• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PELANGGARAN TERHADAP PRINSIP KEHATI-HATIAN

4. Pemantauan Transaksi-Transaksi Kartu Kredit BNI

a. Pengertian Transaksi Dalam Undang-undang ITE Nomor 11 Tahun 2008.

Transaksi yang dilakukan secara elektronik pada dasarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan sistem elektronik berbasiskan komputer dengan sistem komunikasi, yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global atau internet Pasal 1 angka 2 UU ITE.

UU ITE telah menjadi payung hukum bagi penyelenggaraan kegiatan transaksi elektronik, yang diselenggarakan oleh bank. UU ITE telah mengatur mengenai tanggung jawab yang adil (fair) antara penyelenggara sistem elektronik bank dan nasabah.

Memenuhi prinsip hubungan keperdataan nasabah dengan bank, maka bank akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penyelenggaraan teknologi informasi yang menggunakan jasa pihak penyedia jasa. Demikian pula pihak penyelenggara jasa tersebut akan terikat dengan segala ketentuan sebagai pihak terkait bank.

Dalam kegiatan perniagaan, transaksi memiliki peran yang sangat penting. Pada umumnya makna transaksi seringkali direduksi sebagai perjanjian jual beli antar para pihak yang bersepakat untuk itu, padahal dalam persepektif yuridis, terminologi transaksi tersebut pada dasarnya ialah keberadaan suatu perikatan maupun hubungan

hukum yang terjadi antara para pihak.73 Makna yuridis transaksi pada dasarnya lebih ditekankan pada aspek materiil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak, bukan perbuatan hukumnya secara formil. Oleh karena itu keberadaan ketentuan hukum mengenai perikatan tetap mengikat walaupun terjadi perubahan media maupun perubahan tata cara bertransaksi. Hal ini tentu saja terdapat pengecualian dalam konteks hubungan hukum yang menyangkut benda tidak bergerak, sebab dalam konteks tersebut perbuatannya sudah ditentukan oleh hukum, yaitu harus dilakukan secara ”terang” dan ”tunai”.74

b. Transaksi sama dengan perikatan

Dalam lingkup keperdataan khususnya aspek perikatan, makna transaksi tersebut akan merujuk keperdataan khususnya aspek perikatan, makna transaksi hukum secara elektronik itu sendiri akan mencakup jual beli, lisensi, asuransi, sewa dan perikatan-pertkatan lain yang lahir sesuai dengan perkembangan mekanisme perdagangan di masyarakat. Berdasarkarkan isi Pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang lain atau lebih”. Dalam hal melakukakan transaksi sebelum melakukan transaksi terdapat perjanjian kesepakatan untuk persetujuan barang yang akan dibeli dan persetujuan harga oleh pembeli kepada pedagang.

73

Penjelasan Umum Rancangan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

74 Ibid

c. Keamanan Transaksi Dalam Undang-undang Dan Perjanjian Hubungan hukum dalam kontrak elektronik timbul sebagai perwujudan dari kebebasan berkontrak, yang dikenal dalam KUH Perdata. Asas ini disebut pula dengan freedom of contract atau laissez faire. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku halnya sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dengan demikian perjanjian mempunyai kekuatan mengikat sama dengan undang-undang, bagi mereka yang membuat perjanjian. Pengertian ini mengandung makna bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang melakukan perjanjian, sehingga pihak ketiga atau pihak luar tidak dapat menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian yang dilakukan pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

Perjanjian kredit bank adalah perjanjian adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkompst) dari perjanjian penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima kredit.75

75

Mariam Darus Bdrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1992), hal 35

Meskipun demikian, terdapat pembatasan terhadap kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa perjanjian sah, apabila didasarkan pada kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri (agreement), kecakapan dari pihak-pihak (capacity), mengenai hal tertentu (certainty of terms), suatu sebab yang halal (consideration).

Hubungan keperdataan antara para pihak dalam transaksi elektronik dituangkan dalam dokumen elektronik dan mengikat para pihak. Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.76

Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1 butir 10 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang menyatakan bahwa “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan Dalam hal ini dokumen elektronik harus dipahami sebagai bentuk kesepakatan para pihak, yang bukan hanya diformulasikan dalam bentuk perjanjian elektronik namun juga dalam fitur-fitur yang disediakan, seperti “I agree, I accept” sebagai bentuk persetujuan/kesepakatan. Melihat formulasinya, maka kontrak elektronik tersebut merupakan perjanjian baku.

Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku dikenal secara beragam (standardized contract, standard contract). Perjanjian standar atau perjanjian baku timbul karena adanya kebutuhan dalam praktek, karena perkembangan perekonomian yang menyebabkan para pihak mencari format yang lebih praktis. Biasanya salah satu pihak menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, (formulir) untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui.

76

dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Klausula-klausula yang telah ditetapkan dalam perjanjian disebut sebagai syarat- syarat baku. Mengenai klausula baku, UU PK mengatur hal-hal sebagai berikut 1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila, menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha, menyatakan pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang telah dibeli konsumen, menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen, menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran, mengatur tentang pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli konsumen, memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa, menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya, menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli secara angsuran

2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti

3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dinyataka batal demi hukum

Selain klausula baku, terdapat pula klausula eksonerasi (exoneratie clause), yaitu sebagai klausula untuk mengalihkan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. Perjanjian eksonerasi membebaskan tanggungjawab seseorang pada akibat hukum yang terjadi karena kurangnya kewajiban yang diharuskan oleh perundang- undangan. Sebagai contoh adalah gantirugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Dalam hal persyaratan eksonerasi mencantumkan hal tersebut, maka ganti rugi tidak dijalankan.

d. Transaksi Elektronik Dan Terjadinya Kesepakatan

Dalam pengertian konvensional, suatu transaksi terjadi jika terdapat kesepakatan (dua orang atau lebih terhadap suatu hal) yang dapat dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Kesepakatan tertulis lazim dituangkan dalam suatu perjanjian yang ditanda-tangani oleh para pihak yang berkepentingan. Tanda tangan membuktikan bahwa seseorang mengikatkan diri terhadap klasul-klausul yang dituangkan dalam perjanjian tersebut.

Di dunia internet, kesepakatan terjadi secara elektronik. UU ITE mengakui transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik yang mengikat para

pihak. 77

Pasal 20 UU ITE tersebut merupakan konsepsi dari pengaturan sistem hukum civil law yang dianut oleh Eropa daratan.

Menjadi pertanyaan adalah kapan suatu suatu transaksi elektronik yang dilakukan melalui internet terjadi. Berdasarkan Pasal 20 UU ITE, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh Pengirim diterima dan disetujui oleh Penerima. Namun persetujuan tersebut harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik (misalnya dengan mengirimkan email konfirmasi).

78

77

vide Pasal 18 ayat (1) UU ITE

78

ankristian.blogspot.com/2010/10/perbedaan-civil-law-dan-common-law.html (diakses April 2012

Pihak yang memberikan penawaran (pengirim) adalah pihak yang mengiklankan barang/jasa melalui internet (misalnya amazon.com). Mengenai hal tersebut, dalam sistem hukum civil law (Eropa continental) dikenal pengaturan mengenai invitation to trade, tentang pelaku dalam transaksi elektronik. Namun demikian invitation to trade dalam sistem hukum civil law tersebut mengatur hal yang sebaliknya, yaitu bahwa pihak yang dianggap memberikan penawaran adalah calon pembeli barang/jasa, dan pihak penerima adalah pihak yang mengiklankan barang/jasa di internet . Berkenaan dengan transaksi elektronik secara borderless. Dengan demikian, sangat perlu diperhatikan mengenai para pihak yang akan bertransaksi beserta sistem hukum yang akan diberlakukan, karena akan terkait dengan konsekuensi hukum. Berkenaan dengan hal tersebut, UU ITE telah mengatur mengenai pilihan hukum, yaitu bahwa para pihak memiliki

kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas hukum perdata internasional.79

E-banking merupakan delivery channel dalam industri perbankan, dan hubungan keperdataan yang timbul terkait e-banking berupa hubungan rekening antara bank dan nasabahnya. Dalam hal ini, permasalahan hukum akan timbul apabila transaksi elektronik yang dilakukan gagal, siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap kegagalan transaksi tersebut? Pemahaman mengenai bentuk tanggung jawab para pelaku dimulai dari adanya hubungan hukum yang terjadi diantara kedua belah pihak dalam suatu perikatan. Hubungan hukum antara penyedia jasa dan konsumen (nasabah) pada akhirnya melahirkan suatu hak dan kewajiban yang mendasari terciptanya suatu tanggung jawab.

Bank adalah lembaga kepercayaan, dalam menjalankan kegiatan electronic banking (e-banking) harus pula diselenggarakan dengan memperhatikan ketentuan maupun prinsip-prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko terkait penyelenggaraan e-banking khususnya risiko reputasi dan risiko hukum.

80

Di Indonesia, selain perjanjian yang mengatur hubungan keperdataan, hukum positif yang mengatur tentang tanggung jawab penyelenggaraan transaksi elektronik adalah UU ITE. Dalam rangka perlindungan konsumen, UU ITE mengatur adanya

79

vide Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UU ITE

80

teknologi netral yang dipergunakan dalam transaksi elektronik, serta mensyaratkan adanya kesepakatan penggunaan sistem elektroniki yang dipergunakan.

Selain itu setiap penyelenggara sistem elektronik diwajibkan untuk menyediakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya. Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadninya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna system elektronik 81

1) Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan perundang-Undangan

UU ITE juga mengatur bahwa sepanjang tidak ditentukan lain oleh UU tersendiri, setiap penyelenggara system elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut, yaitu :

2) Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, da keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan system elektronik tersebut.

3) Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan system elektronik

4) Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumukan dengan bahasa, informasi, atau symbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan system elektronik

5) Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Terkait dengan para pihak yang melakukan kegiatan transaksi elektronik diatur bahwa pengirim atau penerima dapat melakukan transaksi elektronik sendiri,

81

melalui pihak yang dikasakan olehnya, atau melalui agen elektronik. Dalam hal ini pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik adalah:

a) Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi.

b) Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa. c) Jika dilakukan melalui agen elektronik segala akibat hukum dalam pelaksanaa

transaksi elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik. d) Jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beropersinya agen

elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik. Namun demikian jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala kibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna layanan. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan /atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik.

Dalam rangka memberikan perlindungan dan keamanan bagi penyelenggaraan kegiatan transaksi elektronik, sejalan dengan UU ITE, Bank Indonesia telah menerbitkan berbagai pengaturan (regulasi) terkait penggunaan teknologi informasi bagi perbankan dan lembaga penyelenggara sistem pembayaran dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia. Pengaturan tersebut antara lain ditujukan untuk meningkatkan keamanan, integritas data, dan ketersediaan layanan electronic banking, misalnya dengan mewajibkan seluruh penerbit kartu untuk menggunakan chip pada kartu-kartu pembayarannya, menggunakan ‘two factors authentication’ pada transaksi on-line yang bersifat financial, melakukan enkripsi pada transaksi mobile banking.

Penyusunan ketentuan mengenai Penerapan Manajemen Risiko Dalam penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank dalam PBI No. 9/15/PBI/2007 dimaksudkan untuk menjadi pokok-pokok penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi yang harus diterapkan oleh Bank untuk meminimalisasi risiko yang berhubungan dengan penyelenggaraan teknologi informasi. Hal ini mengingat terdapat risiko yang dapat merugikan Bank dan nasabah seperti risiko opersional, risiko hukum , dan risiko reputasi selain risiko perbankan lainnya seperti risiko likuiditas dan risiko kredit. Bank Indonesia menekankan bahwa perbankan dalam menjalankan bisnis dan pengendalian diperlukan untuk mengatur risiko-risikonya, yang mencakup risiko identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian.82

(1) Bank bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko

Dalam PBI dimaksud diatur bahwa Bank dapat menyelenggarakan teknologi informasi sendiri dan atau menggunakan jasa pihak penyedia jasa teknologi informasi sepanjang memenuhi persyaratan antara lain :

(2) Pihak penyedia jasa harus menjamin keamanan sleuruh informasi termasuk raasai bank dan data pribadi nasabah.

(3) Pihak peneydia jasa tetap memberikan akses kepada auditor intern, ekstern dan Bank Indonesia.

(4) Pihak penyedia jasa harus bersedia untuk kemungkinan early termination apabila menyulitkan fungsi pengawasan Bank Indonesia.Penggunaan pihak

82

penyedia jasa teknologi informasi oleh Bank (outsource) harus didasarkan pada perjanjian tertulis, dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko dan didasarkan pada hubungan kerjasama secara wajar.

e. Transaksi Kartu Kredit

Transaksi kartu adalah penjualan barang atau jasa oleh merchant kepada pemegang kartu atau card holder dengan menggunakan kartu sebagai alat pembayarannya.83

Dalam hal ini untuk meningkatkan keamanan saat nasabah bertransaksi di marchant BNI. Merchant harus mencantumkan nilai transaksi dalam bentuk rupiah, merchant juga harus memeriksa keaslian dan keutuhan fisik kartu sebelum menerima transaksi kartu sesuai dengan keterangan dan prosedur yang diberikan BNI kepada merchant. Apabila merchant meragukan keberlakuan kartu atau identitas orang yang menunjukkan kartu, merchant wajib memeriksa dokumen-dokumen hukum atau identitas orang yang menunjukkan kartu guna membuktikan bahwa orang tersebut adalah pemegang kartu yang sah. Merchant akan menggunakan inprinter untuk mencetak data kartu sebagaimana kewajiban dalam otorisasi dalam pada sales slip.84

83

Johannes Ibrahim, Op.Cit,hal.72

84 Ibid

C. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Terhadap Prinsip Kehati-hatian Kartu Kredit.