• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan dan Kesesuian Lahan

Perbedaan potensi sumberdaya yang dimiliki oleh setiap wilayah mengakibatkan kemampuan yang berbeda dalam pengembangan wilayahnya. Salah satu potensi sumberdaya wilayah tersebut adalah berupa sumberdaya alam. Sumberdaya alam (natural resources) adalah semua unsur tata lingkungan biofisik yang dengan nyata atau potensial dapat memenuhi kebutuhan manusia atau dengan perkataan lain sumberdaya alam merupakan semua bahan yang ditemukan manusia dalam alam, yang dapat dipakai untuk memenuhi segala kepentingan hidupnya (Syafruddin et al. 2004). Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah dapat berupa sumberdaya lahan, sumberdaya air, kehutanan, kebun campuran, pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan dan pariwisata. Perkembangan suatu wilayah berkaitan erat dengan potensi yang tersedia dan optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya alam tersebut. Perbedaan perkembangan antar wilayah disebabkan oleh bervariasinya kondisi sosial, ekonomi dan fisik yang dimiliki wilayah. Interaksi antar tiga komponen tersebut mendorong perkembangan suatu wilayah. Dengan demikian diperlukan suatu perencanaan wilayah dengan melihat pola perencanaan pengembangan wilayah yang berdasarkan pada karakteristik wilayahnya. Identifikasi karakteristik suatu wilayah akan memberikan informasi yang berguna dalam merumuskan suatu kebijakan pembangunan yang tepat bagi wilayah tersebut.

Perencanaan pembangunan, terutama pembangunan di bidang pertanian juga berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan. Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah dengan berorientasi pada sistem agribisnis, produktifitas tinggi, efisien, berkerakyatan dan berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan penatagunaan lahan sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan sehingga lahan yang ada tetap produktif, optimal dan tidak mengalami kerusakan akibat penggunaan yang kurang tepat atau berlebihan. Agro Ecological Zone (AEZ) merupakan salah satu cara dalam menata penggunaan lahan melalui pengelompokkan wilayah berdasarkan

kesamaan sifat dan kondisi wilayah. Pengelompokkan ini bertujuan untuk menetapkan area pertanaman sesuai dengan kemampuan serta kesesuaian lahan untuk komoditas potensial sehingga diperoleh sistem usaha tani yang optimal dan berkelanjutan. Komponen utama AEZ adalah kondisi biofisik lahan (jenis tanah, kelerengan, kedalaman tanah dan elevasi), iklim (curah hujan, kelembaban udara dan suhu) serta persyaratan tumbuh tanaman agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Lahan pertanian sebagai modal dasar dan faktor penentu utama dalam sistem produksi pertanian perlu dijaga agar tidak mengalami kerusakan. Oleh karena itu, penataan sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan pada setiap wilayah kabupaten perlu dilakukan agar produksi yang dihasilkan tetap tinggi.

Berdasarkan analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) terhadap peta Agro Ecological Zone (AEZ) Kabupaten Purbalingga tahun 2002 dengan skala 1:50.000, dapat diperoleh kesesuaian lahan untuk beragam komoditas pertanian pada kawasan Agropolitan Bungakondang. Kawasan agropolitan mempunyai topografi datar sampai berbukit dengan kelerengan 0 sampai 25% dengan ketinggian tem-pat 25 m sampai 250 m. Kawasan pengembangan Bukateja dan Cipawon berada pada daerah paling rendah mempunyai topografi datar dengan kelerengan 1-3 %, kawasan pengembangan Bandingan mempunyai topograsi bergelombang dengan kelerengan 3-15 % dan kawasan pengembangan Kejobong berada pada daerah paling tinggi pada kawasan agropolitan Bungakondang sebagian besar lahannya berbukit dengan kelerengan 3-25 %. Peta topografi kawasan agropolitan Bungakondang sebagaimana dalam Gambar 5. Topografi dan ketinggian tempat ini berpengaruh pada kemampuan dan kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian yang berkaitan dengan pola penggunaan lahannya.

Secara umum kawasan agropolitan Bungakondang dapat dibagi menjadi 2 tipe lahan kawasan, yaitu lahan basah dan lahan kering. Lahan basah berada pada kawasan pengembangan Bukateja dan Cipawon sedangkan lahan kering pada kawasan pengembangan Bandingan dan Kejobong. Berdasarkan peta penggunaan lahan sebagaimana dalam Gambar 6, areal persawahan berada di kawasan penge mbangan Bukateja dan sebagian kawasan pengembangan Bandingan, lahan kering berupa campuran tegalan dan persawahan berada di kawasan

pengembangan Cipawon dan kebun campuran berada di kawasan pengembangan Bandingan dan Kejobong.

Agropolita nkimia. shp A. Datar (1 -3%) B erbukit (15 -3 0%, 50 -300 m) B erge lomba ng (8 -15%) B erombak (3 -8%) D atar (<1 %) N E W S PETA TOPOGR AF I KAW ASA N AGR OPOL ITAN 3240 00 3240 00 3260 00 3260 00 328000 328000 330000 330000 332000 332000 334000 334000 336000 336000 338000 338000 9174000 9174000 9176000 9176000 9178000 9178000 9180000 9180000 9182000 9182000 9184000 9184000 9186000 9186000 1 0 1 2 K ilometers T o p o g r a f i Sumber :

Peta AEZ Kab. Pur bal ingg a Tahun 2002 Skala 1 : 50.000

Gambar 6 Peta topografi kawasan agropolitan Bungakondang

Agropol itanki mia.shp

-Kebun campur an Lahan kering (1) Saw ah (2) Sawah Tegalan (1) Sawah (2) N E W S PETA LANDUSE KAWASAN AGROPOLITAN 324000 324000 326000 326000 328000 328000 330000 330000 332000 332000 334000 334000 336000 336000 338000 338000 9174000 9174000 9176000 9176000 9178000 9178000 9180000 9180000 9182000 9182000 9184000 9184000 9186000 9186000 Pemuk im an 1 0 1 2 Kilometers Sumber :

Peta AE Z Kab. Purbal ingga Tahun 2 002 Skala 1 : 50.000

L a n d u s e

Sedangkan kelas kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian pada kawasan agropolitan Bungakondang berdasarkan hasil analisis terhadap peta Agro Ecological Zone pada kawasan-kawasan pengembangan di Kawasan Agropolitan Bungakondang adalah sebagaimana tabel berikut ini.

Tabel 14 Tabulasi kelas kesesuaian lahan terhadap beragam komoditas pada kawasan agropolitan

Komoditas Kawasan Pengembangan

Bukateja Cipawon Bandingan Kejobong

Tanaman Pangan Padi S1 S1 S3 N

Ubi Kayu S2,S3 S2 S1 S2,S1 Jagung S2,S3 S2 S2 S2 Kedelai S2,S3,S1 S1 S1,S3 S2,S1 Kacang Tanah S2,S3,S1 S1 S1,S3 S2 Buah-Buahan Duku S2,N S1 S1,N S1 Durian S3,N,S1 S1 S1, N S1 Rambutan S2,N S1 S1,N S1 Jeruk S2,S3,S1 S1 S1,S3 S1 Salak S2,S3,S1 S1 S1,S3 S1 Pisang S1,S3 S1 S1,S3 S1 Nanas S2,S3 S2 S2,S3 S2

Kebun campuran Lada S2,S3,S1 S1 S1,S3 S1

Nilam S1,S3 S2 S1,S3 S1

Kelapa S2,S3,S1 S1 S1,S3 S2

Cengkeh S3,N S3 S3,N S3

Kopi S3,N S2 S2,N S2

Melati S2 S2 S2 S3,S2

Sayuran Kacang Panjang S2,S3 S2 S2,S3 S2

Cabai S2,S3 S2 S2,S3 S2 Kentang N N N N Kubis N N N N Empon-Empon Kencur S2,S3,S1 S1 S1,S3 S1 Kunyit S2,S3,S1 S1 S1,S3 S1 Jahe S2,S3 S2 S2,S3 S2 Kapulaga S2,S3,S1 S1 S1,S3 S1 Kayu Albasia S2,N S2 S2,N S2 Mahoni S3,N S3 S3,N S2 Murbei S2,S3 S2 S2,S3 S2 Pinus N N N N Gelagah S2,S3 S2 S2,S3 S2

Berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan terhadap beragam komoditas pertanian tersebut dapat dilakukan arahan pengembangan komoditas pertanian pada masing- masing kawasan pengembangan pada kawasan agropolitan Bungakondang. Pengembangan dan pembudidayaan komoditas pada lahan yang mempunyai kesesuaian tinggi bertujuan agar mempunyai tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi karena akan menghasilkan produksi yang besar dengan biaya produksi yang rendah. Lahan yang kesesuaian tinggi mempunyai faktor penghambat budidayanya yang relatif sedikit.

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa kawasan agropolitan Bungakondang terbagi menjadi 4 kawasan pengembangan, yaitu kawasan pengembangan Bukateja dan Cipawon yang merupakan lahan relatif basah, serta kawasan pengembangan Bandingan dan Kejobong yang merupakan lahan relatif kering. Kawasan pengembangan Bukateja sangat sesuai untuk budi daya tanaman padi. Selain itu komoditas lain yang sesuai dibudidayakan pada kawasan pengembangan Bukateja adalah pisang dan nilam, sedangkan untuk komoditas lain tidak mempunyai kesesuaian yang tinggi. Dengan demikian kawasan pengembangan Bukateja diarahkan untuk pengembangan komoditas padi. Kawasan pengembangan Cipawon ini mempunyai banyak komoditas pertanian yang sangat sesuai untuk dibudidayakan. Komoditas pertanian yang sangat sesuai dibudidayakan pada kawasan pengembangan Cipawon adalah komoditas tanaman pangan (padi, kedelai, kacang tanah), komoditas buah-buahan (duku, durian, rambutan, jeruk, salak, pisang), komoditas kebun campuran (lada, kelapa) dan empon-empon (kencur, kunyit, kapulaga). Kawasan pengembangan Bandingan juga mempunyai komoditas pertanian yang kelas kesesuaian tinggi utnuk dibudidayakan, walaupun tidak semua bagian dari kawasan sangat sesuai. Komoditas pertanian yang sangat sesuai dibudidayakan dalam kawasan pengembangan Bandingan adalah komoditan pertanian tanaman pangan (ubi kayu, kedelai, kacang tanah), komoditas buah-buahan (duku, durian, rambutan, jeruk, salak, pisang), komoditas kebun campuran (lada, nilam, kelapa) dan empon-empon (kencur, kunyit, kapulaga). Sedangkan kawasan pengembangan Kejobong sangat sesuai untuk budidaya buah-buahan (duku, durian, rambutan, jeruk, salak, pisang), komoditas kebun campuran (lada, nilam) dan empon-empon

(kencur, kunyit, kapulaga). Namun demikian kawasan agropolitan Bungakondang mempunyai kelas kesesuaian yang rendah bahkan tidak cocok untuk komoditas sayuran, cengkeh, kopi dan kayu-kayuan. Dengan demikian komoditas-komoditas tersebut tidak direkomendasikan untuk dibudidayakan secara intensif di kawasan agropolitan Bungakondang ini.

Dari hasil analisis kemampuan dan kesesuaian lahan dengan menggunakan peta AEZ tersebut, kawasan agropolitan Bungakondang dapat dibagi menjadi 4 (empat) wilayah komoditas pertanian beserta alternatif komoditas yang dapat dikembangkan. Pewilayahan pertanian pada kawasan agropolitan Bungakondang adalah sebagai berikut :

a. Wilayah Pertanian I, berupa pertanian intensif dengan komoditas utama padi sawah dapat dikembangkan di kawasan pengembangan Bukateja yang topografinya datar.

b. Wilayah pertanian II, berupa pertanian semi intensif berada pada kawasan pengembangan Cipawon, merupakan campuran antara persawahan dan tegalan dengan komoditas pertanian berupa komoditas padi, kedelai, kacang tanah, buah-buahan.

c. Wilayah pertanian III, berada pada kawasan pengembangan Bandingan berupa wilayah pertanian tegalan lahan kering dan kebun campuran dengan komoditas yang dikembangkan adalah ubi kayu, kedelai, kacang tanah lada, nilam, buah-buahan kebun campuran dan empon-empon. Kawasan pengembangan Bandingan secara topografi wilayahnya bergelombang dengan kelerengan 3-15 %.

d. Wilayah pertanian IV, berada pada kawasan pengembangan Kejobong yang mempunyai kelerengan berbukit dengan kelerengan 3-25 % merupakan wilayah kebun campuran dengan komoditas lada, nilam, buah-buahan kebun dan empon-empon.

Tabel 15 Pewilayahan pertanian pada kawasan agropolitan Bungakondang

Pewilayahan Jenis Pertanian Lokasi

Wilayah Pertanian I Persawahan Kawasan Pengembangan

Bukateja

Wilayah Pertanian II Persawahan & Tegalan Kawasan Pengembangan

Cipawon Wilayah Pertanian III Tegalan & Kebun

Campuran

Kawasan Pengembangan Bandingan

Wilayah Pertanian IV Kebun Campuran Kawasan Pengembangan

Kejobong

Berdasarkan pewilayahan pertanian pada kawasan agropolitan menunjukan terdapatnya pola penggunaan lahan dari pertanian persawahan, pertanian tegalan sampai ke kebun campuran, yang dipengaruhi oleh kondisi fisik lahannya. Hal itu juga mempengaruhi jenis komoditas yang sesuai dibudidayakan pada masing- masing kawasan pengembangan. Dengan pewilayahan pertanian tersebut juga dapat memudahkan pengambilan kebijakan pembangunan dalam mengembangkan budidaya pertanian yang sesuai dengan kondisi wilayah serta dalam menentukan komoditas unggulan masing- masing kawasan pengembangan dalam kawasan agropolitan.

Wilayah Pertanian IV/ KP Kejobong Pewi layahan Komodi tas

Wilayah Pertanian II/ KP Cipawon Wilayah Pertanian III/ KP Bandingan Wilayah Pertanian I/ KP Buk ateja N E W S 1 0 1 Kilometers

PET A PEWIL A YAH AN KOM ODIT AS K A WASA N AGROPOLI T A N

Sumber :

Peta AEZ Kabupaten Purbalingga Tahun 2002 Skala 1:50.000 324000 324000 326000 326000 328 000 328 000 330 000 330 000 332000 332000 334000 334000 336 000 336 000 338 000 338 000 917 4000 917400 0 917 6000 917600 0 917 8000 917800 0 918 0000 918000 0 918 2000 918200 0 918 4000 918400 0 918 6000 918600 0 918 8000 918800 0 Wilayah Pertanian I Wilayah Pertanian III Wilayah Pertanian II Wilayah Pertanian IV

Penentuan Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan

Teori pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan mempunyai dua peranan dalam pengembangan wilayah, yaitu sebagai suatu kerangka untuk memahami struktur ruang wilayah dan sebagai suatu model untuk perencanaan di masa mendatang (Glasson 1990). Menurut Djojodipuro (1992) teori lokasi pertama dirintis oleh Johann Heinrich von Thunen pada abad 19, yang mengasumsikan daerah lokasi berbagi jenis pertanian akan berkembang dalam bentuk lingkaran tidak beraturan yang mengelilingi suatu pusat tertentu. Jenis pertanian yang diusahakan merupakan fungsi dari harga penjualan, biaya produksi dan biaya angkutan antara lokasi budidaya dengan daerah perkotaan Selanjutnya dikembangkan teori lokasi yang berorientasi pada keseimbangan spasial oleh Walter Christaller dengan Teori Tempat Pusat (Central Place Theory). Menurut Christaller setiap produsen mempunyai skala ekonomi yang berbeda sehingga aktivitasnya akan menjadi efisien apabila jumlah konsumennya mencukupi. Karena itu secara lokasional aktivitas dari suatu produsen ditujukan untuk melayani wilayah konsumen yang berada dalam suatu jarak atau range tertentu. Sehingga terdapat suatu hirarki dalam suatu wilayah untuk melakukan pelayanan agar menjadi optimal. Terdapat hirarki dari pusat pelayanan yang rendah yang berada di tingkat desa sampai ke pelayanan tingkat tinggi yang berada di kota besar.

Menurut Prakoso (2005) perkembangan hirarki wilayah dan sistem kota tergantung pada tahapan pembangunan di suatu wilayah atau negara. Terdapat tiga tahap perkembangan sistem kota, yaitu :

a. Sistem kota pada tahap pra- industrialisasi, yang terdiri hanya satu kota individual (urban nuckleus);

b. Sistem kota pada tahap industrialisasi, yang ditandai oleh terjadinya proses perkembangan pesat kota tunggal secara fisikal sebagai akibat urbanisasi; c. Sistem kota pada tahap post-industrialisasi, yang ditandai oleh terbentuknya

kota-kota regional.

Pada tahap post-industrialisasi ini juga ditandai dengan munculnya fenomena konurbasi, yaitu suatu kondisi aglomerisasi fisikal kota. Hubungan-hubungan fungsional di dalam wilayah konurbasi memiliki kondisi yang khas berupa

menurunnya fungsi kota utama dan mulai menyebarnya fungsi- fungsi kota secara relatif ke kota-kota yang lebih kecil di wilayah pengaruhnya. Pada tahap akhir sistem perkotaan tersebut adalah beberapa kota kecil mengalami perkembangan ekonomi yang signifikan dan berkecenderungan menjadi kota menengah/ secondary city, yang selanjutnya juga menyebabkan terbentuknya kota-kota kecil di wilayah perdesaan. Pembentukan kota-kota kecil di perdesaan juga berkaitan dengan dengan hubungan fungsional yang erat diantara sistem perkotaan tersebut. Penataan sistem perkotaan yang memiliki hirarki dan keterkaitan merupakan elemen yang utama dalam penciptaan sistem tata ruang yang integratif, yaitu jenjang kota-kota yang meliputi pusat regional, pusat distrik, pusat sub distrik dan pusat lokal.

Namun demikian hal yang perlu diperhatikan bahwa ketiadaan keterkaitan antara kota-kota sebagai pusat pertumbuhan akan menghambat proses penyebaran kemajuan ke wilayah lain yang berakibat intensitas dan konsentrasi kegiatan dan hasil- hasil pembangunan hanya terjadi di kota-kota pusat pertumbuhan. Kunci bagi pertumbuhan sekaligus pemerataan di suatu wilayah adalah melalui penciptaan hubungan (keterkaitan) yang saling menguntungkan antar pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah pengaruhnya atau hinterland. Kekurangan sistem spasial mengakibatkan tidak terbentuknya sistem pertukaran (exchange) yang mantap. Pembentukan suatu integrasi spasial di suatu wilayah dapat dilakukan dengan mengembangkan pemukiman atau sistem kota-kota yang memiliki hirarki dan menciptakan suatu keterkaitan antar kota atau dengan kata lain mengintegrasikan pembangunan perkotaan dengan perdesaan. Hal ini dilakukan dengan membentuk jaringan produksi, distribusi dan pertukaran yang mantap mulai dari desa dan kota kecil. Pendekatan ini didasarkan pemikiran bahwa dengan adanya integrasi dan artikulasi sistem pusat pertumbuhan-pusat pertumbuhan yang berjenjang dan berbeda karakteristik fungsionalnya, maka pusat-pusat tersebut akan memacu penyebaran perkembangan wilayah. Sehingga peran sistem tersebut sangat besar dalam memacu perkembangan wilayah. Dengan adanya hirarki dan spesialisasi fungsi kota-desa diharapkan terjadi keterkaitan (fisik, ekonomi, mobilitas penduduk, teknologi, sosial, pelayanan jasa,

interaksi sosial, dan administrasi politik) yang dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang dapat memacu perkembangan wilayah.

Analisis skalogram merupakan salah satu analisis terhadap pemusatan dalam suatu wilayah. Dengan melakukan identifikasi terhadap fasilitas- fasilitas kunci yang mempengaruhi perekonomian wilayah yang dimiliki serta pendekatan kuantitatif maka dapat ditentukan rangking atau hirarki pusat-pusat pertumbuhan. Wilayah diasumsikan dalam tipologi wilayah nodal, dimana pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan jumlah dan jenis fasilitas umum serta sarana dan prasarana yang ada. Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum serta sarana dan prasarana dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain akan menjadi pusat atau mempunyai hirarki lebih tinggi. Sebaliknya, jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum serta sarana dan prasarana dengan kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah yang lain.

Kawasan agropolitan Bungakondang terdiri dari 34 (tiga puluh empat) desa yang mempunyai karakteristik, fasilitas umum serta sarana dan prasarana yang beragam. Sistem desa-desa menunjukkan sebaran desa-desa dalam kawasan tertentu yang disusun menurut urutan berdasarkan indeks perkembangan desa, sehingga dapat memperlihatkan suatu peringkat atau hirarki desa-desa. Semakin besar indeks perkembangan desa maka semakin kuat peranan (dominasi) dan tingkat keutamaan suatu desa terhadap desa lain atau wilayah pada jenjang di bawahnya. Desa yang berhirarki tinggi berpotensi untuk menjadi pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan bagi wilayah tersebut. Berdasarkan analisis skalogram terhadap desa-desa dalam kawasan agropolitan Bungakondang diperoleh hirarki desa-desa dalam kawasan agropolitan, sebagamana tersebut dalam Tabel 16.

Tabel 16 Hasil analisis skalogram berdasarkan indeks perkembangan desa terstandarisasi

Desa Kecamatan Indeks Perkembangan Hirarki

Bukateja Bukateja 128,91 1 Kejobong Kejobong 64,68 1 Pengadegan Pengadegan 61,82 1 Kembangan Bukateja 56,57 1 Kutawis Bukateja 38,31 2 Wirasaba Bukateja 37,09 2 Bandingan Kejobong 36,26 2 Cipawon Bukateja 32,78 2 Kedungjati Bukateja 31,74 2 Sinduraja Kaligondang 31,73 2 Timbang Kejobong 31,31 2 Pangempon Kejobong 29,09 2 Majasari Bukateja 28,54 2 Karangcengis Bukateja 28,41 2 Lamuk Kejobong 28,33 2 Bajong Bukateja 27,15 2 Karanggedang Bukateja 26,12 2 Larangan Pengadegan 26,08 2 Langgar Kejobong 24,44 2 Nangkod Kejobong 24,09 2 Sokanegara Kejobong 23,03 2 Krenceng Kejobong 22,22 2 Gumiwang Kejobong 21,54 2 Pandansari Kejobong 21,21 3 Penolih Kaligondang 20,59 3 Pasunggingan Pengadegan 20,47 3 Karangnangka Bukateja 18,92 3 Tidu Bukateja 17,99 3 Kebutuh Bukateja 17,83 3 Penaruban Bukateja 17,23 3 Panunggalan Pengadegan 15,78 3 Nangkasawit Kejobong 14,83 3 Kedarpan Kejobong 13,40 3 Karangjoho Pengadegan 11,47 3

Hasil analisis skalogram menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) desa yang berada pada hirarki 1, sedangkan 19 (sembilan belas) desa berada di hirarki 2 dan 11 (sebelas) desa berada di hirarki 3. Desa-desa yang berada pada hirarki 1 mempunyai potensi yang lebih besar untuk dikembangkan sebagai desa pusat pertumbuhan atau desa pusat pelayanan pada kawasan agropolitan Bungakondang karena mempunyai jenis dan jumlah fasilitas pendukung perkembangan wilayah

yang lebih lengkap. Adapun desa-desa tersebut adalah desa Bukateja, Kejobong, Pengadegan dan Kembangan. Sedangkan 30 desa lainnya berada pada hirarki 2 dan 3, yang cenderung merupakan desa hinterland atau desa penyokong. Secara konseptual wilayah inti atau desa pusat pertumbuhan dan wilayah hinterland merupakan suatu sistem wilayah yang saling terkait secara sinergis. Desa pusat pertumbuhan berfungsi untuk mendorong dan memfasilitasi perkembangan wilayah hinterland dengan menyediakan berbagai fasilitas pelayanan yang dibutuhkan. Sedangkan wilayah hinterland lebih berfungsi sebagai kawasan produksi yang bisa menjadi wilayah suplai bagi wilayah inti.

Dalam masterplan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga, kawasan agropolitan Bungakondang terbagi menjadi 4 (empat) kawasan pengembangan. Pembagian kawasan agropolitan Bungakondang menjadi beberapa kawasan pengembangan tersebut lebih banyak berdasarkan kedekatan geografis desa-desa. Kawasan pengembangan tersebut adalah Kejobong, Bandingan, Cipawon dan Bukateja. Sebagai kawasan pengembangan utama adalah Bukateja.

Pengembangan kawasan agropolitan menekankan pada hubungan antara kawasan perdesaan dengan perkotaan secara berjenjang, sehingga terbentuk hirarki wilayah. Keterkaitan berjenjang dari desa - kota kecil - kota menengah - kota besar akan lebih mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa (Rustiadi et al. 2005). Dalam konteks tata ruang, secara umum struktur hirarki desa-desa dalam kawasan agropolitan adalah sebagai berikut :

a. Orde Pertama atau Desa Pusat Pertumbuhan Utama, berfungsi sebagai kota perdagangan, pusat kegiatan manufaktur final industri pertanian (packing), stok pergudangan dan perdagangan bursa komoditas, pusat kegiatan tersier agrobisnis, jasa perdagangan dan keuangan, serta pusat berbagai pelayanan industri pertanian (general agroindustry services).

b. Orde Kedua atau Kawasan Pusat Agropolitan, berfungsi sebagai pusat kegiatan agroindustri berupa pengolaha n bahan pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agrobisnis dan sebagai pusat pelayanan agroindustri khusus (special agroindustry services).

c. Orde Ketiga atau wilayah hinterland, berfungsi sebagai pusat produksi komoditas pertanian yang dipergunakan sebagai bahan baku industri pertanian.

Berdasarkan indeks perkembangan desa yang menentukan hirarki desa-desa, dapat diperoleh rerata indeks perkembangan wilayah untuk masing- masing kawasan pengembangan. Rerata perkembangan wilayah merupakan penjumlahan indeks perkembangan wilayah untuk masing- masing desa pada setiap wilayah Kawasan pengembangan yang kemudian dibagi jumlah desa. Dengan asumsi bahwa rerata indeks perkembangan kawasan pengembangan menunjukkan tingkat perkembangan wilayah kawasan pengembangan. Semakin besar rerata nilai indeksnya maka semakin maju dan semakin berkembang wilayah tersebut. Rerata indeks perkembangan wilayah masing- masing kawasan pengembangan dalam kawasan agropolitan Bungakondang sebagaimana tabel berikut.

Tabel 17 Rerata indeks perkembangan wilayah pada kawasan pengembangan

Kawasan Pengembangan Rerata Indeks Perkembangan Wilayah

Bukateja 46,86

Bandingan 29,55

Cipawon 25,63

Kejobong 25,13

Kawasan pengembangan Bukateja mempunyai rerata indeks perkembangan wilayah yang tertinggi, sehingga mempunyai potensi yang besar sebagai pusat kawasan agropolitan. Di dalam kawasan pengembangan utama Bukateja, Desa Bukateja memiliki indeks perkembangan wilayah yang tertinggi diantara desa-desa lainnya. Sedangkan kawasan pengembangan la in mempunyai indeks perkembangan wilayah yang lebih kecil, dengan demikian lebig berpotensi sebagai kawasan hinterland.

Berkaitan dengan penentuan struktur hirarki wilayah atau orde wilayah maka desa Bukateja merupakan Orde 1, sedangkan kawasan pengembanga n Bukateja sebagai Orde 2. Sebagai Orde 1, desa Bukateja menjadi pusat pelayanan dan pusat aktivitas kawasan agropolitan Bungakondang. Desa-desa dalam kawasan pengembangan Bukateja sebagai Orde 2 merupakan hinterland/

pendukung desa Bukateja sebagai pusat aktivitas. Sementara kawasan pengembangan lainnya, yaitu kawasan pengembangan Bandingan, Cipawon dan Kejobong yang mempunyai rerata indeks perkembangan wilayah lebih rendah berada pada orde 3 yang merupakan kawasan hinterland. Kawasan hinterland ini mempunyai fungsi sebagai kawasan produksi pertanian dan mensuplai beragam kebutuhan untuk kawasan pengembangan utama. Peta orde atau hirarki kawasan agropolitan Bungakondang sebagaimana Gambar 9.

Sumber :

Peta AEZ Kabupaten Purbalingga Tahun 2002 Sk ala 1:50.000 P ET A O RD E H IR AR KI KAWAS AN AGR OP OL I TA N 1 0 1 Kilometers N E W S Orde 2 Kawas an Pusat Pertumbuhan/ KP Bukateja Orde 3 Kawas an Hinterland/ KP Cipawon, Bandingan dan Kejobong Orde Hirar ki Orde 1

Des a Pusat Pertumbuhan/ Des a Bukateja 324000 324000 326000 326000 328000 328000 330000 330000 332 000 332 000 334000 334000 336 000 336 000 338000 338000 9174000 917 400 0 9176000 917 600 0 9178000 917 800 0 9180000 918 000 0 9182000 918 200 0 9184000 918 400 0 9186000 918 600 0 9188000 918 800 0 Orde 1 Orde 2 Orde 3

Gambar 9 Peta orde kawasan agropolitan Bungakondang

Identifikasi desa pusat pertumbuhan pada kawasan pengembangan dapat ditentukan dengan menggunakan indeks hirarki untuk masing- masing desa. Ranking hirarki desa-desa dalam kawasan-kawasan pengembangan agropolitan adalah sebagaimana tabel berikut :

Tabel 18 Ranking hirarki desa-desa dalam kawasan agropolitan berdasarkan hasil penelitian dan master plan

Hirarki Desa Ranking Hirarki Desa Ranking

Hirarki Hirarki

Bukateja Bukateja 1 Bukateja Bukateja 1

Kembangan 4 Bajong 2 Wirasaba 7 Tidu 3 Kedungjati 9 Kembangan 4 Majasari 13 Wirasaba 5 Bajong 16 Kedungjati 6 Tidu 28 Majasari 7

Kutawis Kutawis 5 Cipawon Cipawon 1

Cipawon 8 Penaruban 2 Karangcengis 14 Kebutuh 3 Karanggedang 17 Kutawis 4 Karangnangka 27 Karangcengis 5 Kebutuh 29 Karangnagka 6 Penaruban 30 Karanggedang 7

Pengadegan Pengadegan 3 Bandingan Bandingan 1

Bandingan 6 Sinduraja 2 Sinduraja 10 Penolih 3 Lamuk 15 Pengadegan 4 Sokanegara 21 Lamuk 5 Krenceng 22 Pasunggingan 6 Gumiwang 23 Gumiwang 7 Penolih 25 Sokanegara 8 Pasunggingan 26 Krenceng 9

Kejobong Kejobong 2 Kejobong Kejobong 1

Timbang 11 Langgar 2 Pangempon 12 Timbang 3 Larangan 18 Larangan 4 Langgar 19 Karangjoho 5 Nangkod 20 Panunggalan 6 Pandansari 24 Kedarpan 7 Panunggalan 31 Nangkod 8 Nangkasawit 32 Pandansari 9 Kedarpan 33 Nangkasawit 10 Karangjoho 34 Pangempon 11

Sumber : Analisis Skalogram Sumber : Bappeda (2005)

Struktur hirarki desa-desa dalam dalam kawasan agropolitan Bungakondang yang terbagi menjadi 4 (empat) kawasan pengembangan

Dokumen terkait