• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4.2 Pembagian Selulosa

Selulosa merupakan bagian penyusun utama jaringan tanaman berkayu. Bahan tersebut terdapat pada tanaman kertas, namun demikian pada dasamya selulosa terdapat pada setiap jenis tanaman, termasuk tanaman semusim, tanaman perdu dan tanaman rambat bahkan tumbuhan paling sederhana sekalipun. Seperti: jamur, ganggang dan lumut. Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu:

1. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat polimerisasi) 600-1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemumian selulosa.

2. Selulosa (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP 15 - 90, dapat mengendap bila dinetralkan.

3. Selulosa µ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa , tetapi DP nya kurang dari 15. Selain itu ada yang disebut Hemiselulosa dan Holoselulosa, yaitu:

a. Hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa, jika dihidrolisis akan menghasilkan D-manova, D-galaktosa, D-Xylosa, L-arabinosa dan asam uranat. b. Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas dan sari dan lignin, terdiri dari

(http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=18&mnorutisi=3).

2.4.3 α-Selulosa

Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (mumi). Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain (serat rayon).

Alfa selulosa adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat polimerisasi) 600 - 1500. Alfa selulosa dipakai sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa. Holoselulosa terdiri dari alfa selulosa, beta selulosa dan gamma selulosa. Alfa selulosa pada tanaman dapat dilihat berdasarkan ketidak larutannya pada NaOH 17,5% tapi akan diperoleh endapan ketika larutan diasamkan. Pada umumnya diketahui beta selulosa pada kayu tidak ada akan tetapi terbentuk dari pembentukan alfa selulosa selama proses pulping, gamma selulosa diketahui ada pada tanaman.

Alfa selulosa biasanya diperoleh dengan metode gravimetri dimana tidak larut dalam NaOH 17,5% dingin disaring dan ditimbang. Beta dan gamma selulosa juga dapat diperoleh dengan metode gravimetri tetapi keduanya sangat sulit diperoleh karena dalam bentuk gel. Alfa selulosa secara empiris merupakan fraksi molekul selulosa dengan beda berat molekul. Jika alfa selulosa diambil dari kayu yang memiliki persentase lignin yang tinggi maka harus dihilangkan dahulu. Prosedur umum untuk penentuan alfa selulosa pada awalnya dengan penentuan holoselulosa dengan metode klorin dan klorit kemudian holoselulosa ditambah alkali untuk menghilangkan hemiselulosa. Residu yang diperoleh dari hasil prosedur tersebut adalah alfa selulosa (Yusuf, 2004).

2.4.4 Selulosa dari Serat Alam

Selulosa yang dihasilkan langsung dari serat alam sangat berkembang pesat saat ini. Pasar industri akan menerima serat selulosa hasil ekstraksi dari alam dengan cepat

dikarenakan kebutuhan akan selulosa yang terus meningkat pada saat ini khususnya dalam industri kertas dan dalam pembuatan material komposit biodegradabel.

Proses pembentukan selulosa dari serat alam dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara enzimatik, dan dapat pula dikembangkan secara kimia. Secara kimia, selulosa dapat diektraksi dengan mencampurkan serat alam dengan suatu asam pada konsentrasi tertentu diikuti dengan proses pembuangan lignin. Proses selanjutnya adalah pemutihan tepung selulosa yang diperoleh dengan hipoklorit ataupun dengan peroksida (Sehaqui, 2010).

2.4.5 Metode Pemisahan Selulosa

Secara kimia, selulosa merupakan senyawa polisakarida yang terdapat banyak di alam. Bobot molekulnya tinggi, struktumya teratur berupa polimer yang linear terdiri dari unit ulangan -D-Glukopiranosa. Karakteristik selulosa antara lain muncul karena adanya struktur kristalin dan amorf serta pembentukan micro fibril dan fibril yang pada akhirnya menjadi serat selulosa. Sifat selulosa sebagai polimer tercermin dari bobot molekul rata-rata, polidispersitas dan konfigurasi rantainya. Dalam praktek, parameter yang banyak diukur adalah berupa derajat polimerisasi (DP) dan kekentalan (viscositas) yang juga merupakan tolok ukur kualitas selulosa.

Pemisahan selulosa dari tumbuhan dapat dilakukan dengan cara hidrolisis melalui prosedur HoloselulosaTappi Standard Tgm (Useful method 249, ASTM Standard D 1104 dan Sll) atau penentuan selulosa Cross dan Sevan dan selulosa Kursner. Bagian dari selulosa yang tahan dan tidak larut oleh larutan basa kuat disebut selulosa α (α -cellulose). Bagian yang terlarut tetapi dapat mengendap apabila ekstrak dinetralkan dikenal sebagai selulosa (Betha Cellulosa). Bagian yang tinggal dalam larutan walaupun sudah dinetralkan dikenal sebagai selulosa .

Kemurnian selulosa sering dinyatakan melaui parameter selulosa α. Biasanya semakin tinggi kadar selulosa α, maka semakin baik mutu bahannya. Selulosa dapat diesterkan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat, asam sulfat dan asam fosfat. Hasilnya berturut-turut adalah selulosa nitrat, selulosa sulfat dan selulosa fosfat. Secara niaga selulosa nitrat/NC adalah yang terpenting yang banyak digunakan untuk bahan dasar pembuatan bahan peledak atau propelan. Selulosa nitrat tersebut dibuat berdasarkan reaksi alkohol dan asam nitrat dengan katalis asam sulfat pekat terhadap selulosa yang sebelumnya dibuat menjadi selulosa alkali.

(http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=18&mnorutisi=3).

C = C CH

3

H

H

H

Polimer didefinisikan sebagai suatu molekul yang besar yang terdiri atas susunan ulang unit kimia yang kecil dan sederhana yang disebut monomer. Monomer polipropilena (CH2=CHCH3) diperoleh dari hasil samping pemurnian minyak bumi. Polipropilena (CH2 -CHCH3)n merupakan suatu jenis polimer termoplastik yang mempunyai sifat melunak dan meleleh jika dipanaskan (Billmeyer, 1971).

Polipropilena merupakan polimer hidrokarbon yang termasuk kedalam polimer termoplastik yang dapat diolah pada suhu tinggi. Struktur molekul propilena dapat dilihat pada Gambar 2.2. berikut:

Gambar 2.2. Struktur Propilena

Karena keteraturan ruang polimer ini, rantai dapat dikemas lebih terjejal sehingga menghasilkan plastik yang kuat dan tahan panas. Pada suhu ruang, beberapa sifat, seperti daya regang dan kekakuan, sama dengan sifat polietena bermassa jenis tinggi, tetapi sifat itu berubah pada suhu yang lebih tinggi. Sifat kelarutan poli(propena) sama dengan sifat kelarutan yang dimiliki poli(etena), yakni tak larut pada suhu ruang (Cowd, M.A., 1991).

Polipropilena merupakan jenis bahan baku plastik yang ringan, densitas 0,90-0,92, memiliki kekerasan dan kerapuhan yang paling tinggi dan bersifat kurang stabil terhadap panas dikarenakan adanya hidrogen tersier. Penggunaan bahan pengisi dan penguat memungkinkan polipropilena memiliki mutu kimia yang baik sebagai bahan polimer dan tahan terhadap pemecahan karena tekanan (stress-cracking) walaupun pada temperatur tinggi. Kerapuhan polipropilena di bawah 0oC dapat dihilangkan dengan penggunaan bahan pengisi (Gachter, 1990).

2.5.1. Struktur Polipropilena

Dalam struktur polimer atom-atom karbon terikat secara tetrahedral dengan sudut antara ikatan C-C 109,5oC dan membentuk rantai zigzag planar. Untuk polipropilena struktur zigzag planar tiga dimensi dapat terjadi dalam tiga cara yang berbeda-beda tergantung pada

C H H C C C C C C C H CH3 H H H H H CH3 H H CH3 H H CH3

posisi gugus metil satu sama lain. Ini menghasilkan struktur isotaktik, sindiotaktik atau ataktik. Ketiga struktur polipropilena tersebut pada pokoknya secara kimia berbeda satu sama lainnya. Pada polipropilena isotaktik semua gugus metil (CH3) terletak pada sisi yang sama dari rantai utama karbonnya, pada sindiotaktik gugus metil terletak arah berlawanan selang-seling, sedangkan yang ataktik gugus metilnya acak seperti gambar dibawah ini (Hartomo, A.J., 1995).

Polimerisasi propilena menjadi polipropilena berlangsung secara adisi dengan mekanisme radikal bebas dengan adanya katalis Ziegler-Natta. Katalis ini mampu

mengarahkan monomer ke orientasi spesifik sehingga menghasilkan polipropilrna isotaktik dengan derajat kristalinitas yang tinggi. Kristalinitas yang tinggi pada polipropilena mengakibatkan polimer ini mempunyai daya regang tinggi dan kaku.

Polimerisasi propilena secara radikal bebas umumnya akan menghasilkan polipropilena ataktik dengan derajat kristalinitas rendah dan cenderung amorf, hal ini disebabkan tingginya reaktifitas hidrogen alilik. Tahapan reaksi polimerisasi polipropilena meliputi tahap inisiasi, propagasi dan terminasi.

Berdasarkan struktur rantainya polipopilena terdapat tiga susunan gugus metil terhadap bidang utama rantai-rantai karbon, atau terdapat tiga isomer (taktisitas): 1. Isotaktik: Gugus-gugus metil berada pada sisi-sisi yang sama

2. Sindiotaktik: Gugus-gugus metil tertata secara berselang-seling pada sisi rantai 3. Ataktik: Gugus-gugus metil tertata secara acak pada rantai polipropilena

(Hans, 1977).

C H H C C C C C C C H CH3 H H H H CH3 H H H CH3 H H CH3 C H H C C C C C C C H CH3 H H H H H CH3 H H H CH3 CH3 H 2. Polipropilena Sindiotaktik 3. Polipropilena Ataktik

Gambar 2.3 Polipropilena (a) isotaktik, (b) sindiotaktik, (c) ataktik

2.5.2 Pembentukan Radikal Bebas Pada Bahan Polimer 2.5.2.1 Radikal Bebas pada polimerisasi

Pada radikal polimerisasi pusat aktif yang dipelajari adalah mengenai pembentukan radikal bebas. Berdasarkan keberadaan dan kehadiran dari elektron yang tidak berpasangan yang akan menghasilkan suatu radikal bebas yang akan mengakibatkan radikal tersebut dengan mudah bereaksi dengan monomer yang lain, yaitu mengikuti reaksi berikut ini:

R • + CH2 = CHX R – CH2– CHX ... (2.1) Salah satu cara pembentukan radikal pada bahan polimer adalah dengan metode inisiasi polimerisasi yaitu dalam hal ini radikal dihadirkan kedalam sistem dengan tanpa peningkatan nilai dari reaksi tesebut. Radikal tersebut akan masuk kedalam kedudukan bebas atau pada komponen yang terdekomposisi yaitu pada proses polimerisasi dari radikal bebas (suatu zat yang ditambahkan kedalam reaksi tersebut disebut dengan inisiator).

Dekomposisi dari suatu inisiator menjadi suatu radikal bebas menggunakan energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan formasi penyusunan aktivasi dari molekul monomer. Namun demikian, penambahan inisiator secara tajam akan meningkat pada tahap awal (formasi pusat aktif) dan karenanya akan mempengaruhi keseluruhan dari reaksi polimerisasi tersebut. Interaksi antara monomer dengan radikal bebas yang ada kepada sistem atau

dekomposisi dari inisiator tersebut adalah dengan suatu tahap awal yaitu membentuk rantai propagasi. Setelah itu, radikal bebas atau komposisinya secara keseluruhan masuk kedalam bahan polimer dan berinteraksi dengan cara polimerisasi.

Apabila radikal bebas dimasukkan misalnya kedalam suatu sistem, polimerisasi dimulai dengan propagasi dan melewati tahapan inisiasi. Polimerisasi pada komponen buatan akan terdekomposisi menjadi radikal bebas dibawah kondisi dari reaksi yang mengikuti tiga tahap reaksi, namun pada tahapan yang pertama (formasi pusat aktif) hanya akan

membutuhkan sedikit energi aktivasi.Proses ketiga tahap reaksi tersebut dijabarkan sebagai berikut (Strepikheyev, 1971). (R)2 βR• R• + A1 R – A1• R – A1• + A1 R – A2• PROPAGASI ………... R – Am-1 +A1 R - Am• R – Am R – An ( m ≤ n ) Terminasi

Dokumen terkait