan mistik. Manuk Si Gurda Gurdi atau Tubinggang adalah jelmaan dari seorang pemuda yang suka

(51)

singuda-nguda tidak menyukainya. Sedangkan anak perana adalah seorang raja yang memiliki putri yang cantik.

Versi sekarang cerita tentang tembut-tembut, menurut Dwikora Sembiring Depari, bahwa Panglima adalah ayah, sedang Kikir Labang adalah seorang ibu. Panglima dan Kikir Labang adalah sepasang suami istri yang memiliki sepasang

anak laki-laki dan perempuan, yaitu singuda-nguda dan anak perana. Namun cerita ini dimunculkan ketika yang menjadi penjaga tembut-tembut adalah ayahnya, atas masukan dari pemerintah Kabupaten Karo. Adapun tujuannya memodifikasi cerita ini adalah dalam rangkan menggalakkan program KB (Keluarga Berencana) sekitar tahun 1970-an, dimana dua anak saja cukup. Karena untuk kebutuhan kampanye KB tersebut, sering juga pemerintah memakai tembut-tembut untuk pertunjukan. Hal ini membuat banyak masyarakat yang tahu cerita

atau kisah dari tembut-tembut itu sendiri.

III.4 Bentuk Tembut-Tembut dan Pembuatannya

Mengenai detail pembuatan tembut-tembut yang dilakukan oleh Pirei Sembiring Depari, tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya lagi. Tembut-tembut adalah topeng pada masyarakat Karo yang terdapat di Desa Seberaya dan

(52)

namun perwujudan ekspresinya sama dengan struktur wajah manusia, hal ini terlihat dari struktur anatominya (mata, hidung, mulut, telinga dan sebagainya)

Didalam topeng tembut-tembut dibuat ruang untuk tempat kepala dan wajah. Didalam rongga topeng dibuat lubang pada bagian mata dan hidung agar pemain dapat melihat dan bernafas. Cara memakai tembut-tembut adalah dengan memasukkan topeng ke kepala, sehingga menutupi seluruh muka, kepala, tengguk hingga dagu pemakainya.

Bahan baku untuk pembuatan topeng tembut-tembut adalah dari kayu gecih, jenis kayunya ringan, tidak keras sehingga mudah membentuknya. Pemilihan bahan tersebut sangat berkaitan dengan kebutuhan pembuat dan pemakainya. Kayu gecih mudah dipahat dan diukir sehingga mudah dibentuk oleh pembuatnya. Sedangkan sifatnya yang ringan dapat memudahkan pemain dalam memakai topeng dalam lakon tembut-tembut. Jika bahan bakunya berat, akan sangat mengganggu ruang gerak dari si pemainnya.

Pembuatan tembut-tembut yang terdapat di Desa Seberaya masih menggunakan peralatan tradisional, seperti gaji (gergaji), sekin (Parang), dan pahat. Namun hasilnya cukup baik dan permukaannya halus. Akan tetapipada bagian dalamnya, karena pada masa itu belum ada alat bor yang modern seperti saat ini, permukaan dalamnya kurang rata. Untuk menghindari rasa sakit yang ditimbulkan pada wajah di pemakai, biasanya bagian dalamnya dilapisi kain.

(53)

dengan topeng tembut-tembut. Bagian pangkal disisakan panjang yang kemudian dijadikan pegangan bagi orang yang memainkannya.

Paruh Manuk Si Gurda-Gurdi atau Tubinggang juga terbuat dari kayu gecih, yang diukir sedemikian rupa sehingga menyerupai leher, kepala dan paruh

burung. Bagian kepala diberi warna hitam, paruh diberi warna putih dan jambul diberi warna kuning.

III.5 Memainkan Tembut-Tembut

Seorang pemain tembut-tembut pada dasarnya harus juga menguasai gerak tari Karo, hal ini karena penampilan tembut-tembut tersebut diiringi musik tradisional Karo. Dalam hal menari, masyarakat Karo memiliki suatu aturan dimana pada saat gong berbunyi maka jinjitan penari adalah naik ke atas, hal ini juga harus dilakukan oleh seorang pemain tembut-tembut. Demikian juga mengenai pola gerak tangan, sekalipun memainkan tembut-tembut dengan mempergunakan tangan palsu yang sifatnya kaku, tetapi urutan dan rangkaiannya harus meniru seperti gaya orang yang menari.

Namun mengenai aturan gerak tersebut di atas, ada kalanya tidak sepenuhnya dilaksanakan, terutama pada saat berjalan dalam upacara Ndilo Wari Udan. Hal ini disesuaikan dengan kondisi si pemusik yang juga tidak bermain

(54)

Pada saat penyajiannya, pemain tembut-tembut ini memakai jubah panjang sampai menutupi mata kaki. Sebelum memakai jubah tersebut, pemain juga biasanya membuat buntelan kain yang diikatkan di perut mereka, hal ini membuat pemain ini memperlihatkan perut yang buncit. Jubah yang dipakai memiliki lengan baju yang panjang sehingga menutupi telapak tangan. Karena tangan sudah tertutup, maka pemain dilengkapi dengan tangan palsu yang terbuat dari kayu yang besarnya setara dengan kira-kira dua kali ukuran tangan sebenarnya.

Karena penyajian tembut-tembut sangat mengutamakan permainan topeng yang dikenakan para pemainnya, sumber gerak didominasi oleh kepala dan muka. Sedangkan gerakan kedua tangan yang dikoordinasikan dengan gerakan kaki yang lebih banyak bersifat memperindah dan memperkaya penampilan. Sehingga pada bagian tertentu penampilan tembut-tembut memungkinkan terjadinya gerakan-gerakan tangan yang minimal, sejauh pemain yang bersangkutan memberikan gerakan cukup pada bagian mukanya.

III.6 Musik penggiring Tembut-Tembut

Pertunjukan tembut-tembut diiringi oleh musik tradisional dalam bentuk ensembel yang disebut Gendang Lima Sendalanen (gendang lima sejalan), antara lain terdiri dari : Sarune = Serunai, sebagai pembawa melodi lagu; Gendang Singindungi = Gendang Ibu, sebagai pembawa variasi ritmis; Gendang Singanaki

= Gendang anak, sebagai pembawa ritmis tetap; Gung = Gong, sebagai penentu siklus terbesar; Penganak = Gong Kecil, sebagai pembawa siklus terkecil.

(55)

Rurusen serta Gendang Peselukken. Masing-masing gendang ini memiliki tempo

bervariasi, mulai dari lambat, sedang, cepat dan sangat cepat.

Untuk mengiringi tembut-tembut dalam upacara Ndilo Wari Udan, Gendang Siarak-araki atau Tangtugut (lambat) dimainkan mengiringi

tembut-tembut pada saat mulai berjalan. Pada saat ini semua barisan yang masuk dalam

prosesi upacara mengatur jalan sambil menyesuaikan barisan. Setelah setengah perjalanan kemudian dimainkan Gendang Limbe atau Mari-Mari yang memiliki tempo sedang. Setelah barisan prosesi sampai di tepi lau Kemit (pada saat ersimbu mulai) atau sampai ke batas desa dimana upacara dilakukan, kemudian dimainkan Gendang Mbertik Rurusen yang temponya cepat. Lagu terakhir adalah Gendang

Peselukken yang temponya sangat cepat. Pada saat ini, ketika acara ersimbu

dimulai, para pemain tembut-tembut sudah dalam keadaan kesurupan, namun padas saat setelah acara ersimbu selesai, penari tembut-tembut tidak lagi dalam kondisi kesurupan.

Memainkan Gendang ini pada saat berjalan adalah dengan mengikatkannya di pinggang pemain dengan kain sarung. Namun ada juga kalanya gendang dipegang dengan satu tangan dan satu tangan lagi memainkannya. Sedangkan Gong dipikul dua orang kemudian satu orang lagi memainkannya sambil berjalan disamping, namun Gong dapat juga dibawa oleh satu orang yang sekaligus juga sebagai pemainnya. Karena posisi pemain musik gendang lima sendalanen untuk mengiring tembut-tembut sambil berjalan

(56)

III.7 Sesajen Untuk Tembut-Tembut

Menurut Kora Sembiring Depari sebagai ahli waris dari Tembut-Tembut Seberaya, ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap tembut-tembut, yang dilaksanakan secara periodik ataupun sehubungan dengan penggunaannya. Perlakuan tersebut ada tiga hal yaitu : pertama ketika hendak dimainkan, kedua setelah dimainkan dan ketiga dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.

Sebelum tembut-tembut dimainkan dalam upacara Ndilo Wari Udan ataupun pertunjukan lainnya, semua tembut-tembut dikeluarkan dari kotaknya kemudian dibariskan di halaman depan rumah. Setelah dibersihkan sejenak maka tembut-tembut tersebut dimandikan dengan air yang telah dicampur dengan abu

dapur yang telah disaring sebelumnya, 3 buah rimo mukur beserta bunganya, 7 jenis bunga (bunga sapa) dan umbi utama dari kunyit (indung kuning gersing). Kesemua ini adalah campuran untuk memandikan tembut-tembut.

Adapun urutan memandikan tembut-tembut adalah yang pertama sekali topeng panglima, kemudian Kikir labang, disusul anak perana, Manuk Si Gurda-Gurdi dan yang terakhir adalah singuda-nguda. Urutan memandikan ini diyakini

berdasarkan urutan pembuatan topeng oleh Pirei Sembiring Depari pada masa lalu. Air yang diberi ramuan yang digunakan untuk memandikan tembut-tembut sebelum dimainkan ini disebut Lau Peniresen.

(57)

memandikan tembut-tembut adalah sama seperti ketika dimandikan saat akan dimainkan. Pertama yang dimandikan adalah Panglima, kemudian Kikir Labang, disusul anak perana, tubinggang atau anak manuk si gurda gurdi dan yang terakhir adalah singuda-nguda.

Lau penguras ini adalah air yang dimasukkan ramuan yang terdiri dari :

bulung simalem-malem, bulung besi-besi, sangkel sipilit, siang-siang, bulung

rimo mukur, kapal-kapal, slantam, bunga sapa dan rimo mukur. Keseluruhan

ramuan tersebut disatukan, dicampur kemudian dimasukkan ke dalam air yang akan digunakan untuk memandikan tembut-tembut.

Setelah tembut-tembut selesai dimandikan, dibiarkan sejenak hingga benar-benar kering. Bila sudah kering, masing-masing dibungkus dangan kain putih (dagangen) lalu disusun kembali ke tempat penyimpanan. Tempat penyimpanan tembut-tembut adalah sebuah kotak dari kayu yang di dalamnya terdapat sekat-sekat tempat meletakkan tembut-tembut.

Selain sesajen dalam bentuk memandikan, ada juga sesajen dalam bentuk makanan yang diberikan kepada tembut-tembut. Sesajen dalam bentuk makanan ini diberikan sekali dalam setahun, dan mengenai waktu pelaksanaannya tidak dapat dipastikan. Biasanya jika sudah tiba saatnya pemberian sesajen dalam bentuk makanan pada tembut-tembut, Kora Sembiring Depari sebagai ahli wari tembut-tembut bermimpi dan dimana dalam mimpinya dia bertemu dengan orang

tua yang memnyuruhnya untuk menyiapkan dan memberikan sesajen pada tembut-tembut tersebut. Namun adakalanya bukan Kora Sembiring Depari yang

(58)

Adapun sesajen yang diberikan kepada tembut-tembut adalah terdiri dari : bawang putih tunggal, lada hitam (merica), dawa cur, rimo bunga (jeruk asam), rimo mukur (jeruk Purut), cimpa buka siang (makanan khas orang karo yang

terbuat dari tepung beras), galuh si emas sada ncikat (pisang emas satu sisir), belo cawir (daun sirih) dan buah mayang (pinang).

Semua tembut-tembut dikeluarkan dari kotak penyimpanan, kemudian dibariskan diatas tikar kecil yang terbuat dari pandan (amak mbentar). Urutannya mulai dari kanan adalah topeng Panglima, Kikir Labang, Anak Perana, Tubinggang dan yang terakhir adalah singuda-nguda. Kemudian seluruh sesajen

tersebut diletakkan di hadapan tembut-tembut dan dibiarkan sesaat.

Pelaksanaan pemberian sesajen ini dilaksanakan di rumah Kora Sembiring Depari, yang dilakukan sebelum tengah hari (sebelum pukul 12 siang). Setelah sesajen dibiarkan beberapa saat dihadapan tembut-tembut, kemudian anggota keluarga yang ingin memakannya dapat juga ikut memakannya.

(59)

Bab IV

Fungsi Tembut-Tembut Dalam Kehidupan Masyarakat Karo

IV.1 Fungsi Tembut-Tembut Sebagai Sarana Ritual

Tembut-tembut memiliki fungsi sebagai sarana ritual, dimana

tembut-tembut tersebut digunakan sebagai sarana atau alat untuk memanggil hujan (ndilo

wari udan). Keberadaan tembut-tembut tersebut begitu penting sehingga sejak

tahun 1910-an tidak pernah dilaksanakan upacara ndilo wari udan di Desa Seberaya tanpa mengikutsertakan tembut-tembut.

Masyarakat Karo di Desa Seberaya sesuai dengan kepercayaan tradisionalnya, menyakini bahwa tidak turunnya hujan adalah disebabkan gangguan dan hambatan dari roh-roh atau kekuatan gaib yang bersifat jahat. Untuk mengatasi ini, maka dilakukan suatu acara untuk mengusirnya atau membujuknya, dalam hal ini peran dari tembut-tembut dibutuhkan.

Ada anggapan masyarakat Karo di Desa Seberaya, karena karakter dari tembut-tembut yang begitu menyeramkan, maka berbagai mahluk takut padanya.

Sehingga dalam upacara ndilo wari udan, tembut-tembut tersebut diharapkan dapat mengusir kekuatan jahat yang menghalangi datangnya hujan.

Sebelum tembut-tembut dimainkan, maka ahli warisnnya menyelipkan selembar belo cawir (daun sirih) pada masing-masing tangan kayu tembut-tembut

(60)

IV.1.1 Upacara Ndilo Wari Udan

Upacara Ndilo Wari Udan (upacara memanggil hujan) merupakan salah

satu ritual yang terdapat pada masyarakat Karo di Desa Seberaya, kecamatan Tigapanah. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, bahwasanya upacara yang sejenis juga dilaksanakan di beberapa wilayah lain seperti di Desa Lingga, Desa Kuta Buluh dan Kabanjahe. Namun dalam hal ini, peneliti hanya melakukan penelitian tentang Ndilo Wari Udan di Desa Seberaya.

Upacara ndilo wari udan dimana semua rangkaian kegiatannya lengkap diikuti sepenuhnya di Desa Seberaya, terakhir kali dilaksanakan adalah pada tahun 1975. Atas kritikan dari berbagai tokoh agama (Islam dan Kristen), maka beberapa bagian dari upacara ndilo wari udan, dihilangkan dalam pelaksanaannya. Upacara ndilo wari udan terakhir terakhir kali dilaksanakan di Desa Seberaya adalah pada tahun 2001, dengan menghilangkan beberapa bagian dari rangkaian kegiatan upacaranya. Pada pelaksanaan ndilo wari udan pada tahun 2001 di Desa Seberaya, inti kegiatannya hanya ertembut, dimana tembut-tembut dikeluarkan dan dimainkan di halaman desa. Tembut-tembut-tembut dimainkan

mulai dari halaman rumah Kora Sembiring Depari, kemudian terus ke ujung sebelah bawah Desa Seberaya, dilanjutkan ke ujung sebelah atas, kemudian kembali ke rumah Kora Sembiring Depari.

(61)

wari udan. Hal ini dilakukan karena adanya kekhawatiran keadaan seperti ini akan

terus berlajut dan akan merugikan bagi warga desa sendiri, misalnya gagal panen, kebakaran, timbulnya penyakit dan lainnya.

Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Desa Seberaya, apabila hujan tidak turun, ada banyak faktor penyebabnya, antara lain adanya hantu (begu), keramat dan penguasa-penguasa gaib pada suatu tempat di Desa Seberaya. Dalam hal ini, tembut-tembut diharapkan dapat membujuk atau mengusir kekuatan tersebut yang menghalangi turunnya hujan. Dalam upacara ndilo wari udan ini nantinya akan ditanyakan kemauan dari kekuatan gaib yang menghalang turunnya hujan agar supaya kekuatan tersebut tidak lagi menghalangi turunnya hujan ke desa.

Adapun yang menjadi tujuan upacara ndilo wari udan yang dilaksanakan adalah sebagai suatu sarana atau media komunikasi dari sekelompok masyarakat kepada Yang maha Penguasa alam semesta. Inti dari yang dikomunikasikan adalah suatu permintaan agar kiranya segera diturunkan hujan. Dalam hal ini segala kekuatan yang dianggap menghalangi maksud tersebut diusir atau dibujuk agar tidak menggangu lagi.

IV.1.2 Persiapan Upacara Ndilo Wari Udan

(62)

tembut-tembut. Mereka ini meminta agar kiranya Kora Sembiring bersedia

mengeluarkan tembut-tembut dalam upacara tersebut.

Selanjutnya Kepala Desa dan beberapa pengetua adat dan ahli waris tembut-tembut memilih dan menentukan siapa guru si baso (Dukun) yang nantinya akan memimpin upacara tersebut. Setelah ditentukan siapa yang dipilih, maka Kepala Desa mengutus seseorang menemui dukun tersebut untuk mengutarakan maksud warga desa mengundangnya sekaligus mengundang secara resmi dukun tersebut untuk memimpin upacara ndilo wari udan. Begitu juga dengan pemain musik pengiringnya (sierjabaten) yang akan ikut dalam upacara ini, juga ditentukan bersama dengan Kepala Desa dan Pengetua adat dan Kepala Desa menyuruh seseorang untuk mengundangnya secara resmi.

Setelah semua orang yang nantinya berperan dalam upacara tersebut sudah lengkap, maka pihak pemerintahan desa akan mengadakan momo (pengumuman) pada warga desa dengan cara meminta seseorang meneriakkan pengumuman denganberkeliling desa sambil membawa gong kecil. Isi pengumuman tersebut adalah mengatakan bahwa pada hari yang telah ditentukan anak diadakan upacara ndilo wari udan yang dilaksanakan di desa mereka.

(63)

IV.1.3 Persiapan Khusus Untuk Tembut-Tembut

Mengetahui bahwa tembut-tembut akan dipakai dalam acara ndilo wari udan, maka ahli waris tembut-tembut mempersiapkan beberapa persiapan khusus

dan ritual khusus seperti yang biasa dilakukan secara turun-temurun. Sebagai langkah awal, ahli waris tembut-tembut memanggil beberapa orang yang dalam sistem kekerabatan Karo masuk ke dalam posisi anak beru nya, yaitu orang yang mengambil istri beru Sembiring Depari.

Dari beberapa orang anak beru merga Sembiring Depari yang dipanggil, makan dirembukkan siapa lima diantaranya yang akan ikut memainkan tembut-tembut dalam acara upacara ndilo wari udan tersebut. Kelima orang tersebut

kemudian dipersiapkan pakaian dan perlengkapannya. Kelima orang tesebut akan memainkan perannya sebagai Panglima, Kikir Labang, Anak Perana, Singuda-nguda dan Tubinggang.

Selain itu, mereka juga diminta untuk mengingat nenek moyang mereka yang pertama sekali membuat Tembut-Tembut tersebut yaitu Pirei Sembiring Depari. Bila ada rasa khawatir atau ketakutan dalam memainkan tembut-tembut tersebut, maka disarankan untuk jiarah dan manabur bunga ke makam Pirei Sembiring Depari yang berada di pinggir Desa Seberaya. Mengenai persiapan-persiapan secara ritual nantinya akan dipersiapkan oleh guru si baso (dukun) itu sendiri pada saat ndilo wari udan. Dan sebelum acara tersebut berlangsung, tembut-tembut akan dimandikan terlebih dahulu dengan ramuan tertentu.

Pada hari pelaksanaan ndilo wari udan, sekitar jam tujuh pagi semua tembut-tembut dikeluarkan dari kotaknya kemudian dibariskan di halaman depan

(64)

dengan air yang telah dicampur dengan abu dapur, tiga buah rimo mukur dan bunganna (jeruk purut dan bunganya), bunga sapa tujuh jenis (sejenis bunga) dan

indung kuning gersing (induk kunyit). Semua ramuan tersebut harus dipotong

menggunakan pisau atau pedang buatan Pirei Sembiring.

Adapun urutan dalam memandikan tembut-tembut adalah yang pertama sekali topeng panglima, kemudian topeng kikir labang, disusul topeng anak perana, topeng tubinggang atau manuk sigurda-gurdi dan yang terakhir adalah

topeng singuda-nguda. Urutan memandikan ini diyakini berdasarkan urutan pembuatan topeng tersebut oleh Pirei Sembiring Depari. Menurut Dwikora Sembiring Depari yang merupakan pewaris tembut-tembut saat ini, proses memandikan tembut-tembut ini sudah berlangsung sejak dahulu dan belum ada yang dirubah. Setelah selesai dimandikan dan dikeringkan, para anak beru memainkan topeng tersebut menuju kesain, dimana warga telah menanti.

IV.1.4 Bagian-Bagian Upacara Ndilo Wari Udan

Dalam pelaksanaan ndilo wari udan, terdapat bagian-bagian sesuai dengan hal yang merupakan inti kegiatan. Pada dasarnya, bagian-bagian tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya, karena merupakan serangkaian kegiatan upacara ndilo wari udan. Secara umum, kegiatan ndilo wari udan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu dimulai dari ersimbu, sipalem-palem, ertembut-tembut dan yang terakhir adalah ertoto ku sembahen.

(65)

melewati tahap demi tahap dari upacara. Berikut adalah tahapan dari upacara ndilo wari udan.

IV.1.4.1 Ersimbu

Pagi hari sekitar pukul sepuluh, semua masyarakat Desa Seberaya berkumpul di kesain atau halaman rumah dari pemilik tembut-tembut. Pada waktu ini juga barisan prosesi untuk upacara ndilo wari udan disusun. Barisan paling depan adalah guru si baso sebagai pemimpin jalannya upacara ndilo wari udan. Dibelakang guru si baso adalah lima anak beru dari merga Sembiring Depari yang telah memakai topeng tembut-tembut beserta kostum mereka. Di belakang ke lima orang tersebut atau barisan tembut-tembut, terdapat barisan sierjabaten (pemain musik gendang lima sendalanen) yang akan mengiringi tembut-tembut selama barisan prosesi tersebut berjalan. Barisan berikutnya adalah Kepala Desa, Pengetua atau tokoh kampung, pemilik tembut-tembut dan penduduk Desa Seberaya.

Setelah semua barisan siap, maka ahli waris tembut-tembut, membuat atau menyelipkan satu helai belo cawir atau daun sirih di jari-jari tangan yang terbuat dari kayu pemain tembut-tembut tersebut, sebagai tanda minta izin. Kemudian guru si baso memberi aba-aba agar barisan mulai berjalan manuju Lau Kemit. Lau

(66)

gendang siarak-araki atau tangtugut (lambat), gendang limbe (sedang), gendang

mbertik rurusen (cepat) serta gendang peselukken (sangat cepat).

Setelah sampai di sungai Lau Kemit acara ersimbu dimulai dimana semua orang yang hadir masuk ke dalam sungai. Para penari tembut-tembut terus menari dengan iringan repertoar gendang peseluken. Setelah beberapa saat maka guru si baso membuka topeng tembut-tembut dari masing-masing penari. Penari yang

sudah dalam kesurupan mulai melakukan hal yang aneh-aneh, masuk ke dalam air menyirami orang lain, sambil mengucapkan kata-kata tidak sopan, tidak hormat bahkan makian.

Aktivitas dari orang yang kesurupan ini membuat suasana orang-orang yang berada di dalam sungai tersebut menjadi riuh, karena banyak yang mangikut-ikutinya terutama untuk saling siram. Bahkan sebahagian ikut untuk mengucapkan kata-kata tidak senonoh dan makian. Kelakuan dari penari tembut-tembut yang kesurupan tersebut bahkan ada yang tergolong sangat dilarang dalam aktivitas sehari-hari masyarakat Karo, seperti mengambil kayu dan diposisiskan seolah-olah kemaluannya, melakukan adegan bersetubuh, bahkan menampung air kencing lalu menyiramkannya kepada orang lain. Namun hal tersebut semua harus dimaklumi dan tidak boleh menyebabkan sakit hati diantara sesama mereka. Pada saat upacara ersimbu ini, makian dan kata-kata kotor akan sering terdengar dilontarkan, sambil menyiramkan air. Bahasa-bahasa yang sehari-hari sangat dicela bahkan dilarang akan dianggap biasa dan dapat dimaklumi pengucapannya pada saat upacara ini berlangsung.

(67)

yang datang tersebut dan apa maunya. Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Desa Seberaya, roh-roh atau kekuatan yang membuat kesurupan tersebutlah yang menghalangi turunnya hujan, sehingga apa permintaannya dan kemauannya sebisanya dituruti agar tidak menghalangi turunnya hujan lagi. Orang-orang yang kesurupan tersebut, biasanya meminta bermacam-macam seperti buah pisang, buah jeruk, ayam merah, jeruk purut dan lain sebagainya. Biasanya permintaan tersebut telah disediakan sebelumnya, tetapi bila ada diantara permintaan tersebut yang tidak dipersiapkan maka tugas dan tanggung jawab guru si baso lah yang akan mengantarkannya kemudian. Batas waktu untuk mengantar permintaan tersebut biasanya paling lama tiga hari.

Upacara ersimbu ini terakhir kali dilaksanakan adalah pada tahun 1975, ketika musim kemarau yang berkepanjangan dan

Gambar

Tabel I
Tabel II
Tabel V
Tabel VI

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dapat dilihat bahwa yang biasa dilakukan masyarakat agar tidak terkena penyakit malaria adalah 2 orang informan mengatakan

Perkembangan usahatani wortel secara umum dapat dilihat dari pertambahan luas lahan wortel, produksi tanaman wortel yang dihasilkan dan produktivitas tanaman wortel serta harga

Sebelum masuknya agama Kristen ke desa Tanjung Mbelang masyarakat masih mengenal “ Kepercayaan Pemena ” (animisme), mereka juga selalu melakukan ritual-ritual

Dalam penelitian ini telah dilakukan wawancara dengan informan keluarga pengguna smartphone terkait dengan kasih sayang dalam keluarga sakinah: Pertama, menurut hasil wawancara

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tersebut yang mengatakan bahwa silariang yang diartikan sebagai suatu keterpaksaan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan

Metode wawancara adalah pengumpulan data dengan jalan sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan juga mencoba mendapatkan keterangan masyarakat yang bersangkutan dengan

Dari hasil wawancara dengan beberapa informan dapat diambil kesimpulan, bahwa pada Desa Ngasem ini belum ditemui kendala dalam pelaksanaan transparansi dan

Luas Lahan, Frekuensi Panen, Jumlah Produksi, Jumlah Biaya Produksi, Jumlah Tenaga Kerja, Jumlah Penerimaan dan Tingkat Pendapatan Usahatani Cabai Merah dengan Sistem