• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.2 Pemasaran

Perusahaan yang telah memproduksi produknya baik berupa barang dan jasa akan melakukan pemasaran terhadap produk yang dihasilkannya guna memenuhi kebutuhan konsumen. Perusahaan juga akan berusaha meningkatkan pendapatan usahanya melalui peningkatan penjualan usaha yang diwujudkan melalui pemasaran. Karena itu, kegiatan pemasaran mempunyai peranan penting dalam dunia bisnis. Pemasaran juga berarti bagaimana cara memenangkan pasar (market share), memenangkan pasar pikiran (mind share), dan memenangkan pangsa hati dan pikiran konsumen (hearth share).

Kotler (1995) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu maupun kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Umumnya perumusan strategi pemasaran didasarkan pada analisis yang menyeluruh terhadap pengaruh faktor-faktor lingkungan eksternal perusahaan pada setiap saat dapat berubah dengan cepat sehingga melahirkan berbagai peluang dan ancaman, baik yang datang dari pesaing maupun dari iklim bisnis yang senantiasa berubah. Strategi pemasaran juga merupakan strategi untuk melayani pasar atau segmen pasar yang dijadikan target oleh seorang pengusaha. Oleh karena itu, strategi pemasaran merupakan kombinasi bauran pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan untuk melayani pasarnya.

Kotler (1995) mendefinisikan bauran pemasaran sebagai perangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan pemasaran. Hal tersebut terlihat bahwa menerapkan strategi pemasaran sangat penting dalam menarik konsumen untuk meningkatkan penjualan suatu produk.

Strategi bauran pemasaran yang dapat dilakukan adalah STP yaitu Segmentasi (strategi memahami struktur pasar dan proses mengkotak-kotakkan pasar (yang heterogen) ke dalam kelompok-kelompok “potential customer” yang memiliki kesamaan kebutuhan dan/atau kesamaan karakter yang memiliki respon yang sama dalam membelanjakan uangnya), Targeting (memilih segmen mana yang dijadikan sasaran, perusahaan dapat memilih untuk memusatkan perhatian pada satu segmen, beberapa segmen produk yang spesifik, atau seluruh pasar), Positioning (berkaitan dengan bagaimana produsen memposisikan produk dan mereknya diantara pesaing dan memposisikan produknya dengan merek dibenak konsumen atau pelanggan).

Selain itu, bauran pemasaran juga meliputi 4P yaitu produk (segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasaran untuk diperhatikan, dibeli, digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen), harga (jumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa), tempat (kegiatan pemasaran yang bertujuan menciptakan nilai tambah produk melalui fungsi pemasaran dengan menyalurkan, menyebarkan, mengirimkan atau menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen yang digunakan sesuai keperluan), dan promosi (kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk menonjolkan keunggulan-keunggulan yang membedakannya dengan perusahaan lain agar konsumen tertarik dan kemudian membeli produk tersebut).

3.1.3 Karakteristik Produk

Konsumen umumnya menguraikan suatu produk berupa barang dan jasa dengan menganalisis persyaratan beberapa dimensi atau karakteristiknya. Menurut Kotler (2001), produk berupa barang dan jasa merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan untuk memuaskan suatu kebutuhan dan keinginan konsumen. Produk dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:

1. Durable goods, yaitu barang berwujud dan biasanya bertahan lebih dari satu tahun serta memiliki nilai ekonomis

2. Non durable goods, yaitu barang berwujud yang habis dikonsumsi dalam satu kali atau beberapa kali pemakaian (umur ekonomisnya kurang dari satu tahun) 3. Service, yaitu pelayanan atau jasa, manfaat dan kepuasan yang ditawarkan

Kebutuhan pelanggan akan produk dapat diartikan sebagai karakteristik/ atribut yang mewakili dimensi yang oleh pelanggan dipergunakan sebagai dasar pendapat mengenai jenis barang atau jasa. Merupakan hal yang sangat penting mengetahui dimensi mutu produk sehingga melaluinya dapat diketahui bagaimana pelanggan mendefenisikan mutu barang dan jasa. Dimensi kualitas produk maupun jasa dijelaskan sebagai berikut:

a. Dimensi Kualitas Jasa

1. Berwujud: termasuk fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan perorangan. 2. Reliabilitas: kemampuan personil untuk melaksanakan secara bebas dan

akurat

3. Tanggapan: konsumen memberikan pelayanan dengan segera.

4. Jaminan: Pengetahuan dan etika pegawai, serta kemampuan mereka untuk membangkitkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan.

5. Empati: Kepedulian akan kemampuan pegawai dan perhatian individu b. Dimensi Kualitas Produk

1. Kinerja: Kinerja utama dari karakteristik pengoperasian

2. Fitur: Jumlah panggilan dan tanda sebagai karakteristik utama tambahan 3. Reliabilitas: Profitabilitas kerusakan atau tidak berfungsi.

4. Daya Tahan: Umur Produk

5. Pelayanan: Mudah dan cepat diperbaiki

6. Estetika: Bagaimana mudah dilihat, dirasakan, dan didengar.

7. Sesuai dengan spesifikasi: Setuju akan produk yang menunjukkan tanda produksi

8. Kualitas penerimaan: kategori tempat termasuk pengaruh citra merek dan faktor-faktor tidak berwujud lainnya dapat mempengaruhi persepsi konsumen atas kualitas.

Dimensi-dimensi tersebut dapat dirangkum atau digabungkan dengan seperangkat dimensi kualitas lainnya yang digunakan oleh para pelanggan untuk mengevaluasi toko-toko retail. Gabungan tiga pendekatan tersebut menghasilkan tujuh dimensi dasar dari kualitas, yaitu:

1. Kinerja, yaitu tingkat absolut kinerja barang atau jasa pada atribut yang diidentifikasi para pelanggan

2. Interaksi pegawai, yaitu mencakup keramahan, sikap hormat, dan empati yang ditunjukkan pemberi barang atau jasa. Kredibilitas menyeluruh para pegawai, termasuk kepercayaan konsumen kepada pegawai dan persepsi mereka tentang keahlian pegawai merupakan indikatornya.

3. Reliabilitas, yaitu konsistensi kinerja barang, jasa, atau toko 4. Daya tahan, yakni rentang kehidupan produk, dan kekuatan umum.

5. Ketepatan waktu dan kenyamanan, meliputi seberapa cepat produk diserahkan atau diperbaiki. Kenyamanan pembelian dan proses jasa termasuk penerima kartu kredit, jam kerja toko, dan tempat parkir.

6. Estetika, penampilan fisik barang atau toko, daya tarik penyajian jasa atau produk yang diterima, serta desain produk yang akan diperhatikan pada masyarakat

7. Kesadaran akan merek, yaitu dampak positif atau negatif tambahan atas kualitas yang tampak, yang mengenal merek atau nama toko atas evaluasi konsumen.

3.1.4 Kepuasan Konsumen

Setiap usaha yang dibangun harus mampu memberikan kepuasan kepada pelanggan agar dapat mempertahankan loyalitas yang diberikan pelanggan. Engel et al (1994) mengungkapkan bahwa kepuasan konsumen yang diperoleh merupakan hasil evaluasi pasca konsumsi, sesuatu yang dipilih memenuhi atau melebihi harapannya. Kepuasan merupakan fungsi persepsi atas kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di bawah harapan maka konsumen tidak akan merasa puas. Ketidakpuasan tersebut akan menyebabkan konsumen kecewa dan menghentikan pembelian kembali dan konsumsi produk tersebut. Sebaliknya, jika kinerja memenuhi harapan maka konsumen akan puas. Kepuasan tesebut akan mendorong konsumen membeli dan mengkonsumsi ulang produk tersebut. Umumnya harapan konsumen merupakan perkiraan atau keyakinannya tentang apa yang akan diterimanya apabila ia membeli atau mengkonsumsi sesuatu produk, sedangkan kinerja merupakan persepsi konsumen tetang apa yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang bersangkutan.

Kepuasan merupakan perasaan senang dan kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (hasil suatu

produk) dengan harapan-harapannya (Sumarwan, 2004). Ketika konsumen membeli suatu produk maka ia memiliki harapan tentang bagaimana produk tersebut berfungsi (product performance). Produk akan berfungsi:

a. Produk berfungsi lebih baik dari yang diharapkan, yang disebut sebagai diskonfirmasi positif. Jika terjadi maka konsumen akan merasa puas.

b. Produk berfungsi seperti yang diharapkan, yang disebut sebagai konfirmasi sederhana. Produk ini tidak memberikan rasa puas, dan produk tersebut pun tidak mengecewakan konsumen. Jika terjadi maka kosumen memiliki perasaan netral

c. Produk berfungsi lebih buruk dari yang diharapkan, yang disebut diskonfirmasi negetif. Produk ini berfungsi buruk, tidak sesuai harapan konsumen sehingga menyebabkan kekecewaan dan ketidakpuasan.

Secara umum dapat digambarkan dalam model diskonfirmasi harapan dari kepuasan dan ketidakpuasan konsumen (Mowen dan Minor 1998, diacu dalam Sumarwan, 2004).

Gambar 2. Model Diskonfirmasi Harapan Dari Kepuasan Dan Ketidakpuasan Konsumen

Sumber: Mowen dan Minor 1998

Menurut Kotler (2005), terdapat empat perangkat dalam melacak dan mengukur kepuasan konsumen. Keempat perangkat tersebut adalah sistem keluhan dan saran, survei kepuasan pelanggan, belanja siluman, dan analisis pelanggan yang hilang.

Evaluasi mengenai fungsi merek yang sesungguhnya

Kepuasan emosional fungsi merek melebihi

harapan Ketidakpuasan

emosisonal: Merek tidak memenuhi harapan Harapan mengenai merek

seharusnya berfungsi

Pengalaman Produk dan Merek

Evaluasi gap antara harapan dan yang

sesungguhnya

Konfirmasi harapan: fungsi merek tidak berbeda dengan harapan

a. Sistem Keluhan dan Saran

Perusahaan yang berfokus pada pelanggannya akan memberikan kemudahan bagi pelanggannya dalam memberikan keluhan dan saran. Adapun cara yang digunakan perusahaan dapat berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Beberapa usaha lebih banyak memanfaatkan kotak saran sebagai sarana menampung keluhan dan pemberian saran. Adapula usaha yang memanfaatkan formulir tertulis, e-mail, web pages, customer care dan lainnya sebagai sarana komunikasi dua arah. Bagi perusahaan informasi yang diperoleh merupakan gagasan penting dalam menyelesaikan dan memperbaiki kualitas produk maupun kualitas pelayanan.

b. Survei Kepuasan Pelanggan

Perusahaan-perusahaan yang responsif akan sering melakukan pengukuran terhadap kepuasan pelanggannya secara langsung dengan melakukan survei berkala jika perusahaan tidak menggunakan banyaknya keluhan sebagai ukuran kepuasan pelanggan. Perusahan akan mengirimkan daftar pertanyaan atau menelepon pelanggan-pelanggan terakhirnya sebagai sampel acak dan menanyakan apakah mereka merasa sangat puas, puas, biasa saja, kurang puas, atau sangat tidak puas terhadap kinerja perusahaan. Perusahaan juga meminta pendapat pelanggan tentang kinerja para pesaing mereka. Selain mengukur tingkat kepuasan maka dapat berguna mengukur keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang, mengukur kemungkinan atau kesediaan pelanggan untuk merekomendasikan perusahaan dan merek ke pihak lain.

c. Belanja Siluman

Perusahaan-perusahaan dapat membayar orang untuk bertindak sebagai pembeli potensial yang akan melaporkan hasil temuan mereka tentang kekuatan dan kelemahan yang dialami saat membeli produk perusahaan dan produk pesaing. Para pembelanja siluman ini bahkan dapat menyampaikan masalah tertentu untuk menguji staf penjualan apakah dapat menangani situasi dengan baik.

d. Analisis Pelanggan yang Hilang

Apabila perusahaan mendapati bahwa ada pelanggan yang berhenti melakukan pembelian maka perusahaan harus menghubungi pelanggan yang berhenti membeli atau berganti pemasok tersebut untuk mempelajari sebabnya. Bukan hanya penting melakukan wawancara terhadap pelanggan yang mulai berhenti membeli tetapi juga harus memperhatikan tingkat kehilangan pelanggan, jika meningkat maka menunjukkan bahwa perusahaan gagal memuaskan pelanggannya.

Menurut Rangkuti (2002), kepuasan pelanggan dapat diukur dengan beberapa cara berikut ini:

1. Traditional Approach

Berdasarkan pendekatan ini, konsumen diminta memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati (umumnya menggunakan skala likert), yaitu dengan cara memberikan rating dari 1 (sangat tidak puas) sampai 5 (sangat puas). Selanjutnya konsumen diminta memberikan penilaian atas produk atau jasa tersebut secara keseluruhan. Skala Likert merupakan salah satu varian pendekatan semantic differential dan bentuknya lebih langsung, responden diminta untuk memilih jawaban “sangat tidak setuju” (1) sampai “sangat setuju” (5).

Masalah yang cenderung muncul dari pendekatan ini adalah:

a. Hasil penelitian belum mencerminkan nilai kepuasan secara keseluruhan. Apabila pada waktu menilai secara keseluruhan hasil rata-ratanya kebenaran relatif rendah maka pada waktu dibandingkan dengan nilai kepuasan masing-masing indikator hasilnya pasti akan berada di atas nilai rata-rata standar. Jadi semuanya akan dianggap puas, demikian sebaliknya. b. Survei kepuasan konsumen pada umumnya jarang sekali dapat mewakili populasi apalagi dengan jumlah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar. Misalnya menentukan siapa saja pengguna pasta gigi merek tertentu akan sangat sulit.

c. Penilaian tingkat kepentingan sering kali membingungkan responden misalnya, “penting untuk apa?”. Dengan demikian, apabila tujuan riset

adalah untuk memahami kepuasan pelanggan maka fokus utamanya adalah penjelasan tentang pentingnya indikator kepuasan terhadap tingkat kepentingan konsumen

d. Penilaian hasil kepuasan pelanggan umumnya hanya menggambarkan tentang nilai puas dan tidak puas, jelek atau baik yang hanya bersifat kualitatif. Misalnya untuk pertanyaan “Apakah anda ingin menggunakan produk ini lagi?” atau “Apakah anda ingin menggunakan jasa ini kembali?” jarang sekali ditanyakan.

e. Skala Likert umumnya bersifat ordinal sehingga apabila langsung menghitung rata-ratanya, intepretasi yang dihasilkan dapat mengalami kekeliruan. Untuk mengatasi hal tersebut digunakan teknik suksesif, yaitu mentransfer nilai yang diperoleh dari skala Likert ke dalam bentuk interval, setelah itu menghitung nilai rata-ratanya. Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan melakukan modifikasi skala Likert yaitu hanya dengan memberikan nilai-nilai ekstrem kepada responden sehingga dapat diperoleh nilai yang bersifat mendekati kriteria yang diinginkan.

2. Analisis secara Deskriptif

Seringkali analisis kepuasan pelanggan hanya berhenti pada pelanggan puas atau tidak puas yaitu dengan mengunakan analisis statistik secara deskriptif. Analisis kepuasan pelanggan sebaiknya dilanjutkan dengan membandingkan hasil kepuasan tahun lalu dengan tahun ini sehingga kecenderungan perkembangannya (trend) dapat ditentukan.

3. Pendekatan secara Terstruktur (Structure Approach)

Pendekatan ini sering digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan. Salah satu teknik paling popular adalah semantic differential dengan menggunakan prosedur scalling. Caranya adalah responden diminta untuk memberikan penilaiannya terhadap suatu produk atau fasilitas. Penilaian juga dapat dilakukan dengan membandingkan suatu produk atau fasilitas dengan produk atau fasilitas lainnya dengan syarat variabel yang diukur sama. Salah satu bentuk pendekatan terstruktur adalah Analisis Importance dan Performance Matrix

3.1.5 Loyalitas Konsumen

Konsumen yang merasa puas terhadap produk atau merek yang dikonsumsi atau dipakai akan melakukan pembelian ulang produk tersebut. Pembelian ulang yang terus menerus dilakukan terhadap produk dan merek yang sama akan menunjukkan loyalitas konsumen. Menurut Sumarwan (2002), loyalitas konsumen diartikan sebagai sikap positif seorang konsumen terhadap suatu produk/jasa di mana konsumsn tersebut memiliki keinginan yang kuat untuk membeli ulang produk/jasa yang sama pada saat sekarang maupun masa datang. Keinginan yang kuat tersebut dibuktikan dengan selalu membeli merek yang sama dan tingkat kepuasan konsumen akan mempengaruhi derajat loyalitas mereka.

Mowen dan Minor 1998, diacu dalam Sumarwan 2002 mengidentifikasi pelanggan yang setia terhadap suatu merek ternyata terdapat satu variabel yang dapat memprediksi kesetiaan mereknya, variabel ini adalah kesetiaan toko. Para konsumen yang setia terhadap toko-toko tertentu cenderung juga setia terhadap merek-merek tertentu di toko tersebut. Hal ini dikarenakan merek produk tersebut merupakan satu-satunya yang ada di toko tersebut. Menurut Durianto, et al (2004), kepuasan adalah pengukuran secara langsung bagaimana konsumen tetap loyal kepada suatu merek. Sementara itu, loyalitas merupakan hasil akumulasi pengalaman penggunaan produk.

Menurut Hermawan (2002), loyalitas konsumen dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu loyalitas toko (store loyalty) dan loyalitas merek (brand loyalty). Loyalitas toko dapat didefenisikan sebagai sikap setia para konsumen terhadap toko-toko tertentu yang cenderung juga setia terhadap merek-merek tertentu di toko tersebut. Hal ini dikarenakan merek produk tersebut merupakan satu-satunya yang ada di toko tersebut. Loyalitas merek dapat didefenisikan sebagai sikap menyenangi suatu merek yang direpresentasikan dalam pembelian yang konsisten dilakukan terhadap merek tersebut sepanjang waktu.

Terdapat dua pendekatan yang dapat dipakai dalam mempelajari loyalitas merek. Pertama adalah instrumental conditioning, yang memandang pembelian konsisten sepanjang waktu sebagai loyalitas merek. Jadi, pengukuran bahwa seorang konsumen loyal atau tidak dilihat dari frekuensi atau kekonsistenan perilaku pembelian terhadap satu merek. Pendekatan kedua adalah pendekatan

kognitif, yang menyatakan bahwa loyalitas merupakan komitmen terhadap merek yang mungkin tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian terus menerus. Pendekatan ini lebih memandang bahwa loyalitas merek merupakan fungsi dari proses psikologis (decision making). Konsumen seringkali membeli merek tertentu dikarenakan harganya yang murah, dan ketika terjadi peningkatan harga maka konsumen tersebut cenderung beralih ke merek lain. Pendekatan terakhir adalah pendekatan behavioural yang menekankan bahwa loyalitas dibentuk oleh perilaku dan karena itu perilaku pembelian berulang adalah loyalitas.

Ada empat cara mengukur loyalitas konsumen (Hermawan, 2002), yaitu: 1. Pengukuran perilaku

Pengukuran ini termasuk pendekatan instrumental conditioning yang memandang bahwa pembelian konsisten sepanjang waktu dapat menunjukkan loyalitas merek. Loyalitas diukur berdasarkan pembelian yang dilakukan oleh konsumen.

2. Pengukuran switching cost

Pengukuran ini merupakan indikasi loyalitas pelanggan terhadap suatu merek, sebab umumnya biaya untuk beralih merek sangat mahal dan beresiko besar sehingga tingkat perpindahan konsumen akan rendah.

3. Pengukuran kepuasan

Walaupun kepuasan tidak menjamin loyalitas namun, ada kaitan penting antara kepuasan dan loyalitas. Bila ketidakpuasan pelanggan terhadap suatu merek rendah maka tidak cukup alasan bagi konsumen untuk beralih mengkonsumsi merek lain kecuali terdapat faktor-faktor penarik yang kuat. 4. Pengukuran kesukaan terhadap suatu merek

Pengukuran ini dilakukan dengan melihat kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan hormat, atau bersahabat dengan merek yang membangkitkan kehangatan dalam perasaan pelanggan. Hal ini dapat menyulitkan pesaing untuk menarik pelanggan yang telah mencintai merek pada tahap ini. Ukuran rasa kesukaan dapat tercermin melalui kemauan untuk membayar dengan harga yang lebih mahal untuk memperoleh merek tersebut.

Pelanggan yang sangat loyal terhadap suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan pembeliannya ke merek lain, apapun yang terjadi dengan

merek tersebut. Bila loyalitas pelanggan terhadap merek meningkat maka kerentanan kelompok pelanggan dari ancaman dan serangan merek produk pesaing dapat dikurangi. Pelanggan yang loyal umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut meskipun dihadapkan pada banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik produk lebih unggul (Durianto 2001 diacu dalam Elizabet 2008).

Loyalitas merek juga memiliki beberapa tingkatan. Masing-masing tingkatan menunjukkan tantangan yang harus dihadapi sekaligus sebagai aset yang dapat dimanfaatkan (Durianto 2004).

1. Switcher/Price Buyer (berpindah-pindah)

Pelanggan yang berada pada tingkatan ini dikatakan sebagai pelanggan yang berada pada tingkatan paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek lain yang mengindikasikan bahwa individu tersebut sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Ciri yang terlihat adalah keinginan membeli dikarenakan harga produk merek yang murah.

2. Habitual Buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)

Pembeli yang berada pada tingkatan loyalitas ini dapat dikategorikan sebagai pembeli yang puas terhadap merek produk yang dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek produk tersebut. Kesimpulannya konsumen pada tingkatan ini membeli produk hanya berdasarkan kebiasaan selama ini.

3. Satisfied Buyer (pembeli yang merasa puas dengan biaya peralihan) Pada tingkatan ini, pembeli merek termasuk ke dalam kategori puas apabila merek mengkonsumsi merek tersebut, meskipun merasa puas, mungkin saja mereka dapat memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, dan risiko kinerja yang melekat degnan tindakan merek berganti merek. Untuk menarik minat pembeli dalam kategori ini maka pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung pembeli dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar.

4. Liking the brand (menyukai merek)

Pembeli yang termasuk dalam kategori ini merupakan pembeli yang sungguh- sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional terhadap merek, rasa suka pembeli ini bias saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan symbol rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya. Baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya maupun yang disebabkan oleh perceiced quality yang tinggi.

5. Commited Buyer (pembeli yang komitmen)

Pada tahapan ini, pelanggan adalah pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna merek dan merek tersebut dianggap sangat penting bagi mereka karena dipandang sebagai suatu ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut.

Durianto 2004, juga menyatakan bahwa tiap tingkatan brand loyalty mewakili tantangan pemasar yang berbeda dan mewakili tipe asset yang berbeda dalam pengelolaan dan eksploitasinya. Berikut disajikan gambar piramida brand loyalty.

Gambar 3. Piramida Loyalitas Merek yang Rendah Sumber: Durianto 2004

Piramida brand loyalty pada gambar di atas mengartikan bahwa loyalitas merek tersebut masih sangat rendah. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kualitas brand loyaltynya, luas piramidanya semakin kecil, yang berarti bahwa kuantitas konsumennya semakin kecil juga. Produk brand loyalty yang baik adalah gambar piramida yang berbentuk terbalik.

Keterangan:

A = persen commited buyer B = persen liking the brand C = persen satisfied buyer D = persen habitual buyer E = persen switcher/price buyer

A

B

D

E C

Gambar 4. Piramida Loyalitas Merek yang Tinggi Sumber: Durianto 2004

Piramida brand loyalty pada gambar di atas mengartikan bahwa loyalitas merek tersebut tinggi. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kualitas brand loyaltynya, luas piramidanya semakin besar, yang berarti bahwa kuantitas konsumennya semakin besar juga.

Menurut Durianto (2004), terdapat lima faktor yang menyebabkan konsumen menjadi loyal terhadap merek yang digunakannnya. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Nilai merek (brand value) yaitu persepsi konsumen yang membandingkan biaya atau harga yang harus ditanggung dan manfaat yang dapat diterimanya b. Karakteristik pelanggan (customer characteristic) yaitu karakter konsumen

dalam menggunakan merek. Hal ini dikarenakan sikap individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda dari individu lainnya.

c. Hambatan pindah (switching barrier) yaitu hambatan-hambatan atau biaya yang harus ditanggung konsumen bila ia hendak berpindah dari satu merek ke merek lain.

d. Kepuasan pelanggan (customer satisfaction) yaitu hal yang berkaitan dengan pengalaman pelanggan ketika melakukan kontak terhadap merek yang digunakan. Faktor ini menjadi sangat penting, namun, kepuasan pelanggan saja tidak cukup menyebabkan seorang pelanggan tetap setia terhadap suatu merek.

Keterangan:

A = persen commited buyer B = persen liking the brand

Dokumen terkait