• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Kualitas Fisik Substrat Antimikroba

Hasil pengujian kualitas fisik substrat antimikroba disajikan pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3.Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi Substrat Antimkroba

Peubah Nilai

pH 4,3

Total Asam Tertitrasi (%) 0,27

Substrat antimikroba yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil penyaringan dari bakteri asam laktat yaitu Lactobacillus fermentum 2B4 (Widiasih, 2008). Menurut Surono (2004) Lactobacillus fermentum merupakan salah satu bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif yaitu bakteri yang melibatkan jalur 6-fosfoglukonat atau fosfoketolase dalam metabolisme. Bakteri ini berbentuk batang panjang dan pendek dengan karakteristik menghasilkan kira-kira 50% asam laktat dari glukosa. Selain itu, bakteri ini juga menghasilkan etanol, CO2, asam asetat, senyawa citarasa dan manitol serta 1 mol ATP dari heksosa dan tidak mempunyai enzim aldolase.

Nilai pH pada substrat antimikroba yaitu 4,3. Hasil penelitian tersebut menujukkan bahwa nilai pH yang dihasilkan oleh substrat antimiroba memiliki tingkat asam yang tinggi, tidak berbeda jauh dengan penelitian Widiasih (2008) yaitu 4,1. Keasaman pada substrat antimikroba disebabkan adanya bakteri asam laktat yang memiliki kemampuan untuk memetabolisme glikogen menjadi asam laktat. Hasil penelitian ini sesuai dengan Varnam dan Sutherland (1995) yang menyatakan bahwa pembentukan asam laktat tergantung pada tingkat aktivitas antimikroba yang digunakan. Jumlah asam laktat yang terbentuk dipengaruhi oleh jumlah karbohidrat yang tersedia, semakin tinggi jumlah karbohidrat maka asam laktat yang terbentuk akan semakin banyak (Hui et al., 2001)

Nilai pH yang rendah dapat menyebabkan nilai keasaman yang tinggi, nilai asam tersebut dapat diuji dengan total asam tertitrasi (TAT). Pengukuran total asam tertitrasi menurut Frobisher et al. (1974) adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi dan tidak terdisosiasi), sedangkan dalam pengukuran pH yang terukur adalah jumlah ion hidrogen dalam bentuk terdisosiasi. Pengontrolan terhadap nilai

total asam tertitrasi dan pH pada bahan pangan akan mempengaruhi kualitas bahan pangan tersebut. Nilai pH dan total asam tertitrasi dipengaruhi oleh asam laktat dan asam organik sebagai hasil metabolisme starter terhadap karbohidrat daging. Nilai total asam tertitrasi (TAT) biasanya berbanding terbalik dengan nilai pH, semakin tinggi nilai total asam tertitrasi maka semakin rendah nilai pH atau sebaliknya.

Nilai total asam tertitrasi dapat dilihat pada Tabel 3 yaitu 0,27%. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Widiasih (2008) yaitu 0,33%. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kecepatan sentrifugasi, pada penelitian Widiasih (2008) proses sentrifugasi yaitu 10000 rpm selama 20 menit. Pada penelitian ini hanya menggunakan kecepatan sentrifugasi 6000 rpm selama 20 menit, hal ini menunjukkan bahwa asam-asam organik dapat diekstraksi lebih banyak pada kecepatan sentrifugasi 10000 rpm.

Nilai Kualitas Daging segar

Penilaian kualitas fisik daging segar ini meliputi pH, daya mengikat air dan total mikroba daging segar. Nilai pH merupakan nilai penting dalam menentukan kualitas daging maupun produk olahannya. Nilai pH daging tidak dapat diukur segera setelah pemotongan (biasanya dalam waktu 45 menit) untuk mengetahui penurunan pH awal. Pengukuran biasanya dilakukan setidak-tidaknya 24 jam untuk mengetahui pH akhir dari daging atau karkas (Soeparno, 1998). Hasil penilaian kualitas daging segar dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penilaian Kualitas pada Daging Segar

Peubah Nilai

Nilai pH daging 5,6 ± 1,1

Persentase Air Bebas (%) 18,7 ± 3,7

Total mikroba (log cfu/g) 7,1 ± 1,1

Besarnya nilai pH dapat digunakan untuk menentukan suatu produk daging bersifat asam, netral dan basa. Nilai pH normal pada daging segar menurut SNI 01-3947-1995 yaitu 5,3-5,8. Pada penelitian ini nilai pH yang dihasilkan yaitu 5,6 + 1,1. Hal ini dipengaruhi oleh adanya faktor yang dapat mempengaruhi laju dan besarnya penurunan nilai pH post mortem yaitu faktor intrinsik yang meliputi spesies, tipe otot dan glikogen otot. Sedangkan faktor ekstrinsik antara lain suhu lingkungan, perlakuan dan stres sebelum pemotongan (Soeparno, 1998).

Pengukuran daya mengikat air dilakukan dengan pengukuran area basah yang dihasilkan ketika daging ditekan dengan beban tertentu. Area basah terbentuk karena adanya pelepasan H2O dari daging. Nilai daya mengikat air dihitung berdasarkan persentase H2O yang keluar dari daging. Semakin kecil persentase H2O maka daya mengikat air semakin besar. Persentase air bebas dari daging segar yang digunakan untuk penelitian adalah 18,7±3,7%, maka daging segar pada penelitian ini mempunyai daya mengikat air yang cukup besar. Besarnya nilai daya mengikat air dapat dipengaruhi perlakuan pada saat pemotongan dan metode pemasakan. Nilai daya mengikat air sangat rendah juga dapat disebabkan adanya penurunan pH pada titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat akses muatan positif yang

mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberikan lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air.

Nilai total mikroba daging segar pada penelitian ini di atas standar yang ditetapkan SNI. Banyaknya mikroba pada daging disebabkan oleh tempat pemotongan daging kurang higienis dan disebabkan adanya kontaminasi juga dapat berasal tanah disekitarnya, kulit (kotoran pada kulit), isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang digunakan selama proses pemotongan, kotoran, udara dan pekerja (Soeparno, 1998).

Aplikasi Substrat Antimikroba pada Bakso Daging Sapi

Nilai pH Bakso Daging

Salah satu cara untuk memperpanjang daya simpan suatu produk daging adalah dengan cara daging tersebut diolah menjadi bakso. Bakso daging tersebut juga dapat menggunakan bahan pengawet seperti pemberian substrat antimikroba. Hasil penggunaan substrat antimikroba terhadap nilai pH bakso daging sapi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh Substrat Antimikroba terhadap Nilai pH Bakso Daging Sapi (log cfu/g) Perlakuan Penyimpanan (Hari) 0% 50% 100% H-2 6,4±0,2 5,6±0,1 5,0±0,2 H-4 6,6±0,2 5,4±0,6 5,3±0,3 Rataan 6,5±0,2a 5,5±0,6a 5,2±0,3b Keterangan: Huruf superskript yang beda pada baris yang sama memiliki perbedaan yang

nyata (P<0,05)

Berdasarkan Tabel 5 didapatkan bahwa nilai pH bakso daging dipengaruhi (P<0,05) oleh pemberian substrat antimikroba, semakin besar konsentrasi substrat antimikroba maka semakin rendah nilai pH. Hal ini disebabkan substrat antimikroba mengandung asam organik, diasetil dan menghasilkan H2O2. Efek antimikroba dari asam organik merupakan akibat dari turunnya nilai pH dan juga bentuk tidak terdisosiasi dari molekul asam organik. Sebagaimana diketahui bahwa pH eksternal yang rendah mengakibatkan asidifikasi sel sitoplasma, sementara asam yang tidak terdisosiasi akan melumpuhkan elektrokimia proton gradient atau dengan mengubah permeabilitas sel membran yang akan mengganggu sistem transport substrat. Sedangkan H2O2 bertindak sebagai prekursor bagi pembentukan radikal bebas yang bersifat bakterisidal sperti senyawa radikal superoksida (O2-) dan hidroksil (OH-) yang dapat merusak DNA (Surono, 2004).

Nilai pH yang rendah tidak dipegaruhi oleh lamanya penyimpanan karena asam organik tidak mengubah kandungan substrat antimikroba pada bakso daging sapi. Asam organik pada substrat antimikroba dipengaruhi oleh jenis strain dan jumlah asam laktat yang digunakan. Nilai pH yang rendah pada bakso daging sapi dapat mengganggu stabilitas homeostasis dan rusaknya membran sel. Nilai pH yang rendah menyebabkan terjadinya penguraian dan kerusakan membran sel. Asam laktat yang terbentuk akan masuk ke dalam sel bakteri sehingga terjadi pelepasan ion positif dan negatif di dalam sel yang tidak dapat keluar melalui membran sel (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

Uji Mikrobiologi Bakso Daging Sapi

Jumlah Populasi Awal Total Mikroba, E. coli, dan S. aureus

Jumlah populasi awal total mikroba, E. coli dan S. aureus pada bakso daging sapi tanpa perlakuan penambahan substrat antimikroba dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Total mikroba, E. coli dan S. aureus pada Bakso Daging Sapi tanpa Penambahan Substrat antimikroba (log cfu/g)

Bakteri Uji Penyimpanan

(Hari) Total mikroba E. coli S. aureus

H-0 7,6±1,1 2,8±0,1 2,8 ± 0,1

H-2 8,9±0,5 3,0±0,0 7,2 ±0,1

H-4 8,5±0,5 3,2±0,4 6,4 ± 0,3

Pada Tabel 6 terlihat bahwa jumlah populasi awal total mikroba, E. coli dan S. aureus melebihi jumlah cemaran mikroba maksimum pada bakso daging sapi menurut SNI 01-3818. Jumlah populasi mikroba awal dari daging yang digunakan untuk membuat bakso sudah cukup tinggi yaitu 7,6±1,1 log cfu/g. Proses perebusan dalam pembuatan bakso tidak mampu menurunkan populasi bakteri dalam bakso daging sapi. Menurut Lawrie (1979) Bakteri yang berasal dari daging segar antara lain Salmonella, Shigella,Escherisia coli, Bacillus proteus, Staphylococcus albus, Staphylococcus aureus, Clostridium walchii, Bacillus cereus dan Streptococcus.

Total mikroba pada bakso daging sapi perlakuan kontrol meningkat pada penyimpanan hari ke-2. Hal ini disebabkan mikroba pada bakso daging sapi mengalami fase pertumbuhan awal, dimana pada fase tersebut sel mulai membelah walaupun dengan kecepatan yang masih rendah karena baru selesai pada tahap penyesuaian diri (Fardiaz, 1992). Peningkatan total mikroba pada bakso daging sapi disebabkan adanya faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme diantaranya adalah suhu, pH, air, oksigen dan adanya suplai makanan. Pada penyimpanan hari ke-4 total mikroba pada bakso daging sapi mengalami penurunan. Penurunan tersebut disebabkan mikroba yang terdapat dalam bakso daging sapi mengalami fase pertumbuhan lambat dimana fase ini pertumbuhan populasi diperlambat karena zat nutrisi dalam medium sudah berkurang. Pada fase ini pertumbuhan sel tidak stabil, tetapi jumlah populasi masih naik karena jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak daripada jumlah sel yang mati. Banyaknya mikroba

dalam bakso daging sapi disebabkan bakteri yang ada di dalam tidak hanya berasal dari satu spesies, melainkan dari bermacam-macam spesies, ada yang tahan pada suhu dingin atau suhu panas. Salah satu bakteri yang hidup pada suhu dingin yaitu bakteri psichrophilic seperti Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Flavobacterium dan Proteus (Soeparno, 1994). Clostridium mampu memetabolisme asam-asam amino secara enzimatik (deaminasi oksidatif dan reduktif ) menjadi amonia, asam keton dan asam lemak reaksi ini sering disebut reaksi Sticklard. Bentuk degradasi asam-asam amino yang berupa dekarboksilasi akan menghasilkan CO2 dan amina, misalnya tirosin menjadi tiramin, ornitin menjadi putresin, dan lisin menjadi kadaverin. Enzim bakteri lain dapat memecah tritofan idol, sistein dan metionin menjadi H2S dan merkaptan, konversi arginin menjadi ornitin, CO2 dan amonia dan degradasi dari histidin. Senyawa volatil tersebut juga terbentuk selama proses degradasi asam-asam amino.

Jumlah populasi E. coli pada bakso daging sapi mengalami peningkatan pada penyimpanan H-2 dan H-4. Hal ini dapat disebabkan pH, media dan yang cocok untuk pertumbuhan E. coli.

Jumlah populasi S. aureus pada hari ke-0 sebesar 2,8 log cfu/g. Banyaknya jumlah S. aureus disebabkan dari kontaminasi silang, selain itu juga S. aureus mengalami fase adaptasi dimana S. aureus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim mungkin belum disintesis. Jumlah pada fase ini mungkin tetap, tetapi kadang-kadang menurun. Lamanya fase ini tergantung dari kecepatan penyesuaian dengan lingkungan di sekitarnya (Fardiaz, 1992). Pada hari ke-2 S. aureus mengalami peningkatan populasi dan jumlah populasi S. aureus mengalami penurunan pada hari ke-4. Penurunan tersebut disebabkan S. aureus mengalami fase menuju kematian dimana pada fase tersebut populasi bakteri mulai menurun yang disebabkan nutrien yang didalam medium dan energi cadangan di dalam sel habis, kecepatan kematian dipengaruhi oleh kondisi nutrien, lingkungan dan jenis bakteri.

Pengaruh Perlakuan pada Jumlah Total mikroba

Penilaian kualitas bakso daging sapi salah satunya dapat ditentukan oleh jumlah mikroba yang mengkontaminasinya. Hasil pengamatan aplikasi subtrat antimikroba terhadap total mikroba bakso daging sapi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh Substrat Antimikroba terhadap Total Mikroba Bakso Daging Sapi Perlakuan Lama Simpan (Hari) 0% 50% 100% Rataan (log10 cfu/g) 2 8,9±0,5 7,9±0,8 8,6±0,9 8,5±0,7 4 8,5±0,5 9,0±0,2 8,0±1,5 8,5±0,7 Rataan 8,3±0,5 8,4±0,5 8,3±1,2

Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian substrat antimikroba dan lama simpan tidak mempengaruhi jumlah total mikroba yang terdapat pada bakso. Menurut Fardiaz (1992) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain ketersediaan nutrisi, pH, aktivitas air, ketersediaan oksigen dan potensi oksidasi reduksi.

Pada penelitian ini jumlah total mikroba pada bakso daging sapi menunjukkan trend yang flukuatif, mungkin dikarenakan kondisi awal daging yang sudah terkontaminasi dan efektifitas substrat antimikroba yang relatif rendah. Pada gambar berikut ditunjukkan perkembangan pertumbuhan mikroba dari bakso daging sapi yang mendapat perlakuan.

Gambar 3. Histogram Aktivitas Substrat Antimikroba terhadap Total Mikroba dengan Lama Simpan 2 dan 4 Hari

Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan E. coli

Keberadaan E. coli merupakan salah satu indikator sanitasi buruk dalam proses produksi pangan. Hasil pengamatan aplikasi subtrat anti mikroba terhadap jumlah E. coli bakso daging sapi disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh Substrat Antimikroba dan lama simpan terhadap Pertumbuhan E. coli Perlakuan Lama Simpan (Hari) 0% 50% 100% Rataan (log10 cfu/g) 2 3,0±0,0 3,0±0,0 3,0±0,0 3,0±0,0 4 3,2±0,4 3,0±0,0 2,8±0,1 3,0±0,2 Rataan 3,0±0,3 3,0±0,0 2,9±0,1

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan E. coli pada bakso daging sapi tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Pada Gambar 4 diperlihatkan kondisi pertumbuhan E. coli pada bakso penelitian. Gambaran tersebut bahwa pemberian substrat antimikroba mulai menunjukkan daya menghambatnya pada konsentrasi 50% dan proses penghambatan terlihat pada konsentrasi 100% dengan penyimpanan 4 hari.

Gambar 4. Histogram Aktivitas Substrat Antimikroba terhadap E. coli dengan lama simpan 2 dan 4 hari

E. coli termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram negatif memiliki lapisan membran luar yang dapat menyebabkan dinding sel bakteri Gram negatif kaya akan lipida (11-22%). Lipida tersebut membentuk struktur yang khas yang disebut lipopolisakarida (LPS). Fungsi dari LPS adalah sebagai penahan yang berarti bahwa LPS akan menahan enzim yang terletak di luar lapisan peptidoglikan sehingga tidak akan meninggalkan sel, sebagai penahan yang bersifat impermeabel terhadap enzim yang berperan dalam pertumbuhan dinding sel, LPS bersifat toksin yang merupakan bagian dari sel dan hanya dilepaskan sewaktu lisis (Lay dan Hastowo, 1992).

Proses penghambatan E. coli juga dipengaruhi oleh pH yang rendah. Nilai pH rendah disebabkan substrat antimikroba dapat menghasilkan diasetil. Diasetil lebih efektif menghambat bakteri Gram negatif dibandingkan dengan Gram positif. Diasetil juga dapat mengintervensi arginin pada Gram negatif, dimana Gram negatif

dapat dihambat oleh 200 µg/ml diasetil, sedangkan bakteri Gram positif memerlukan

300 µg/ml dan E. coli membutuhkan pH optimum 6-7 untuk pertumbuhan (Lay dan

Hastowo, 1992). Hasil dari metabolisme E. coli adalah gas H2 dan CO2, dimanaCO2 memiliki efek antimikroba ganda yang menciptakan kondisi aerobik dan bersifat antibakteri karena menghambat dekarboksilasi enzimatik dan akumulasi CO2 dalam lipid bilayer membran yang akan berakibat terganggunya permeabilitas membran.

Gas CO2 secara efektif menghambat pertumbuhan berbagai mikroba terutama bakteri Gram negatif (Surono, 2004).

Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang bersifat anaerobik fakultatif. Hasil pengamatan aplikasi subtrat antimikroba terhadap jumlah S. aureus bakso daging sapi disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Aplikasi Substrat Antimikroba terhadap Pertumbuhan S. aureus pada Bakso Daging Sapi

Perlakuan Lama Simpan (Hari) 0% 50% 100% (log10 cfu/g) 2 7,2±0,1a 3,0±0,0b 3,0±0,0b 4 6,4±0,3a 5,8±0,8b 5,8±1,2b

Keterangan: Huruf superskript yang beda pada baris yang sama memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian substrat antimikroba secara nyata menurunkan pertumbuhan S. aureus mulai konsentrasi 50% pada penyimpanan hari ke-2. Pertumbuhan S. aureus pada hari ke-4 menunjukkan

peningkatan populasi, hal ini mungkin karena daya hambat dari substrat antimikrobanya mulai melemah sementara pertumbuhan S. aureus masuk

pada fase percepatan.

Substrat antimikroba mengandung asam-asam organik diantaranya asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan oleh L. fermentum merupakan bakteri heterofermentatif yang dapat mengakibatkan nilai pH turun dan bentuk tidak terdisosiasi dari molekul asam organik, dimana pH eksternal yang rendah dapat mengakibatkan asidifikasi sel sitoplasma, sementara itu asam yang terdisosiasi menjadi lipofilik, yang dapat berdifusi ke dalam membran. Asam yang tidak terdisosiasi akan melumpuhkan elektro kimia proton gradient atau dengan permeabilitas sel membran yang akan mengganggu sistem transport substrat (Surono, 2004). Penghambatan tersebut juga disebabkan S. aureus merupakan salah satu bakteri Gram positif yang mempunyai komponen dinding sel yang lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antimikroba untuk dapat masuk ke dalam sel, Sedangkan bakteri Gram negatif mempunyai struktur yang lebih kompleks yaitu

lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa polisakarida dan lapisan dalam adalah peptidoglikan (Peleczar dan Chan, 1982). Efek penghambatan juga disebabkan substrat antimikroba menghasilkan senyawa metabolit. H2O2 dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dimana H2O2 bertindak sebagai precursor bagi pembentukan radikal bebas yang bersifat bakterisidal seperti senyawa radikal bebas superoksida (O2) dan hidroksil (OH) yang dapat merusak DNA. Efek dari senyawa

H2O2 adalah karena terjadinya oksidasi pada sel bakteri yaitu gugus sulfhidril dari protein sel sehingga mendenaturasi jumlah enzim dan terjadinya

peroksidasi dan lipid membran yang dapat meningkatkan permeabilitas membran (Lay dan Hastowo, 1992). Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian

Widiasih (2008) yang menyatakan bahwa Lactobacillus fermentum 2B4 dapat menghambat S. aureus secara in vitro yang ditunjukkan dengan adanya zona penghambatan sebesar 7,63±0,73 mm. Pada Gambar 5 diperlihatkan pengaruh penghambatan substrat antimikroba terhadap pertumbuhan S. aureus.

Gambar 5. Histogram Aktivitas Substrat Antimikroba terhadap S. aureus dengan Lama Simpan 2 dan 4 Hari

Jumlah populasi S. aureus dipegaruhi oleh lama simpan. Pada penyimpanan hari ke-2 pada konsentrasi 50% dan 100% jumlah populasi S. aureus sebesar 3,0±0,0 log cfu/g atau 1,00 X 103 cfu/g. Banyaknya jumlah populasi S. aureus disebabkan S. aureus mengalami fase adaptasi. Pada fase adaptasi S. aureus mulai menyesuaikan dengan substrat dan kondisi lingkungan disekitarnya dan belum terjadi pembelahan

sel karena beberapa enzim mungkin belum disintesis. Jumlah sel pada fase ini tetap, tetapi kadang-kadang menurun. Lamanya fase ini bervariasi, dapat cepat atau lambat tergantung dari kecepatan penyesuaian dengan lingkungannya. Lamanya fase adaptasi ini dipengaruhi oleh medium dan lingkungan pertumbuhan serta jumlah inokulum (Fardiaz, 1992). Pada penyimpanan H-4 jumlah populasi S. aureus meningkat pada konsentrasi 50% dan 100%. Hal ini disebabkan S. aureus mengalami fase pertumbuhan logaritmik. Pada fase ini sel S. aureus membelah dengan cepat dan konstan, dimana pertambahan jumlahnya mengikuti kurva logaritmik. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien (Fardiaz, 1992). Pada S. aureus terdapat asam teikoat yang berfungsi sebagai pengatur dinding sel sewaktu pertumbuhan atau pembelahan sel. Sewaktu pertumbuhan sel, enzim otolisin akan merusak dinding sel yang lama untuk diganti dengan dinding sel yang baru. Daya kerja dari enzim otolisin ini harus diatur, oleh karena kerusakan dapat terjadi pada dinding sel yang baru tumbuh, sehingga akan menyebabkan lisis. Asam teikoat berfungsi untuk mengatur otolisin

sehingga enzim ini bekerja bersama-sama dengan sintesis dinding sel (Lay dan Hastowo, 1992).

S. aureus dapat tumbuh pada aw optimal 0,990-0,995 dan memiliki suhu optimum untuk pertumbuhan yaitu 35-38oC (Jay, 2000). Keberadaan S. aureus perlu diwaspadai dalam produk daging karena S. aureus dapat memproduksi enterotoksin yang tahan panas (Fardiaz, 1992) Jumlah Staphylococcus yang tinggi (106 cfu/g) dapat menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan intoksikasi pangan dan diperkirakan sekitar 106 sel organisme S. aureus yang terdapat pada setiap gram makanan dapat menimbulkan gejala keracunan. Makanan yang menyebabkan keracunan setidaknya mengandung 0,01-0,25 µg enterotoksin (Buckle et al., 1987).

Dokumen terkait