Kelompok III LIMA PULUH TERAKHIR
II. PEMBABAR DHAMMA
113 (1) Kebodohan
Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi
hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, dikatakan, ‘kebodohan, kebodohan.’ Apakah, Yang Mulia, kebodohan itu, dan bagaimanakah seseorang tenggelam di dalam kebodohan?”
“Di sini, bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih tidak memahami bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Ia
tidak memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya.
[163] Ini disebut kebodohan, dan dengan cara inilah ia tenggelam dalam kebodohan.”
114 (2) Pengetahuan Sejati
Di Sāvatthī…. Sambil duduk di satu sisi, bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā:
“Yang Mulia, dikatakan, ‘pengetahuan sejati, pengetahuan sejati.’ Apakah, Yang Mulia, pengetahuan sejati itu, dan bagaimanakah seseorang sampai pada pengetahuan sejati?”
“Di sini, bhikkhu, siswa mulia yang terlatih memahami bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Ia memahami
perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran,
asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Ini disebut pengetahuan sejati, dan dengan cara inilah ia sampai pada pengetahuan sejati.”
115 (3) Pembabar Dhamma (1)
Di Sāvatthī…. Sambil duduk di satu sisi, bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā:
“Yang Mulia, dikatakan, ‘pembabar Dhamma, pembabar Dhamma.’ Bagaimanakah, Yang Mulia, seseorang menjadi seorang pembabar
Dhamma?”222
“Bhikkhu, jika seseorang mengajarkan Dhamma dengan tujuan untuk memperoleh kejijikan terhadap bentuk, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka ia dapat disebut sebagai seorang bhikkhu yang adalah pembabar Dhamma. Jika seseorang berlatih dengan tujuan untuk memperoleh kejijikan terhadap bentuk, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka ia dapat disebut sebagai seorang bhikkhu yang berlatih sesuai dengan Dhamma. Jika, melalui kejijikan terhadap bentuk, melalui peluruhan dan lenyapnya, ia terbebaskan melalui ketidakmelekatan, maka ia dapat disebut sebagai seorang bhikkhu
yang mencapai Nibbāna dalam kehidupan ini juga.
“Bhikkhu, jika seseorang mengajarkan Dhamma dengan tujuan
untuk memperoleh kejijikan terhadap perasaan … persepsi … bentukan- bentukan kehendak … kesadaran, untuk peluruhan dan lenyapnya,
maka ia dapat disebut sebagai seorang bhikkhu yang adalah pembabar Dhamma. Jika seseorang berlatih dengan tujuan untuk memperoleh kejijikan terhadap kesadaran, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka
ia dapat disebut sebagai seorang bhikkhu yang berlatih sesuai dengan Dhamma. Jika, melalui kejijikan terhadap kesadaran, [164] melalui peluruhan dan lenyapnya, ia terbebaskan melalui ketidakmelekatan,
maka ia dapat disebut sebagai seorang bhikkhu yang mencapai Nibbāna
dalam kehidupan ini juga.”
116 (4) Pembabar Dhamma (2)
Di Sāvatthī…. Sambil duduk di satu sisi, bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā:
“Yang Mulia, dikatakan, ‘pembabar Dhamma, pembabar Dhamma.’ Bagaimanakah, Yang Mulia, seseorang menjadi seorang pembabar Dhamma? Bagaimanakah seseorang berlatih sesuai dengan Dhamma?
Bagaimanakah seseorang mencapai Nibbāna dalam kehidupan ini
juga?”
(Bagian selanjutnya dari sutta ini identik dengan sutta sebelumnya.)
117 (5) Belenggu
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih …
menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Ini disebut, para bhikkhu, seorang kaum duniawi yang tidak terlatih yang terikat oleh belenggu pada bentuk, yang terikat oleh belenggu dalam dan luar, yang tidak melihat pantai seberang yang dekat maupun jauh,
yang menjadi tua di dalam belenggu,223 yang meninggal dunia di dalam
belenggu, yang di dalam belenggu pergi dari alam ini ke alam lainnya. [165]
“Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri,
atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini disebut, para bhikkhu, seorang kaum duniawi yang tidak terlatih yang terikat oleh belenggu
pada kesadaran … yang di dalam belenggu pergi dari alam ini ke alam
lainnya.
“Tetapi, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih … tidak menganggap
sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Ini disebut, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih yang tidak terikat oleh belenggu pada bentuk, yang tidak terikat oleh belenggu dalam dan luar, yang melihat pantai seberang yang dekat maupun jauh. Aku mengatakan, ia terbebas dari penderitaan.
“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri,
atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini disebut, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih yang tidak terikat oleh belenggu
pada kesadaran…. Aku mengatakan, ia terbebas dari penderitaan.”
118 (6) Tanya-Jawab (1)224
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bagaimanakah menurut kalian, apakah
kalian menganggap bentuk sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku’?” “Tidak, Yang Mulia.”
“Bagus, para bhikkhu! Bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Apakah kalian menganggap perasaan … persepsi … bentukan- bentukan kehendak … [166] kesadaran sebagai: ‘ini milikku, ini aku,
ini diriku’?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Bagus, para bhikkhu! Kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi
makhluk ini.’”
119 (7) Tanya-Jawab (2)
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bagaimanakah menurut kalian, apakah
kalian menganggap bentuk sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku’?” “Tidak, Yang Mulia.”
“Bagus, para bhikkhu! Bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Apakah kalian menganggap perasaan … persepsi … bentukan- bentukan kehendak … kesadaran sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan
aku, ini bukan diriku’?” “Ya, Yang Mulia.”
“Bagus, para bhikkhu! Kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi
makhluk ini.’”
120 (8) Hal-hal yang Membelenggu
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai hal-hal yang membelenggu dan belenggu. Dengarkanlah….
“Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang membelenggu, dan apakah belenggu itu? Bentuk, para bhikkhu, adalah suatu hal yang
membelenggu; keinginan dan nafsu terhadapnya adalah belenggu di sana. Perasaan … Persepsi … Bentukan-bentukan kehendak … [167] Kesadaran adalah suatu hal yang membelenggu; keinginan dan nafsu
terhadapnya adalah belenggu itu di sana: ini adalah apa yang disebut hal-hal yang membelenggu, dan belenggu itu sendiri.”
121 (9) Hal-hal yang Dapat Dilekati
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai hal-
hal yang dapat dilekati dan kemelekatan. Dengarkanlah….
“Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang dapat dilekati, dan apakah kemelekatan itu? Bentuk, para bhikkhu, adalah suatu hal yang dapat
dilekati; keinginan dan nafsu terhadapnya adalah kemelekatan di sana. Perasaan … Persepsi … Bentukan-bentukan kehendak … Kesadaran adalah suatu hal yang dapat dilekati; keinginan dan nafsu terhadapnya
adalah kemelekatan di sana: ini adalah apa yang disebut hal-hal yang dapat dilekati, dan kemelekatan itu.”
122 (10) Bermoral
sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Pada suatu malam, Yang Mulia Mahākoṭṭhita keluar dari keheningannya,
mendekati Yang Mulia Sariputta, saling bertukar sapa, dan berkata
kepadanya: “Sahabat Sāriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan
oleh seorang bhikkhu yang bermoral?”
“Sahabat koṭṭhita, seorang bhikkhu yang bermoral harus
memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai kemalangan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai bukan-diri.225 Apakah lima itu? Kelompok unsur bentuk yang menjadi subjek kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang menjadi subjek kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang menjadi subjek kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak yang menjadi subjek kemelekatan, kelompok unsur kesadaran yang menjadi subjek kemelekatan, seorang bhikkhu yang bermoral harus memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini
sebagai tidak kekal … sebagai bukan-diri. [168] Ketika, Sahabat,
seorang bhikkhu yang bermoral memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini, adalah mungkin ia dapat menembus buah Memasuki-arus.”
“Tetapi, Sahabat Sāriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan
oleh seorang bhikkhu yang adalah seorang Pemasuk-arus?”
“Sahabat Koṭṭhita, seorang bhikkhu yang adalah seorang Pemasuk-
arus harus memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini sebagai tidak
kekal … sebagai bukan-diri. Ketika, Sahabat, seorang bhikkhu yang
adalah seorang Pemasuk-arus memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini, adalah mungkin ia dapat menembus buah Yang-kembali-sekali.”
“Tetapi, Sahabat Sāriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan
oleh seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-kembali-sekali?”
“Sahabat Koṭṭhita, seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-
kembali-sekali harus memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini sebagai tidak
kekal … sebagai bukan-diri. Ketika, Sahabat, seorang bhikkhu yang
adalah seorang Yang-kembali-sekali memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini, adalah mungkin ia dapat menembus buah Yang-tidak-kembali.”
“Tetapi, Sahabat Sāriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan
oleh seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-tidak-kembali?”
“Sahabat Koṭṭhita, seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-
tidak-kembali harus memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini sebagai tidak
kekal … sebagai bukan-diri. Ketika, Sahabat, seorang bhikkhu yang
adalah seorang Yang-tidak-kembali memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini, adalah mungkin ia dapat menembus buah Kearahatan.”
“Tetapi, Sahabat Sāriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan
oleh seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahanta?”
“Sahabat Koṭṭhita, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahanta
harus memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai kemalangan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai bukan-diri. Bagi Arahanta, Sahabat, tidak ada lagi lebih jauh yang harus dilakukan dan tidak ada pengulangan atas apa yang telah ia lakukan.226 [169] Akan tetapi, ketika hal-hal ini dikembangkan dan dilatih, maka hal-hal itu menuntun menuju kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini dan menuju perhatian dan pemahaman jernih.”
123 (11) Terlatih
(Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya kecuali pada bagian pembukaan
pertanyaan dan jawaban dituliskan dalam sebutan “seorang bhikkhu terlatih.”)
124 (12) Kappa (1)
Di Sāvatthī. Yang Mulia Kappa mendekati Sang Bhagavā, memberi
“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat, sehingga sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan gambaran-gambaran eksternal, pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya?”
(Selanjutnya identik dengan §71, tetapi ditujukan kepada Kappa.) [170]
125 (13) Kappa (2)
Di Sāvatthī. Yang Mulia Kappa mendekati Sang Bhagavā … dan berkata
kepada Beliau:
“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat, sehingga sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan gambaran-gambaran eksternal, pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan, telah melampaui pembedaan, dan damai dan terbebaskan sempurna?”
(Selanjutnya identik dengan §71, tetapi ditujukan kepada Kappa.)
III. KEBODOHAN
126 (1) Mengalami Kemunculan (1)
Di Sāvatthī. [171] Seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā …
dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, dikatakan, ‘kebodohan, kebodohan.’ Apakah, Yang Mulia, kebodohan, dan bagaimanakah seseorang tenggelam dalam kebodohan?”
“Di sini, Bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih tidak memahami bentuk yang mengalami kemunculan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk mengalami kemunculan.’ Ia tidak memahami bentuk mengalami kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk mengalami kelenyapan.’ Ia tidak memahami bentuk mengalami kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk mengalami kemunculan dan kelenyapan.’ Ia tidak memahami perasaan
… persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran mengalami kemunculan … mengalami kelenyapan … mengalami kemunculan
dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Kesadaran mengalami kemunculan dan kelenyapan.’
“Ini disebut kebodohan, Bhikkhu, dan dengan cara demikianlah seseorang tenggelam dalam kebodohan.”
Ketika hal ini dikatakan, bhikkhu itu berkata kepada Sang
Bhagavā:
“Yang Mulia, dikatakan, ‘pengetahuan sejati, pengetahuan sejati.’ Apakah, Yang Mulia, pengetahuan sejati, dan bagaimanakah seseorang sampai pada dalam pengetahuan sejati?”
“Di sini, bhikkhu, siswa mulia yang terlatih memahami bentuk yang mengalami kemunculan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk mengalami kemunculan.’ Ia memahami bentuk mengalami kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk mengalami kelenyapan.’ [172] Ia memahami bentuk mengalami kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk mengalami kemunculan dan
kelenyapan.’ Ia memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran mengalami kemunculan … mengalami kelenyapan … mengalami kemunculan dan kelenyapan sebagaimana
adanya sebagai: ‘Kesadaran mengalami kemunculan dan kelenyapan.’ “Ini disebut pengetahuan sejati, Bhikkhu, dan dengan cara demikianlah seseorang sampai pada pengetahuan sejati.”
127 (2) Mengalami Kemunculan (2)
Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Pada suatu malam, Yang Mulia Mahākoṭṭhita keluar dari keheningannya,
mendekati Yang Mulia Sariputta, saling bertukar sapa, dan berkata
kepadanya: “Sahabat Sāriputta, dikatakan, ‘kebodohan, kebodohan.’
Apakah, Sahabat, kebodohan, dan bagaimanakah seseorang tenggelam dalam kebodohan?”
(Selanjutnya sutta ini identik dengan pertukaran pada kebodohan dalam
sutta sebelumnya.) [173]
128 (3) Mengalami Kemunculan (3)
Di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Sambil duduk di satu sisi, Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, dikatakan ‘pengetahuan sejati, pengetahuan sejati.’ Apakah,
Sahabat, pengetahuan sejati, dan bagaimanakah seseorang sampai pada dalam pengetahuan sejati?”
(Selanjutnya sutta ini identik dengan pertukaran pada pengetahuan sejati
dalam §126.) 129 (4) Kepuasan (1)
Di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Sambil duduk di satu sisi, Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, dikatakan, ‘kebodohan, kebodohan.’ Apakah,
Sahabat, kebodohan, dan bagaimanakah seseorang tenggelam dalam kebodohan?”
“Di sini, Sahabat, kaum duniawi yang tidak terlatih tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Ini, Sahabat, disebut kebodohan, dan demikianlah caranya seseorang tenggelam dalam kebodohan.”
130 (5) Kepuasan (2)
Di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana…. [174] “Sahabat Sāriputta,
dikatakan, ‘pengetahuan sejati, pengetahuan sejati.’ Apakah, Sahabat, pengetahuan sejati, dan bagaimanakah seseorang sampai pada pengetahuan sejati?”
“Di sini, Sahabat, siswa mulia yang terlatih memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Ini, Sahabat, disebut pengetahuan sejati, dan demikianlah caranya seseorang sampai pada pengetahuan sejati.”
131 (6) Asal-mula (1)
Di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana…. “Sahabat Sāriputta,
dikatakan, ‘kebodohan, kebodohan.’ Apakah, Sahabat, kebodohan, dan bagaimanakah seseorang tenggelam dalam kebodohan?”
“Di sini, Sahabat, kaum duniawi yang tidak terlatih tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan
jalan membebaskan diri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan- bentukan kehendak, dan kesadaran. Ini, Sahabat, disebut kebodohan, dan demikianlah caranya seseorang tenggelam dalam kebodohan.”
132 (7) Asal-mula (2)
Di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana…. “Sahabat Sāriputta,
dikatakan, ‘pengetahuan sejati, pengetahuan sejati.’ Apakah, Sahabat, pengetahuan sejati, dan bagaimanakah seseorang sampai pada pengetahuan sejati?”
“Di sini, Sahabat, siswa mulia yang terlatih memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Ini, Sahabat, disebut pengetahuan sejati, dan demikianlah caranya seseorang sampai pada pengetahuan sejati.” [175]
133 (8) Koṭṭhita (1)
(Identik dengan §129 dan §130 digabungkan, kecuali bahwa di sini Sāriputta
mengajukan pertanyaan dan Mahākoṭṭhita menjawab.) 134 (9) Koṭṭhita (2)
(Identik dengan §131 dan §132 digabungkan, kecuali bahwa di sini Sāriputta
mengajukan pertanyaan dan Mahākoṭṭhita menjawab.) [176]
135 (10) Koṭṭhita (3)
Situasi yang sama. Duduk di satu sisi, Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Yang Mulia Mahākoṭṭhita: “Sahabat Koṭṭhita, dikatakan,
‘kebodohan, kebodohan.’ Apakah, Sahabat, kebodohan, dan bagaimanakah seseorang tenggelam dalam kebodohan?”
“Di sini, Sahabat, kaum duniawi yang tidak terlatih tidak memahami sebagaimana adanya bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan
menuju lenyapnya. Ia tidak memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, asal-mulanya, lenyapnya,
dan jalan menuju lenyapnya. Ini, Sahabat, disebut kebodohan, dan demikianlah caranya seseorang tenggelam dalam kebodohan.”
Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahākoṭṭhita: “Sahabat Koṭṭhita, dikatakan, ‘pengetahuan
sejati, pengetahuan sejati.’ Apakah, Sahabat, pengetahuan sejati, dan bagaimanakah seseorang sampai pada dalam pengetahuan sejati?”
“Di sini, Sahabat, siswa mulia yang terlatih memahami bentuk, [177] asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Ia memahami
perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran,
asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Ini, Sahabat, disebut pengetahuan sejati, dan demikianlah caranya seseorang sampai pada pengetahuan sejati.”