• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembacaan Hermeneutik

Dalam dokumen BAB II A. STRUKTUR TEKS PUISI (Halaman 38-42)

C. PEMBACAAN HEURISTIK DAN HERMENEUTIK

2. Pembacaan Hermeneutik

Dalam pemaknaan puisi dari sistem semiotik terdapat dua pembacaan, pertama pembacaan heuristik, kedua pembacaan hermeneutik, secara singkat heuristik adalah pembacaan dari luar dan hermeneutik adalah pembacaan dari dalam. Menurut Pradopo (2012: 297) Pembacaan hermeneutik merupakan sistem semiotik tingkat kedua dengan membaca keseluruhan teks dengan memberikan makna sesuai dengan konvensi sastra, bahwa “Pembacaan retroaktif dan hermeneutik itu berdasarkan konvensi sastra, yaitu puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung”.

Dalam penelitian ini, pembacaan hermeneutik dimulai dengan pembacaan tema puisi dan seterusnya dilanjutkan dengan pembacaan terhadap lima bagian puisi berdasarkan jeda dalam teks puisi Imam asy-Syafi‟i berqa>fiyah ra‟.

Dalam puisi [28] kata Idza> ma> kunta dza> fadlin wa„ilmin # bima khtalafal awa>ilu wal awa>khir yang berarti jika kamu seorang ahli ilmu dan kemuliaan milik orang terdahulu dan kemudian yang dimaksud adalah Nabiyullah Rasulullah Saw

akhirul anbiya‟ akhir para Nabi yang tengah berkhutbah di hadapan para sahabat;

“Wahai manusia sekalian, Allah Saw telah mewajibkan haji pada kalian,” Namun tiba-tiba seorang pendengar menyergah: Adakah kewajiban itu setiap tahun, wahai Rasulullah Saw?.

Dalam bait kedua [28] kata fana>dhir man tuna>dhiru fi suku>nin # khali>man

la talijju wala> tuka>bir yang berarti berdebatlah dan seseorang yang didebati. Dalam kesempatan ini beliau tidak menjawab, sehingga lelaki itu mengulangi pertanyaan sampai tiga kali. Kemudian beliau berkata: “Seandainya aku katakan ya, tentu akan wajib (setiap tahun). Namun laksanakanlah sekuat kemampuan

kalian, kemudian tinggalkanlah aku (jangan banyak bertanya) mengenai apapun yang aku tidak jelaskan kepada kalian. Sesunguhnya umat sebelum kalian telah banyak binasa karena banyak pertanyaan mendebat para Nabi mereka. Akan lebih baik jika aku menyuruh kalian untuk mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah sekuat kemampuan kalian. Apabila aku melarang kalian mengenai sesuatu maka segeralah kalian meninggalkannya.

Dalam puisi [30] bait pertama kata alayya tsiya>bun law tuba>‟u jami>‟uha #

bifalsin laka>nal falsu minhunna aktsara> yang berarti bila pakaianku dijual semua dari uang perak bahkan lebih hina. Abu al-Fadhal Nashr bin Abi Nashr at-Thusiy mengatakan: aku pernah mendengar Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Qashri mengatakan: Sebagian guruku mengatakan kepadaku: Tatkala asy-Syafi‟i di kota Samara, ia mengenakan pakaian buruk dengan rambut kusut yang tergerai.

Dalam bait kedua [30] kata wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha> # nufu>sul wara> laka>nat ajalla wa akbara> yang berarti namun tubuh yang berada di dalamnya lebih berharga dari manusia seluruhnya. Pada bait ini Kemudian beliau memasuki kedai bermaksud mencukurkan rambutnya. Maka si tukang cukur ketika melihat asy-Syafi‟i, ia segera mengatakan: “Hendaklah anda keluar mencari tukang cukur selain diriku.” Perilaku ini yang menjadikan asy-Syafi‟i tersinggung berat. Beliaupun segera memanggil bujangnya seraya menanyakan: “Masih berapa jumlah uang yang menjadi bekal kita?”. “Masih sepuluh dinar Tuan!” sahut si bujang. Singkat cerita asy-Syafi‟i segera menyuruh si bujang agar menyedekahkan kepada si tukang cukur tersebut.

Dalam bait ketiga [30] kata wama> dhorran-nashlas-sayfi ikhla>qu ghimdihi

# idza> ka>na „adhban khaytsu wajjahtahu fara> yang berarti bagai pedang tajam yang rusak sarungnya dan apa yang ditebas tetap dibelahnya. Pada bait ini tampaknya as-Syafi‟i pada mulanya lebih besar memperhatikan kondisi hati, sehingga penampilan luarnya agak terabaikan, dengan bukti dalam syair diatas adanya pihak yang memandang beliau sebelah mata atas penampilannya. Ini dapat dikatakan wajar sebab pada lazimnya manusia hanya memandang secara lahiriyah, sedangkan tempat pandang Allah Swt yang lebih tahu segalanya.

Dalam puisi [31] kata tadar-ra‟tu sauban lilqanu>ni khashi>natan # ashu>nu

biha> „irdhi> wa a‟aluha> dzuhra> yang berarti pada qana‟ah ku ikatkan pakaian, jaga martabat bak pahala tersimpan. Bait kedua kata walam akhdzarid-ahral khau>na

fainnaha> # qusha>ra>hu an yarmi> biyalmauta wal faqra> yang berarti ku tak takut bencana yang berkhianat, kan berakhir dengan maut dan melarat. Bait ketiga kata

fa a‟dadtu lil mautil ilaha wa „afwahu # wa a‟dadtu lil faqrit-tajalluda wash-shabra> yang berarti untuk maut aku siapkan mohon ampunan untuk miskin aku hadapi sabar dan tahan. Sikap sabar merupakan sebuah karakter yang sangat terpuji, bahkan lebih mulia dari pada menahan amarah, sebab menahan amarah itu hakikatnya merupakan refleksi dari berusaha bersabar. Pada permulaannya perilaku sabar sangat memerlukan usaha yang kuat, sehingga seseorang ketika telah membiasakan bersabar dalam jangka waktu tertentu, maka sikap itu bisa menjadi kebiasaan, hingga akhirnya sebuah amarah tidak lagi bergejolak. Inilah yang pada akhirnya akan menuntun kita pada kesempurnaan akal seseorang.

Dalam puisi “Dua Macam Waktu” kata ad-dahru yauma>ni dza> amnun wa

dza> khatharu # wal „aysyu „aysya>ni dza> shafrun wa dza> kadaru yang berarti waktu ada dua, khawatir dan aman keruh dan jernih ada di kehidupan. Bait kedua kata

ama tara>l bahra ta‟luu fauqahu jiyafun # wa tastaqirru bi aqsha qa>‟ihid-duraru yang berarti lihat laut, bangkai muncul di atasnya namun di dalam tersimpan mutiara. Pada bait ketiga kata wa fis-sama>i nuju>mun la „ida>da laha> # wa laysa

yuksafu illasy-syamsu wal qamaru yang berarti di langit banyak bintang yang

bertebaran yang gerhana hanya mentari dan rembulan. Allah telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaaan agar setiap orang beramal sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan-Nya, amal yang akan diperhitungkan oleh Allah nanti terutama berpangkal pada dua masalah, yaitu hawa serta nafsu. Dalam kaitannya dengan tema diatas yaitu adanya susah dan senang yang menyertai kehidupan, ibarat bangkai kapal yang di luarnya rusak parah namun di dalamnya tersimpan harta karun. Dalam kehidupan walaupun keduanya selalu menghantui pasti ada hikmah dibalik kedua hal tersebut.

Dalam puisi [37] kata inni> buli>tu bi arba‟in yarmi>nini # bin-nabli „an

qausin lahunna dzari>ru yang berarti empat macam yang selalu mendera diriku, dengan panah yang merusakkan tubuhku. Paba bait kedua kata ibli>su wad-dunya

wa nafs>i wal hawa> # anna yafirru „anil hawa> nihri>ru yang berarti iblis, dunia, hawa serta nafsu, sangat cerdas tak mau lari dariku. Telah jelas dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa terlepas dari empat musuh yang akan selalu mengajak berbuat apapun yang menyalahi garis-garis yang ditetapkan Allah. Terutama dipelopori oleh iblis yang telah berhasil menjungkalkan bapak manusia, yakni Nabi Adam ke dunia.

Sebagai contoh, ketika Nabi Adam di surga, Allah telah memberi nikmat yang melimpah ruah kepadanya. Dia hanya melarang Adam agar tidak mendekati sebuah pohon. Oleh Iblis, Adam ditipu mentah-mentah, larangan Allah itu malah dibaliknya dengan mengatakan bahwa memakan pohon itulah yang akan menyebabkan Adam kekal di surga. Adam ternyata menuruti kehendak Iblis dan akhirnya harus menuai celaka.

Dalam dokumen BAB II A. STRUKTUR TEKS PUISI (Halaman 38-42)

Dokumen terkait