• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian Kerja Suami Istri dalam Keluarga

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 36-40)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.2 Kerangka Teori

2.2.2 Pembagian Kerja Suami Istri dalam Keluarga

2.2 KERANGKA TEORI 2.2.1 Keluarga

Keluarga menurut para ahli sosiologi mempunyai dua pengertian yaitu keluarga sebagai institusi sosial dan keluarga sebagai kelompok sosial (Leslie, 1967: 4), yaitu pertama, keluarga sebagai institusi sosial yaitu sistem norma sosial (masyarakat). Kunci dalam melihat keluarga sebagai institusi sosial adalah adanya sekumpulan norma yang mengatur individu-individu dalam berperilaku di masyarakat sehingga norma-norma yang berlaku dalam keluarga akan tercermin dalam masyarakat (Leslie, 1967: 5). Norma-norma yang ada senantiasa ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses pentransmisian ini dilakukan keluarga melalui sosialisasi. Sosialisasi ini merupakan fungsi utama dalam keluarga di dalam kedudukannya sebagai institusi sosial yang mendasar dalam masyarakat.

Kemudian yang kedua, Keluarga sebagai kelompok sosial yang merupakan himpunan atau kesatuan yang hidup bersama. Menurut Leslie, sebagai kelompok sosial, hubungan yang terjadi pada setiap anggota keluarga bersifat lebih emosional karena adanya ikatan batin. Hubungan tersebut menyangkut kaitan timbal balik yang saling memengaruhi dan juga kesadaran untuk saling menolong (Leslie, 1967: 21). Menurut Charles Horton Cooley keluarga sebagai kelompok sosial dapat diklasifikasikan menjadi kelompok sosial primer. Hal ini karena kuantitas keluarga adalah kecil dan hubungan yang terjadi antar anggota kelompok sifatnya terus menurut/langgeng, emosi atau spesifik dan saling ketergantungan, dan frekuensi tatap muka yang sering terjadi. Keluarga sebagai kelompok sosial primer merupakan tempat yang mempersiapkan setiap anggota keluarga untuk kehidupan sosial karena adanya norma-norma, nilai-nilai, dan simbol-simbol. Keluarga sebagai kelompok sosial primer memungkinkan setiap anggotanya untuk saling mengenal secara pribadi. Semakin lama mereka bersama-sama semakin sering serta mendalam kontak di antara mereka, karena itu pula kelompok sosial primer dikatakan berfungsi sebagai alat utama bagi pengendalian sosial (Leslie, 1967: 215).

23

Semakin berkembangnya industrialisasi membuat masyarakat semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan terutama di daerah perkotaan. Semakin ketatnya persaingan kerja yang terjadi membuat telah terjadinya sebuah perubahan di dalam peran keluarga. Peran istri yang bekerja di ranah industri tak jarang semakin dibutuhkan. Pandangan keluarga tradisional tidak lagi menjadi sebuah panutan oleh masyarakat. Hal ini telah dibuktikan dengan munculnya fenomena sosok suami yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk di rumah dan istri yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk bekerja. Hal ini pun terjadi karena menurut beberapa pakar sosiologi (Norton & Glick, 1977; John Peters, 1979; Scanzoni & Scanzoni, 1981) semakin kuatnya industrialisasi dapat memudarkan ideologi, kultur serta batas-batas kebangsaan suatu negara (Ihromi, 1990: 140).

Talcott Parsons juga melihat bahwa terdapat dampak positif industrialisasi di dalam keluarga terkait dengan perubahan beberapa fungsi di keluarga (Parsons, 1973: 15). Pandangan tradisional yang selama ini digunakan bersifat “a segregated conjugal role-relationship” atau hubungan peran konjugal yang tersegregasi, yaitu adanya pembagian tugas yang jelas antara suami dan istri khusunya dengan adanya pemisahan tugas laki-laki untuk suami dan perempuan untuk istri. Sehingga dengan semakin kuatnya industrialisasi dan semakin luasnya kesempatan kerja yang dimiliki oleh perempuan, maka pandangan tradisional secara perlahan pun mulai beralih menjadi “a joint conjugal role-relationship” (Bott, 1973: 218) atau hubungan peran konjugal bersama, dimana suami dan istri melakukan aktivitas rumah tangga bersama-sama dengan perbedaan tugas dan pemisahan kepentingan se-minimal mungkin. Hal tersebut yang kemudian membuat suami dan istri secara bersama menentukan apa yang harus mereka lakukan atau rencanakan secara bersama-sama.

Penelitian yang dilakukan oleh Pradewi tahun 1993 (Triwarmiyati, 2009), menyebutkan bahwa para suami yang memiliki istri yang bekerja dalam interaksi pertukaran akan memperhitungkan tindakan-tindakannya, terkait dengan posisi istri yang juga memiliki sumbangan yang sama seperti yang diberikannya. Sehingga posisi istri tidak lagi sebagai orang yang hanya menerima pelayanan kebutuhan-kebutuhan sepihak dari suami tetapi pelayanan tersebut juga diberikan oleh pihak

24

istri. Keterlibatan istri dalam yang juga bekerja di ranah industri memiliki tempat tersendiri dimana istri juga memiliki kontribusi dalam menghasilkan sumber daya ekonomi keluarga (Triwarmiyati. 2009: 4).

Salah satu model pendekatan dalam hubungan suami istri yang menghubungkan aspek-aspek psikologis, kebudayaan, dan sosial-ekonomis adalah dengan membuat pembedaan antara orientasi domestik dan orientasi publik yang dapat ditemukan dalam hampir seluruh masyarakat (Rosaldo & Lamphere, 1974: 18). Pembedaan antara aspek domestik dan publik memberikan suatu kerangka struktural yang penting untuk mengdentifikasi dimana pria dan wanita ditempatkan dalam kehidupan suatu masyarakat. Aspek domestik diartikan sebagai hal-hal yang meliputi kegiatan-kegiatan penyelenggaraan dalam unit keluarga yang terbatas, sedangkan aspek publik dapat pula di artikan hal-hal yang meliputi kegiatan politik dan ekonomi yang mempunyai pengaruh kuat pada satuan keluarga tersebut dan yang berhubungan dengan pengawasan pada anggota atau barang-barang yang dimiliki oleh keluarga tersebut (Rosaldo & Lamphere, 1974: 190). Pembedaan aspek domestik dan publik tersebut tidak dimaksudkan untuk menentukan stereotype secara budaya dalam menilai pria dan wanita, tetapi lebih menekankan dukungan terhadap identifikasi yang sangat umum dari wanita sebagai identik dengan kehidupan domestik dan pria dengan publik (Rosaldo & Lamphere, 1974: 24).

Scanzoni dan Scanzoni (Scanzoni & Scanzoni, 1981) juga menambahkan bahwa pembagian peran suami yang diharapkan ialah yang bersifat instrumental. Peran instrumental adalah peran yang berorientasi pada pekerjaan untuk mendapatkan nafkah. Sedangkan peran istri yang diharapkan ialah peran ekspresif, yaitu peran yang berorientasi pada emosi manusia serta hubungannya dengan orang lain. Namun dengan semakin banyaknya peluang pekerjaan untuk istri untuk mendapat pekerjaan di luar rumah kemudian mengubah pembagian peran dalam pola tradisional. Peran yang menyatakan bahwa suami dan istri dapat memenuhi kegiatan untuk mencari nafkah menunjukan bahwa suami dan istri memiliki hak yang sama dalam pengembangan karir. Perubahan norma peran istri yang terjadi seperti dalam penelitian Indra Lestari (Ihromi, 1990) ditemukan bahwa suami melakukan kerja

25

sama dalam pekerjaan rumah tangga cukup baik pada golongan ibu bekerja. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh suami adalah jenis pekerjaan yang relatif lebih berat, seperti: membersihkan pekarangan, kamar mandi, dan mobil. Peran lainnya yang dilakukan atas dasar tanggung jawab bersama suami istri adalah pendidikan dan bimbingan bagi anak-anak.

Namun kemudian, terdapat suatu teori sumber daya menurut Rodman (Eshleman, 2003 : 329) di dalam konteks kebudayaan, dimana alokasi kekuasaan dalam keluarga merupakan hasil interaksi dari 2 hal, yaitu:

1. Perbandingan sumber-sumber daya (resources) dari suami dan istri.

2. Norma-norma sosial yang berlaku dalam sub kebudayaan mengenai kekuasaan dalam keluarga (lembaga perkawinan).

Dengan kata lain, jika suatu kebudayaan menetapkan suami mempunyai kekuasaan yang lebih besar dalam perkawinan, maka norma ini dapat lebih memengaruhi kekuasaan dalam perkawinan daripada perbandingan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing suami istri tersebut. Di lain pihak, jika suatu kebudayaan mendukung pandangan yang sederajat (egaliter) dalam perkawinan, maka kekuasaan tidak begitu saja menjadi menjadi hak dari pria.

Menurut Ida Ruwaida Noor (Majalah Ummi, 2002), tipologi keluarga Indonesia dalam kaitannya dengan pembagian kerja rumah tangga ada tiga kelompok besar, yaitu,

1.Keluarga yang melakukan pembagian kerja secara baku atau tradisional. Keluarga tipe ini membagi tugas secara absolut dengan memberikan perempuan tugas melahirkan anak, mengasuh anak, dan mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki hanya khusus mencari nafkah.

2. Keluarga yang melakukan pembagian tugas dengan cair, tidak ketat. Prinsipnya, pembagian tugas dilakukan secara situasional atau kondisional. Misalnya, bukan menjadi masalah apabila laki-laki mengambil alih memasak dan perempuan mengurus keperluan mobil. Perempuan pun dapat memiliki pekerjaan dan mendapat gaji besar, serta di sisi lain laki-laki pun dapat melakukan pekerjaan rumah tangga.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 36-40)

Dokumen terkait