• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman sela atau tumpangsari dengan tanaman perkebunan atau hutan tanaman industri atau tumpangsari dengan tanaman pangan semusim lainnya menuntut tersedianya genotipe atau varietas baru kedelai yang mampu beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah akibat faktor naungan. Padahal tanaman kedelai termasuk kelompok tanaman yang memerlukan intensitas cahaya penuh untuk proses pertumbuhan dan perkembangannya (McNellis dan Deng 1995). Oleh karena itu, diperlukan usaha ke arah perbaikan adaptasi atau pembentukan varietas baru kedelai yang mampu beradaptasi terhadap intensitas cahaya rendah. Keberhasilan usaha tersebut sangat ditentukan pemahaman yang komprehensif tentang mekanisme adaptasi. Pada penelitian ini dikaji aspek fisiologi, genetika dan molekuler adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.

Kemampuan tanaman kedelai untuk beradaptasi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah dilakukan melalui mekanisme penghindaran (avoidance) dan mekanisme toleransi (tolerance) (Levitt 1980). Mekanisme penghindaran dilakukan tanaman melalui perubahan atau adaptasi pada tingkat anatomi dan morfologi terutama organ daun untuk efisiensi penangkapan cahaya. Mekanisme toleransi dilakukan tanaman melalui penggunaan cahaya yang efisien melalui perubahan pada level biokimia dan fisiologi termasuk perubahan kandungan pigmen kloroplas seperti klorofil, laju transport elektron, laju fotosintesis, dan lain-lain (Levitt 1980; Evans dan Poorter 2001).

Dari aspek morfo-fisiologi daun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan beradaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah terjadi melalui peningkatan luas daun, penurunan tebal daun (bobot daun spesifik), dan peningkatan kandungan klorofil terutama klorofil b.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe toleran Ceneng yang ditanam pada kondisi naungan 50% baik dalam waktu singkat (perlakuan lima hari di bawah paranet 50%, Percobaan 1) maupun jangka panjang (penanaman sampai panen di bawah paranet 50%, Percobaan 2) mampu melakukan perubahan

(adjustment) anatomi dan morfologi daun yang lebih cepat sehingga membentuk daun yang lebih luas dan bobot daun spesifik atau tebal daun yang lebih tipis dibanding genotipe peka Godek. Hal ini mengindikasikan bahwa genotipe toleran memiliki kemampuan merespon signal defisit cahaya lebih baik dari pada genotipe peka. Kemampuan tersebut dimungkinkan karena genotipe toleran Ceneng memiliki gen-gen tertentu yang berfungsi meregulasi sistem atau perubahan pada level biokimia, fisiologi, anatomi sampai morfologi.

Hasil analisis ekspresi gen pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat ekspresi gen phyB dan gen ATHB-2 yang cukup kuat pada genotipe toleran Ceneng pada kondisi intensitas cahaya rendah (5 hari naungan dan 5 hari gelap) dibanding pada genotipe peka Godek. Fenomena ekspresi gen phyB pada penelitian ini menarik karena mengindikasikan terjadinya perubahan kualitas cahaya di bawah paranet. Padahal hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan tidak terjadi perubahan kualitas cahaya di bawah paranet. Beberapa hal yang diduga dapat merubah kualitas cahaya yang diterima tanaman adalah karena adanya posisi daun yang saling menutupi dengan daun tanaman tetangga pada masing-masing polibag. Sebagaimana yang dilaporkan Vandenbussche et al. (2005), peran kerja fitokrom B (phyB) sebagai fotoreseptor aktif diinduksi oleh kualitas cahaya yaitu rasio R:FR rendah akibat naungan daun atau kanopi tetangga.

Ekspresi gen phyB dan gen ATHB-2 pada penelitian ini memberikan bukti bahwa fitokrom B (PHYB) merupakan fotoreseptor yang berperan kunci pada kemampuan kedelai untuk beradaptasi pada cekaman intensitas cahaya rendah. Menurut Gyula (2003) dan Quail (2002), phyB meregulasi transkripsi gen-gen yang memiliki G-box terkait cahaya (light-responsive G-box) dengan cara berinteraksi langsung dengan phytochrome interacting factor (PIF) atau PIF-like (PIL) protein, seperti gen ATHB-2, dan selanjutnya gen ATHB-2 menstimulasi respon shade avoidance pada tanaman. Hasil penelitian pada tanaman Arabidopsis sp menunjukkan bahwa fungsi phyB terkait dengan mekanisme adapatasi terhadap kondisi naungan (McNellis dan Deng 1995; Howell 1998).

Sistem kerja phyB juga dapat memicu biosintesis gibberellin sehingga meningkatkan kandungan gibberellin pada daun yang dapat mempercepat

pembesaran dan pembelahan sel pada daun sehingga daun menjadi lebih luas (Taiz dan Zeiger 2002; Bultynck dan Lambers 2004). Menurut Morelli dan Ruberti (2002) pada kondisi naungan, biosintesis asam gibberellin dan auksin menjadi meningkat terkait dengan regulasi sistem fitokrom dan ATHB.

Peran gen phyB dan ATHB2 di dalam perubahan morfologi dan anatomi daun pada kondisi cahaya rendah telah dilaporkan sebelumnya. Selain gen phyB, ATHB2, juga gen ANGUSTIFOLIA dan ROTUNDIFOLIA3 (Tsuge et al. 1996; Ballare 1999; Franklin et al. 2003; Devlin et al. 2003; Vandenbussche et al. 2005;). Dilaporkan bahwa pada kondisi naungan gen phyB akan menginduksi kerja gen ATHB2 untuk bersama-sama memicu perubahan morfologi dan anatomi daun menjadi lebih lebar dan lebih tipis sehingga lebih banyak menangkap cahaya dan mengurangi refleksi cahaya. Gen ANGUSTIFOLIA dan gen ROTUNDIFOLIA3 menurut Tsuge et al. (1996); Steindler et al. (1999) masing-masing berfungsi meregulasi perluasan sel pada sisi lebar daun dan pada sisi panjang daun.

Daun yang lebih luas dan lebih tipis pada genotipe toleran Ceneng memungkinkan jumlah cahaya yang dapat ditangkap menjadi lebih banyak karena bidang tangkapan yang lebih luas. Akibat menipisnya daun, distribusi kloroplas menjadi lebih merata sehingga kandungan klorofil terutama klorofil b (pigmen antena) menjadi meningkat. Dengan demikian, jumlah cahaya yang intersep dengan bidang permukaan daun menjadi lebih banyak, jumlah cahaya yang diteruskan ke kompleks protein semakin banyak, dan jumlah cahaya yang dilewatkan atau ditransmisi menjadi lebih sedikit. Hal ini menyebabkan genotipe Ceneng dan Pangrango memiliki kemampuan beradaptasi lebih tinggi dibanding genotipe Godek. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan beberapa peneliti sebelumnya (Lestari 2005; Tyas 2006; Sopandie et al. 2006; Muhuria 2007).

Peningkatan luas daun dan berkurangnya tebal daun pada genotipe Ceneng karena adanya pengurangan lapisan palisade pada sel mesofil daun (Horton 2000; Khumaida 2002; Kim et al. 2005; Muhuria 2007). Perubahan morfologi dan anatomi ini merupakan bentuk mekanisme penghindaran (avoidance) tanaman kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah sehingga memungkinkan

terjadinya efisiensi penangkapan cahaya (light captured efficiency), yaitu dapat menangkap cahaya lebih banyak dan diteruskan ke bagian daun yang lebih bawah dengan cepat sehingga kegiatan fotosintesis berlangsung maksimal (Levitt 1980; Hale dan Orchut 1987; Evans dan Poorter 2001). Bentuk mekanisme melalui daun yang lebih lebar dan lebih tipis juga terjadi pada tanaman padi gogo (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a, 2003b).

Peningkatan luas daun dan penurunan tebal daun diikuti dengan peningkatan kandungan klorofil daun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe toleran Ceneng memiliki kandungan klorofil (klorofil a, b, total) terutama klorofil b yang lebih tinggi dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dibanding genotipe peka Godek pada kondisi naungan 50%. Hal ini terkait dengan tingginya ekspresi gen CAB-3 yang mengkode protein kompleks yang mengikat klorofil a/b (CAB) atau protein komplek pemanen cahaya di dalam PSII pada kondisi 5 hari naungan. Peningkatan transkrip RNA gen CAB-3 pada genotipe toleran pada kondisi naungan berarti peningkatan protein enzim chlorophyll a/b binding protein (CAB) yang berarti pula pigmen pemanen cahaya terutama klorofil b juga meningkat. Kandungan klorofil b yang lebih besar dibanding klorofil a pada kondisi naungan pada genotipe toleran Ceneng menyebabkan rasio klorofil a/b menjadi rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan peneliti sebelumnya (Khumaida 2002; Lestari 2005; Tyas 2006; Jufri 2006; Sopandie et al. 2006; Muhuria 2007).

Tingginya kandungan klorofil pada genotipe toleran Ceneng dan Pangrango pada kondisi intensitas cahaya rendah terjadi karena kloroplas bergerak ke permukaan luar daun secara merata, akumulasi pada kedua sisi dinding sel, untuk memaksimalkan penyerapan cahaya. Menurut Salisbury dan Ross (1992); Park et al. (1996), intensitas cahaya rendah menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta grana.

Peningkatan kandungan klorofil ini merupakan salah satu bentuk mekanisme toleransi yang digunakan genotipe toleran (Ceneng) untuk beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Peningkatan kandungan klorofil ini memungkinkan tanaman melakukan panenan cahaya lebih banyak pada kondisi cahaya rendah karena memiliki ukuran antena (antena size) yang lebih besar.

Semakin banyak energi cahaya yang ditangkap klorofil b, semakin banyak yang diteruskan ke kompleks protein utama pusat reaksi (PSII dan PSI) melalui klorofil a sehingga terjadi perubahan status redoks, dan pada gilirannya laju transport elektron, laju fotosintesis, dan aktivitas enzim fotosintesis semakin meningkat. Sebagaimana yang dilaporkan Muhuria (2007) laju transport elektron, laju fotosintesis, dan aktivitas enzim fotosintesis pada genotipe toleran Ceneng lebih tinggi dibanding genotipe peka Godek.

Salah satu kandidat gen yang terkait dengan laju transport elektron dan telah berhasil diisolasi dari genotipe toleran Ceneng adalah cDNA JJ3 (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2005). Sekuen lengkap cDNA tersebut setelah dilakukan karakterisasi pada Percobaan 3 menunjukkan bahwa JJ3 homolog dengan gen psaD yang mengkode protein PsaD PSI subunit yang berperan penting dalam pengaturan efisiensi transport elektron yang diinduksi cahaya rendah. Saat ini gen JJ3 telah terdaftar di public database di GenBank dengan nomor aksesi EF628505. Hasil analisis ekspresi cDNA JJ3 pada penelitian ini menunjukkan cDNA JJ3 terekspresi cukup kuat pada genotipe toleran Ceneng pada kondisi intensitas cahaya rendah. Fenomena ini semakin memperkuat dugaan bahwa kemampuan adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah dari kedelai toleran Ceneng, salah satunya adalah karena peran JJ3 dalam efisiensi transpor elektron pada PSI yang diinduksi intensitas cahaya rendah.

cDNA JJ3 homolog dengan gen psaD PSI subunit. Tingginya tingkat homologi ini mengindikasikan bahwa mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berhubungan erat dengan efisiensi proses transport elektron pada pusat reaksi yang terjadi di dalam membran tilakoid. Dengan kata lain, keberadaan JJ3 pada genotipe toleran Ceneng akan meningkatkan laju transpor elektron fotosintetik sehingga dalam kondisi kurang cahaya pun fiksasi energi dari fotosintesis berjalan dengan normal. Hal ini dibuktikan pada uji ekspresi JJ3 pada tanaman kedelai toleran naungan Ceneng dalam berbagai kondisi intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cDNA JJ3 masih terekspresi dengan semakin menurunnya intensitas cahaya. Ini mengindikasikan bahwa pada genotipe toleran Ceneng, proses transport elektron pada kondisi intensitas cahaya rendah masih berjalan

normal dan berimplikasi fotosintesis juga berjalan normal. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Muhuria (2007) bahwa pada kondisi naungan 50% laju transport elektron dan laju fotosintesis pada genotipe toleran Ceneng lebih tinggi dibanding genotipe peka Godek. Transport elektron dan laju fotosintesis yang lebih tinggi pada pada genotipe toleran juga dimungkinkan karena memiliki struktur dan volume kloroplas yang lebih berkembang dengan tilakoid dan grana yang lebih banyak (Khumaida 2002; Tyas 2006).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh gen-gen yang dianalisis (JJ3, CAB-3, phyB, dan ATHB-2) merupakan gen fungsional yang dapat mengendalikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Ekspresi gen-gen tersebut dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme adaptasi. Pada tingkat DNA genom, gen-gen tersebut berpotensi untuk dijadikan sebagai penanda genetik dalam seleksi (MAS) adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui pengembangan SCAR marker (sequence characterized amplified region) atau CAPS marker (cleavage amplified polymorphic sequence) (Sobir, komunikasi pribadi). Teknik SCAR marker dilakukan dengan mendisain primer spesifik pada daerah yang berbeda (unconserved region) sehingga akan terekspresi pada genotipe toleran sedangkan pada genotipe peka tidak terekspresi. Teknik CAPS marker dimungkinkan adanya pemotongan DNA yang berbeda oleh enzim restriksi sehingga membentuk polimorfism yang dapat membedakan genotipe toleran dan peka.

Karakter morfologi dan fisiologi daun tersebut memungkinkan untuk dapat dijadikan sebagai marka adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Karakter morfologi daun yang berpotensi menjadi kriteria seleksi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah adalah karakter luas daun. Hasil penelitian ini menunjukkan luas daun memiliki koefesien korelasi yang tinggi dengan hasil, nilai duga heritabilitas arti luas yang tergolong tinggi dengan tipe aksi aditif. Menurut Nyquist (1991) apabila suatu karakter memiliki nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi dengan tipe aksi gen aditif maka karakter tersebut memiliki nilai heritabilitas arti sempit yang tinggi. Dengan demikian selain karakter hasil per tanaman, karakter luas daun dapat dijadikan sebagai penciri adaptasi sekaligus

sebagai kriteria seleksi dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa karakter fisiologi daun seperti kandungan klorofil (klorofil a, b dan total) memiliki nilai koefesien korelasi dengan hasil yang tinggi, nilai heritabilitas arti luas yang tinggi, dikendalikan oleh dua gen mayor dengan tipe aksi gen duplikat dominan epistasis (isoepistasis).

Nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi pada karakter kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b mengindikasikan bahwa pewarisan karakter tersebut ditentukan oleh ragam genetik yang besar dengan sedikit pengaruh ragam lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan Muhuria (2007). Dalam hal ini ragam genetik merupakan ragam genetik total yang mencakup ragam dominan (σ2

D), ragam aditif (σ2

A), dan ragam epistasis (σ2I) (Fehr 1987; Roy 2000). Kasus pada karakter fisiologi daun ini menarik karena yang selama ini telah banyak dipublikasikan merupakan karakter yang dianggap baik untuk dijadikan kriteria seleksi ternyata sebaliknya tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi karena pengaruh ragam epistasis. Oleh karena itu untuk menghindari nilai bias dari heritabilitas arti luas harus disertai dengan analisis tindak gennya.

Informasi genetik karakter fisiologi yang diperoleh pada penelitian ini mencerminkan sekurang-kurangnya dua gen dominan yang meregulasi karakter kandungan klorofil tersebut. Gen-gen mayor tersebut yang terlibat dalam mekanisme toleransi perlu dilanjutkan pada level molekuler untuk melihat pola ekspresi gen-gen tersebut. Selain untuk mempelajari mekanisme adaptasi dari aspek molekuler, analisis ekspresi gen-gen fotosintetik atau non fotosintetik yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah tersebut penting dilakukan untuk mengetahui apakah gen-gen pengendali tersebut dapat dijadikan sebagai marka adaptasi atau tidak.

BAB VIII

Dokumen terkait