• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. BAHAN DAN METODE

4.2 Pembahasan

Derajat kelangsungan hidup dari masing-masing perlakuan memperlihatkan hasil yang cukup beragam walaupun tidak berbeda nyata (Lampiran 3). Walaupun terjadi kematian pada setiap perlakuan namun derajat kelangsungan hidup yang diperoleh selama pemeliharaan masih cukup tinggi yaitu berkisar 86,72% hingga 91,26% (Gambar 2). Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang masih layak bagi kehidupan ikan serta kebutuhan pakan yang tercukupi. Dengan demikian persaingan dalam memperoleh ruang dan pakan masih dalam batas toleransi ikan. Derajat kelangsungan hidup pada penelitian ini masih lebih baik dari penelitian ikan gurami yang dilakukan oleh Bugri (2006) namun lebih rendah apabila dibandingkan dengan penelitian ikan gurami yang dilakukan oleh Sarah (2002) dan Darmawangsa (2008) (Tabel 2).

Kematian dalam jumlah besar pada seluruh perlakuan terjadi pada minggu ke-4 pada masa pemeliharaan (Gambar 1). Hal ini diduga karena pada waktu tersebut terjadi penurunan konsentrasi oksigen hingga 3,24 mg/l. Nilai tersebut berada di bawah kisaran optimum bagi benih ikan gurami yaitu 4,21-5,43 mg/L

(Wahyudi dan Lim, 1986) sehingga ikan mengalami stres dan berakibat kepada kematian. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya persaingan ruang gerak dan kompetisi oksigen sehingga ikan berukuran kecil kalah bersaing dengan ikan yang lebih besar dan berakibat lanjut ikan mengalami stres yang dapat menyebabkan kematian. Gejala awal ikan yang akan mati ditandai dengan pergerakannya yang pasif baik untuk memperoleh pakan maupun untuk bergerak.

Ikan juga lebih sering berada dipermukaan dan di pojok akuarium, hal ini dilakukan untuk menghindari interaksi dengan ikan lainnya, sedangkan ikan yang mati ditandai dengan permukaan kulit berlendir dan berwarna putih pucat. Selain itu, umumnya ikan yang mati memiliki ukuran lebih kecil daripada ukuran dalam populasinya.

Penurunan pertumbuhan panjang mutlak serta laju pertumbuhan bobot harian yang seiring dengan meningkatnya padat penebaran terjadi diduga karena ruang gerak ikan yang semakin sempit dengan meningkatnya padat penebaran sehingga mempengaruhi nafsu makan ikan di dalam media pemeliharaan. Hal yang berbeda terjadi pada pertumbuhan panjang mutlak, yaitu pada padat tebar 10 ekor/L berbeda nyata dengan padat penebaran 20 ekor/L. Sedangkan pada padat tebar 15 ekor/L tidak berbeda nyata terhadap padat tebar 10 ekor/L dan 20 ekor/L (Lampiran 4).

Rata-rata nilai laju pertumbuhan bobot harian benih ikan gurami yang dipelihara hingga hari ke-28 berkisar 10,86-11,61 % (Gambar 6) atau 0,005-0,009 g/hari (Lampiran 3). Hal yang sama juga didapat oleh penelitian Sarah (2002);

Bugri (2006) dan Darmawangsa (2008) bahwa semakin tinggi padat penebaran ikan maka laju pertumbuhan bobot semakin menurun (Tabel 2). Pertumbuhan tersebut dikarenakan terjaganya kondisi kualitas air pada semua perlakuan sehingga ikan aktif bergerak dan nafsu makan meningkat. Peningkatan nafsu makan dan kecukupan pakan akan meningkatkan pertumbuhan. Hingga hari ke-28 pada penelitian ini, peningkatan padat penebaran ikan gurami berukuran 0,57+0,06 cm dari 10, 15 dan 20 ekor/L tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada laju pertumbuhan bobot.

Pertumbuhan ikan bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis ikan, sifat genetis, dan kemampuan dalam memanfaatkan makanan, ketahanan terhadap

penyakit serta didukung oleh faktor lingkungan seperti kualitas air, pakan dan ruang gerak atau padat tebar (Hepher dan Pruginin, 1981). Faktor lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan adalah ketersedian oksigen dan sisa metabolisme (Hepher dan Pruginin, 1981). Sisa metabolisme yang terbuang dalam bentuk amoniak pada percobaan ini masih berada dalm kisaran yang tidak membahayakan bagi kehidupan ikan yaitu antara 0,0002-0,0675 mg/L (Tabel 4).

Nilai tersebut masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan konsentrasi amoniak pada penelitian ikan gurami sebelumnya yang dilakukan oleh Sarah (2002), Bugri (2006) dan Darmawangsa (2008) dengan konsentrasi amoniak berkisar 0,001-0,190 mg/L. Nilai amoniak yang dianjurkan menurut Wardoyo (1975) adalah <0,1 mg/L. Ketersedian oksigen yang semakin menurun juga diduga sebagai penyebab menurunnya laju pertumbuhan dan pertumbuhan panjang mutlak dengan semakin meningkatnya padat penebaran dan semakin lamanya waktu pemeliharaan.

Koefisien keragaman panjang menunjukkan seberapa besar variasi ukuran panjang ikan dalam pemeliharaan. Pada pengamatan ini, menunjukkan terjadi nilai koefisien keragaman yang cenderung meningkat seiring meningkatnya padat tebar dan perbedaan padat tebar tidak memberikan pengaruh terhadap koefisien keragaman panjang (Lampiran 6). Semakin besar nilai koefisien keragaman panjang maka dalam populasi tersebut ukuran antar individu akan semakin beragam. Nilai koefisien keragaman dalam percobaan ini masih di bawah 20%, sehingga masih dapat dianggap seragam. Darmawangsa (2008) menyatakan bahwa keragaman ukuran ikan dalam suatu populasi sangat penting, karena apabila terjadi keragaman yang tinggi maka ikan yang berukuran lebih besar akan lebih mudah memperoleh pakan sedangkan ikan yang lebih kecil akan kalah bersaing dalam memperoleh pakan. Sebagai produk, keragaman dapat mempengaruhi harga jual ikan karena ikan yang memiliki ukuran yang seragam harganya akan lebih tinggi daripada ikan yang ukurannya tidak seragam.

Menurut Nurhamidah (2007), padat tebar yang meningkat akan menurunkan efisiensi pakan. Populasi yang meningkat seiring meningkatnya padat tebar akan mengakibatkan persaingan untuk memanfaatkan pakan yang

tersedia semakin kuat, sehingga pada padat tebar yang tinggi resiko kekurangan makanan dapat selalu terjadi.

Hal ini cukup berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, yaitu efisiensi pakan justru meningkat seiring dengan meningkatnya padat tebar.

Pada analisis ragam diperoleh hasil, bahwa padat tebar tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai efisiensi pakan. Hal ini diduga karena pakan yang diberikan, dengan kondisi lingkungan yang terjaga selama percobaan (Lampiran 10) berpeluang sama untuk dimanfaatkan oleh ikan pada setiap perlakuan, baik untuk pertumbuhan ataupun aktivitas lainnya. Kualitas air yang terjaga diharapkan tidak menimbulkan dampak stressor pada ikan. Dalam hal ini tingkat stres yang ditimbulkan belum cukup untuk membuat ikan dalam kondisi tidak mau makan, sehingga nilai efisiensi pakan masih tetap tinggi. Nafsu makan ikan dapat terlihat dari jumlah pakan yang dikonsumsi. Selama penelitian ini berlangsung jumlah pakan yang dikonsumsi padat padat tebar 10, 15 dan 20 ekor/L adalah 750,83 ; 946,18 dan 1092,86 g. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa, peningkatan jumlah pakan yang diberikan masih diimbangi oleh peningkatan konsumsinya.

Dalam pemeliharaan benih ikan, padat tebar dan pergantian air akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan, kelangsungan hidup dan efisiensi pakan (Piper et al., 1982). Padat penebaran yang terlalu tinggi atau di luar batas toleransi kepadatan dan kurangnya pergantian air pada budidaya intensif dapat berpengaruh buruk terhadap kondisi kesehatan dan fisiologis ikan yang selanjutnya dapat mempengaruhi nafsu makan sehingga dapat menurunkan nilai efiensi pakan. Pada penelitian ini pergantian air dilakukan tiga kali sehari untuk setiap harinya, sehingga dapat menjaga kondisi lingkungan perairan sehingga nilai efiensi pakan tetap meningkat seiring dengan meningkatnya padat penebaran.

Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter kualitas air yang sangat penting karena keberadaannya mutlak diperlukan oleh organisme budidaya untuk respirasi. Konsentrasi oksigen pada percobaan ini tergolong baik, yaitu berada dalam kisaran 3,24-7,37 mg/L (Tabel 4). Meningkatnya padat penebaran ikan seiring dengan peningkatan konsumsi oksigen menyebabkan kelarutan oksigen dalam media pemeliharaan mengalami penurunan. Berkurangnya konsentrasi

oksigen ini digunakan untuk respirasi ikan yang selanjutnya digunakan untuk proses metabolisme.

Suhu juga menjadi faktor penting bagi suatu usaha budidaya, karena metabolisme biota akuatik bergantung pada suhu lingkungannya. Dari Tabel 4 dapat diketahui suhu berkisar antara 28oC sampai 30oC. Kisaran tersebut masih optimal bagi benih ikan gurami untuk tumbuh. Boyd (1990), menyatakan Ikan tropis dan subtropis tidak tumbuh dengan baik saat temperatur air dibawah 26 oC atau 28oC dan saat temperatur dibawah 10oC atau 15 oC akan menimbulkan kematian. Menurut Anonimous (1995), benih ikan gurami dapat hidup dengan baik pada suhu air 26,5-32,30C. Kisaran suhu yang stabil akan membuat benih ikan gurami tidak mengalami gangguan fisiologi sehingga pemanfaatan energi untuk metabolisme dan pertumbuhan menjadi optimal.

Amoniak diekskresikan ikan sebagai hasil metabolisme, sehingga semakin meningkatnya biomassa ikan maka semakin banyak amoniak yang diekskresikan.

Sisa metabolisme yang terbuang dalam bentuk amoniak tidak terionisasi (NH3) pada percobaan ini berkisar antara 0,0004-0,0960 mg/L (Tabel 4). Pada Tabel 4 terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya padat tebar maka nilai amoniak ikut meningkat pula. Peningkatan konsentrasi amoniak ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya biomassa ikan juga dipengaruhi oleh meningkatnya nilai pH. Pada pH 7 atau kurang sebagian amoniak akan terionisasi, sehingga yang banyak berada dalam perairan adalah dalam bentuk ion amonium (NH4+). Amonium dalam perairan tidak beracun bagi ikan. Meningkatnya konsentrasi amoniak pada percobaan ini tidak mempengaruhi kondisi ikan karena konsentrasi amoniak pada percobaan ini masih dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh benih ikan gurami.

Nilai amoniak yang dianjurkan menurut Wardoyo (1975) adalah <0,1 mg/L.

Tabel 4 menunjukkan nilai pH dalam wadah pemeliharaan benih ikan gurami. Nilai pH dalam wadah pemeliharaan pada penelitian ini berkisar antara 7,10-7,72. Menurut Anonimous (1995), pH yang baik untuk pertumbuhan gurami adalah 6,2-7,8. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa nilai pH mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu pemeliharaan, hal ini berhubungan dengan nilai alkalinitas yang juga mengalami peningkatan. Bugri (2006) menyatakan bahwa alkalinitas yang semakin meningkat menunjukkan kebasaan

air, dimana ion hidrogen yang dilepaskan ke dalam air (dari proses penguraian amoniak menjadi nitrit) bereaksi dengan asam karbonat menjadi bikarbonat (HCO3-). Ion bikarbonat bersifat basa, maka secara otomatis pH pun mengalami peningkatan.

Nilai alkalinitas pada percobaan ini masih berada dalam kisaran yang baik untuk budidaya ikan gurami yaitu berkisar 46,20-118,60 mg/L (Tabel 4).

Alkalinitas di perairan juga sangat penting keberadaannya, karena berperan sebagai penyangga (buffer) terhadap perubahan pH perairan. Menurut Boyd (1990) alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mg/l CaCO3. Menurut Effendi (2003), perairan mengandung alkalinitas ≥20 ppm menunjukkan bahwa perairan tersebut relatif stabil terhadap perubahan asam/basa sehingga kapasitas buffer atau basa lebih stabil.

Pada percobaan ini, ikan yang dipelihara sudah mencapai ukuran pasar dan siap untuk dijual. Ukuran benih ikan gurami di akhir pemeliharaan berkisar antara 2,01-2,13 cm (kuku kelingking). Harga benih ukuran ini dipasar adalah Rp 250,00. Hasil analisis keuangan benih ikan gurami selama penelitian ini menunjukkan bahwa keuntungan diperoleh lebih banyak pada perlakuan 20 ekor/L yaitu Rp 161.677,00 dalam kapasitas produksi 1800 ekor selama 28 hari waktu pemeliharaan lebih dari perlakuan 15 ekor/L dengan keuntungan yaitu Rp 151.386,00 dalam kapasitas produksi 1350 ekor selama 28 hari waktu pemeliharaan dan pada perlakuan 10 ekor/L dengan keuntungan sebesar Rp 99.892,00 dalam kapasitas produksi 900 ekor selama 28 hari waktu pemeliharaan (Tabel 5 dan 6, Lampiran 10 dan 11). Dengan demikian, perlakuan padat tebar 20 ekor/L menghasilkan efisiensi usaha yang paling tinggi di antara perlakuan lainnya.

Dokumen terkait