• Tidak ada hasil yang ditemukan

* Dipublikasi pada Majalah Inderaja, Volume V No.7 Edisi Juli 2014

PEManfaaTan TEKnologI PEngInDERaan Jauh unTuK

MEnDuKung PRogRaM PEngElolaan Danau *

Bambang Trisakti, Sri Harini, Nana Suwargana, dan Syarief Budhiman

Bidang Sumber Daya Wilayah Pesisir, Pusfatja-LAPAN

PEnDahuluan

Danau adalah merupakan tempat akumulasi air yang luas yang dikelilingi oleh daratan. Walaupun ada beberapa danau yang merupakan danau air asin, tetapi sebagian besar danau di dunia merupakan danau air tawar, yang dapat terjadi karena mencairnya gletser, aliran sungai, atau karena adanya mata air. Dalam skala dunia, danau telah menjadi perhatian global karena 90% air tawar di permukaan tersimpan di danau dan waduk. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), ekosistem Daerah Tangkapan Air (DTA) dan danau di wilayah Indonesia menyimpan kekayaan yang sangat besar mencapai 25% jumlah plasma nutfah dunia dan mensuplai 72% air permukaan di wilayah Indonesia. Danau berfungsi sebagai penyedia air baku bagi masyarakat, irigasi pertanian, pembangkit listrik tenaga air, budidaya perikanan dan juga sebagai lokasi pariwisata.

Dewasa ini banyak wilayah DTA dan danau di Indonesia telah mengalami degradasi (penurunan kualitas) yang diakibatkan oleh pertambahan penduduk, konversi lahan hutan, polusi dan erosi. Konversi/pembukaan lahan yang tidak menggunakan prinsip kelestarian lingkungan dapat mengakibatkan banyak hal negatif, tidak hanya dalam tahap pembukaannya tetapi juga pada tahap penggunaan dan pengelolaannya. Pembukaan lahan secara besar-besaran menyebabkan terkonversinya lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya (seperti: sawah dan permukiman), yang mengakibatkan semakin tingginya aliran permukaan dan berkurangnya daerah resapan air (Gambar 1). Selanjutnya, keterlambatan penanaman pada lahan yang telah dibuka akan menimbulkan erosi tanah pada saat musim hujan, terutama pada daerah dengan kelerengan yang curam. Tingginya erosi pada wilayah DTA mengakibatkan keruhnya wilayah perairan, yang pada gilirannya mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan perairan sungai dan danau. Degradasi yang terjadi pada danau mengakibatkan terjadinya pendangkalan dan penyempitan danau, peningkatan sebaran eceng gondok, penurunan volume air dan penurunan kualitas air. Hal ini akan berdampak kepada penurunan produktifitas perikanan, penurunan produksi listrik dan terganggunya aktifitas pariwisata. Gambar 2 memperlihatkan Danau Limboto yang mengalami penyempitan luas wilayah perairan yang terbuka, pertumbuhan eceng gondok yang sangat tinggi, sehingga mengganggu aktifitas nelayan setempat. Degradasi danau pada akhirnya mengakibatkan peningkatan ancaman bahaya bencana dan penurunan pendapatan masyarakat, khususnya para nelayan di sekitar danau.

Gambar 1. Konversi lahan hutan di daerah tangkapan air

Gambar 2. Peningkatan sebaran eceng gondok di Danau Limboto

Pada tanggal 13-15 Agustus 2009 di Bali, KNLH memprakarsai dilaksanakannya Konferensi Nasional Danau Indonesia (KNDI) ke satu. KNDI I ini telah menghasilkan suatu Kesepakatan Bali tentang Pengelolaan Danau Berkelanjutan yang ditandatangani oleh 9 menteri. Kesembilan menteri tersebut telah bersepakat dalam mengelola dan menyelamatkan bersama ekosistem danau prioritas yang terbagi menjadi dua periode yaitu Danau Prioritas I (2009-2014) dan Danau Prioritas II (2015-2019). Selanjutnya KNDI II dilaksanakan pada tanggal 13-14 Oktober 2011 di Semarang yang menegaskan kembali 15 danau prioritas periode 2010-2014 berdasarkan parahnya tingkat kerusakan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Tabel 1 memperlihatkan daftar 15 danau yang termasuk dalam program pengelolaan danau prioritas tahun 2010-2014 yang dikeluarkan oleh BLHPP (Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian Pengembangan), KNLH. Danau-danau tersebut perlu

Tabel 1. Daftar danau dalam program pengelolaan danau prioritas tahun 2010-2014 yang dikeluarkan oleh BLHPP (http://blhpp.wordpress.com/)

Saat ini teknologi penginderaan jauh satelit berkembang dengan sangat cepat, sehingga dapat menyediakan berbagai data satelit optik dan SAR (Synthetic Aperture Radar) dengan karakteristik resolusi spasial, temporal dan spektral yang berbeda. Data-data tersebut menjadi sumber data yang penting untuk pembuatan informasi spasial sumber daya alam dan lingkungan yang akurat, konsisten dan aktual. Data satelit mampu merekam kondisi fisik lahan dan fisik perairan, sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan dalam mendukung program pengelolaan DTA dan danau. Tulisan ini membahas mengenai pemanfaatan data penginderaan jauh satelit untuk pemantauan luas permukaan air danau dan luas sebaran eceng gondok, pemantauan bangunan keramba budidaya perikanan dan pemantauan kualitas air danau.

PEManTauan luaS PERMuKaan aIR Danau Dan SEBaRan ECEng

gonDoK

Erosi tanah pada wilayah DTA akan dibawa oleh aliran sungai ke danau, yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi padatan tersuspensi di perairan danau. Kemudian proses sedimentasi yang terus menerus di perairan danau menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyempitan danau. Tidak hanya butiran tanah, zat organik dan unsur hara juga turut masuk ke danau, sehingga tingkat kesuburan perairan danau bertambah dan pertumbuhan vegetasi air (eceng gondok) meningkat dengan sangat cepat.

Kanal cahaya tampak pada data satelit dapat menembus kolom air, sedangkan kanal infra merah diserap habis oleh molekul air sehingga tidak dapat menembus perairan. Karena itu batas permukaan air danau dapat dideteksi dengan menggunakan data satelit. Eceng gondok adalah salah satu vegetasi yang banyak berkembang di atas permukaan air danau, oleh karena itu pemetaan luas permukaan air danau perlu dilakukan dengan memperhatikan sebaran eceng gondok. Identifikasi eceng gondok dilakukan dengan menggunakan

komposit warna, yaitu: warna merah adalah kanal infra merah dekat (NIR) + kanal infra merah jauh (SWIR), warna hijau adalah kanal inframerah dekat (NIR), warna biru adalah kanal inframerah dekat (NIR) – kanal merah (red). Komposit warna ini mampu memberi penampakan eceng gondok berwarna putih susu (putih tebal kebiruan), yang dapat membedakan secara lebih tegas penampakan eceng gondok dengan vegetasi lain di sekitar danau (Gambar 3).

Komposit warna dibuat dengan memilih kombinasi kanal yang mempunyai nilai spektral paling tinggi untuk eceng gondok berdasarkan hasil analisis perbedaan spektral dari sampel vegetasi. Eceng gondok di danau mempunyai tingkat kehijauan dan aktifitas fotosintesis yang tinggi, sehingga memiliki pantulan yang tinggi pada kanal NIR dan SWIR, serta memiliki pantulan rendah pada kanal merah. Oleh karena itu dengan kombinasi warna yang digunakan, maka piksel eceng gondok akan mempunyai nilai tinggi pada warna merah, hijau dan biru, yang kemudian membentuk gabungan warna putih.

Gambar 3. Penampakan eceng gondok dengan komposit warna data SPOT-4

Naik turunnya permukaan air danau berfluktuasi dari waktu ke waktu karena dipengaruhi besarnya curah hujan di wilayah tersebut. Oleh karena itu pemantauan perubahan luas permukaan air danau perlu dilakukan menggunakan data multi temporal pada kondisi musim yang sama. Gambar 4 memperlihatkan contoh hasil pemantauan luas permukaan air Danau Tondano, Provinsi Sulawesi Utara, pada musim hujan selama tahun 1990-2011 menggunakan data Landsat TM/ETM+ dan SPOT-4. Berbeda dengan danau-danau prioritas lainnya di Pulau Sulawesi (seperti: Danau Limboto dan Danau Tempe) yang mengalami penurunan luas permukaan air danau, maka luas permukaan air Danau Tondano relatif tidak berubah selama 20 tahun. Hasil perhitungan luas permukaan air danau pada tahun 2011 adalah 4699 ha.

Perbandingan antara luas permukaan air danau dari data SPOT-4 dengan luas permukaan air danau dari data resolusi sangat tinggi IKONOS (resolusi spasial 1m) yang direkam pada bulan yang sama dilakukan untuk mengetahui tingkat ketelitian informasi. Hasil perbandingan memperlihatkan bahwa tingkat akurasi mencapai 95% (selisih luas permukaan air danau dari kedua data hanya 5%).

Landsat TM, 10 Desember 1990 Landsat ETM+, 20 Januari 2003 SPOT-4, 4 Maret 2011 Gambar 4. Batas permukaan air Danau Tondano pada tahun 1990, 2003 dan 2011

10 Desember 1990 20 Januari 2003

4 Maret 2011 Gambar 5. Sebaran eceng gondok (hijau) di Danau Tondano tahun 1990, 2003 dan 2011

Informasi sebaran spasial eceng gondok diperoleh dengan melakukan klasifikasi secara dijital untuk wilayah danau menggunakan metode klasifikasi Maximum Likelihood. Pertumbuhan eceng gondok bertambah selama periode 1990-2011, pertambahan yang signifikan terjadi dari tahun 2003-2011 (Gambar 5). Luas sebaran eceng gondok yang hanya 101 ha atau 2% dari luas permukaan air danau pada tahun 2003 meningkat menjadi 459 ha atau sekitar 11% dari luas permukaan air danau pada tahun 2011. Pertambahan eceng gondok yang sangat cepat akan mengakibatkan terganggunya aktifitas budidaya perikanan, rusaknya keindahan danau dan pendangkalan danau yang semakin cepat. Beberapa danau di Indonesia, seperti Danau Limboto, Danau Tempe dan Danau Rawa Pening mengalami peningkatan sebaran eceng gondok yang sangat cepat, dimana luas sebaran eceng gondok mencapai 30% - 60% dari luas permukaan air danau tersebut. Hal ini mengakibatkan eceng gondok menjadi permasalahan paling utama yang harus diselesaikan untuk pemulihan dan pengelolaan danau yang lestari.

PEManTauan SEBaRan Bangunan KERaMBa BuDIDaya PERIKanan

Kegiatan perikanan yang banyak dilakukan di perairan danau adalah budidaya perikanan dengan menggunakan keramba jaring apung (Gambar 6). Bangunan keramba dibuat dengan menyusun patok dan jaring pada suatu luasan area tertentu, dan dibuat pondok yang berfungsi sebagai tempat bagi penjaga keramba tersebut. Bentuk bangunan keramba dapat diidentifikasi dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh. Gambar 6 memperlihatkan penampakan bangunan keramba pada data satelit resolusi tinggi IKONOS dan data satelit resolusi menengah Landsat TM (resolusi spasial 30m). Data Landsat masih dapat mengidentifikasi sebaran bangunan keramba budidaya sampai pada luasan tertentu (luasan lebih besar dari 450 m2), tetapi karena resolusinya yang kurang tinggi maka bentuk dan batas luasan bangunan keramba tidak dapat teridentifikasi secara jelas. Penggunaan data satelit IKONOS dengan resolusi tinggi mampu untuk mengindentifikasi bentuk dan batas dari bangunan keramba secara detil dan akurat. Sehingga pemantauan bangunan keramba jaring apung lebih tepat bila menggunakan satelit resolusi tinggi.

Citra IKONOS 2003 (1 m) Citra Landsat 2003 (30 m)

Keramba