• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Afektif pada

Medical Representative di Kota Medan

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan terdapat hubungan antara adversity quotient dengan komitmen afektif pada medical representative. Korelasi antara adversity quotient dengan komitmen afektif bersifat positif dengan nilai korelasi (r) sebesar 0.296 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi adversity quotient yang dimiliki oleh medical representative, maka semakin tinggi pula komitmen afektif yang dimilikinya terhadap perusahaan. Sebaliknya, semakin rendah adversity quotient yang dimiliki oleh medical representative, maka semakin rendah pula komitmen afektif yang

63

dimilikinya terhadap perusahaan. Namun, korelasi antara adversity quotient dengan komitmen afektif bersifat lemah.

Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan hubungan positif antara adversity quotient dengan komitmen afektif pada medical representative. Pertama, adversity quotient adalah kecerdasan untuk menghadapi dan mengatasi permasalahan dalam kehidupan. Stoltz (2000) menyatakan bahwa adversity quotient dapat memprediksi orang-orang yang akan menyerah dan yang tetap bertahan. Pada karyawan yang berprofesi sebagai medical representative, adversity quotient penting untuk dimiliki agar karyawan mampu bertahan dan menghadapi kesulitan dalam pekerjaannya (Lumintang & Kembaren, 2010). Ketika medical representative memiliki adversity quotient yang tinggi, maka karyawan mampu terlibat aktif untuk mengatasi masalah organisasi dan berkontribusi bagi organisasi.

Kedua, karyawan dengan AQ yang tinggi akan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dalam kehidupannya (Stoltz, 2000). Pada medical representative, karyawan dengan adversity quotient yang tinggi akan berjuang untuk meningkatkan penjualannya sehingga dapat memperoleh imbalan berupa insentif. Ketika karyawan mencapai target penjualan, maka tujuan perusahaan tercapai. Hal ini mewujudkan keselarasan antara tujuan perusahaan dengan tujuan pribadi. Keselarasan ini dapat membentuk kelekatan karyawan terhadap perusahaannya. Karyawan yang memiliki kelekatan terhadap perusahaan berarti memiliki komitmen afektif (Meyer & Allen, 1997).

64

Foosiri (2002) mendukung pernyataan di atas dimana ditemukan semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula komitmen afektifnya. Sejalan dengan hal ini, Paramanandam dan Shwetha (2013) menemukan karyawan dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi. Pada penelitian ini, ditemukan nilai rata-rata komitmen afektif dan adversity quotient lebih tinggi pada subjek penelitian yang mendapat insentif yang lebih pula (Rp.5.000.000,00 – Rp.10.000.000,00). Hal ini menunjukkan bahwa insentif mendorong medical representative untuk mencapai target dan mewujudkan keselarasan antara tujuan pribadi dengan tujuan perusahaan.

Ketiga, Meyer dan Allen (1997) menyebutkan bahwa penelitian- penelitian sebelumnya menunjukkan pengaruh usia terhadap komitmen afektif, dimana karyawan yang lebih tua dianggap mengalami pengalaman kerja yang lebih positif dibandingkan karyawan yang lebih muda. Hasil penelitian tambahan menunjukkan bahwa subjek penelitian yang berusia dewasa madya ditemukan memiliki nilai rata-rata komitmen afektif yang tergolong tinggi dibandingkan subjek penelitian yang lebih muda. Sejalan dengan hal ini, subjek penelitian yang berusia lebih tua (dewasa awal dan dewasa madya) ditemukan memiliki nilai rata-rata adversity quotient yang lebih tinggi dibandingkan subjek penelitian yang berusia lebih muda (remaja akhir). Shen (2014) mendukung hasil penelitian tambahan dimana adversity quotient dapat meningkat seiring bertambahnya usia karena adanya proses pembelajaran.

65

Keempat, semakin tinggi AQ karyawan maka semakin rendah tingkat stres kerja yang dialaminya (Shen, 2014). Karyawan dengan adversity quotient yang tinggi mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi, termasuk kesulitan selama bekerja. Kecerdasan dalam mengatasi permasalahan kerja menyebabkan rendahnya tingkat stres selama bekerja. Ketika stres dapat diminimalisir, maka perasaan kepemilikan dan kelekatan terhadap perusahaan meningkat (Orly, Court, & Petal, 2009). Kelekatan terhadap organisasi membentuk komitmen afektif karyawan.

2. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Berkelanjutan

pada Medical Representative di Kota Medan

Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada hubungan antara adversity quotient dengan komitmen berkelanjutan pada medical representative (r = - .013; p > 0.05). Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan tidak ditemukannya hubungan antara adversity quotient dengan komitmen berkelanjutan pada medical representative. Pertama, koefisien determinan (R²) yang diperoleh dari hubungan adversity quotient dengan komitmen berkelanjutan adalah 0,00017 (R² = 0,00017). Hal ini menunjukkan bahwa peranan adversity quotient terhadap komitmen berkelanjutan sangat kecil yaitu sebesar 0,017%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen berkelanjutan mencakup faktor investasi yang dirasakan dengan tetap bekerja pada perusahaan dan faktor alternatif pekerjaan yang tersedia (Meyer & Allen, 1997).

66

Kedua, Meyer dan Allen (1991) menyatakan bahwa komitmen berkelanjutan mengacu kepada kesadaran atas pertimbangan untung rugi apabila meninggalkan perusahaan, sehingga karyawan tetap berkomitmen karena mereka membutuhkan pekerjaan di perusahaan tersebut. Hal ini berarti karyawan dengan komitmen berkelanjutan memiliki pertimbangan untuk pindah ke perusahaan lain, namun karena keuntungan yang diterima di perusahaan tempat bekerja saat ini dirasakan lebih banyak, maka karyawan mempertahankan keanggotaannya di perusahaan tersebut. Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa karyawan dengan komitmen berkelanjutan yang tinggi tidak memiliki keinginan kuat untuk berkontribusi bagi perusahaan. Hal ini bertolak belakang dengan adversity quotient dimana karyawan yang memiliki adversity quotient yang tinggi akan termotivasi untuk berkontribusi bagi perusahaan (Stoltz, 2000).

Ketiga, Taing, Granger, Groff, Jackson, dan Johnson (2011) meneliti karyawan dengan komitmen berkelanjutan yang didasarkan pada pertukaran ekonomi yang menguntungkan, dan komitmen berkelanjutan yang didasarkan pada rendahnya alternatif pekerjaan yang tersedia. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa komitmen berkelanjutan karena pertukaran ekonomi berkorelasi dengan komitmen afektif dan komitmen normatif sehingga karyawan turut merasakan kelekatan emosional dan kewajiban moral pada perusahaan, sementara komitmen berkelanjutan karena rendahnya alternatif pekerjaan merasa terjebak dalam perusahaan. Selain itu, karyawan yang memiliki komitmen berkelanjutan karena pertukaran ekonomi menunjukkan

67

kinerja yang lebih baik dan lebih berusaha untuk meningkatkan pendapatan dibandingkan karyawan yang memiliki komitmen berkelanjutan karena rendahnya alternatif pekerjaan yang tersedia.

Pada penelitian ini, 70,3% subjek penelitian memiliki insentif < Rp.5.000.000,00 per bulan, dan 29,7% subjek penelitian memiliki insentif Rp.5.000.000,00 – Rp.10.000.000,00 per bulan. Selain itu, hasil tambahan menunjukkan nilai mean komitmen berkelanjutan lebih tinggi pada subjek penelitian dengan insentif < Rp.5.000.000,00 per bulan. Meskipun penelitian ini tidak menganalisa faktor komitmen berkelanjutan yaitu pertukaran ekonomi dan rendahnya alternatif pekerjaan yang tersedia, namun berdasarkan deskripsi subjek penelitian dan nilai mean komitmen berkelanjutan dapat diasumsikan bahwa subjek penelitian tidak memiliki komitmen berkelanjutan karena pertukaran ekonomi, melainkan rendahnya alternatif pekerjaan yang tersedia, sebab mayoritas subjek penelitian memiliki insentif yang lebih rendah dan perolehan nilai mean komitmen berkelanjutan lebih tinggi pada subjek penelitian dengan insentif yang lebih rendah.

Berdasarkan penelitian Taing, dkk., (2011), subjek penelitian ini kurang berusaha untuk meningkatan pendapatan. Hal ini berbeda dengan konsep adversity quotient, dimana karyawan yang memiliki adversity quotient yang lebih tinggi akan lebih termotivasi dan berusaha (Stoltz, 2000). Pada medical representative, karyawan dengan adversity quotient yang lebih tinggi akan terus berusaha mengatasi kesulitan bekerja untuk mencapai target perusahaan dan meningkatkan penjualan. Hal ini menyebabkan tidak

68

ditemukannya hubungan antara adversity quotient dan komitmen berkelanjutan pada medical representative.

Keempat, Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa pada beberapa karyawan, usia membuat karyawan semakin berpengalaman sehingga dapat menurunkan komitmen berkelanjutannya. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian tambahan bahwa nilai rata-rata komitmen berkelanjutan lebih tinggi pada subjek yang berusia remaja akhir (M = 26,50; SD = 2,00). Hal ini berarti semakin muda usia karyawan, semakin karyawan merasa tidak berpengalaman dalam pekerjaannya sehingga tidak mempertimbangkan untuk bersaing dan berkarir di perusahaan lain.

Berbeda dengan adversity quotient, Shen (2014) menemukan bahwa adversity quotient meningkat seiring bertambahnya usia karena adanya proses pembelajaran. Hasil penelitian tambahan mendukung pernyataan tersebut dimana subjek penelitian yang berusia lebih tua (dewasa awal dan dewasa madya) ditemukan memiliki nilai rata-rata adversity quotient yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang berusia lebih muda (remaja akhir). Hal ini menyebabkan tidak ditemukannya hubungan antara adversity quotient dengan komitmen berkelanjutan pada medical representative.

3. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Normatif pada

Medical Representative di Kota Medan

Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada hubungan antara adversity quotient dengan komitmen normatif pada medical representative (r = -.115; p

69

> 0.05). Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan tidak ditemukannya hubungan antara adversity quotient dengan komitmen normatif pada medical representative. Pertama, koefisien determinan (R²) yang diperoleh dari hubungan adversity quotient dengan komitmen normatif adalah 0,013 (R² = 0,013). Hal ini menunjukkan bahwa peranan adversity quotient sebagai faktor personal terhadap komitmen normatif sangat kecil yaitu sebesar 1,3%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Adapun faktor lain yang ditemukan berperan membentuk komitmen normatif karyawan adalah proses sosialisasi awal ketika karyawan bekerja di perusahaan (Meyer & Allen, 1997). Sosialisasi di awal masa kerja karyawan membantu karyawan menginternalisasi nilai-nilai perusahaan dan membentuk perasaan untuk mengabdi bagi perusahaan.

Kedua, Srivastava dan Tang (2015) menemukan bahwa perolehan komisi salesman berhubungan dengan komitmen normatif, namun tidak berhubungan dengan strategi dalam mengatasi stres kerja. Karyawan dengan pendapatan yang lebih tinggi akan puas terhadap pendapatannya dan bertahan dalam perusahaan, namun pendapatan tidak berhubungan dengan coping strategy karyawan. Hasil penelitian tersebut dapat menjelaskan tidak ditemukannya hubungan antara adversity quotient dengan komitmen normatif medical representative. Hasil tambahan menunjukkan bahwa nilai mean komitmen normatif lebih tinggi pada subjek penelitian dengan insentif yang lebih besar (Rp.5.000.000,00 – Rp.10.000.000,00). Namun, perolehan insentif yang lebih besar tidak berkaitan dengan coping strategy karyawan dalam

70

menghadapi stres kerja. Padahal, coping strategy berperan terhadap adversity quotient dimana adversity quotient ditemukan lebih tinggi pada individu dengan problem-focused coping daripada emotional-focused coping (Pranandari, 2008).

Ketiga, Lee (2006) menemukan bahwa komitmen normatif tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Berbeda dengan adversity quotient, semakin tinggi adversity quotient karyawan, maka karyawan akan terus termotivasi dan lebih berusaha sehingga menghasilkan kinerja yang lebih baik (Stoltz, 2000). Hal ini mendukung hasil penelitian yang menemukan bahwa tidak ada hubungan antara adversity quotient terhadap komitmen normatif medical representative.

Keempat, dalam penelitian ini ditemukan nilai rata-rata komitmen normatif lebih tinggi pada subjek penelitian yang berusia remaja akhir (M = 22,88; SD = 1,356). Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Foosiri (2002) yang menemukan bahwa komitmen normatif yang paling tinggi dimiliki oleh subjek penelitian yang lebih tua dibandingkan dengan subjek penelitian yang lebih muda. Sementara, adversity quotient meningkat seiring bertambahnya usia karena adanya proses pembelajaran (Shen, 2014). Hal ini menyebabkan belum ditemukannya hubungan antara adversity quotient terhadap komitmen normatif pada medical representative.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran-saran berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh. Bab ini diawali dengan mengemukakan kesimpulan hasil penelitian dan diakhiri dengan mengemukakan saran-saran yang mungkin dapat berguna bagi penelitian selanjutnya dengan tema serupa.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data dapat ditarik kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut:

1. Adversity quotient memiliki hubungan positif terhadap komitmen afektif pada medical representative di Kota Medan.

2. Adversity quotient tidak memiliki hubungan dengan komitmen berkelanjutan pada medical representative di Kota Medan.

3. Adversity quotient tidak memiliki hubungan dengan komitmen normatif pada medical representative di Kota Medan.

4. Subjek penelitian paling banyak berusia dewasa awal, berjenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan Strata 1 (S1), memiliki masa kerja 2-10 tahun, sudah menikah, dan memiliki insentif kurang dari Rp.5.000.000,00 setiap bulannya.

5. Subjek penelitian paling banyak berada pada kategori komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, komitmen normatif, dan adversity quotient yang sedang.

72

6. Rata-rata empirik lebih tinggi dari rata-rata hipotetik pada masing-masing variabel. Hal ini berarti tingkat komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, komitmen normatif dan adversity quotient subjek penelitian secara umum cenderung tinggi berdasarkan standar yang ditetapkan peneliti.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti memberikan saran agar penelitian ini dapat berguna bagi studi lanjutan mengenai adversity quotient dengan komitmen organisasi. Adapun saran-saran tersebut terdiri dari:

1. Saran Praktis

Pada penelitian ini, ditemukan bahwa komitmen afektif, komitmen berkelanjutan dan komitmen normatif medical representative tergolong sedang. Perusahaan diharapkan memperhatikan komitmen karyawan dengan memberikan hadiah atas kinerja karyawan, baik berupa dukungan atau pujian maupun material sehingga dapat meningkatkan komitmen karyawan. Penelitian ini juga menemukan bahwa adversity quotient medical representative tergolong sedang. Perusahaan diharapkan agar meningkatkan adversity quotient karyawan dengan memberikan pelatihan adversity quotient sebab kecerdasan ini dapat dipelajari.

2. Saran untuk Penelitian Selanjutnya

a. Penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan random sampling dan sampel yang lebih besar agar hasil penelitian dapat digeneralisasi kepada populasi yang lebih besar dan umum.

73

b. Penelitian selanjutnya diharapkan lebih mengawasi proses administrasi kuesioner yang dibagikan agar meminimalisir jumlah kuesioner yang tidak dapat dianalisa.

c. Hasil penelitan tambahan menunjukkan bahwa subjek penelitian yang berada pada rentang usia 41-50 tahun (dewasa madya) memiliki nilai rata-rata komitmen afektif yang tergolong tinggi. Penelitian selanjutnya diharapkan lebih berfokus kepada peranan usia terhadap komitmen afektif medical representative.

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KOMITMEN ORGANISASI

1. Definisi Komitmen Organisasi

Mowday, Porter, dan Steers (1982) menyatakan bahwa komitmen organisasi didefinisikan sebagai sebuah sikap yang mencerminkan loyalitas yang berkesinambungan pada karyawan terhadap organisasi dimana karyawan mengekspresikan perhatian mereka pada organisasi dan juga pada kesuksesan organisasi. Komitmen organisasional menurut William dan Hazer (dalam Lum, Kervin, Clark, Reid, & Sirola, 1998) didefinisikan sebagai identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana seseorang loyal terhadap organisasi dan memiliki tujuan pribadi yang selaras dengan tujuan organisasi.

Steers dan Porter (1987) mendefinisikan komitmen merupakan sikap seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya terhadap organisasi beserta nilai-nilai dan tujuannya serta keinginan untuk tetap menjadi anggota untuk mencapai tujuan. Becker (dalam Meyer & Allen, 1997) mendeskripsikan komitmen organisasi sebagai suatu tendensi atau kecenderungan untuk mengikatkan diri dalam garis dan aktivitas yang konsisten di dalam organisasi. Komitmen organisasi merupakan usaha mendefinisikan dan melibatkan diri dalam organisasi dan tidak ada keinginan untuk meninggalkannya (Robbins, 2006).

11

Meyer dan Allen (1991) menyatakan bahwa komitmen dapat muncul dalam bentuk yang berbeda-beda sehingga tiap-tiap individu dapat merasakan komitmen yang berbeda terhadap organisasi, pekerjaan, atasan, dan atau terhadap kelompok kerjanya. Model komitmen yang dimiliki individu dibagi ke dalam tiga komponen di mana ketiganya mempunyai pengaruh yang berbeda bagi perilaku individu terhadap organisasi dan pekerjaannya. Tiga komponen komitmen tersebut adalah:

1. Affective Commitment melibatkan kelekatan emosional karyawan pada organisasi, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan pada organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen afektif mempertahankan keanggotaannya di dalam perusahaan karena adanya keinginan untuk tetap bekerja pada perusahaan.

2. Continuance commitment melibatkan komitmen yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu apabila meninggalkan organisasi, misalnya pertimbangan akan kehilangan senioritas dalam promosi atau keuntungan-keuntungan lainnya. Karyawan yang memiliki komitmen berkelanjutan (continuance commitment) mempertahankan keanggotaannya di perusahaan karena adanya kebutuhan untuk tetap bekerja pada perusahaan.

3. Normative commitment melibatkan kewajiban dan tanggung jawab yang dirasakan karyawan untuk tetap bekerja dalam suatu organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen normatif mempertahankan keanggotaannya di

12

perusahaan karena adanya keharusan atau kewajiban untuk tetap bekerja pada perusahaan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi dapat muncul dalam komponen komitmen afektif, komitmen berkelanjutan dan komitmen normatif di mana karyawan dapat merasakan ketiganya dalam tingkatan yang berbeda-beda (Meyer & Allen, 1991).

2. Aspek Pengukuran Komitmen Organisasi

Menurut Meyer dan Allen (1991) komitmen organisasi adalah suatu kondisi psikologis yang mencakup:

1. Hubungan yang dimiliki karyawan terhadap organisasi, dan

2. Keputusan untuk mempertahankan atau melanjutkan keanggotaan di dalam organisasi.

Pengukuran komitmen organisasi dapat diukur dengan menggunakan Organizational Commitment Scale berdasarkan teori Meyer dan Allen (1991).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi diklasifikan menjadi tiga, yaitu karakteristik personal, karakteristik organisasi dan pengalaman selama bekerja. Berikut akan dijelaskan ketiga faktor yang memengaruhi komitmen organisasi.

1. Karakteristik personal, terdiri dari variabel-variabel individual yang dikelompokkan ke dalam variabel demografis dan variabel disposisi. Variabel demografis meliputi usia (Salami, 2008; Marchiori & Henkin,

13

2004; Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002; Suliman & Iles, 2000; Mathieu & Zajac, 1990), masa jabatan (Salami, 2008; Meyer dkk., 2002; Mathieu & Zajac, 1990), tingkat pendidikan (Salami, 2008) dan status pernikahan (Salami, 2008; Mathieu & Zajac, 1990). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, karyawan yang lebih tua ditemukan lebih berkomitmen dibandingkan dengan karyawan yang lebih muda. Karyawan yang sudah menikah lebih berkomitmen terhadap organisasi. Karyawan yang sudah lama bekerja juga ditemukan lebih berkomitmen dibandingkan dengan karyawan yang baru bekerja di perusahaan.

Selain variabel demografis, terdapat variabel disposisi yang meliputi atribut-atribut psikologis seperti afiliasi, otonomi dan work ethic (Meyer & Allen, 1991), motivasi berprestasi (Salami, 2008; Meyer & Allen, 1991), locus of control (Suman & Srivastava, 2010; Meyer dkk., 2002), trait kepribadian (Seniati, 2006; Silva, 2006; Morrison, 1997) dan kecerdasan emosional (Salami, 2008; Nikolaou & Tsaousis, 2002). Karyawan yang extraverted, conscientiousness dan yang emosinya stabil cenderung lebih berkomitmen terhadap perusahaan. Penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional dan motivasi berprestasi yang dimiliki karyawan, maka semakin tinggi pula komitmennya.

2. Karakteristik organisasi, yang di dalamnya mencakup pekerjaan dan organisasi itu sendiri, meliputi karakteristik pekerjaan (Suman & Srivastava, 2010), struktur organisasi (Suman & Srivastava, 2010),

14

tantangan (Dixon, Cunningham, Sagas, Turner, & Kent, 2005; Meyer & Allen, 1997), ekspektasi peran, ruang lingkup pekerjaan dan hubungan dengan supervisor (Meyer & Allen, 1997), perubahan organisasi (Lopopolo, 2002), sosialisasi dalam organisasi, nilai prososial di dalam organisasi dan prestige (dalam Nicholson, 2009).

3. Pengalaman selama bekerja, mencakup persepsi akan kebijakan yang adil (Chughtai & Zafar, 2006; Meyer & Allen, 1997; Konovsky & Cropanzano, 1991), dukungan yang dirasakan dari organisasi (Boehman, 2006; Allen, Shore, & Griffeth, 2003), keterlibatan kerja, persepsi akan pemberdayaan dan kesempatan untuk pelatihan (dalam Nicholson, 2009) dan kepuasan kerja (Salami, 2008; Chughtai & Zafar, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa semakin karyawan puas terhadap pekerjaannya, maka semakin tinggi pula komitmennya terhadap perusahaan.

B. ADVERSITY QUOTIENT

1. Definisi Adversity Quotient

Kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kesengsaraan atau kemalangan (Echols & Shadily, 1976). Adversity juga diartikan sebagai masalah (Oxford, 2003). Beberapa tahun belakangan ini, para ahli psikologi tertarik untuk mempelajari bagaimana orang-orang menghadapi masalah atau kemalangan, dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk menjadi lebih baik. Weihenmayer (dalam Weihenmayer & Stoltz, 2012) menyatakan bahwa masalah merupakan kunci untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan,

15

bisnis dan masyarakat. Namun, pada kenyataannya, mengatasi permasalahan sehari-hari memiliki tantangannya tersendiri. Untuk dapat menjawab bagaimana orang-orang mengatasi masalah di dalam kehidupannya, Stoltz mengembangkan teori tentang Adversity Quotient pada tahun 1997.

Adversity quotient terwujud dalam tiga bentuk (Stoltz, 2000). Pertama, AQ merupakan kerangka konseptual untuk memahami dan meningkatkan kesuksesan. Kedua, AQ mengukur bagaimana respon seseorang terhadap masalah. Ketiga, AQ adalah seperangkat alat yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan. Dalam lingkup pekerjaan, adversity quotient menentukan kesuksesan karyawan dalam perusahaan. Karyawan yang memiliki AQ yang lebih tinggi menunjukkan kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, dan daya tahan yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan lain dengan AQ yang lebih rendah (Stoltz, 2000).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa adversity quotient merupakan kecerdasan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi masalah, mengubah sikap terhadap masalah dan menemukan solusi sehingga masalah dapat dipecahkan.

2. Dimensi-dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2003) menyatakan empat dimensi dasar sebagai indikator pengukuran adversity quotient, yaitu CORE (Control, Ownership, Reach, & Endurance). Dimensi-dimensi CORE ini akan menentukan adversity quotient

16

individu secara menyeluruh. Berikut penjelasan empat dimensi adversity quotient tersebut:

1. Kendali/control (C); seberapa besar karyawan merasa mampu mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Stoltz (2003) menjelaskan bahwa dimensi Control mencakup:

a. Sejauh mana seseorang secara positif mampu mengubah situasi b. Sejauh mana seseorang memiliki kendali atas kesulitan yang

dihadapi.

Karyawan dengan skor control yang tinggi mempunyai tingkat kendali yang tinggi untuk bertahan terhadap kesulitan dan dapat menyelesaikannya dengan efektif. Individu dengan skor control yang sedang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendali dirinya, tergantung dari seberapa sulit masalah yang dihadapi. Pada awalnya, mungkin karyawan tidak mudah menyerah, namun sulit mempertahankan kendali apabila dihadapkan pada tantangan yang lebih berat lagi. Sedangkan karyawan yang memiliki tingkat control yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal ini, hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengantisipasi akibat dari kesulitan tersebut. Karyawan menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan dan menyerah kepada nasib.

Respon umum karyawan dengan skor rendah dalam dimensi ini

17

lakukan sama sekali”; “Yah, tidak ada gunanya membenturkan kepala ke

dinding”; “Anda tidak mungkin melawan mereka”. Sedangkan karyawan

dengan skor yang lebih tinggi, pada umumnya cenderung berpikir :

“Wow, ini sulit! Tapi, saya pernah menghadapi yang lebih sulit lagi”; “Pasti ada yang bisa saya lakukan”, “Saya tidak percaya saya tidak berdaya dalam situasi seperti ini, Selalu ada jalan”; “Siapa berani, akan menang; Saya harus mencari cara lain”.

Dokumen terkait