• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Inang

5.2 Pembahasan

Hasil identifikasi endoparasit pada saluran pencernaan ikan tongkol ditemukan satu jenis parasit yang sama selama empat kali pengambilan sampel. Endoparasit yang ditemukan pada penelitian ini termasuk dalam Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Ascaridida, Famili Anisakidae, Genus Anisakis, dan spesies Anisakis simplex. Larva cacing Anisakis simplex yang ditemukan adalah larva stadium tiga (L3), hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Grabda (1991) yaitu cacing Anisakis simplex pada stadium tiga (L3) memiliki larva tooth pada bagian ujung anterior dan pada bagian posterior terdapat mucron, selain itu cacing Anisakis simplex memiliki siklus hidup sebagai larva stadium tiga (L3) dalam tubuh ikan .

Hasil pewarnaan cacing Anisakis simplex yang ditemukan di saluran pencernaan ikan tongkol selain memiliki larva tooth dan mucron, pada bagian anterior terdapat excretory pore dan excretory duct, sedangkan pada bagian saluran pencernaan makanan terdapat esophagus, ventriculus, dan intestinum dan pada bagian posterior terdapat anus dan kelenjar anus. Ciri morfologi cacing Anisakis simplex hasil pewarnaan sesuai dengan ciri morfologi Anisakis simplex pada kunci identifikasi Grabda (1991), Kabata (1985) dan Hoffman (1967).

Penelitian ini hanya menemukan satu jenis cacing yaitu Anisakis simplex, hal ini berkaitan dengan habitat, kebiasaan makan ikan tongkol dan keberadaan parasit. Ikan tongkol merupakan ikan pelagis yang hidup di lapisan permukaan sampai pada kedalaman 40 meter. Ikan tongkol lebih aktif mencari makan pada siang hari dan merupakan ikan karnivora yang memakan Thysanoessa dan

Euphausia dari kelas krustasea (Djamal, 1994). Thysanoessa dan Euphausia merupakan inang antara pertama bagi cacing Anisakis simplex. Inang antara pertama yang terinfeksi L2 Anisakis simplex apabila dimakan oleh ikan tongkol maka larva tersebut akan berkembang menjadi L3. Tidak ditemukannya cacing Camallanus, Echinostoma, Pseudosteringophorus dan Lecithocladium juga berhubungan dengan habitat, kebiasaan makan ikan tongkol dan keberadaan parasit. Camallanus, Echinostoma, Pseudosteringophorus dan Lecithocladium memiliki inang antara satu yaitu siput air (Planorbis, Lymnaea snail dan Heliosoma) (Lymbery et al., 2002). Siput air memiliki habitat di dasar perairan sehingga ikan tongkol kemungkinan tidak memakan siput air yang merupakan inang antara satu dari parasit tersebut.

Cacing Anisakis simplex ditemukan di saluran pencernaan ikan tongkol yaitu pada bagian mukosa usus. Hal ini dikarenakan pada bagian usus merupakan tempat memproses makanan yang dapat diabsorpsi oleh cacing Anisakis simplex. Cacing Anisakis simplex memperoleh makanan dengan cara mengabsorpsi makanan yang terlarut dalam lumen usus ikan yaitu darah, sel jaringan, cairan tubuh dan sari-sari makanan (Arifudin dan Abdulgani, 2013). Cacing Anisakis simplex tidak dapat merombak bahan makanan yang belum disederhanakan karena tidak memiliki saluran pencernaan yang sempurna dan tidak memiliki enzim pencernaan yang dapat membantu proses pencernaan makanan (Roberts, 2000).

Cacing Anisakis simplex yang mampu hidup dalam usus ikan memiliki kemampuan untuk resisten terhadap mekanisme pencernaan ikan baik proses kimiawi yang terjadi dalam tubuh inang, tahan melawan respon imun inang,

maupun mampu bertahan di dalam usus pada kondisi anaerob karena suplai oksigen diperoleh dengan menghisap nutrisi yang mengalir bersama pembuluh darah vena di dalam lumen usus. Cacing Anisakis simplex memiliki struktur tubuh yang mampu beradaptasi dengan kondisi di dalam usus ikan. Cacing ini memiliki lapisan epidermis kulit yang dapat mensekresikan sebuah lapisan kutikula yang berfungsi untuk melindungi tubuh cacing dari enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan di dalam usus ikan. Intestinum Anisakis simplex mampu melindungi diri dari enzim pencernaan yang disekresikan oleh inang dengan cara mensekresikan muco protein yang berfungsi untuk menetralkan enzim inang. Parasit yang tidak memproduksi muco protein akan tercerna dalam usus halus inang (Lorenzo, 2000).

Faktor yang mempengaruhi ikan tongkol dapat terinfeksi cacing Anisakis simplex adalah faktor rantai makanan dan juga faktor lingkungan perairan (Saputra, 2011). Ikan tongkol yang terinfeksi cacing Anisakis simplex yang disebabkan oleh faktor makanan karena ikan tongkol mengkonsumsi krustasea yang terinfeksi larva Anisakis simplex stadium dua (L2). Menurut Grabda (1991) Anisakis simplex memiliki inang antara pertama dari krustasea yaitu Thysanoessa dan Euphausia. Krustasea merupakan inang antara satu dalam siklus hidup cacing Anisakis simplex. Krustasea ini apabila dimakan oleh ikan maka larva cacing stadium dua (L2) akan berkembang menjadi larva stadium tiga (L3) dan menginfeksi ikan (Batara, 2008). Larva stadium tiga (L3) banyak ditemukan pada bagian usus karena larva ini mengabsorpsi makanan yang terlarut dalam lumen usus ikan yaitu darah, sel jaringan, cairan tubuh dan sari-sari makanan (Arifudin

dan Abdulgani, 2013). Ikan yang terinfeksi larva cacing apabila termakan oleh inang definitif (burung pemakan ikan, singa laut, anjing laut, lumba-lumba dan paus) maka larva tersebut akan berkembang menjadi cacing dewasa yang akan melakukan proses reproduksi dan menghasilkan telur yang akan dikeluarkan bersama feses inang definitif (Shih et al., 2010).

Faktor lingkungan yang turut mempengaruhi ikan tongkol terinfeksi cacing Anisakis simplex disebabkan karena adanya interaksi yang tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan dan organisme penyakit (patogen). Interaksi yang tidak serasi ini akan menyebabkan stress pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimiliki ikan menjadi lemah dan akhirnya mudah terserang penyakit. Kesehatan ikan menurun atau kondisi lingkungan kurang menunjang akan menyebabkan ikan mengalami kondisi stress, sehingga menurunkan kemampuan mempertahankan diri dari serangan penyakit (Baladin, 2007).

Stress terjadi karena faktor lingkungan (stressor) yang meluas atau melewati kisaran toleransi untuk ikan dan akan mengganggu fungsi fisiologis pada ikan tersebut. Pengaruh stress pada ikan dapat menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh ikan yang terjadi secara hormonal sehingga sangat rentan terserang penyakit. Penyebab stress pada ikan dapat dikelompokkan menjadi stress kimia, lingkungan dan biologis (Johnny dkk., 2011).

Tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada pengambilan sampel minggu pertama termasuk dalam kategori occasionally. Hal ini berdasarkan pada penghitungan tingkat prevalensi parasit cacing Anisakis simplex dalam saluran pencernaan ikan tongkol sebanyak 6,67%. Angka tersebut menunjukkan bahwa

cacing Anisakis simplex sedikit ditemukan pada ikan tongkol pada minggu pertama. Pengambilan sampel pada minggu pertama sebanyak 30 ekor, sedangkan ikan yang positif terinfeksi Anisakis simplex berjumlah 2 ekor dengan rincian masing-masing ikan ditemukan 1 ekor cacing Anisakis simplex. Pengambilan sampel ikan minggu kedua sebanyak 40 ekor ikan dan ditemukan parasit sebanyak 2 ekor cacing (setiap satu ekor ikan ditemukan satu parasit). Penghitungan tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada pengambilan sampel minggu kedua termasuk dalam kategori yang sama dengan pengambilan sampel minggu pertama yaitu termasuk dalam kategori occasionally (sedikit ditemukan pada ikan) dengan tingkat prevalensi sebanyak 5% dan ikan yang positif terinfeksi cacing sebanyak 2 ekor dan parasit yang ditemukan juga berjumlah 2 ekor. Pengambilan sampel minggu ketiga dan minggu keempat menggunakan jumlah sampel yang sama yaitu sebanyak 40 ekor ikan. Penghitungan tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada minggu ketiga dan minggu keempat termasuk dalam kategori yang sama juga yaitu often yang berarti Anisakis simplex sering ditemukan pada ikan tongkol. Minggu ketiga ditemukan cacing Anisakis simplex sebanyak 6 ekor dari 6 ekor ikan sehingga nilai prevalensi parasit pada minggu ketiga ini sebanyak 15%, sedangkan pada minggu keempat ditemukan 5 ekor Anisakis simplex dari 5 ekor ikan dan memiliki nilai prevalensi sebanyak 12,5%. Penggolongan kategori infeksi berdasarkan pada tingkat prevalensi ikan yang terserang parasit sesuai dengan Williams and Williams (1996).

Tingkat prevalensi rata-rata Anisakis simplex yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong,

Lamongan-Jawa Timur adalah 10% termasuk dalam kategoti often yang berarti tingkat kejadian Anisakis simplex sering ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor panjang tubuh ikan tongkol. Hal ini sesuai dengan pendapat Muttaqin dan Abdulgani (2013) bahwa ikan dengan panjang 25-37 cm memiliki nilai prevalensi dan derajat infeksi yang lebih besar dibandingkan dengan ikan yang memiliki panjang 21-24 cm. Ikan yang lebih besar mampu hidup lebih lama yang berarti umur ikan juga semakin bertambah, sehingga kesempatan terinfeksi oleh larva cacing Anisakis simplex juga semakin tinggi selama masa hidupnya. Roberts (2000) juga menyatakan bahwa pertambahan panjang tubuh ikan mengakibatkan semakin tinggi akumulasi parasit terhadap siklus hidup inang karena adanya pertambahan jumlah dan jenis makanan pada ikan yang lebih besar.

VI SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait