• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II A. STRUKTUR TEKS PUISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II A. STRUKTUR TEKS PUISI"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

17

BAB II

A. STRUKTUR TEKS PUISI

Struktur berarti bentuk keseluruhan yang kompleks (Siswantoro, 2010: 13). Setiap objek, atau peristiwa pasti sebuah struktur, yang terdiri dari berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Puisi adalah sebuah struktur, yang maknanya dapat diperoleh dengan cara memberi makna tiap-tiap unsur kaitannya dengan makna unsur lain di dalam puisi itu sendiri, sebagai sistem struktur.

Menurut Zaidan (2007: 193) struktur adalah susunan yang memperlihatkan tata hubungan antara unsur pembentuk karya sastra, rangkaian unsur yang tersusun secara terpadu. Dalam menganalisis sebuah struktur ini terdiri dari beberapa poin sebagai berikut: diksi, gaya bahasa, pencitraan, ritme, rima, pengulangan bunyi, nada bicara, bunyi dan makna. Adapun definisinya sebagai berikut:

1. Diksi

Diksi adalah pilihan kata untuk mengungkapkan gagasan (Zaidan, 2007: 58). Diksi dalam puisi terdapat poin-poin tertentu, di antaranya:

1.1 Aspek Formal

Aspek formal terkait dengan ragam penggunaan bahasa yang lazim digunakan dalam suasana resmi (Siswantoro, 2010: 105). Ragam bahasa ini ditandai dengan pemakaian tata bahasa, kosakata serta ucapan secara standar.

(2)

Khusus untuk kosa kata, bahasa formal menggunakan kata-kata slang (tidak baku) atau kolokial (baku). Aspek formal dalam puisi ini terdapat di dalam qa>fiyahnya. Qa>fiyah yaitu huruf akhir bait syair Arab (Al-Hasyimiy, 1997: 108). Pada penelitian ini terdapat lima puisi yang akan diulas oleh penulis, diantaranya:

Dalam puisi [28] terdapat kata pada akhir baitnya pada bait pertama yang berbunyi awa>khir yang berarti akhir atau kemudian, pada bait kedua berbunyi tuka>bir yang berarti congkak atau sombong, pada bait ketiga berbunyi nawa>dir yang berarti langka, pada bait keempat berbunyi yufa>khir yang berarti keras kepala, pada bait kelima berbunyi tada>bir yang berarti membelakangi.

Dalam puisi [30] terdapat kata pada akhir baitnya pada bait pertama yang berbunyi aktsara> yang berarti lebih banyak, pada bait kedua berbunyi akbara> yang berarti lebih besar, pada bait ketiga berbunyi fara> yang berarti dibelah, pada bait keempat berbunyi takats-tsaran yang berarti patah.

Dalam puisi [31] terdapat kata pada akhir baitnya pada bait pertama yang berbunyi dzuhra> yang berarti tersimpan, pada bait kedua berbunyi faqra> yang berarti melarat, pada bait ketiga berbunyi shabra> yang berarti sabar.

Dalam puisi “Dua Macam Waktu” terdapat kata pada akhir baitnya pada bait pertama yang berbunyi kadaru yang berarti keruh, pada bait kedua berbunyi duraru yang berarti mutiara, pada bait ketiga berbunyi qamaru yang berarti rembulan.

Dalam puisi [37] terdapat kata pada akhir baitnya pada bait pertama yang berbunyi dzari>ru yang berarti rusak, pada bait kedua berbunyi nihri>ru yang berarti cerdas.

(3)

1.2 Struktur Leksikal Polisemi

Polisemi terkait dengan kegandaan makna yang menimbulkan ambigu. Dalam menghadapi polisemi, pembaca maupun penulis dituntut untuk menangkap makna yang dimaksud oleh penyair (Siswantoro, 2010:107). Dalam istilah bahasa Arab kegandaan makna disebut muta‟addidatil ma‟a>ni (Al-khuli, 1982: 219). Pada penelitian ini terdapat lima puisi yang akan diulas oleh penulis, di antaranya:

Dalam puisi [28] terdapat pada bait kedua yang berbunyi fana>dhir man tuna>dhiru yang berarti berdebatlah. Secara bahasa kata ini memiliki arti maka debatilah siapa yang kamu debati. pada bait ketiga berbunyi yufidu mas tafa>da yang berarti saling memberi manfaat. Secara bahasa kata ini memiliki arti memberi manfaat apa-apa yang bermanfaat.

Dalam puisi [30] terdapat pada bait pertama yang berbunyi bifalsin laka>nal falsu minhunna aktsara> yang berarti dari uang perak bahkan lebih hina. Secara bahasa kata ini memiliki arti dengan uang bahkan lebih dari itu.

Dalam puisi [31] terdapat pada bait kedua yang berbunyi walam akhdzarid-dahral khau>na fainnaha> qushara>hu yang berarti ku tak takut bencana yang berkhianat. Secara bahasa kata ini memiliki arti aku tidak takut bencana sewaktu-waktu tiba.

Dalam puisi “Dua Macam Waktu” terdapat pada bait kedua yang berbunyi wa fis-sama>i nuju>mun la> „ida>da laha> yang berarti di langit banyak bintang yang bertebaran. Secara bahasa kata ini memiliki arti di langit terdapat bintang-bintang yang tidak terhingga.

(4)

Dalam puisi [37] terdapat pada bait kedua yang berbunyi wa nafs>i wal hawa> yang berarti hawa serta nafsu. Secara bahasa kata ini memiliki arti hawa nafsu.

1.3 Struktur Leksikal Sinonimi

Sinonim merujuk kepada penggunaan kata-kata yang maknanya kurang lebih sama atau mirip. Seperti halnya repetisi (pengulangan bunyi), sinonim memberi penekanan pada makna kata tertentu dengan cara menggunakan kata lain (Siswantoro, 2010: 110). Dalam istilah bahasa Arab sinonim disebut muradifah (Al-khuli, 1982: 278). Pada penelitian ini terdapat lima puisi yang akan diulas oleh penulis, di antaranya:

Puisi Kalimat Kata

(Sinonim)

Arti

[28] Tenang dan

sabar

[30] Lebih agung

dan lebih besar

[31] Qanaah dan

sabar

(5)

Dalam puisi [28] terdapat pada bait kedua yang berbunyi suku>nin, khali>man yang berarti sabar dan tenang. Persamaan arti dalam tema puisi ini mengandung makna yang tersirat bahwasanya ketika berdebat seseorang harus bersikap tenang dan sabar dalam menghadapi perbedaan.

Dalam puisi [30] terdapat pada bait kedua yang berbunyi ajalla wa akbara> yang berarti lebih agung dan lebih besar. Persamaan arti dalam tema puisi ini mengandung makna yang tersirat bahwasanya pakaian tidak menunjukan seseorang itu kaya ataupun miskin, berakhlak mulia ataupun tercela tetapi hatilah yang menunjukan keberhargaan tersebut.

Dalam puisi [31] terdapat pada bait kedua yang berbunyi qanu>’i wash-shabra> yang berarti qanaah dan sabar. Persamaan arti dalam tema puisi ini mengandung makna yang tersirat bahwasanya sikap qanaah akan membawa seseorang untuk menerima segala ujian atau cobaan yang menimpanya, sehingga seseorang tersebut menghadapinya dengan sabar.

2. Gaya Bahasa

2.1 Metafora

Metafora adalah membandingkan dua hal baik secara eksplisit ataupun secara implisit. Yang dibandingkan disebut tenor dan yang menjadi pembanding disebut vehicle (Siswantoro, 2010: 107). Menurut Zaidan (2007: 129) metafora adalah majas yang mengandung pertandingan yang tersirat yang menyamakan hal yang satu dengan hal yang lain. Dalam bahasa Arab disebut kalimat yang membutuhkan terciptanya makna yang tidak semestinya (asli) (Al-khuli, 1982: 168).

(6)

Dari data yang dianalisis penulis hanya ada satu puisi yang menggunakan gaya bahasa metafora yaitu pada puisi [30]. Adapun gaya bahasa metafora tersebut sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 60)

Wain takunil ayya>mu azrat bibizzati> # fakam min khussa>min fi ghila>fin takatstsaran

Waktu yang merampas hidupku bagaikan # beberapa pedang di sarung pun sering terpatahkan (Bahjat, 1999: 60).

Pada penggalan puisi di atas terdapat perbandingan atau suatu yang di bandingkan. Perbandingan tersebut adalah pada kalimat “Waktu yang merampas hidupku” dengan kalimat ”pedang di sarung pun sering terpatahkan”. Dengan demikian penggalan puisi di atas termasuk menggunakan gaya bahasa metafora.

2.2 Sinekdoke

Sinekdoke merupakan gaya bahasa yang mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau sebagian untuk keseluruhan (totem pro parte) (Siswantoro, 2010: 107).

Dari data yang dianalisis penulis terdapat dua puisi yang menggunakan gaya bahasa sinekdoke yaitu pada puisi [28] dan puisi [30]. Adapun gaya bahasa sinekdoke tersebut sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 60) Idza> ma> kunta dza> fadlin wa„ilmin

(7)

Pada penggalan puisi diatas terdapat gaya bahasa yang mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Yaitu pada kata “ahli ilmu dan kemuliaan” kata tersebut merupakan makna keseluruhan dari sebagian ahli ilmu seperti: Profesor, Doktor, Dosen dan lain-lain. Dalam puisi [30]. Adapun gaya bahasa sinekdoke tersebut sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 61) Wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha>

Namun di dalamnya jiwa jika diukur sebagiannya (Bahjat, 1999: 61).

Pada penggalan puisi diatas terdapat gaya bahasa yang mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Yaitu pada kata “jiwa” kata tersebut merupakan makna sebagian dari keseluruhan, kata jiwa dalam penjelasan ini mengandung arti manusia dan bisa juga berupa kemuliaan seseorang atau kedermawanan seseorang.

3. Pencitraan (Imagery)

3.1 Sensasi Internal (rasa dalam)

Sensasi internal (rasa dalam) merujuk kepada pencitraan internal seperti kesabaran, kelembutan dan lain-lain (Siswantoro, 2010: 119). Imagery merujuk kepada gambar angan-angan (mental picture) yang tercipta akibat pemakaian kata-kata tertentu. Imagery bisa berupa: visual (terkait dengan aspek penglihatan), auditif (terkait dengan aspek pendengaran), tactile (terkait dengan aspek sentuhan atau rabaan), olfactory (terkait dengan aspek penciuman dan sensasi internal (terkait dengan aspek dalam), seperti: pikiran, rasa mual, rasa mabuk, emosi dan lain-lain).

(8)

Dalam puisi pertama ini terdapat sensasi internal (aspek dalam) dalam bahasa Arab jihatud-dakhiliy (Munawwir, 2007: 64) terdapat dalam puisi [28] fana>dhir man tuna>dhir fi suku>nin # chali>man yaitu kata suku>nin chali>man yang mengandung arti tenang dan sabar. Seorang pendebat dituntut untuk menerima hasil debatnya, entah hasil itu baik ataupun buruk.

Dalam puisi kedua ini terdapat aspek olfactory (sensasi internal atau sensasi dalam) dalam bahasa Arab syu‟urud-dakhiliy (Munawwir, 2007: 791) terdapat dalam puisi [30] kata wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha> # nufu>sul wara> laka>nat ajalla wa akbara> yang artinya namun tubuh yang berada di dalamnya, lebih berharga dari manusia seluruhnya. Dalam puisi ini terdapat makna yang tersimpan, yaitu makna secara lahiriyah dan makna secara batiniyah, menceritakan beliau Imam asy-Syafi‟i yang dikisahkan beliau waktu itu ke kota Samara, beliau mengenakan pakaian buruk dengan rambut kusut yang tergerai. Kemudian beliau memasuki kedai bermaksud mencukur rambutnya. Maka ketika si tukang cukur melihat beliau, ia segera mengatakan: “Hendaklah anda keluar mencari tukang cukur selain diriku”. Perlakuan itu yang menjadikan beliau tersinggung berat, singkat cerita beliau menyuruh pelayannya untuk menyedekahkan uang kepada si tukang cukur tersebut dan beliau termasuk orang yang dermawan. Kemudian pergi seraya mendendangkan syair di atas.

Dalam puisi ketiga ini terdapat aspek tactile (aspek sentuhan atau rabaan) dalam bahasa Arab al-massu (Munawwir, 2007: 792) terdapat dalam puisi [31] kata tadar-ra‟tu tsauban lilqanu>ni khashi>natan yang artinya pada qana‟ah ku ikatkan pakaian. Dalam puisi ini terdapat arti ku ikatkan pakaian, maksudnya

(9)

seseorang menjaga martabat kehormatannya dan juga qana‟ah atau menerima apa-apa yang telah menjadi ketentuan Allah.

Dalam puisi keempat ini tedapat aspek visual (aspek penglihatan) dalam bahasa Arab al-basharu (Munawwir, 2007: 520) terdapat dalam puisi bertema “Dua Macam Waktu” ama> taralbahra ta‟lu> fauqahu jiyafun # wa tastaqirru biaqsha> qa>‟ihid-duraru yang artinya lihat laut, di atasnya terdapat bangkai, namun di dalamnya terdapat mutiara. Seseorang pasti memandang bangkai itu buruk atau hina, di dalam puisi ini penulis mengibaratkan suatu bangkai kapal yang mana kapal itu terlihat buruk dan tidak berbentuk, padahal dalam hal ini terdapat sesuatu yang tersimpan yaitu harta karun. Jadi jangan memandang sebelah mata jangan melihat dari sisi luar saja, bahwa keburukan dan keindahan itu selalu berdampingan.

Dalam puisi kelima ini tedapat aspek auditif (aspek pendengaran atau bisikan) dalam bahasa Arab as-sam‟u (Munawwir, 2007: 225) terdapat dalam puisi [37] kata bin-nabli „an qausin lahunna dzari>ru # ibli>su wad-dunya wa nafs>i wal hawa> yang artinya dengan panah yang merusak tubuhku iblis, dunia, hawa dan nafsu. Dalam puisi ini terdapat anak panah, penulis mengibaratkan anak panah itu mempunyai sifat tajam dan sesuatu yang bersifat tajam itu membahayakan, disini penyair mengibaratkan seperti iblis, dunia, hawa dan nafsu bersifat fana dan tidak terlihat, yang bisa menjerumuskan manusia.

(10)

4. Ritme (Rhythm)

Menurut Zaidan (2007: 175) ritme adalah irama. Ritme merujuk kepada perulangan suara yang mengalir seperti gelombang, turun naik disebabkan oleh tatanan tekanan (arrangement of stress) (Siswantoro, 2010: 124).

„Ilmu arudl adalah barometer musik syair arab, wazan-wazan-nya menjaga keutuhan dan keharmonisan unsur musik yang ada di dalamnya (Ahmad asy-Syayib, 2003: 18). Keharmonisan itu terjaga mulai dari bait yang pertama sampai akhir. Demikian juga „ilmu qafiyah, menjaga kesatuan bunyi akhir setiap bait. Dari definisi syair dan „ilmu „arudl di atas, tidak berlebihan jika kita menyimpulkannya, bahwa dari sisi bentuknya syair adalah „ilmu „arudl dan „ilmu „arudl adalah syair. Syair Arab harus berjalan di atas irama, sebuah alunan yang tercipta oleh kalimat yang berimbang. Tanpa terbentuk irama ini, perkataan tidak dapat disebut sebagai syair. Jadi, ritme dalam syair Arab dipelajari dalam ilmu al-arudl wal qawafiy yang memiliki kaidah-kaidah musik yang telah berjalan secara alami sejak awal kelahirannya. Dalam penelitian ini penulis terdapat tiga bahr yaitu bahr wafir, bahr thawil dan bahr basith.

Ada beberapa istilah yang harus dimengerti sebelum masuk ke dalam permasalahan „ilmu „arudl (Yammut, 1992: 24-34 dan al-Hasyimiy, 1997: 12-20). Sebagian dari istilah-istilah ini adalah:

1. Bait

(

adalah satu kesatuan syair Arab yang darinya sebuah qashidah tersusun. Bait terdiri dari dua baris, baris pertama disebut sebagai ash-shadru ( رُ دْ صَّلا ), dan baris kedua disebut al-„ajzu ( رُ دْ عَ دْا ). Contohnya:

.

(Bahjat, 1999: 60)

(11)

Kemudian bait itu sendirian, yakni tidak diikuti bait yang lain, maka disebut sebagai yatim, jika terdiri dari dua bait disebut nutfah, jika terdiri dari 3-6 disebut qith‟ah, dan jika terdiri dari 7 bait atau lebih disebut qashidah.

2. Al-„Arudl ( ): taf‟ilah terakhir dari baris pertama (ash-shadru) 3. Adl-Dlarbu ( ): taf‟ilah terakhir dari baris kedua (al-„ajzu) 4. Al-Hasywu ( ): taf‟ilah bait selain al-„arudl dan aadl-dlarbu Contoh dari al-„arudl ( ), adl-dlarbu ( ), al-hasywu (

)

/

/

/

/

/

/

#

/

/

.

(Bahjat, 1999: 60)

4.1Bahr Wafir

Bahr ini disebut bahr wafir karena masing-masing taf‟ilah yang

merangkainya penuh dengan harakat-harakat.

Wazan bahr ini terdiri dari enam taf‟ilah yang sama, yaitu

Akan tetapi, wazan ini tidak pernah digunakan secara shahih. Pada bagian al-„arudl dan adl-dlarbu, bahr ini selamanya mengalami perubahan al-qathfu (menghilangkan sabab khafif dan membaca sukun huruf sebelumnya), sehingga

wazan ( ) berubah menjadi ( ).

Imam Syihabuddin al-kafajiy telah menuliskan dalam sebuah nazam untuk membuatnya mudah diingat:

(12)

[28]

/

/

/

/

/

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 60)

Bahr wafir hanya memiliki satu bentuk wazan yang tetap, yaitu al‟arudl dan

adl-dlarbu dalam keadaan maqthufah ( ). Contohnya:

/

/

/

/

/

/

#

/

/

.(Bahjat, 1999: 60)

1. Al-„arudl dan adl-dlarbu sama-sama shahih.

/

/

/

/

/

/

#

/

/

.

(Bahjat, 1999: 60)

/

/

#

/

/

/

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 60)

Sedangkan al-hasywu dalam bahr ini mengalami perubahan al-„ashab, yaitu menyukun huruf kelima taf‟ilah yang berharakat ( ) seperti dalam taqthi‟ di atas.

/

/

#

/

/

/

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 60)

(13)

4.2 Bahr Thawil

Ada semacam kesepakatan diantara para pakar ilmu „arudl bahwa bahr thawil adalah jenis bahr yang banyak digunakan oleh para penyair Arab, baik pada masa klasik, pertengahan, maupun masa modern. Hampir sepertiga dari keseluruhan syair Arab menggunakan bahr ini (Anis, 1952: 57).

Bahr thawil juga menjadi favorit bagi para penyair Arab dulu kala. Mereka banyak menggunakan dan memilihnya daripada bahr-bahr yang lain. Rahasianya ada karena banyak satuan nada di dalamnya sehingga dapat menampung secara elastis syair-syair yang bertema membebaskan diri, mengolok lawan, dan berdebat. Tema-tema itu ramai digunakan oleh para penyair Arab masa jahiliyah sampai awal-awal masa islam. (Anis, 1952: 189).

Wazan bahr thawil sebagai berikut:

#

Dengan demikian, bahr thawil mengandung dua taf‟ilah (

+

) yang diulang-ulang sebanyak empat kali. Untuk memudahkan menghafal bahr ini, Imam al-Khafajiy (w.1069 H./1659 M.) membuat nazam sebagai berikut:

عَ

Dalam bahr thawil, al-arudl (taf‟ilah dari baris pertama syair) selama bentuknya maqbudlah ( ). Sedangkan adl-dlarbu (taf‟ilah akhir dari baris kedua syair) bisa berbentuk shahih ( ), maqbudlah ( ),

(14)

[30]

/

/

/

/

/

/

#

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 61)

Dalam bait ini al-„arudlnya dalam keadaan maqbudlah, dan adl-dlarbu dalam keadaan maqbudlah juga.

/

/

/

/

/

/

/

/

/

#

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 61)

Dalam bait ini al-„arudl dalam keadaan maqbudlah, dan adl-dlarbu dalam keadaan mahdzuf. Contoh:

/

/

/

/

/

/

/

/

/

#

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 61)

Sedangkan untuk al-hasywu, diantara perubahan yang banyak terjadi adalah al-qabdlu. Perubahan ini banyak terjadi pada taf‟ilah (

-

), seperti dialami al-hasywu pada bait-bait diatas.

/

/

/

/

/

/

/

/

/

#

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 61)

(15)

Kesimpulannya, beberapa perubahan taf‟ilah yang terjadi pada bahr thawil, baik yang terjadi pada al-„arudl, adl-dlarbu, dan al-hasywu adalah sebagai berikut:

1. ( ) dapat mengalami perubahan al-qabdlu sehingga menjadi ( ). 2. ( ):

a. Mengalami perubahan al-qabdlu sehingga menjadi ( ). Perubahan ini bersifat wajib pada al-„arudl dan adl-dlarbu, dan tidak wajib pada al-hasywu.

b. Mengalami perubahan al-hadzfu sehingga menjadi ( ) c. Mengalami perubahan al-kaffu sehingga menjadi ( ) Bahr Thawil dalam puisi [31]

1. Dalam bait ini al-„arudl dan adl-dlarbu dalam keadaan maqbudlah.

/

/

/

/

/

/

/

/

/

#

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 62)

2. Dalam bait ini al-„arudl dalam keadaan maqbudlah, dan adl-dlarbu dalam keadaan shahih.

/

/

/

/

/

/

/

/

/

#

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 62)

3. Dalam bait ini al-„arudl dalam keadaan maqbudlah, dan adl-dlarbu dalam keadaan shahih.

(16)

/

/

/

/

/

/

/

/

/

#

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 62)

4.3Bahr Basith

Diriwayatkan dari Imam Khalil, bahr ini dinamai basith karena ia memanjang sepanjang bahr thawil. Pada bagian tengah dan akhirnya berwazan ( ). (Rasyiq, 1981: 136). Ada juga yang berpendapat, karena adanya sabab (suku kata yang mengandung dua huruf konsonan) yang memanjang atau berkelanjutan di awal setiap taf‟ilah. (Yammut: 64).

Wazan bahr ini adalah:

Imam Syihabuddin al-Khafajiy menuliskan wazan bahr ini dalam sebuah nazam:

Bahr basith adakalanya digunakan dalam bentuk yang sempurna, tanpa

ada taf‟ilah yang dihilangkan. Dan adakalanya dalam bentuk majzu‟

(menghilangkan satu taf‟ilah disetiap barisnya). Sehingga wazannya seperti berikut:

Dalam keadaan sempurna, al-arudl seringkali mengalami perubahan

al-khabnu ( - ). Sedangkan adl-dlarbu adakalanya sama dengan al-„arudl

( ), dan adakalanya mengalami perubahan al-qath‟u (menghilangkan huruf akhir watad majmu‟dan membaca sukun huruf sebelumnya,

(17)

Puisi “Dua Macam Waktu”

1. Al-„arudl dan adl-dlarbu dalam keadan sempurna ( )

/

/

/

/

/

/

.(Ya‟qub, 2014: 154)

2. Al-„arudl dan adl-dlarbu berwazan ( ), seperti:

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

.

(Ya‟qub, 2014: 154)

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

.

(Ya‟qub, 2014: 154)

Wazan bahr thawil sebagai berikut:

#

Dengan demikian, bahr thawil mengandung dua taf‟ilah (

+

) yang diulang-ulang sebanyak empat kali. Untuk memudahkan menghafal bahr ini, Imam al-Khafajiy (w.1069 H./1659 M.) membuat nazam sebagai berikut:

عَ

(18)

Dalam bahr thawil, al-arudl (taf‟ilah dari baris pertama syair) selama bentuknya

maqbudlah ( ). Sedangkan adl-dlarbu (taf‟ilah akhir dari baris

kedua syair) bisa berbentuk shahih ( ), maqbudlah ( ), dan

mahdzuf (

,

-

).

1. Al-„Arudl dan adl-dlarbu dalam keadaan maqbudlah.

[37]

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 64)

2. Al-„arudl dalam keadaan shahih dan adl-dlarbu dalam keadaan

maqbudlah

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

/

.

(Bahjat, 1999: 64)

5. Analisis Rima (Sajak)

Rima, dari bahasa Inggris rhyme, yang padanannya dalam bahasa Indonesia sajak, merupakan pengulangan bunyi yang sama, yang biasanya terletak di akhir baris (Siswantoro, 2010:130).

Dalam syair ini dipelajari dalam „ilmu qa>fiah yaitu ilmu yang mempelajari hal ihwal huruf akhir bait syair Arab (Al-Hasyimiy, 1997: 108).

(19)

Puisi Kalimat Akhir bait (qafiyah ra‟) Arti [28] Akhir Congkak Langka Keras kepala Membelakangi [30] Lebih banyak Lebih besar Belah Patah [31] Simpan Miskin Sabar Dua Macam Waktu Keruh Mutiara Bulan [37] Tubuh Cerdas

(20)

Pada analisis lima puisi qa>fiyah ra‟ini terdapat bunyi ra‟ yang diulang-ulang pada akhir tiap baitnya atau akhir barisnya. Dalam puisi [28] terdapat lima kata yaitu awa>khir, tuka>bir, an-nawa>dir, yufa>khir, at-tada>bir. Dalam puisi [30] terdapat empat kata yaitu aktsara>, akbara>, fara>, takatstsaran. Dalam puisi [31] terdapat tiga kata yaitu dzuhra>, faqra>, ash-shabra>. Dalam puisi bertema “Dua Macam Waktu” terdapat tiga kata yaitu kadaru, duraru, al qamaru. Dalam puisi [37] terdapat dua kata yaitu dzari>ru, nihri>ru.

6. Pengulangan Bunyi 6.1 Analisis Aliterasi

Aliterasi terkait dengan pengulangan bunyi konsonan di posisi akhir atau awal kata (Siswantoro, 2010: 136). Adapun fungsi aliterasi adalah (1) memberi efek suara yang enak didengar sebab terbentuknya sajak (2) memberi tekanan makna kepada kata dimana bunyi konsonan tersebut diulang.

Menurut al-Khuli (1982: 54) charfu shamit: al-harful ladzi yarmizu ilash-shautish-shamit. Wa yusammihil ba‟dha charfan sakinan aw charfan shahihan. Huruf konsonan adalah huruf yang dirumuskan kepada suara yang diam. Yang sebagian menamakannya dengan huruf sukun/mati atau yang shahih.

Dari data yang dianalisis penulis terdapat satu puisi yang menggunakan huruf konsonan yaitu pada puisi [28]. Adapun analisis tersebut sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 60) Fana>dhir man tuna>dhiru fi suku>nin

(21)

Pada penggalan puisi diatas terdapat huruf konsonan, yaitu pada kata “Berdebatlah” kata tersebut merupakan kata yang menggunakan huruf sukun atau mati pada akhir katanya.

6.2 Analisis Asonansi (a-i-u-e-o)

Menurut Siswantoro (2010: 141) asonansi merujuk kepada pengulangan bunyi hidup seperti bunyi (a-i-u-e-o) yang memberikan kontribusi kepada penciptaan sajak dan pengulangan itu terasa intens.

Menurut al-Khuli (1982: 54) shoutiyyun: dzu „alaqatin bish-shauti. Huruf vokal adalah huruf yang mempunyai hubungan dengan suara. Dalam puisi ini penulis menggunakan fatchah, kasrah, dhamah.

Dari data yang dianalisis penulis tidak terdapat satupun puisi yang menggunakan pengulangan bunyi hidup seperti bunyi (a-i-u-e-o) yang memberikan kontribusi kepada penciptaan sajak atau huruf yang mempunyai hubungan dengan suara fatchah, kasrah, dhamah.

7. Nada Bicara (Tone)

Nada bicara di dalam sastra, bisa didefinisikan sebagai sikap terhadap pokok permasalahan, terhadap pembaca, atau terhadap diri sendiri (Perrerine, 1974: 72). Nada bicara merupakan warna emosional atau warna makna dari karya penulis tersebut dan merupakan unsur penting dari keseluruhan makna. Nada bicara penulis terhadap pokok persoalan yang diangkat di dalam karyanya itu bisa bersuasana (berwarna) emosi: sedih, gembira, serius, hormat, khidmat, terang, mengkritik, mengejek dan lain-lain.

(22)

Di bait 1, dalam puisi [28] kata fanadhir man tunadhiru fi sukunin # khaliman yang berarti berdebatlah dengan tenang dan sabar. Dalam bait puisi ini seorang pendebat dituntut untuk selalu berperilaku tenang, bijak, sabar dan harus menerima hasil debat tersebut.

Di bait 2, dalam puisi [30] kata wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha> # nufu>sul wara> laka>nat ajalla wa akbara> yang berarti namun di dalamnya jiwa jika diukur sebagiannya, lebih berharga dari manusia seluruhnya. Dalam bait puisi ini penyair menceritakan dirinya bahwa pakaian itu tidak bisa mengukur segalanya tetapi hatilah yang sebenarnya lebih berharga.

Di baris 2, dalam puisi [31] kata walam akhdzarid-ahral khau>na fainnaha> # qusha>ra>hu an yarmi> biyal mauta wal faqra> yang berarti aku tidak takut bencana yang berkhianat, yang akan berakhir dengan maut dan melarat. Dalam bait puisi ini seseorang harus siap bila musibah datang dan harus bersabar serta mohon ampunan sebelum berakhir dengan maut dan kemelaratan.

Di bait 1, dalam puisi “Dua Macam Waktu” kata ad-dahru yaumaani dza amnun wadza khatharu # wal „aysyu „aysya>ni dza> shafrun wa dza> kadaru yang berarti waktu ada dua khawatir dan aman, keruh dan jernih ada di kehidupan. Dalam bait puisi ini waktu ada dua yaitu khawatir dan aman, dalam kehidupan ini pasti ada keruh dan jernihnya dalam menghadapi hidup tidak semestinya kehidupan itu selalu keruh dan juga selalu jernih.

Di bait 2, dalam puisi [37] kata ibliisu wad-dunya wa nafsi wal hawa yang berarti iblis, dunia, hawa serta nafsu. Dalam bait puisi ini penyair memerintahkan

(23)

untuk menjauhi empat macam yang mengusik dalam kehidupan yaitu iblis, dunia, hawa dan nafsu.

8. Hubungan Bunyi Dan Makna

Bunyi atau suara memainkan peran penting di dalam puisi. Peran penting tersebut terkait dengan penegasan atau penekanan terhadap makna yang disandang oleh kata tertentu. Peran penting bunyi kaitannya dengan makna (Perrine, 1974: 754), fungsi khusus puisi sebagai yang dibedakan dari musik, adalah menyampaikan makna atau pengalaman lewat suara. Adapun bunyi dan makna yang terdapat dalam lima puisi ini akan diulas oleh penulis di bawah ini.

8.1 Analisis Bunyi /i/ panjang

Di dalam puisi [28] baris ke-2 memanfaatkan bunyi /i/ panjang yaitu pada kata chali>man yang artinya sabar. Pada kata ini terdapat ya‟ sukun yang berasonansi bunyi /i/ panjang dan berasal dari kata ( م) yang maknanya sabar atau murah hati (Munawwir, 2007: 292).

8.2 Analisis Bunyi /a/ panjang

Di dalam puisi [30] baris ke-1 memanfaatkan bunyi /a/ panjang pada kata tuba>‟u yang artinya dijual. Pada kata ini terdapat ba‟ alif yang berasonansi bunyi /a/ panjang dan berasal dari kata yang maknanya menjual (Munawwir, 2007: 124).

8.3 Analisis Bunyi /u/ panjang

Di dalam puisi [31] baris ke-1 memanfaatkan bunyi /u/ panjang pada kata Ashu>nu yang artinya menjaga. Pada kata ini terdapat wawu sukun yang

(24)

berasonansi bunyi /u/ panjang dan berasal dari kata yang maknanya menjaga atau melindungi (Munawwir, 2007: 805).

8.4 Analisis Bunyi /a/ panjang

Di dalam puisi“Dua Macam Waktu” baris ke-2 memanfaatkan bunyi /a/ panjang pada kata as-sama>i yang artinya langit. Pada kata ini terdapat mim alif yang berasonansi bunyi /a/ panjang dan berasal dari kata )

yang maknanya langit atau cakrawala (Munawwir, 2007: 664). 8.5 Analisis Bunyi /i/ panjang

Di dalam puisi [37] baris ke-2 memanfaatkan bunyi /i/ panjang pada kata Ibli>su yang artinya iblis. Pada kata ini terdapat ya‟sukun yang berasonansi bunyi /i/ panjang dan berasal dari kata yang maknanya iblis (Munawwir, 2007: 4).

B. PEMAKNAAN TEKS PUISI

Pemaknaan puisi adalah langkah-langkah untuk memaknai atau menguraikan makna-makna yang ada dalam sebuah puisi. Adapun pemaknaan puisi mencakup pada wacana puitik. Pada penelitian syair yang berjudul Pemaknaan puisi Imam asy-Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ ini akan menggunakan dua langkah yang dikemukakan oleh Riffaterre, yaitu: 1) ketidaklangsungan ekspresi atau wacana puitik, 2) pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif.

Analisis wacana puitik atau ketidaklangsungan ekspresi puisi, terdiri atas penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).

(25)

Penggantian arti pada bait-bait syair Arab juga menggunakan bahasa kiasan seperti metafora dan sinekdoke. Meskipun bermacam-macam, bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkan sesuatu dengan yang lain (Altenbernd dalam Pradopo, 2012: 62). Dalam bahasa Arab, penggantian arti identik dengan tasybih, isti‟arah, dan majaz. Adapun penjelasan ini dapat dilihat dalam diagram dibawah ini.

Tabel 3. Wacana Puitik

Tabel 4. Wacana Puitik Dalam Istilah Arab 1. Penggantian Arti

Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffatere, 1978: 2). Dalam penggantian ari ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya). Misalnya dalam sajak Chairil ini (1959: 19).

(26)

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa

Dam dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah...

Di hitam matamu kembang mawar dan melati: mawar dan melati adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain: sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi, dalam mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang menggairahkan dan murni seperti keindahan bunga mawar (yang merah) dan melati (putih) yang mekar. Metafora itu bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd, 1970: 15). Secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoke, dan metonimi itu biasa disebut saja sebagai dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berdeda dengan kiasan lain, mempunyai sifat sendiri (Pradopo, 1993: 212). Metafora itu melihat sesuatu dengan perantara hal atau benda lain.

Dari data yang dianalisis penulis terdapat puisi yang menggunakan gaya bahasa metafora yaitu pada puisi [28]. Adapun penggantian arti tersebut sebagai berikut:

(27)

Wa iyya>kal luju>ja wa man yura>i # bi anni qad ghalabtu wa man-yufa>khir

Dan hati-hati timbul keras kepala dari siapa yang berpendapat # bahwa diriku pemenang dan yang jaya (Bahjat, 1999: 60).

Pada penggalan puisi di atas terdapat uslub (gaya bahasa) yang mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Yaitu pada kata wa iyya>kal luju>ja “Dan hati-hati timbul keras kepala”. Kata iyya>ka „hati-hati‟ (Munawwir, 1997: 50). Kata luju>ja „keras kepala‟ (Al-„Ashri, 1996: 1545) diserupakan seperti orang yang sedang berdebat (menyampaikan argumen). Jadi yang dimaksud dengan hati-hati timbul keras kepala adalah para pendebat, sebagai isti‟arah tashrihiyyah (mushabbah bih-nya ditegaskan). Qarinah-nya adalah kata wa iyya>kal luju>ja.

Dari data yang dianalisis penulis terdapat dua puisi yang menggunakan gaya bahasa sinekdok yaitu pada puisi [28] dan puisi [30]. Adapun penggantian arti tersebut sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 60) Idza> ma> kunta dza> fadlin wa„ilmin

Jika kau ahli ilmu dan kemuliaan Bahjat, 1999: 64).

Pada penggalan puisi di atas terdapat uslub (gaya bahasa) yang mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Yaitu pada kata dza> fadlin wa„ilmin “ahli ilmu dan kemuliaan”. Kata ahli ilmu dan kemuliaan diserupakan seperti orang yang berilmu (ulama). Jadi yang dimaksud dengan ahli ilmu dan kemuliaaan adalah Profesor, Doktor, Dosen dan lain-lain, sebagai isti‟arah tashrihiyyah (mushabbah bih-nya ditegaskan). Qarinah-nya adalah kata fadlin dan„ilmin.

(28)

Dari data yang dianalisis penulis terdapat satu puisi yang menggunakan gaya bahasa sinekdok yaitu dalam puisi [30] terdapat penggantian arti. Adapun penggantian arti tersebut sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 61) Wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha>

Namun jiwa yang berada di dalamnya jika diukur sebagiannya (Bahjat, 1999: 61).

Pada penggalan puisi di atas terdapat gaya bahasa sinekdok yang mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Yaitu pada kata „jiwa‟ kata tersebut merupakan makna sebagian dari keseluruhan, kata jiwa dalam penjelasan ini mengandung arti manusia. Lalu mushabbah bih-nya (manusia) dibuang dan diisyaratkan oleh salah satu sifat khasnya, yaitu kata nafsun „jiwa‟ (Munawwir, 1997: 1446) sebagai isti‟arah makniyyah (isti‟arah yang musyabbah bih-nya dibuang). Qarinah-nya adalah menyandarkan isyarat kepada kemuliaan. Dalam puisi [30] terdapat majas perbandingan adapun penggantian arti tersebut sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 61)

Wain takunil ayya>mu azrat bibizzati> # fakam min khussa>min fi ghila>fin takatstsaran

Waktu yang merampas hidupku bagaikan # beberapa pedang di sarung pun sering terpatahkan (Bahjat, 1999: 61).

Pada penggalan puisi di atas terdapat perbandingan atau suatu yang dibandingkan. Perbandingan tersebut adalah pada kalimat “Waktu yang merampas hidupku” dengan kalimat ”pedang di sarung pun sering terpatahkan”. Pada bait ini disebut tasybih tamtsil karena wajhu syibhu-nya berupa gambaran yang

(29)

dirangkai dari keadaan beberapa hal yaitu kata „bagaikan‟ yang menggambarkan pedang di sarung sering digunakan untuk memotong. Musyabbah-nya „pakaian‟

dan musyabbah bih-nya berupa gambaran waktu yang bilamana tidak

dimanfaatkan dengan baik pasti akan terpotong olehnya. 2. Penyimpangan Arti

Penyimpangan arti menurut Riffaterre dalam Pradopo (1978:2) terjadi bila dalam sajak terdapat ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Ambiguitas dalam puisi kata-kata, frase dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Misalnya dalam “Sajak Putih” Chairil Anwar (1959: 19) bait ke-3 dan ke-4, baris-baris itu sesungguhnya ambigu: “Hidup dari hidupku, pintu terbuka atau Selama matamu bagiku menengadah”. Ini dapat ditafsirkan dengan arti ganda bahwa si aku akan selalu ada jalan keluar, ada harapan-harapan, atau kegairahan selama kekasihnya masih suka memandang dia, masih mencintainya, masih setia kepadanya, masih percaya kepadanya, masih menghendakinya, masih membutuhkan si aku.

Kontradiksi dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berfikir. Sedangkan nonsense adalah kata-kata yang tidak bermakna secara lingual. Analisis penyimpangan arti dipaparkan dalam penjelasan berikut ini.

Ambiguitas pada teks puisi Imam asy-Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ yang mana kata tersebut dapat memiliki makna kesepakatan yang disebut dengan milik, atau bermakna kesepakatan yang digunakan untuk menentukan pendapat. Kontradiksi

(30)

dalam kesusasteraan Arab dibahas dalam thi>baq dan muqa>balah. Adapun kontradiksi penyimpangan arti dalam puisi [28] sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 60) Al-awa>ilu wal-awa>khir

Awal dan akhir (Bahjat, 1999: 60).

Pada bait puisi [28] kata Al-awa>ilu wal-awa>khir yang makna aslinya awal dan akhir bisa ditafsirkan dahulu dan sekarang, ini merupakan thibaq ijab yaitu kata Al-awa>ilu wal-awa>khir. Dalam baris ini kedua kata tersebut menyinggung orang dahulu (sesepuh) yang memiliki ilmu dan orang masa kini (yang akan datang). Thi>baq ijab adalah thi>baq yang kedua katanya yang berlawanan itu tidak berbeda positif dan negatifnya (Al-Ja>rim, 2011: 403). Adapun penyimpangan arti dalam puisi “Dua Macam Waktu” sebagai berikut:

.(Ya‟qub, 2014: 154)

dza> amnun wa dza> khatharu # dza> shofrun wa dza> kadaru khawatir dan aman, keruh dan jernih (Ya‟qub, 2014: 154).

Pada baris pertama diatas terdapat kata dza> amnun wa dza> khotharu yang makna aslinya aman dan khawatir bisa juga ditafsirkan aman dan siaga, yang berbicara tentang waktu yang tak selamanya waktu itu aman dan tak selamanya waktu itu mengkhawatirkan. Pada baris kedua kata dza> shafrun wa dza> kadaru yang makna aslinya jernih dan keruh bisa juga ditafsirkan bersih dan kotor, yang menyangkut tentang kehidupan yang terkadang jernih dan terkadang keruh. Dalam baris ini, kedua ungkapan tersebut termasuk thibaq al-ijab. Thibaq al-ijab adalah thibaq yang kedua katanya saling berlawanan itu tidak berbeda sifat positif dan negatifnya (Al-Jarim, 2011: 403).

(31)

3. Penciptaan Arti

Menurut Riffaterre dalam Pradopo (1978: 2) terjadi penciptaan arti bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjembement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Dalam puisi sering terdapat keseimbangan (simitri) berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait .

Homologues (persamaan posisi) itu misalnya tampak dalam sajak pantu atau yang semacam pantun. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh perulangan bunyi dan paralellisme. Misalnya bait sajak Rendra ini dalam Pradopo (1978: 2).

Elang yang gugur tergeletak Elang yang tergugur terebah Satu harapku pada anak Ingatkan pulang pabila lelah

Dalam bait sajak itu ada persejajaran bentuk menimbulkan persejajaran arti: bahwa bagaimanapun hebatnya elang, sekali-kali ia gugur tergeletak dan terebah, begitu juga si anak akan lelah juga dan ingatlah akan pulang. Dengan kata lain, penciptaan arti akan nampak dalam tipografi puisi, homologue, repetisi, dan sajak atau rima.

Sajak dalam kesusasteraan Arab disebut dengan qa>fiyah. Qa>fiyah adalah huruf akhir bait syair Arab (Al-Hasyimiy, 1997: 108). Analisis penciptaan arti pada teks puisi Imam asy-Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ disajikan berdasarkan tema puisi

(32)

yang beragam, pada bagian puisi bertema etika debat, tidak terdapat pengulangan baris.

Dalam puisi “Dua Macam Waktu” pada baris tersebut terdapat homologue atau persamaan posisi, karena keduanya sama-sama menjelas waktu. Adapun kata waktu ada dua juga merupakan repetisi untuk menegaskan sesuatu yang diserupakan. Adapun penciptaan artinya sebagai berikut:

#

.

(Ya‟qub, 2014: 154)

Ad-dahru yauma>ni dza> amnun wa dza> khatharu wal „aysyu „aysya>ni dza> shafrun wa dza> kadaru

Waktu ada dua khawatir dan aman # kehidupan ada dua keruh dan jernih (Ya‟qub, 2014: 154).

Dalam puisi “Dua Macam Waktu” pada baris tersebut merupakan repitisi untuk memberikan efek penegasan makna yang ingin disampaikan penyair. Kata ad-dahru dan al-„aysyu termasuk ma‟rifat, kata yauma>ni dan „aysya>ni termasuk mutsanna, kata dza> +dza> sebagai washal, kata amnun dan khatharu dan juga shafrun dan kadaru termasuk nakirah. Dalam puisi ini waktu bisa diibaratkan seperti uang yang bernilai yang kadang membuat kita aman dan kadang membuat kita lalai, kehidupan bisa diibaratkan seperti jiwa yang kadang mengajak kita kebaikan dan kadang mengajak kita kemaksiatan.

Repetisi adalah gaya bahasa penegasan yang mengulang-ulang suatu kata, frase atau kalimat, baris atau bait (Atmazaki, 1993: 61). Adapun penciptaan arti dalam puisi [31] sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 62)

Fa a‟dadtu lil mautil ilaha wa „afwahu # wa a‟dadtu lil faqrit-tajalluda wash-shabra>

(33)

Untuk maut aku siapkan mohon ampunan # untuk miskin aku hadapi sabar dan tahan (Bahjat, 1999: 62).

Dalam puisi [31] pada baris tersebut merupakan repitisi untuk memberikan efek penegasan makna yang ingin disampaikan penyair. Kata fa a‟dadtu lil mauti dan wa a‟dadtu lil faqri yang makna aslinya untuk maut aku siapkan dan untuk miskin aku hadapi yang ditafsirkan bersiap-siap menghahapi kenyataan. Dalam bait ini tedapat kesejajaran baris yang diciptakan oleh penyair.

C.

PEMBACAAN HEURISTIK DAN HERMENEUTIK

Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama berdasarkan pada konvensi bahasa. Dalam pembacaan ini, karya sastra dibaca secara linier sesuai dengan struktur bahasa secara normatif. Sementara itu, pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran. Karya sastra dibaca berdasarkan konvensi sastra untuk mendapatkan makna kesusasteraannya (Pradopo, 2012: 295-296).

1. Pembacaan Heuristik

Pembacaan heuristik merupakan pembacaan karya sastra dengan melakukan telaah terhadap kata-kata yang terdapat di dalamnya, seperti halnya dalam menelaah kata-kata yang terdapat dalam sajak. Sajak dibaca berdasarkan konvensi bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat petama. Sajak dibaca linier menurut struktur normatif (Pradopo, 2012: 295-296).

Secara semiotik pembacaan heuristik merupakan pembacaan tingkat pertama berdasarkan konvensi bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa. Hal ini dikarenakan teks puisi Imam asy-Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ menggunakan bahasa

(34)

Arab, maka pembacaan heuristik ini melalui beberapa langkah, yaitu a) membaca sesuai dengan konvensi bahasa Arab, b) mentransliterasi teks Arab ke dalam bahasa tulisan latin dan c) melinierkannya dengan terjemahan bahasa Indonesia.

Dengan demikian dapat dikemukakan makna utuh dari puisi Imam asy-Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ tersebut. Pembacaan heuristik ini akan diuraikan berdasarkan pembagian sebagaimana yang terdapat dalam teks di bawah ini. Adapun pembacaan heuristik dalam puisi [28] sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 60)

Idza> ma> kunta dza> fadlin wa„ilmin # bima khtalafal awa>ilu wal awa>khir Fana>dhir man tuna>dhiru fi suku>nin # khali>man la talijju wala> tuka>bir Yufidu mas tafa>da bilam tinanin # minannukkatil lati>fati wan nawa>dir Wa iyya>kal luju>ja wa man yura>i # bi anni qad gholabtu wa man yufa>khir Fainnas syarra fi janaba>ti ha>dza> # famayyiz bit taqa>tu’i wat tada>bir Jika kamu menjadi seorang yang mulia dan berilmu

Dengan tidak ada perbedaan awal dan akhirnya Berdebatlah dengan tenang dan sabar

Jangan sombong dan jangan mendesak

Memberi manfaat apa-apa yang bermanfaat tanpa kekuatan Berupa ilmu yang lembut dan yang langka

Dan hati-hati berkeras kepala dari siapa yang berpendapat Bahwa diriku pemenang dan yang jaya

Maka sesungguhnya keburukan pada sisi-sisi ini

Dengan adanya perkelahian dan permusuhan (Bahjat, 1999: 60).

Dalam puisi [28] terdapat pada bait kedua yang berbunyi suku>nin # khali>man yang berarti sabar dan tenang, la talijju wala> tuka>bir yang berarti

(35)

jangan congkak dan jangan mendesak. Persamaan arti dalam tema puisi ini mengandung makna yang tersirat bahwasanya ketika berdebat seseorang harus bersikap tenang dan sabar dalam menghadapi perbedaan. Adapun pembacaan heuristik dalam puisi [30] sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 61)

„alayya tsiya>bun law tuba>‟u jami>‟uha # bifalsin laka>nal falsu minhunna aktsara>

Wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha> # nufu>sul wara> laka>nat ajalla wa akbara>

Wama> dhorran-nashlas-sayfi ikhla>qu ghimdihi # idza> ka>na „adhban khaytsu wajjahtahu fara>

Wain takunil ayya>mu azrat bibizzati> # fakam min khussa>min fi ghila>fin takatstsiran

Padaku pakaian bila dijual semuanya Dengan uang bahkan lebih hina dari uang

Namun didalamnya jiwa bila diukur dengan sebagian darinya Tubuh yang tersembunyi lebih agung dan lebih besar

Dan tidak ada bahaya jika pedang keluar dari sarungnya

Jika ia menebas sebagaimana kamu menghadapkannya kepada apa yang dibelah Dan jika hari-hari merampas pakaianku

Maka berapa banyak pedang di sarung sering terpatahkan (Bahjat, 1999: 61). Dalam puisi [30] terdapat pada bait kedua yang berbunyi wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha> # nufu>sul wara> laka>nat ajalla wa akbara> yang berarti namun tubuh yang berada di dalamnya lebih berharga dari manusia seluruhnya. Persamaan arti dalam tema puisi ini mengandung makna yang tersirat bahwasanya pakaian tidak menunjukan seseorang itu kaya ataupun miskin,

(36)

berakhlak mulia ataupun tercela tetapi hatilah yang menunjukan keberhargaan tersebut. Adapun pembacaan heuristik dalam puisi [31] sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 62)

Tadar-ra‟tu tsauban lilqanu>ni khashi>natan # ashu>nu biha> „irdhi> wa a‟aluha> dzuhra>

Walam akhdzarid-ahral khau>na fainnaha> # qusha>ra>hu an yarmi> biyalmauta wal faqra>

Fa a‟dadtu lil mautil ilaha wa „afwahu # wa a‟dadtu lil faqrit-tajalluda wash-shabra>

Aku ikatkan pakaian untuk qana‟ah agar kuat

Aku menjaga qana‟ah seperti pahala yang tersimpan

Aku tidak berhati-hati dengan waktu yang berkhianat maka sesungguhnya Memendekannya untuk melemparkanku kepada kematian dan kemiskinan Maka aku persiapkan untuk maut mohon ampunan

Dan aku siapkan untuk miskin dengan tahan dan sabar (Bahjat, 1999: 62).

Dalam puisi [31] terdapat pada bait kedua yang berbunyi qanu>’i wash-shabra> yang berarti qanaah dan sabar. Persamaan arti dalam tema puisi ini mengandung makna yang tersirat bahwasanya sikap qanaah akan membawa seseorang untuk menerima segala ujian atau cobaan yang menimpanya, sehingga seseorang tersebut menghadapinya dengan sabar. Adapun pembacaan heuristik dalam puisi “Dua Macam Waktu” sebagai berikut:

.(Ya‟qub, 2014: 154)

Ad-dahru yauma>ni dza> amnun wa dza> khatharu # wal „aysyu „aysya>ni dza> shafrun wa dza> kadaru

(37)

Wa fis-sama>i nuju>mun la „ida>da laha> # wa laysa yuksafu illasy-syamsu wal qamaru

Waktu ada dua aman dan khawatir

Dan kehidupan ada dua jernih dan keruh

Apakah kamu melihat muncul di atasnya bangkai Namun di dalam tersimpan mutiara

Di langit bintang-bintang tidak terhitung

Dan tidak tertutupi kecuali mentari dan rembulan (Ya‟qub, 2014: 154).

Dalam puisi “Dua Macam Waktu” terdapat pada bait pertama yang berbunyi ad-dahru yauma>ni dza> amnun wa dza> khatharu # wal „aysyu „aysya>ni dza> shafrun wa dza> kadaru yang artinya waktu ada dua, khawatir dan aman keruh dan jernih ada di kehidupan, dalam bait ini menjelaskan tentang waktu yang terkadang aman dan kadang kawatir, kadang menghantui dan kadang menyenagkan. Adapun pembacaan heuristik dalam puisi [37] sebagai berikut:

.

(Bahjat, 1999: 68)

Inni> buli>tu bi arba‟in yarmi>nini # bin-nabli „an qousin lahunna dzori>ru Ibli>su wad-dunya wa nafs>i wal hawa> # anna yafirru „anil hawa> nihri>ru

Sesungguhnya aku diuji dengan empat hal yang selalu menderaku Dengan anak panah yang berbahaya

Mereka adalah iblis, dunia, nafsu dan hawa

Bahwasanya hawa hafsu sangat cerdas dan tidak mau lari (Bahjat, 1999: 68). Dalam puisi [37] terdapat pada bait kedua yang berbunyi Ibli>su wad-dunya wa nafs>i wal hawa yang berarti iblis dan dunia, hawa serta nafsu, sebagian besar empat macam ini selalu menghantui diri kita terutama hawa serta nafsu, berupa keinginan yang tak terkendali dan harus kita kendalikan.

(38)

2. Pembacaan Hermeneutik

Dalam pemaknaan puisi dari sistem semiotik terdapat dua pembacaan, pertama pembacaan heuristik, kedua pembacaan hermeneutik, secara singkat heuristik adalah pembacaan dari luar dan hermeneutik adalah pembacaan dari dalam. Menurut Pradopo (2012: 297) Pembacaan hermeneutik merupakan sistem semiotik tingkat kedua dengan membaca keseluruhan teks dengan memberikan makna sesuai dengan konvensi sastra, bahwa “Pembacaan retroaktif dan hermeneutik itu berdasarkan konvensi sastra, yaitu puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung”.

Dalam penelitian ini, pembacaan hermeneutik dimulai dengan pembacaan tema puisi dan seterusnya dilanjutkan dengan pembacaan terhadap lima bagian puisi berdasarkan jeda dalam teks puisi Imam asy-Syafi‟i berqa>fiyah ra‟.

Dalam puisi [28] kata Idza> ma> kunta dza> fadlin wa„ilmin # bima khtalafal awa>ilu wal awa>khir yang berarti jika kamu seorang ahli ilmu dan kemuliaan milik orang terdahulu dan kemudian yang dimaksud adalah Nabiyullah Rasulullah Saw akhirul anbiya‟ akhir para Nabi yang tengah berkhutbah di hadapan para sahabat; “Wahai manusia sekalian, Allah Saw telah mewajibkan haji pada kalian,” Namun tiba-tiba seorang pendengar menyergah: Adakah kewajiban itu setiap tahun, wahai Rasulullah Saw?.

Dalam bait kedua [28] kata fana>dhir man tuna>dhiru fi suku>nin # khali>man la talijju wala> tuka>bir yang berarti berdebatlah dan seseorang yang didebati. Dalam kesempatan ini beliau tidak menjawab, sehingga lelaki itu mengulangi pertanyaan sampai tiga kali. Kemudian beliau berkata: “Seandainya aku katakan ya, tentu akan wajib (setiap tahun). Namun laksanakanlah sekuat kemampuan

(39)

kalian, kemudian tinggalkanlah aku (jangan banyak bertanya) mengenai apapun yang aku tidak jelaskan kepada kalian. Sesunguhnya umat sebelum kalian telah banyak binasa karena banyak pertanyaan mendebat para Nabi mereka. Akan lebih baik jika aku menyuruh kalian untuk mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah sekuat kemampuan kalian. Apabila aku melarang kalian mengenai sesuatu maka segeralah kalian meninggalkannya.

Dalam puisi [30] bait pertama kata alayya tsiya>bun law tuba>‟u jami>‟uha # bifalsin laka>nal falsu minhunna aktsara> yang berarti bila pakaianku dijual semua dari uang perak bahkan lebih hina. Abu al-Fadhal Nashr bin Abi Nashr at-Thusiy mengatakan: aku pernah mendengar Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Qashri mengatakan: Sebagian guruku mengatakan kepadaku: Tatkala asy-Syafi‟i di kota Samara, ia mengenakan pakaian buruk dengan rambut kusut yang tergerai.

Dalam bait kedua [30] kata wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha> # nufu>sul wara> laka>nat ajalla wa akbara> yang berarti namun tubuh yang berada di dalamnya lebih berharga dari manusia seluruhnya. Pada bait ini Kemudian beliau memasuki kedai bermaksud mencukurkan rambutnya. Maka si tukang cukur ketika melihat asy-Syafi‟i, ia segera mengatakan: “Hendaklah anda keluar mencari tukang cukur selain diriku.” Perilaku ini yang menjadikan asy-Syafi‟i tersinggung berat. Beliaupun segera memanggil bujangnya seraya menanyakan: “Masih berapa jumlah uang yang menjadi bekal kita?”. “Masih sepuluh dinar Tuan!” sahut si bujang. Singkat cerita asy-Syafi‟i segera menyuruh si bujang agar menyedekahkan kepada si tukang cukur tersebut.

(40)

Dalam bait ketiga [30] kata wama> dhorran-nashlas-sayfi ikhla>qu ghimdihi # idza> ka>na „adhban khaytsu wajjahtahu fara> yang berarti bagai pedang tajam yang rusak sarungnya dan apa yang ditebas tetap dibelahnya. Pada bait ini tampaknya as-Syafi‟i pada mulanya lebih besar memperhatikan kondisi hati, sehingga penampilan luarnya agak terabaikan, dengan bukti dalam syair diatas adanya pihak yang memandang beliau sebelah mata atas penampilannya. Ini dapat dikatakan wajar sebab pada lazimnya manusia hanya memandang secara lahiriyah, sedangkan tempat pandang Allah Swt yang lebih tahu segalanya.

Dalam puisi [31] kata tadar-ra‟tu sauban lilqanu>ni khashi>natan # ashu>nu biha> „irdhi> wa a‟aluha> dzuhra> yang berarti pada qana‟ah ku ikatkan pakaian, jaga martabat bak pahala tersimpan. Bait kedua kata walam akhdzarid-ahral khau>na fainnaha> # qusha>ra>hu an yarmi> biyalmauta wal faqra> yang berarti ku tak takut bencana yang berkhianat, kan berakhir dengan maut dan melarat. Bait ketiga kata fa a‟dadtu lil mautil ilaha wa „afwahu # wa a‟dadtu lil faqrit-tajalluda wash-shabra> yang berarti untuk maut aku siapkan mohon ampunan untuk miskin aku hadapi sabar dan tahan. Sikap sabar merupakan sebuah karakter yang sangat terpuji, bahkan lebih mulia dari pada menahan amarah, sebab menahan amarah itu hakikatnya merupakan refleksi dari berusaha bersabar. Pada permulaannya perilaku sabar sangat memerlukan usaha yang kuat, sehingga seseorang ketika telah membiasakan bersabar dalam jangka waktu tertentu, maka sikap itu bisa menjadi kebiasaan, hingga akhirnya sebuah amarah tidak lagi bergejolak. Inilah yang pada akhirnya akan menuntun kita pada kesempurnaan akal seseorang.

(41)

Dalam puisi “Dua Macam Waktu” kata ad-dahru yauma>ni dza> amnun wa dza> khatharu # wal „aysyu „aysya>ni dza> shafrun wa dza> kadaru yang berarti waktu ada dua, khawatir dan aman keruh dan jernih ada di kehidupan. Bait kedua kata ama tara>l bahra ta‟luu fauqahu jiyafun # wa tastaqirru bi aqsha qa>‟ihid-duraru yang berarti lihat laut, bangkai muncul di atasnya namun di dalam tersimpan mutiara. Pada bait ketiga kata wa fis-sama>i nuju>mun la „ida>da laha> # wa laysa yuksafu illasy-syamsu wal qamaru yang berarti di langit banyak bintang yang bertebaran yang gerhana hanya mentari dan rembulan. Allah telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaaan agar setiap orang beramal sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan-Nya, amal yang akan diperhitungkan oleh Allah nanti terutama berpangkal pada dua masalah, yaitu hawa serta nafsu. Dalam kaitannya dengan tema diatas yaitu adanya susah dan senang yang menyertai kehidupan, ibarat bangkai kapal yang di luarnya rusak parah namun di dalamnya tersimpan harta karun. Dalam kehidupan walaupun keduanya selalu menghantui pasti ada hikmah dibalik kedua hal tersebut.

Dalam puisi [37] kata inni> buli>tu bi arba‟in yarmi>nini # bin-nabli „an qausin lahunna dzari>ru yang berarti empat macam yang selalu mendera diriku, dengan panah yang merusakkan tubuhku. Paba bait kedua kata ibli>su wad-dunya wa nafs>i wal hawa> # anna yafirru „anil hawa> nihri>ru yang berarti iblis, dunia, hawa serta nafsu, sangat cerdas tak mau lari dariku. Telah jelas dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa terlepas dari empat musuh yang akan selalu mengajak berbuat apapun yang menyalahi garis-garis yang ditetapkan Allah. Terutama dipelopori oleh iblis yang telah berhasil menjungkalkan bapak manusia, yakni Nabi Adam ke dunia.

(42)

Sebagai contoh, ketika Nabi Adam di surga, Allah telah memberi nikmat yang melimpah ruah kepadanya. Dia hanya melarang Adam agar tidak mendekati sebuah pohon. Oleh Iblis, Adam ditipu mentah-mentah, larangan Allah itu malah dibaliknya dengan mengatakan bahwa memakan pohon itulah yang akan menyebabkan Adam kekal di surga. Adam ternyata menuruti kehendak Iblis dan akhirnya harus menuai celaka.

Gambar

Tabel 1. Kata-Kata yang Bersinonim
Tabel 3. Wacana Puitik

Referensi

Dokumen terkait

Puji Syukur kepada Tuhan yang telah memberkati Pembinaan Pelayanan Kepemimpinan Gereja secara khusus selama 2 (dua) kali dan pada hari ini, Minggu, 16 Oktober 2011 akan

Penyelidikan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meneroka dan mengenalpasti situasi sebenar yang terjadi dan inovasi dalam pelaksanaan pembelajaran dan pengajaran dalam

Uji coba untuk Jaringan Saraf Tiruan Multi Layer Perceptron akan dilakukan untuk mencari kombinasi yang paling optimal untuk lapisan masukan, mencari jumlah neuron

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah “Diduga terdapat perbedaan antara nilai intrinsik dengan harga pasar saham sebagai dasar

Maksud penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui pengaruh modifikasi tepung hanjeli metode Heat Moisture Treatment (HMT) pada variasi kadar air bahan dan

 Dari tujuh kelompok pengeluaran yang mengalami inflasi yaitu Kelompok Bahan Makanan sebesar 0,45 persen, Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau sebesar 0,48

Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita, yang berjanji tidak

Kehadiran/absensi menunjukkan bahwa disiplin kerja pegawai baik dari kehadiran jam masuk kantor maupun pada jam pulang kantor maupun disiplin dalam hal melaksanakan tugas