• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Hasil Penelitian

1. Pembacaan Hermeneutik

Hermeneutik adalah salah satu aliran dalam telaah sastra mengharapkan kehadiran seluruh aspek yang kongruen menunjang terbentuknya teks sastra itu sebagai media utama dalam upaya memahami makna teks sastra. Unsur-unsur itu meliputi latar kesejarahan pengarang, Unsur-unsur sosial budaya, proses kreatif penciptaan serta dunia yang diciptakan pengarang lewat teks sastra. Bagi hermeneutik, keseluruhannya itu merupakan suatu totalitas yang tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan pada sisi lain, dunia yang diciptakan pengarang, seperti halnya dunia dalam kehidupan sehari-hari ini tidak selamanya dapat dianalisis secara rasional. Dalam hal seperti itulah unsur-unsur di luar teks sastra memegang peranan dalam interpretasi (Aminuddin, 2009: 119).

Menurut Riffaterre (Pradopo, 2008: 97) mengemukakan bahwa dalam pembacaan heremeneutik, sajak dibaca berdasarkan konvensi-konvensi sastra menurut sistem semiotik. Sebagai ilmu maupun metode mempunyai peran

dengan metode analisis isi. Diantara metode-metode yang lain, hermeneutik adalah salah satu metode yang dapat digunakan dalam penelitian teks sastra (Ratna, 2010: 44).

Jadi, Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya (Pradopo, 2003: 135). Pada tahap pembacaan ini, puisi dimaknai secara keseluruhan. Tanda-tanda yang ditemukan dalam pembacaan heuristik ditemukan makna yang sebenarnya. Berikut pembacaan hermeneutik dalam sajak ‘Tala Maqring’,

‘Papekang’, ‘Buruqneki Intu Anaq’, ‘Panangkala’, ‘Neqneq Lalang Pangnguqrangi’, ‘Pinisi Kalengku’, dan ‘Bangngi’.

a. Pada Sajak “Tala Maqring”

Pada pembacaan hermeneutik sebuah sajak diinterpretasikan melalui pemahaman kata dari makna konotatif dan ketidaklangsungan ekspresi yang sengaja dilakukan oleh seorang penyair. Pembacaan hermeneutik ini membuat sajak dapat dipahami secara keseluruhan.

Pembacaan heuristik pada “Tala Maqring” baru menghasilkan arti berdasarkan konvensi bahasa, belum sampai pada makna sajak. Oleh karena itu, untuk memperolah makna yang penuh, puisi tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Judul puisi “Tala Maqring” bermakna “Larangan yang terdapat didunia ini disampaikan oleh orang terdahulu atau nenek moyang kita”.

dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra.

1) Dari bait pertama dalam sajak Tala Maqring (larangan) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang nenek moyang yang dijadikan panutan menyampaikan bahwa ada banyak larangan di dunia ini. Hal ini dijelaskan sebagai berikut “larangan bagi perempuan hamil tidur terlentang” dapat diartikan sebagai bentuk larangan dari nenek moyang agar perempuan hamil tidak tidur dalam keadaan terlentang sebab berisiko menekan janin dan keselamatannya. Bentuk larangan berikutnya adalah “larangan bagi kita pergi meninggalkan orang yang sedang makan” dapat diartikan sebagai bentuk larangan bagi seseorang yang sedang makan bersama agar tidak pergi meninggalkannya sebab akan mengakibatkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan ditengah perjalanan atau mendapatkan musibah di perjalanannya nanti.

2) Dari bait kedua dalam sajak Tala Maqring (larangan) dapat dimaknai sebagai berikut. “larangan untuk orang tidak duduk di atas bantal”, larangan ini dapat diartikan bahwa kita tidak boleh duduk di atas bantal sebab akan terkena bisul. “larangan untuk orang tidak mengambil nasi di atas tungku” larangan ini dapat diartikan bahwa kita tidak boleh mengambil nasi di atas tungku sebab akan sulit bertemu jodohnya. “larangan untuk kita tidak memotong kuku pada waktu malam hari” larangan ini dapat diartikan agar kita tidak memotong kuku di malam hari sebab kita akan membuat umur kita menjadi pendek. “lebih baik kita

bahwa seseorang yang ingin melakukan pelanggaran norma-norma yaitu mencuri agar lebih baik mencuri seekor sapi dibandingkan sebutir terlur sebab karena nilai atau harga seekor sapi lebih mahal dibandingkan telur sedangkan hukumannya tetap setimpal.

3) Dari bait ketiga dalam sajak Tala Maqring (larangan) dapat dimaknai sebagai berikut. “larangan memeluk lutut dan bertopang dagu” larangan ini dapat diartikan bahwa seseorang tidak boleh memeluk lututnya sebab akan mendatangkan malapetaka(kesialan) dan juga tidak boleh bertopang dagu sebab akan menjadi orang pemalas. “larangan untuk orang tidak bersiul di dalam rumah” larangan ini dapat diartikan bahwa seseorang akan mendatangkan musibah kedalam rumahnya. “larangan untuk orang tidak menujuk batu nisan kuburan” larangan ini dapat diartikan bahwa kita tidak boleh menunjuk batu nisan kuburan sebab akan mengalami penyakit perut. “larangan untuk orang tidak melangkahi batang pohon kelor” larangan ini dapat diartikan bahwa seseorang tidak boleh melangkahi batang pohon kelor sebab jika telah meninggal seluruh badannya akan mengeras layaknya batang pohon kelor.

4) Dari bait keempat dalam sajak Tala Maqring (larangan) dapat dimaknai sebagai berikut. “larangan untuk orang tidak memotong rambut pada waktu malam hari” larangan ini dapat diartikan bahwa seseorang tidak diperbolehkan memotong rambutnya pada waktu malam hari sebab akan mendatangkan kesialan. “larangan untuk orang tidak meratapi jika sedang mengalami kematian” larangan ini dapat diartikan bahwa jika seseorang

agar tidak meratapinya sebab orang yang meninggal tersebut akan merasakan penyiksaan saat di alam kuburnya.

5) Dari bait kelima dalam sajak Tala Maqring (larangan) dapat dimaknai sebagai berikut. Senada dengan bait pertama yaitu nenek moyang yang dijadikan panutan menyampaikan bahwa ada banyaknya larangan di dunia ini. “jika ada seorang gadis sedang bernyani didapur maka jodohnya orang tua” hal dapat dijelaskan jika seorang gadis bernyanyi didapur maka jodonya nanti adalah orang tua, makna dari kata orang tua adalah lansia atau orang yang berusia lebih dari 50 tahun. “larangan bagi orang bernazar jika tidak dilakukan setelahnya” makna dari kata bernazar adalah sebuah janji seseorang untuk melaksanakan sesuatu jika tujuan yang diinginkan tercapai. Sehingga orang yang telah bernazar harus melakukannya sebab jika tidak dilakukan mendatangkan musibah dalam hidupnya.

6) Dari bait keenam dalam sajak Tala Maqring (larangan) dapat dimaknai sebagai berikut. “larangan untuk orang bermain gitar di dalam rumah” larangan ini senada dengan bait ketiga yaitu “bersiul” sebab dapat mendatangkan musibah kedalam orang-orang yang berada dalam rumah. “larangan memukul dinding atau lantai rumah pada waktu malam hari sebab tikus akan naik(masuk) kedalam rumah” larangan ini memiliki arti bahwa jika kita memukul dinding dan lantai rumah pada waktu malam hari mengundang atau memancing tikus masuk kedalam rumah. “larangan kita berkata tikam lalu ita tidak melaksanakannya” larangan ini memiliki

dilakukan maka hal tersebut bisa jadi dirinya yang akan ditikam dikemudian hari.

7) Dari bait ketujuh dalam sajak Tala Maqring (larangan) dapat dimaknai sebagai berikut. tentang banyak larangan di dunia ini hanya Sebagian kecil saja yang dijelaskan oleh nenek moyang kita dan mereka percaya sehingga membuat hidup mereka tenang. Kalimat selanjutnya menegaskan bahwa larangan tersebut dapat dipercaya atau tidak dipercaya berdasarkan hal baik dan buruknya dilihat dari makna tersirat di dalamnya. Oleh sebab itu “maka belajarlah engkau agar pandai membaca belakang surat” kalimat ini memperjelas arti bahwa kita dianjurkan agar pandai membaca dalam belakang surat yang berarti membaca buku sehingga dapat menilai mana yang baik dan buruk.

b. pada Sajak “Papekang”

Pada pembacaan hermeneutik sebuah sajak diinterpretasikan melalui pemahaman kata dari makna konotatif dan ketidaklangsungan ekspresi yang sengaja dilakukan oleh seorang penyair. Pembacaan hermeneutik ini membuat puisi dapat dipahami secara keseluruhan.

Pembacaan heuristik pada “Papekang” baru menghasilkan arti berdasarkan konvensi bahasa, belum sampai pada makna sajak. Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang penuh, puisi tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Judul sajak “Papekang” bermakna “kerasnya kehidupan seorang pemancing”.

dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra.

1) Dari bait pertama dalam sajak Papekang (Pemancing) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang seseorang pemancing pada waktu subuh hari disaat langit mulai terbuka dia telah berada di antara ombak sambil membawah pancing dan dayungnya. hal ini dijelaskan pada sajak “pada waktu subuh disaat langit mulai teruka kakimu berada di antar ombak membawa tali pancing dan memikul dayung” kalimat ini dapat diartikan bahwa pada waktu subuh adalah waktu saat seorang nelayan memulai aktifitasnya untuk mencari ikan.

2) Dari bait kedua dalam sajak Papekang (Pemancing) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang sampan yang digunakan oleh nelayan untuk mengarungi lautan yang biru sehingga hasil tangkapannya dapat dinikmati oleh orang kota dijelasakan dalam sajak “mengulur kehidupan dan menyibak takdir engkaulah benteng orang kota dan engkaulah mengeyangkan orang kota” kalimat ini menjelaskan benteng yang berarti tangkapan pemancing adalah makanan bagi orang kota. 3) Dari bait ketiga dalam sajak Papekang (Pemancing) dapat dimaknai

sebagai berikut. Menceritakan tentang kabut dan badai hujan membuat dirinya tidak takut berada di tengah lautan. Kalimat ini menjelaskan banyaknya bahaya yang berada di tengah laut tetapi dia tidak bergeming dan takut dengan hal tersebut dijelaskan dalam sajak “Ombak yang dari depan dan belakang dia hanya berlari diatasnya, angin dari samping dia

pernah melihat kedaratan hanya menunggu ikan merah memakan umpannya kalimat ini berarti bahwa nelayan yang berada ditengah laut tidak akan kembali kedaratan sebelum dia mendapatkan hasil dari tangkapannya.

4) Dari bait keempat dalam sajak Papekang (Pemancing) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang panas matahari ditengah lautan yang membuat dirinya berkeringat dan kulitnya menghitam dijelaskan pada sajak “datanglah terik matahari meneteslah keringatmu dan hitamlah engkau”. Kalimat ini menjelaskan bahwa meskipun panas matahari yang berada ditengah laut dia tidak pernah mengeluh dengan kehidupan yang dijalaninya.

5) Dari bait kelima dalam sajak Papekang (Pemancing) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan seorang pemancing yang merupakan pekerjaan yang sangat mulia dijelaskan pada sajak “engkaulah bunga-bunga surga sebab engkau berani ditengah lautan mencari rezeki untuk anak dan istrimu” pada kalimat tersebut menjelaskan bahwa pekerjaan seorang nelayan adalah perkerjaan mulia sebab ingin memberika rezeki untuk anak istrinya yang dirumah. Selanjutnya, nelayan dapat membuat suapan orang kota besar yaitu hasil dari tangkapan seorang nelayan dapat dirasakan oleh orang-orang kota.

c. pada sajak “Buruqne Intu Anaq”

Pada pembacaan hermeneutik sebuah sajak diinterpretasikan melalui pemahaman kata dari makna konotatif dan ketidaklangsungan ekspresi yang

membuat puisi dapat dipahami secara keseluruhan.

Pembacaan heuristik pada “Buruqneki Intu Anaq” baru menghasilkan arti berdasarkan konvensi bahasa, belum sampai pada makna sajak. Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang penuh, puisi tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Judul sajak “Buruqneki Intu Anaq” bermakna “pesan orang tua kepada anaknya untuk menanamkan semangat hidup”.

Oleh sebab itu, untuk memperoleh makna yang penuh, sajak tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra.

1) Dari bait pertama dalam sajak Buruqneki Intu Anaq (Lelaki engkau anak) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan seorang anak lelaki yang harus mampu mencari kehidupannya sendiri dan menjadi orang bertanggung jawab. Pada kalimat “membawa badik dan sangkur di dalam lidahmu” memiliki arti yaitu badiq merupakan senjata tradisional khas milik bugis makassar yang berarti dalam setiap ucapan harus bertanggung jawab didalamnya. Selanjutnya, dalam kalimat “bekal yang tak habis di akhirat” memiliki arti yaitu berbuat baik dalam kehidupannya.

2) Dari bait kedua dalam sajak Buruqneki Intu Anaq (Lelaki engkau anak) dapat dimaknai sebagai berikut. memiliki arti yaitu anak yang mampu bertanggung jawab dalam perkataannya. Jika anak tersebut pergi maka dia akan di ingat bagaikan minyak dan kelapa sehingga nikmat ketika diceritakan. Makna kelapa yang berarti bahwa bisa hidup dimana saja dan

kabaikannya akan di kenang terus menerus.

3) Dari bait ketiga dalam sajak Buruqneki Intu Anaq (Lelaki engkau anak) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang keturunan dari anak lelaki yang pemberani serta memiliki keistimewaan dalam hidupnya. Hal ini dijelaskan dalam sajak “buruqne balibina, jangang korona, buriq-buriq pammanakangta” makna kata balibiq, koro, dan buriq-buriq-buriq-buriq merupakan jenis ayam yang dikenal di suku bugis makassar melambangkan keberanian dan unggul dalam setiap Tindakan.

4) Dari bait keempat dalam sajak Buruqneki Intu Anaq (Lelaki engkau anak) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang anak yang dijadikan harapan yang tidak pernah sirna hal ini dijelaskan dalam sajak “pelita tak redup meskipun ditiup angin”. Selanjutnya anak lelaki tersebut harus memiliki sifat dermawan dan menjadi panutan dalam setiap kehidupannya hal ini dijelaskan dalam sajak “matahari bagi orang yang kesulitan dan benteng untuk tempat sandaran bagi orang biasa” makna kata orang biasa adalah orang awam.

5) Dari bait kelima dalam sajak Buruqneki Intu Anaq (Lelaki engkau anak) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan anak lelaki yang menjalani kehidupannya berbeda dengan lelaki pada umunya sehingga dalam keadaan matipun harus tetap menjalaninya. Hal ini dijelaskan dalam sajak “lelaki yang mengusir kehidupannya sendiri dan menikahi kematiannya sendiri” mengandung arti mengusir kehidupan adalah kehidupan yang

adalah bertahan dalam kehidupan bahkan sampe ajal menjemputnya. 6) Dari bait keenam dalam sajak Buruqneki Intu Anaq (Lelaki engkau anak)

dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang yang harus menyadari bahwa dia adalah cucu nabi Adam yang bediri pada alif bermakna “yang tak pernah mati” dan di bentengi nun dan ba bermakna keyakinan dan agama.

d. pada Sajak “Panangkala”

Pada pembacaan hermeneutik sebuah sajak diinterpretasikan melalui pemahaman kata dari makna konotatif dan ketidaklangsungan ekspresi yang sengaja dilakukan oleh seorang penyair. Pembacaan hermeneutik ini membuat puisi dapat dipahami secara keseluruhan.

Pembacaan heuristik pada “Panangkala” baru menghasilkan arti berdasarkan konvensi bahasa, belum sampai pada makna sajak. Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang penuh, puisi tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Judul sajak “Panangkala” bermakna “kerja keras yang dilakukan oleh pembajak sawah atau petani dalam menghasilkan sumber kehidupan”.

Oleh sebab itu, untuk memperoleh makna yang penuh, sajak tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra.

1) Dari bait pertama dalam sajak Panangkala (Pembajak sawah) dapat dimaknai sebagai berikut. Tentang dua ekor sapi yang sedang manarik bajak dan membolakbalikkan tanah dan bebatuan kalimat tersebut

Kalimat selajutnya pada sajak “membalikkan takdir dan tidak pernah ragu-ragu melakukannya” memiliki arti takdir dalam kehidupan pembajak sawah yang keras namun tetap melakukannya.

2) Dari bait kedua dalam sajak Panangakala (Pembajak sawah) dapat dimaknai sebagai berikut. Senada dengan bait pertama yaitu dua ekor sapi yang digunakan untuk membantu menyelesaikan tugasnya pembajak sawah baik di sawah maupun di kebunnya.

3) Dari bait ketiga dalam sajak Panangkala (Pembajak sawah) dapat dimaknai sebagai berikut. Di dalam menyelesaikan pekerjaan meneteslah keringat dari pembajak sawah tersebut sehingga peluh yang dirasakan menyuburkan jagung dan padimu. Hal ini dijelaskan pada sajak “tetesan keringatmu dapat menyuburkan jangung dan padimu”. Selain itu tetesan keringat dari pembajak sawah dapat melunakkan kerasnya hidup dan menjadi pintu hidupnya, kalimat tersebut memiliki makna kerasnya kehidupan pembajak sawah namun tidak pernah mengeluh di dalam pekerjaannya sehingga dapat menghasilkan sumber kehidupan.

4) Dari bait keempat dalam sajak Panangkala (Pembajak sawah) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang pembajak sawah sebagai teladan atau guru sebab dia mengajarkan kita untuk tidak mengeluh di dalam berat dan kerasnya perkerjaan dalam hidupnya.

e. pada Sajak “Neqneq Lalang Pangnguqrangi”

Pada pembacaan hermeneutik sebuah sajak diinterpretasikan melalui pemahaman kata dari makna konotatif dan ketidaklangsungan ekspresi yang

membuat puisi dapat dipahami secara keseluruhan.

Pembacaan heuristik pada “Neqneq Lalang Pangnguqrangi” baru menghasilkan arti berdasarkan konvensi bahasa, belum sampai pada makna sajak. Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang penuh, puisi tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Judul sajak “Neqneq Lalang Pangnguqrangi” bermakna “Nasi jagung halus suapan orang terdahulu disebuah desa yang begitu halus dan menyetuh rasa tetapi kini telah tergantikan”.

Oleh sebab itu, untuk memperoleh makna yang penuh, sajak tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra.

1) Dari bait pertama dalam sajak Neqneq Lalang Pangnguqrangi (nasi jagung halus dalam kenangan) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang dahulu di sebuah desa ketika suasana pada pagi buta dijelaskan dalam sajak “ketika kabut masih ada burung gagak dan burung gelatik bersahutan” dalam sajak tersebut dapat dijelaskan bahwa pada saat subuh atau pagi buta dengan berbagai kicauan burung gagak dan gelatik orang di desa tersebut yaitu petani telah melakukan aktifitasnya sembari menyambut datangnya pagi hari.

2) Dari bait kedua dalam sajak Neqneq Lalang Pangnguqrangi (nasi jagung halus dalam kenangan) dapat dimaknai sebagai berikut. Tentang suara timborong yang menyeruling dan suaranya terdengar asik di dapur.

yang digunakan untuk menyalakan api di dapur bagi orang desa tersebut. 3) Dari bait ketiga dalam sajak Neqneq Lalang Pangnguqrangi (nasi jagung

halus dalam kenangan) dapat dimaknai sebagai berikut. Tentang bunyi letupan-letupan dari nasi jagung halus yang dimasak dan membuatnya sungguh lembut serta menyentuh rasa sehingga orang-orang di desa merindukan nasi jagung halus tersebut.

4) Dari bait keempat dalam sajak Neqneq Lalang Pangnguqrangi (nasi jagung halus dalam kenangan) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan nasi jagung halus yang kini tinggallah kenangan dijelaskan dalam sajak “oh nasi jagung halus kini engkau tinggallah kenangan dan dia si beras menggantikanmu” kalimat tersebut menjelaskan bahwa nasi jagung yang dahulu sangat lembut dan menyentuh rasa kini telah tergantikan menjadi beras bagi suapan orang desa tersbut selanjutnya nasi jagung harus akan selalu di hormati dan di kenang sebagai suapan bagi orang terdahulu.

f. Pada Sajak “Pinisi Kalengku”

Pada pembacaan hermeneutik sebuah sajak diinterpretasikan melalui pemahaman kata dari makna konotatif dan ketidaklangsungan ekspresi yang sengaja dilakukan oleh seorang penyair. Pembacaan hermeneutik ini membuat puisi dapat dipahami secara keseluruhan.

Pembacaan heuristik pada “Pinisi kalengku” baru menghasilkan arti berdasarkan konvensi bahasa, belum sampai pada makna sajak. Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang penuh, puisi tersebut harus dibaca

sastra. Judul sajak “Pinisi kalengku” bermakna “Pinisi adalah tubuh setiap seorang yang berlayar dan juga seorang pekerja keras dari warisan leluhur Sawerigading”.

Oleh sebab itu, untuk memperoleh makna yang penuh, sajak tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra.

1) Dari bait pertama dalam sajak Pinisi kalengku (pinisi tubuhku) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang seorang yang berlayar di perut Sawerigading sedangkan makna Sawerigading adalah putra mahkota kerajaan Luwu yang merupakan orang pertama membuat pinisi selanjutnya pinis atau kapal pinisi adalah kapal layar tradisional khas Indonesia yang berasal dari suku bugis dan suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari desa bira kecamatan. Bonto bahari kabupaten Bulukumba. Kerja keras yang diajarkan Sawerigading telah tuntas dan tertanam didalam diri setiap orang yang berlayar menggunakan kapal layar atau pinisi.

2) Dari bait kedua dalam sajak Pinisi kalengku (pinisi tubuhku) dapat dimaknai sebagai berikut. Tentang tiap bagian dari kapal pinisi digambarkan dalam bentuk tubuh manusia seperti pada sajak “tulang punggungnya menjadi lunas” artinya tulang punggung orang berlayar bagaikan lunas atau balok kayu yang memanjang.

3) Dari bait ketiga dalam sajak Pinisi kalengku (pinisi tubuhku) dapat dimaknai sebagai berikut. Tentang semangat orang yang berlayar harus

layarnya.

4) Dari bait keempat dalam sajak Pinisi kalengku (pinisi tubuhku) dapat dimaknai sebagai berikut. Menceritakan tentang setiap orang yang berlayar adalah pekerja keras yang seluruh tubuhnya adalah muasal dalam kehidupan warisan leluhurnya yaitu warisan Sawerigading yang turun mewujud berempat.

g. Pada Sajak “Bangngi”

Pada pembacaan hermeneutik sebuah sajak diinterpretasikan melalui pemahaman kata dari makna konotatif dan ketidaklangsungan ekspresi yang sengaja dilakukan oleh seorang penyair. Pembacaan hermeneutik ini membuat puisi dapat dipahami secara keseluruhan.

Pembacaan heuristik pada “Bangngi” baru menghasilkan arti berdasarkan konvensi bahasa, belum sampai pada makna sajak. Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang penuh, puisi tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Judul sajak “Bangngi” bermakna “Suasana malam hari merindukan seseorang yang selalu berderai dalam jiwa dan pikiran”.

Oleh sebab itu, untuk memperoleh makna yang penuh, sajak tersebut harus dibaca berdasarkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan berdasarkan konvensi sastra.

1) Dari bait pertama dalam sajak Bangngi (malam) dapat dimaknai sebagai berikut. Tentang suasana malam hari saat burung-burung kembali ke sarangnya dan digantikan oleh binatang malam lain untuk mencari

“menyanyilah malaikat di langit malam menangsilah para janda di dalam kelambunya…” dalam kalimat tersebut dijelaskan bahwa tangisan janda pada malam hari di dalam kelambunya adalah bentuk kesedihan dan hanya ditertwakan oleh cicak di palfon rumahnya.

2) Dari bait kedua dalam sajak Bangngi (malam) dapat dimaknai sebagai

Dokumen terkait