• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fotosintesis pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah

Photosynthetically Active Radiation (PAR) dan Fotosintesis

Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan di atas bumi ini, karena semua mahluk hidup seperti tumbuhan, hewan, bakteri, ganggang, langsung atau tidak langsung tergantung dari fotosintesis. Organisme fotosintetik menggunakan energi cahaya untuk mensintesis makromolekul (karbohidrat, asam amino, dan asam lemak) yang pada gilirannya digunakan oleh organisme lain sebagai material dasar untuk proses metabolisme.

Spektrum cahaya yang dibutuhkan tanaman berkisar antara panjang gelombang 400-700 nm, yang biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR). Energi cahaya dikonversi ke molekul berenergi tinggi (ATP) dan NADPH, terjadi di dalam pigmen atau kompleks protein yang menempel pada membran tilakoid yang terletak pada kloroplas. Pigmen tanaman yang meliputi klorofil a, klorofil b, dan karotenoid termasuk xantofil menyerap PAR terbaik pada panjang gelombang tertentu (Gambar 2). Klorofil a menyerap cahaya tertinggi pada kisaran panjang gelombang 420 nm dan 660 nm. Klorofil b menyerap cahaya paling efektif pada panjang gelombang 440 nm dan 640 nm, sedangkan karotenoid termasuk xantofil mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang 425 dan 470 nm. Menurut Salisbury dan Ross (1992); Grant (1997), cahaya dengan panjang gelombang lebih pendek akan menghasilkan energi foton yang lebih besar dari pada cahaya dengan panjang gelombang lebih panjang. Dengan demikian klorofil a menyerap energi foton lebih besar dari pada klorofil b.

Photosynthetically Active Radiation (PAR) dikelompokkan menjadi dua bagian berdasarkan kisaran panjang gelombang yang diserap pigmen tanaman yaitu panjang gelombang aktifitas tinggi (400-500 nm) kelompok cahaya biru, dan panjang gelombang aktif rendah (600-700 nm) kelompok cahaya merah (respon fitokrom). Kelompok radiasi tersebut aktif untuk proses fotosintesis, fotomorfogenesis, dan biosintesis klorofil. Cahaya biru aktif untuk fototropisme, pembukaan stomata, dan biosintesis klorofil. Cahaya merah (respon fitokrom)

aktif untuk induksi fotoperiodisitas pembungaan, perkembangan kloroplas (tidak termasuk sintesis klorofil), penuaan (senescence) daun dan absisi daun. Kelompok cahaya hijau dengan panjang gelombang 500-600 nm tergolong tidak aktif untuk fotosintesis. Cahaya merah jauh (far-red) dengan panjang gelombang 700-800 nm juga tidak aktif untuk fotosintesis akan tetapi banyak mempengaruhi fotomorfogenesis (Grant 1997).

Gambar 2 Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman, biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR) (Salisbury dan Ross 1992)

Fotosintesis dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yang terpisah: (i) reaksi terang, dimana energi radiasi (hv) diserap dan digunakan untuk menghasilkan senyawa berenergi tinggi ATP dan NADPH; (ii) reaksi gelap, meliputi reduksi biokimia CO2 menjadi gula menggunakan senyawa berenergi tinggi yang dihasilkan pada reaksi terang; dan (iii) suplai CO2 dari udara ke tempat reduksi di kloroplas (Jones 1992).

Secara umum proses fotosintesis dipengaruhi oleh umur daun, genotipe tanaman, besarnya kebutuhan hasil asimilat oleh sink, dan pengaruh lingkungan seperti kandungan hara, kelembaban, suhu, dan cahaya. Dalam kondisi tanpa stres, intensitas radiasi merupakan faktor lingkungan terpenting yang menyebabkan perbedaan laju fotosintesis (Sinclair dan Torie 1989).

Klorofil a

Klorofil b

Karotenoid

Ungu Biru Hijau Kuning Jingga Merah

400 450 500 550 600 650 700 Panjang gelombang (nm)

Se

rap

Tanaman yang memiliki efisiensi fotokimia yang lebih besar pada cahaya rendah akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan akan berhasil dalam berkompetisi pada vegetasi yang rapat atau pada kondisi yang ternaungi (Lawlor 1987).

Aklimatisasi fotosintetik pada kondisi cahaya rendah memiliki karakteristik tertentu. Sebagai contoh daun yang terbentuk pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukkan peningkatan jumlah klorofil (Evans 1987) dan akumulasi karbohidrat yang rendah (Makino et al. 1985). Tanaman naungan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas 4 sampai lima kali lebih banyak dan mempunyai nisbah a/b lebih rendah pada tanaman cahaya penuh karena mempunyai kompleks pemanen cahaya yang meningkat (Lawlor 1987). Daun yang ternaungi memperlihatkan perkembangan grana yang lebih intensif tetapi kapasitas transpor eletron cenderung berkurang. Sebagai contoh, transpor elektron melalui kedua fotosistem 14 kali lebih tinggi pada kloroplas yang diekstrak dari daun cahaya penuh dibandingkan tanaman naungan. Cyt b6f yang merupakan bagian transpor elektron juga berkurang pada tanaman ternaungi (Jones 1992).

Pembentukan Klorofil

Klorofil dihasilkan di dalam kloroplas pada jaringan fotosintesis daun. Prekursor dalam pembentukan senyawa pigmen klorofil adalah senyawa intermidiate, glutamat, yang mengalami deaminasi menghasilkan α-ketoglutarat, kemudian direduksi menjadi γ,δ-dioxovalerate dan mengalami transaminasi menjadi asam δ–amino-laevulinat (ALA); sintesis ini memerlukan ATP dan NADPH (Malkin dan Niyogi 2000).

Pelepasan air dari asam amino-laevulinat menghasilkan porphobilinogen yang mengandung struktur cincin pyrrole. Selanjutnya terjadi reaksi pelepasan NH3 dan CO2 kemudian membentuk protoporphyrinogen. Penambahan Mg2+ dan adenosylmethionine pada protoporphyrin menghasilkan Mg-protoporphyrin monomethylester. Mg pada klorofil berfungsi sebagai pengatur penyerapan spektrum. Mg-protoporphyrin monomethylester mengalami dehidrasi dan reduksi menghasilkan protochlorophylide. Penambahan H+ menghasilkan chlorophyllide a menjadi klorofil a, proses ini sangat dipengaruhi oleh cahaya (Lawlor 1987).

A

B

Gambar 3 Lintasan reaksi pembentukan klorofil a dan klorofil b yang melibatkan gen-gen fotosintesis (A) dan struktur kimia klorofil a dan klorofil b (B) (Malkin dan Niyogi 2000; Nagata et al. 2005)

Protoporfirin IX Mg-protoporfirin monometilester Protoklorofilide a Klorofilide a Mg-adenosylmethionine H2O -4H CHL D, CHL I, CHL H -6H Klorofil a Klorofil b Geranyl-geranyl pyrophosphate CAO DVR POR CDR Glutamat cahaya

Klorofil b merupakan bentuk khusus dari klorofil a. Pembentukan klorofil b membutuhkan O2 dan NADPH2 dengan bantuan enzim chlorophyll a oxygenase (CAO). Pigmen klorofil menyusun sekitar 4% bobot kering kloroplas, dan klorofil b berjumlah sekitar 1/3 dari klorofil a (Hall dan Rao 1999). Klorofil a berperan sentral untuk menyerap dan menyalurkan energi cahaya ke pusat reaksi untuk mengeksitasi elektron.

Klorofil b berfungsi sebagai pigmen antena. Cahaya ditangkap oleh klorofil b yang tergabung dalam kompleks pemanen cahaya (LHC) kemudian segera ditransfer ke klorofil a dan pigmen antena lain yang berdekatan dengan pusat reaksi.

Dalam pembentukan klorofil terdapat paling kurang 3 lintasan reaksi yang dikendalikan oleh gen-gen inti yaitu: lintasan reaksi antara protoporfirin 9 dan protoklorofilide yang melibatkan gen-gen CHLD, CHLI, CHLH, CDR, perubahan protoklorofilide menjadi klorofilide yang melibatkan gen-gen seperti VDR, POR, dan lintasan sintesis klorofil b yang melibatkan gen CAO (Malkin dan Niyogi 2000; Masuda et al. 2002; Nagata et al. 2005; Heyes et al. 2006). Reaksi-reaksi yang terlibat dalam lintasan pembentukan klorofil dan kendali gen-gen inti serta struktur kimia klorofil a dan b disajikan pada Gambar 3.

Klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil b (C55H72O6N4Mg) dapat dibedakan dengan adanya gugus metil (CH3) pada klorofil a dan gugus aldehid (CHO) pada klorofil b. Klorofil biasanya mengalami degradasi atau terurai seiring dengan penuaan daun, dan sebagian besar nitrogennya diabsorpsi kembali oleh tanaman.

Klorofil terdapat pada membran tilakoid pada kloroplas. Kloroplas terdapat di dalam sitoplasma dan mengandung DNA, RNA, ribosom dan ensim sendiri (Salisbury dan Ross 1992). Pigmen yang menyerap cahaya pada membran tilakoid tersusun di dalam suatu rangkaian fungsional yang disebut fotosistem. Fotosistem ini mengandung 200-300 molekul klorofil dan sekitar 40 molekul karotenoid. Kelompok pigmen ini menyerap cahaya dengan panjang gelombang 400-700 nm, dan semua molekul pigmen pada fotosistem disebut pigmen tetap cahaya atau ‘antena’. Besaran kuantitas pigmen pada fotosistem ini menentukan ukuran antena (antena size) ( Taiz dan Zeiger 2002).

Klorofil a berfungsi meneruskan cahaya ke pusat reaksi yang merubah energi cahaya menjadi energi kimia. Sedangkan klorofil b berfungsi sebagai pemanen cahaya dan meneruskan energi dari karotenoid ke klorofil a (Salisbury dan Ross 1992).

Pengaruh Intensitas Cahaya Rendah terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman

Bagi tanaman, cahaya sangat besar peranannya dalam proses fisiologi, seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, penutupan dan pembukaan stomata, berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan (Taiz dan Zeiger 2002; Salisbury dan Ross 1992). Kedelai termasuk tanaman C3, yang mempunyai tingkat fotorespirasi yang lebih tinggi yang mengakibatkan hasil bersih fotosintesisnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tanaman C4. Baharsyah et al. (1993) menyatakan bahwa radiasi matahari akan mencapai titik jenuh antara 0.1-0,6 kal/cm2/menit. Hasil bersih dari proses fotosintesis pada radiasi penuh (1,4-1,7 kal/cm2/menit) adalah sebesar 15-35 mg CO2/dm2 luas daun/jam. Pada kedelai, radiasi matahari optimum untuk fotosistesis maksimal pada kondisi laboratorium berkisar 0,3-0,8 kal/cm2/menit (432-1152 kal/cm2/hari) (Kassam 1978; Salisbury dan Ross 1992). Nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan intensitas cahaya di bawah tegakan karet (Chozin et al. 1999).

Studi yang telah dilakukan untuk tanaman padi gogo sebagai tanaman sela pada perkebunan karet menunjukkan, rata-rata nilai intensitas cahaya pada areal terbuka sebesar 398,4 kal/cm2/hari. Nilai rata-rata intensitas cahaya dibawah tegakan karet umur 1, 2, 3 dan 4 tahun berturut-turut sebesar 326.7; 237.6; 109.2 dan 38.2 kal/cm2/hari. Nilai intensitas cahaya di bawah tegakan karet umur 2 tahun setara dengan naungan paranet 25%, nilai di bawah tegakan karet umur 3 tahun setara dengan naungan paranet 50 %, dan untuk umur 4 tahun sudah melebihi naungan paranet 75 % (Chozin et al. 1999; Haris 1999). Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai.

Studi tentang pengaruh cekaman intensitas cahaya rendah terhadap penurunan pertumbuhan dan produksi tanaman serta terganggunya berbagai proses metabolisme tanaman telah terdokumentasikan cukup baik pada tanaman

padi gogo (Watanabe et al. 1993; Jiao et al. 1993; Chozin et al. 1999; Sulistyono et al. 1999; Lautt et al. 2000; Sopandie at al. 2003b dan 2003c). Akan tetapi informasi serupa pada tanaman kedelai belum banyak diperoleh. Penelitian Baharsyah (1980) pada kedelai menunjukkan bahwa penurunan cahaya menjadi 40 % sejak perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong dan hasil biji. Naungan 60 % pada saat awal pengisian polong menyebabkan penurunan jumlah polong, hasil biji dan kadar protein biji. Asadi et al. (1997) menunjukkan bahwa penurunan hasil biji kedelai (28 galur) yang diuji di bawah naungan 33 % berkisar 2-45 % dibandingkan dengan tanpa naungan

Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah

Pada kebanyakan tanaman, kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah tergantung kepada kemampuannya melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Hale dan Orchut (1987) menjelaskan bahwa adaptasi terhadap naungan pada dasarnya dapat melalui dua cara, yaitu melalui: (a) peningkatan luas daun sebagai cara mengurangi penggunaan metabolit, dan (b) pengurangan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan. Levitt (1980) membuat hipotesis bahwa adaptasi terhadap naungan dicapai melalui: (a) mekanisme penghindaran (avoidance) yang berkaitan dengan respon perubahan anatomi dan morfologi daun untuk peningkatan penangkapan cahaya dan fotosintesis yang efisien (Gambar 4A), serta (b) mekanisme toleransi (tolerance) yang berkaitan penurunan titik konpensasi cahaya serta respirasi yang efisien (Gambar 4B). Penghindaran defisit cahaya dilakukan dengan mengurangi kutikula, lilin, dan bulu daun serta meniadakan pigmen antosianin (Levitt 1980).

Pada mekanisme toleransi, asimilasi bersih CO2 nol terjadi pada titik kompensasi cahaya (LCP) yaitu cahaya pada permukaan daun yang menginduksi kecepatan asimilasi CO2 aktual sama dengan kecepatan evolusi O2 respirasi. Tanaman naungan ditandai dengan rendahnya LCP sehingga dapat mengakumulasi produk fotosintat pada tingkat cahaya yang rendah dibanding tanaman cahaya penuh. Selain itu tanaman naungan juga memperlihatkan kejenuhan cahaya pada level intensitas cahaya rendah.

(A)

(B)

Gambar 4 Model mekanisme penghindaran (avoidance) (A) dan mekanisme toleransi (tolerance) (B) untuk adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah (Levitt 1980)

Peningkatan efisiensi penangkapan cahaya

Peningkatan area penangkapan cahaya Peningkatan proporsi area fotosintetik (daun)

Peningkatan penangkapan cahaya per unit area fotosintetik

Refleksi avoidance Transmisi avoidance ”waste” absorbsi Avoidance Hilangnya kutikula, lilin

dan rambut pada permukaan daun Hilangnya pigmen non- kloroplas (Antosianin) Peningkatan kandungan kloroplas Peningkatan kandungan pigmen per kloroplas Peningkatan kandungan

kloroplas per sel mesofil

Kloroplas kandungan kloroplas dalam sel

epidermis Toleransi defisit cahaya Penurunan LCP Penurunan kecepatan respirasi di bawah LCP Penghindaran kerusakan sistem fotosintetik Penurunan kecepatan respirasi mendekati LCP Menghindari penurunan akivitas enzim Menghindari kerusakan pigmen Menurunkan substrat respirasi Menurunkan sistem respiratory: mitokondria & enzim

Perubahan anatomi dan morfologi. Dari sudut anatomi dan morfologi, karakter yang mengalami perubahan terhadap intensitas cahaya rendah telah dijelaskan oleh Bjorkman (1981), Anderson (1986), Evans (1988) dan Anderson et al. (1995). Intensitas cahaya akan mempengaruhi bentuk dan anatomi daun termasuk sel epidermis dan tipe sel mesofil (Vogelmann dan Martin 1993). Perubahan tersebut sebagai mekanisme untuk pengendalian kualitas dan jumlah cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplas daun. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar dari pada daun yang ditanam pada areal terbuka, yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 2002). Pada genotipe padi gogo dan kedelai toleran naungan, terjadi pengurangan lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibanding genotipe peka, menyebabkan daun menjadi lebih tipis (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a, 2003b). Lapisan palisade dapat berubah sesuai kondisi cahaya, yang menyebabkan tanaman menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya (Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman dikotil termasuk kedelai mempunyai kapasitas yang lebih besar untuk menggunakan cara menghindari naungan (shade avoidance) (Morelli dan Ruberti 2002).

Perubahan kandungan klorofil daun. Pada keadaan normal, aparatus fotosintetik termasuk klorofil mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Proses perbaikan ini tergantung pada cahaya, sehingga apabila tanaman dinaungi kemampuan ini akan menjadi terbatas (Richter et al. 1990). Kekuatan melawan degradasi ini sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan, yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun (Hale dan Orchut 1987) dan dengan peningkatan jumlah klorofil pada kloroplas (Okada et al. 1992). Hal ini ditunjukkan juga oleh genotipe toleran padi gogo yang memiliki kadar klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka (Chowdury et al. 1994; Sulistyono et al. 1999; Sopandie et al. 2003b). Hal yang senada juga dijumpai pada kedelai toleran naungan (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a). Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, karena adanya peningkatan klorofil b pada tanaman yang dinaungi, yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Membesarnya antena untuk fotosistem II ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya. Walaupun

kandungan klorofil tinggi, rendahnya laju fotosintesis sering dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan rendahnya aktivitas Ribulose bifosfat (RuBP) (Murty dan Sahu 1987). Selain itu, walaupun kandungan klorofil meningkat namun terjadi penurunan klorofil per luas area karena daun menjadi lebih tipis (Nilsen dan Orcutt 1996).

Perubahan fisiologi dan biokimia. Hubungan antara enzim rubisco dan fotosintesis telah diketahui dengan sangat baik (Makino et al. 1984; Evans 1987); jumlahnya pada daun secara relatif merefleksikan 20-30 % dari total N daun. Naungan menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia, salah satu di antaranya adalah perubahan kandungan N daun, kandungan rubisco dan aktivitasnya. Rubisco adalah enzim yang memegang peranan penting dalam fotosintesis, yaitu yang mengikat CO2 dan RuBP dalam siklus Calvin yang menghasilkan 3-PGA. Intensitas cahaya rendah (naungan) menyebabkan rendahnya aktivitas rubisco (Portis 1992, Bruggeman dan Danborn 1993). Diperkirakan genotipe kedelai toleran naungan akan memiliki aktivitas rubisco yang lebih tinggi dan kandungan N terlarut yang lebih rendah dibandingkan dengan yang peka pada kondisi naungan, seperti dilaporkan pada padi gogo (Sopandie et al. 2003b).

Hubungan antara cekaman intensitas cahaya rendah dengan penurunan karbohidrat dapat dijelaskan dalam beberapa hal. Pengurangan fotosintat pada intensitas cahaya rendah dapat dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan sel-sel mesofil terhadap pertukaran CO2. Pada kondisi cahaya rendah aktivitas karboksilase dan RuBP menurun (Thorne dan Koller 1974). Reaksi pembentukan pati dikatalisis oleh enzim ADP-glukosa pyrofosforilase yang mengatur aliran karbon, dimana enzim ini diatur secara alosterik oleh produk dari siklus PCR. Intensitas cahaya yang rendah menyebabkan rendahnya pembentukan 3-PGA, yang menyebabkan hambatan kerja enzim ADP-glukosa pyrofosfatase karena adanya Pi yang berinteraksi dengan 3-PGA. Soverda (2002) menunjukkan bahwa cekaman intensitas cahaya rendah menurunkan aktivitas PGA kinase, penurunan yang lebih kecil dijumpai pada genotipe padi gogo yang toleran naungan dibandingkan genotipe yang peka.

Thorne dan Koller (1974) menunjukkan bahwa pemberian naungan menyebabkan penurunan kandungan pati pada daun kedelai, sementara sukrosa

mengalami kenaikan, selanjutnya perimbangan antara pati dan sukrosa tersebut berubah kembali seperti semula setelah perlakuan naungan dihentikan. Pada intensitas cahaya rendah terjadi gangguan translokasi karbohidrat. Pada kondisi ini gula total (sebagian besar gula non reduksi dan pati) secara nyata menurun pada seluruh bagian tanaman. Murty dan Sahu (1987) melaporkan peningkatan kandungan total amino-N dan N terlarut pada varietas padi yang peka, yang menyebabkan sintesis protein terganggu dan ketersediaan karbohidrat menjadi rendah dan tingkat kehampaan menjadi tinggi. Penelitian Lautt et al. (2000) pada padi gogo menunjukkan bahwa galur toleran padi gogo memperlihatkan kandungan pati pada daun dan batang yang lebih tinggi daripada yang peka saat dinaungi 50 % saat vegetatif aktif. Kenaikan sukrosa pada saat vegetatif aktif hanya terjadi pada galur yang toleran, sejalan dengan peningkatan aktivitas enzim SPS (sukrosa fosfat sintase).

Perubahan struktur kloroplas. Intensitas cahaya tinggi maupun intensitas cahaya rendah merupakan faktor stres yang dapat merusak dan mempengaruhi struktur dan fungsi kloroplas (Mostowska 1997). Menurut Biswal (1997b) dan Mostowska (1997), perubahan struktur dan fungsi kloroplas akibat stres cahaya terjadi pada level komposisi pigmen, struktur organisasi tilakoid, reaksi fotokimia, dan efisiensi fiksasi CO2. Selain itu juga penurunan bahkan kehilangan pigmen fotosintesis, perbedaan respon Chla dan Chlb, dan perubahan dalam komposisi karotinoid, terutama perubahan komposisi komponen siklus xanthophyll. Stress tersebut menyebabkan perubahan struktur kloroplas (secara umum) dan kompleks transport elektron (secara khusus). Perubahan pigmen dan struktur membran tilakoid diikuti oleh perubahan laju reaksi fotokimia yang terkait dengan PSI dan PSII dan juga aktivitas enzim dalam siklus Calvin (Biswal 1997b).

Bagian kloroplas yang paling peka terhadap stres cahaya adalah PSII dan diidentifikasi sebagai sasaran utama kerusakan akibat stres cahaya. Kerusakan fotosintetik karena kelebihan cahaya merupakan sindrom stres cahaya tinggi (fotoinhibisi). Tanaman atau kloroplas yang menerima cahaya tinggi dalam waktu lama menyebabkan foto-oksidasi pigmen atau foto-destruksi kloroplas. Fotosistem ini diketahui terkait dengan berbagai mekanisme adaptasi sehingga telah

dilaporkan sebagai suatu komponen kunci selama pengiriman signal stres untuk adaptasi kloroplas (Biswal 1997b; Mostowska 1997).

Pengaruh stres cahaya rendah terhadap perubahan kloroplas juga sudah dilaporkan. Intensitas cahaya rendah terbukti mempengaruhi orientasi kloroplas tanaman. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salisbury dan Ross, 1992). Hal ini sering menyebabkan warna daun lebih hijau, karena posisi kloroplas yang terkonsentrasi pada permukaan daun. Intensitas cahaya rendah menyebabkan terjadi peningkatan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta grana (stack granum), seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999).

Respon kloroplas terhadap perubahan intensitas cahaya matahari tergantung pada skala waktu perubahan tersebut. Respon jangka pendek terjadi dalam beberapa detik sampai menit yang melibatkan penyusunan kembali struktur dan fungsi komponen kloroplas. Regulasi jangka pendek ini termasuk pada saat transisi dan penyesuaian fotosistem stoikiometrik pada fosforilasi protein tilakoid (Allen 1995), regulasi untuk efisiensi PS II (Horton et al. 1996), serta perubahan aktivitas rubisco (Salvucci dan Ogren 1996). Perubahan jangka panjang terhadap cahaya melibatkan sintesis yang selektif dan degradasi komponen kloroplas untuk menyusun komposisi dan fungsi organ fotosintesis. Sangat menarik untuk dipelajari perubahan struktur kloroplas pada genotipe kedelai toleran dan peka dalam kondisi intensitas cahaya rendah dalam periode pendek dan panjang. Hipotesis yang dapat diajukan adalah genotipe toleran akan memiliki struktur kloroplas dan komponen (grana, jumlah tilakoid pada grana, stroma, stack membrane, ukuran kloroplas) yang normal dibandingkan dengan yang peka.

Struktur Kloroplas dan Mekanisme Transport Elektron Struktur Kloroplas

Kloroplas terdiri atas dua komponen utama (Gambar 5), (a) lamellar network, disebut tilakoid, dan (b) stroma matrix dengan berbagai enzim yang terkait dengan siklus Calvin seperti Rubisco (ribulose bisphosphat carboxylase/oxygenase). Terdapat juga beberapa kopy DNA sirkular dan semua

komponen transkripsi dan translasi, dan enzim-enzim untuk sintesis lipid, porphyrin, terpenoid, quinoid dan senyawa aromatik lain. Struktur membran tilakoid beragam dari yang sederhana pada bakteri sampai yang paling kompleks pada kloroplas tanaman tingkat tinggi. Membran tilakoid, yang diklasifikasikan ke dalam grana dan lamella stroma, terdiri atas pigmen-pigmen fotosintesis seperti klorofil a, klorofil b, karoten, dan xantofil. Pigmen-pigmen tersebut berasosiasi dengan protein spesifik yang terikat membran (specific membrane-bound protein) dan membentuk gabungan pigmen guna mengoptimalkan penyerapan energi cahaya (foton) (Biswal dan Biswal 1999).

Gambar 5 Skema bangun kloroplas. Kloroplas merupakan organel semi-otonom pada sel tanaman. Energi cahaya dirubah menjadi energi kimia di membran tilakoid. Fiksasi CO2 berlangsung di stroma. Tumpukan grana lebih besar pada daun yang ternaungi dari pada daun penuh cahaya (Biswal dan Biswal 1999).

Kompleks protein membran yang terlibat dalam reaksi cahaya tidak tersebar merata di seluruh membran tilakoid. Menurut Critchley (1997), fotosistem II (PSII) dan kompleks pemanen cahaya II (light harvesting complex II) terkonsentrasi di grana, sedangan fotosistem I (PSI) dan ATP-sintase sebagian besar di stroma. Kompleks cytochrome b6 f hampir sama jumlahnya di kedua daerah tilakoid tersebut.

Mekanisme Transport Elektron

Menurut Critchley (1997) dan Biswal dan Biswal (1999), reaksi cahaya yang terjadi pada membran tilakoid dikendalikan oleh dua fotosistem (PSII dan PSI) yang dihubungkan oleh suatu intersistem rantai transport elektron (Gambar 6). Reaksi cahaya merupakan reaksi fotokimia yang menghasilkan NADPH dan ATP serta membebaskan O2 dari molekul air. Produk reaksi cahaya selanjutnya digunakan reaksi gelap melalui siklus Calvin untuk pembentukan gula.

Gambar 6 Skema rantai transport elektron fotosintetik pada PS II dan PS I (Surpin et al. 2002; Andersson et al. 2003).

Secara skematis lintasan elektron yang terjadi pada pusat reaksi membentuk formasi huruf Z sehingga disebut skema Z. Dalam rangkain proses transport elektron dilibatkan sekurangnya 4 kompleks protein utama, yaitu: sistem cahaya II (PSII), kompleks sitokrom b6f, sistem cahaya I (PSI) dan kompleks ATP sintase. Keempat kompleks protein ini terletak di dalam membran tilakoid. PSII berfungsi mengoksidasi air menjadi oksigen dengan melepaskan proton ke lumen (bagian dalam tilakoid). Kompleks sitokrom b6f menerima elektron dari PSII kemudian mengirim elektron tersebut ke PSI dengan disertai pemompaan proton dari stroma ke lumen. PSI mereduksi NADP+ menjadi NADPH di dalam stroma dengan bantuan feredoksin dan enzim Flavoprotein-NADP reduktase (FNR). Kompleks

ATP sintase memproduksi ATP dengan memanfaatkan energi yang diperoleh dari proton (H+) yang kembali berdifusi dari lumen ke stroma (Critchley 1997).

Secara detail, rangkaian transport elektron dapat dijelaskan sebagai berikut: Cahaya (hv) yang diterima fotosistem II (PSII) menyebabkan terjadinya pemisahan muatan pada pusat reaksi sehingga terbentuk pasangan radikal

Dokumen terkait