• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, LAMONGAN - JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, LAMONGAN - JAWA TIMUR"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN

PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, LAMONGAN - JAWA TIMUR

Oleh :

SSUCI KURNIAWATI 140911118

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN

PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, LAMONGAN - JAWA TIMUR

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga

Oleh :

SUCI KURNIAWATI NIM. 140911118

Mengetahui, Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama

Dr. Kismiyati, Ir., M.Si NIP. 19590808 198603 2 002

Pembimbing Serta

(3)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN

PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, LAMONGAN - JAWA TIMUR

Oleh :

SUCI KURNIAWATI NIM. 140911118

Telah diujikan pada

Tanggal : Kamis, 28 Agustus 2014

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA. Anggota : Prof. Dr. Hari Suprapto, Ir., M. Agr.

Rahayu Kusdarwati, Ir., M.Si. Dr. Kismiyati, Ir., M.Si. Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si

Dekan

Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga

(4)

RINGKASAN

SUCI KURNIAWATI. Identifikasi Dan Prevalensi Endoparasit Pada Saluran Cerna Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan - Jawa Timur. Dosen Pembimbing Dr. Kismiyati, Ir., M.Si. dan Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si.

Ikan tongkol merupakan salah satu ikan konsumsi yang memiliki harga ekonomis tinggi. Nilai produksi tangkapan ikan tongkol dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada data statistik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan bahwa hasil tangkapan ikan tongkol pada tahun 2009 sebanyak 1.420.039.707 ekor dan meningkat pada tahun 2010 sebesar 1.454.305.423 ekor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan prevalensi endoparasit yang terdapat pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode survey melalui pengambilan sampel pada lokasi secara langsung. Sampel yang digunakan sebanyak 150 ekor ikan dengan pengambilan sampel sebanyak empat kali. Ukuran sampel yang digunakan rata-rata panjangnya 50 cm dan berat 1 kg. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah jenis dan tingkat prevalensi endoparasit yang terdapat pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur.

(5)

SUMMARY

SUCI KURNIAWATI. Identification and Prevalence of Endoparasites on Sword Fish (Euthynnus affinis) Gastrointestinal in Nusantara Fisheries Port Brondong, Lamongan - East Java. Academic Advisor Dr. Kismiyati, Ir., M.Si. and Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si.

Sword fish is one of the consumption fish which has high economic value.

Production value of sword fish’s catching annually always increases. It can be

showed by statistic of Ministry of Marine and Fisheries that remarked the result of

sword fish’s catching in 2009 was 1.420.039.707 fishes and increased in 2010 was 1.454.305.423 fishes.

The study aimed was to know both the kind and the prevalence of sword fish gastrointestinal endoparasites at Nusantara Fisheries Port Brondong, Lamongan-East Java. Research used survey methods using 150 fishes through sampling at the site directly. Size sample was used rate longht 50 cm and weight 1 kg. The parameters of the study was the kind and prevalence degree of endoparasite were found in the gastrointestinal of sword fish in Nusantara Fisheries Port Brondong, Lamongan-East Java.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rakhmat dan hidayah Nya, sehingga Skripsi tentang Identifikasi dan Prevalensi Endoparasit pada Saluran Pencernaan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi S-1 Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga, Surabaya.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Laporan Skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga Laporan Skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi semua pihak, khususnya bagi mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya guna kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan, terutama dalam hal ilmu parasit dan penyakit ikan.

Surabaya,September 2014

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA., Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universiras Airlangga dan Ketua Penguji yang telah memberikan masukan, kritik serta saran demi kesempurnaan Skripsi ini.

2. Ibu Dr. Kismiyati, Ir., M.Si. Dosen Pembimbing pertama yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran yang membangun dengan penuh kesabaran mulai dari penyusunan proposal sampai terselesainya Laporan Skripsi ini.

3. Ibu Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si. Dosen Pembimbing kedua yang telah memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan sejak penyusunan usulan hingga selesainya penyusunan Skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Hari Suprapto, Ir., M. Agr. dan Ibu Rahayu Kusdarwati, Ir., M.Kes. Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritik serta saran demi kesempurnaan Skripsi ini.

5. Ibu Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. Dosen Wali yang telah memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan selama masa perkuliahan. 6. Bapak Agustono, Ir. M.Kes., Koordinator Pelaksana Skripsi.

(8)

8. Bapak Harnoto, Kepala Unit Syah Bandar Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong yang juga membantu memberikan informasi, pengarahan, dan mempermudah perizinan pada waktu pengambilan sampel.

9. Bapak Budiman, Koordinator Laboratorium Parasit Balai Karantina Ikan Perak yang telah banyak memberikan informasi dan bimbingan selama penelitian.

10.Keluargaku tercinta, Ibu, Ramah, dan adek Icha yang telah memberikan dukungan moril dan materi serta semangat sehingga Laporan Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

11.Mas Faiz terima kasih atas segala doa dan motivasi dalam memberikan semangat sehingga laporan Skripsi ini dapat terselesaikan.

(9)

DAFTAR ISI

2.1.1 Klasifikasi Ikan Tongkol... 6

(10)

C. Daur Hidup ... 14

2.2.4 Pseudosteringophorus ... 19

A. Klasifikasi ... 19

4.4.2 Pengambilan Saluran Pencernaan ... 30

4.4.3 Pemeriksaan Isi Saluran Pencernaan ... 30

4.4.4 Pewarnaan Cacing ... 32

4.4.5 Identifikasi Cacing ... 33

4.5 Parameter Penelitian ... 33

(11)

4.5.2 Parameter Penunjang ... 33

4.6 Diagram Alir Penelitian ... 34

4.7 Analisis Data ... 34

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1 Hasil Penelitian ... 35

5.1.1 Identifikasi Cacing ... 35

5.1.2 Prevalensi Endoparasit ... 38

5.2 Pembahasan ... 32

VI SIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1 Simpulan ... 45

6.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hasil Penghitungan Prevalensi Endoparasit pada Saluran Pencernaan Ikan Tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Morfologi Ikan Tongkol ... 7

2. Morfologi Anisakis ... 11

3. Daur Hidup Anisakis ... 12

4. Morfologi Camallanus ... 14

5. Daur Hidup Camallanus ... 15

6. Morfologi Echinostoma ... 17

7. Daur Hidup Echinostoma ... 18

8. Morfologi Pseudosteringophorus ... 20

9. Daur Hidup Pseudosteringophorus ... 21

10. Morfologi Lecithocladium ... 23

11. Daur Hidup Lecithocladium ... 24

12. Bagan Kerangka Konseptual Penelitian ... 27

13. Diagram Alir Penelitian ... 34

14. Bagian Anterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Binokuler ... 36

15. Bagian Posterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Binokuler ... 36

16. Bagian Anterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Lucida ... 37

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data Pengambilan Sampel Ikan Tongkol di Pelabuhan Perikanan

(15)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) dengan 17.499 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 104.000 km2 (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014). Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sumberdaya tersebut mencakup 37% dari spesies ikan di dunia. Kondisi ini merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan perikanan tangkap di Indonesia (Zamani, 2011).

Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain: tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang, ikan hias, kerang, dan rumput laut (Adisanjaya, 2010). Ikan tongkol merupakan ikan yang memiliki harga ekonomis tinggi. Ikan tongkol termasuk dalam familia Scrombidae yang merupakan salah satu jenis ikan konsumsi (Oktaviani, 2008). Nilai produksi tangkapan ikan tongkol dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada data statistik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan bahwa hasil tangkapan ikan tongkol di wilayah Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 1.420.039.707 ekor dan meningkat pada tahun 2010 yaitu 1.454.305.423 ekor (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).

(16)

gizi daging ikan tongkol per 100 gram yaitu terdiri dari air 69,40%, lemak 1,50%, protein 25,00%, mineral 2,25%, dan karbohidrat 0,03%. Protein pada ikan tongkol memiliki komposisi asam amino yang lengkap yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia (Andini, 2006). Mineral yang terkandung dalam daging ikan tongkol terdiri dari magnesium, fosfor, yodium, fluor, zat besi, copper, zinc, kalsium dan selenium. Omega 3 dan omega 6 yang terkandung dalam asam lemak berguna untuk memperkuat daya tahan otot jantung, meningkatkan kecerdasan otak, melenturkan pembuluh darah, menurunkan kadar trigliserida dan mencegah penggumpalan darah (Susanto dan Fahmi, 2012).

Ikan tongkol yang hidup di perairan Indonesia sangat rentan terinfeksi penyakit. Penyakit pada ikan dapat dibedakan menjadi dua yaitu penyakit infeksius dan penyakit non infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan organisme patogen (jamur, bakteri, virus dan parasit), sedangkan penyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh lingkungan, pakan, genetik. Penyakit infeksius tidak hanya menginfeksi ikan budidaya tetapi juga dapat menginfeksi ikan yang hidup di perairan laut (ikan hasil perikanan tangkap) (Balai Karantina Ikan Batam, 2007).

(17)

prevalensi sebesar 61%, sedangkan pada penelitian Emelina (2008) ikan kembung dari perairan Jakarta terinfeksi parasit dari genus Anisakis sebesar 5%, genus Pseudosteringophorus 55%, dan genus Lecithocladium 16%. Cacing Anisakis juga menginfeksi ikan kerapu hasil tangkapan di TPI Brondong, Lamongan dengan prevalensi sebesar 100% (Arifudin dan Abdulgani, 2013). Penelitian Tamba dan Damriyasa (2012) melaporkan bahwa ikan selar bentong yang diambil dari Pasar Ikan Kedonganan, Badung positif terinfeksi Anisakis (83,8%), Camallanus sp. (0,95%), Filum Acanthocephala (0,95%), dan Kelas Digenea

(14,3%), sedangkan ikan kakap merah di perairan Jakarta terinfeksi cacing dari genus Anisakis dengan prevalensi 10% (Batara, 2008).

Cacing Anisakis merupakan endoparasit yang bersifat zoonosis atau dapat menginfeksi manusia yang mengkonsumsi ikan tongkol yang terinfeksi larva Anisakis (Pardede, 2000). Penyakit yang disebabkan oleh cacing Anisakis ini

disebut anisakiasis (Mulyanti, 2001). Endoparasit ini menyerang saluran pencernaan manusia dan dapat menimbulkan muntah-muntah, diare, dan reaksi alergi yang meliputi urtikaria, anafilaksis, dermatitis, gastroenteritis, sampai gejala asma (Saputra, 2011).

(18)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Jenis endoparasit apa saja yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur?

2.Berapakah tingkat prevalensi endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Mengetahui jenis endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur.

2.Mengetahui tingkat prevalensi endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur.

1.4 Manfaat

(19)
(20)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Tongkol

2.1.1 Klasifikasi Ikan tongkol

Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah : Kingdom : Animalia Spesies : Euthynnus affinis

2.1.2 Morfologi Ikan tongkol

Menurut Oktaviani (2008), ikan tongkol mempunyai ciri-ciri yakni tubuh berukuran sedang, memanjang seperti torpedo, mempunyai dua sirip punggung yang dipisahkan oleh celah sempit. Sirip punggung pertama diikuti oleh celah sempit, sirip punggung kedua diikuti oleh 8-10 sirip tambahan. Ikan tongkol tidak memiliki gelembung renang. Warna tubuh pada bagian punggung ikan ini adalah gelap kebiruan dan pada sisi badan dan perut berwarna putih keperakan.

(21)

tongkol memiliki panjang tubuh 50-60 cm. Gambar morfologi ikan tongkol (Euthynnus affinis) disajikan pada gambar 1 dibawah ini :

Gambar 1. Morfologi ikan tongkol (Sumber : Adji, 2008)

2.1.3 Habitat dan Kebiasaan Hidup

Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup didalamnya secara normal (Nggajo, 2009). Habitat ikan tongkol yaitu pada perairan lepas dengan suhu 18-290C. Ikan ini merupakan ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) (Saputra, 2011). Menurut Djamal (1994), ikan tongkol lebih aktif mencari makan pada waktu siang hari daripada malam hari dan merupakan ikan karnivora. Ikan tongkol biasanya memakan udang, cumi, dan ikan teri.

(22)

meliputi daerah tropis dan sub tropis dan penyebaran ini berlansung secara teratur (Oktaviani, 2008).

2.2 Parasit pada Ikan Laut

Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain dan mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk berkembang biak dan untuk kebutuhan metabolisme tubuh parasit tersebut (Subekti dan Mahasri, 2010). Berdasarkan predileksi, parasit dapat dibedakan menjadi ektoparasit, endoparasit dan mesoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup pada bagian luar tubuh inang yaitu pada insang, sirip dan kulit. Endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang yaitu pada usus, ginjal dan hati. Mesoparasit adalah parasit yang sebagian tubuh bersifat endoparasit dan sebagian yang lain ektoparasit (Balai Karantina Ikan Batam, 2007).

Keberhasilan parasit dalam menginfeksi inang ditentukan oleh keberhasilan parasit dalam menyerang, hidup dan berkembang biak di dalam maupun di luar tubuh inang sedangkan keberhasilan parasit menyerang dan hidup pada tubuh inang bergantung pada kemampuan parasit menembus tubuh inang, ketersediaan kebutuhan parasit dalam tubuh inang dan kerentanan parasit (Suhendi, 2009).

(23)

yang baik bagi jamur dan bakteri patogen. Dalam tubuh inang terjadi persaingan yang kuat antar parasit untuk mendapatkan ruang dan makanan. Parasit berusaha mencapai seluruh jaringan dalam tubuh inang untuk mencari lokasi yang paling baik. Parasit akan menempati organ target bila telah menemukan lokasi yang tepat untuk mendapatkan makanan dan bereproduksi secara maksimal (Mulyanti, 2001).

Menurut hasil penelitian Batara (2008), Gunawan (2008), Emelina (2008), Susanti (2008), Saputra (2011) dan Ulkhaq (2012) menyebutkan bahwa jenis endoparasit yang banyak menyerang ikan laut di perairan Indonesia adalah Anisakis, Camallanus, Echinostoma, Pseudosteringophorus, dan Lecithocladium.

Hal ini berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan. Saputra (2011) melaporkan bahwa Anisakis menyerang ikan tongkol di perairan Sulawesi Selatan, hal serupa juga terjadi pada hasil penelitian Gunawan (2008) di perairan Jakarta. Anisakis juga ditemukan menyerang ikan kembung (Susanti, 2008), sedangkan

pada penelitian Emelina (2008) selain terserang Anisakis ikan kembung juga terserang endoparasit dari genus Pseudosteringophorus dan genus Lecithocladium. Ikan kakap merah di perairan Jakarta juga ditemukan terserang

Anisakis (Batara, 2008). Pada penelitian Ulkhaq (2012) dilaporkan bahwa

(24)

2.2.1 Anisakis A. Klasifikasi

Klasifikasi parasit Anisakis menurut Noga (2010) yaitu : Phylum : Nemathelminthes

Class : Nematoda Ordo : Ascaridida Family : Anisakidae Genus : Anisakis

Spesies : Anisakis simplex

B. Morfologi

Cacing Anisakis memiliki warna putih dengan panjang antara 10-29 mm. Cacing Anisakis dewasa memiliki morfologi yaitu memiliki tiga buah bibir yang mengelilingi mulut, satu bibir terletak di dorsal dan dua bibir lainnya terletak di sisi ventro-lateral yang berfungsi untuk menyerap bahan organik dari dinding usus. Pada bagian anterior terdapat boring tooth yang berfungsi untuk melubangi dinding usus halus dan untuk melekat pada mukosa usus halus agar tidak lepas pada waktu intestinum berkontraksi mencerna makanan. Bagian ekor panjang dan runcing serta pada bagian posterior terdapat mucron. Cacing ini memiliki lapisan kutikula yang terlihat jelas di sepanjang tubuh. Cacing ini juga memiliki esofagus yang berbentuk silindris atau sedikit mengalami pelebaran di bagian posterior (Sarjito dan Desrina, 2005). Anisakis memiliki rektum yang membuka keluar melalui anus dengan tiga kelenjar anal besar yang berasosiasi dengan rektum. Anisakis memiliki ujung lobus yang tumpul pada pertemuan ventrikulus dan

(25)

Morfologi cacing Anisakis dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini :

Gambar 2 Morfologi Cacing Anisakis (Sumber : Grabda, 1991)

Keterangan: A: anterior, C: Posterior, I: intestine, EP: excretory pore, ED: excretory duct, OE: esofagus, LT: larva tooth, V: ventriculus

C. Daur Hidup

(26)

akan berkembang menjadi cacing dewasa dalam saluran cerna inang definitif. Cacing dewasa akan hidup dan berkembang biak dalam tubuh inang definitif (Shih et al., 2010). Daur hidup cacing Anisakis akan disajikan pada gambar 3 dibawah ini:

Gambar 3. Daur Hidup Anisakis (Sumber : Teresa dan Ignacio, 2002)

D. Predileksi

Predileksi cacing Anisakis yaitu saluran pencernaan terutama pada bagian usus, membran hati, otot, limpa, rongga badan dan gonad (Batara, 2008).

E. Inang

Cacing Anisakis memiliki inang definitif yaitu singa laut, anjing laut, lumba-lumba dan paus (Saputra, 2011).

Cacing dewasa dalam saluran cerna inang definitif

Telur dalam feses inang definitif

L1

hidup bebas di air L2

Inang antara I L3

(27)

2.2.2 Camallanus carangis

A. Klasifikasi

Klasifikasi Camallanus carangis menurut Soulsby (1986) adalah : Phylum : Nemathelminthes

Class : Nematoda Ordo : Camallanoidea Family : Camallanidae Genus : Camallanus

Spesies : Camallanus carangis Camallanus maculatus Camallanus acaudatus Camallanus corderoi

B. Morfologi

Cacing Camallanus betina memiliki ukuran 10 mm sedangkan cacing Camallanus jantan berukuran 3 mm. Bagian ujung kepala cacing membulat

sedangkan pada bagian akhir ekor cacing meruncing. Ujung anterior cacing terdiri dari rasping organ yang berfungsi untuk menembus kedalam dinding usus dan untuk menempatkan jangkar. Cacing parasitik ini memiliki bucal capsule yang dilapisi kutikula yang tebal dan sepasang lekukan pada bucal capsule. Bentuk seperti ini akan membuat cacing dapat memegang dinding usus dengan kuat dan tidak dapat lepas. Mulut cacing Camallanus berbingkai yang dikelilingi oleh buku-buku seperti tanduk dan pada bagian mulut ini terdapat celah sempit yang terbuka dengan sudut yang membulat (Mahasri dkk., 2008).

(28)

esofagus dengan dinding otot tebal, usus, rektum, dan anus (Grabda, 1991). Pada ujung anterior tubuh terdapat modifikasi kutikuler yang disebut amphid. Amphid merupakan alat indera yang berjumlah sepasang (Radiopoetro, 1988). Morfologi cacing Camallanus akan disajikan pada gambar 4

Gambar 4. Morfologi Cacing Camallanus (Sumber : Moravec et al., 2008) Keterangan: A. anterior terlihat lateral, B. anterior terlihat dorsoventral, C.

posterior, D. Vulva. Skala bar: A-C.100µm, D.200µm

C. Daur Hidup

(29)

stadium dua akan berkembang menjadi larva stadium tiga dalam tubuh inang antara II. Apabila inang antara II dimakan oleh inang definitif yaitu burung pemakan ikan, larva ini akan berkembang menjadi cacing dewasa pada tubuh inang definitif dan melakukan perkembangbiakan (Monks, 2007). Daur hidup cacing Camallanus ditunjukkan oleh gambar 5 dibawah ini :

Gambar 5. Daur Hidup Cacing Camallanus (Sumber : Martins et al., 2007).

D. Predileksi

Camallanus memiliki daerah predileksi yaitu pada dinding saluran

pencernaan ikan, rektum, dan anus (Aryani, 2012).

E. Inang

Cacing dewasa dalam saluran cerna inang definitif

Telur dalam feses inang definitif

L1

hidup bebas di air L2

Inang antara I L3

(30)

Inang definitif cacing Camallanus yaitu burung pemakan ikan dan memiliki inang antara dua yaitu ikan kakap dan selar (Batara, 2008).

2.2.3 Echinostoma A. Klasifikasi

Klasifikasi Echinostoma menurut Noga (2010) adalah : Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda Ordo : Prosostomata Family : Echinostomatidae Genus : Echinostoma

Spesies : Echinostoma revolutum Echinostoma echinatum Echinostoma caproni

B. Morfologi

Cacing ini tidak mempunyai rongga tubuh dan seluruh organ berada di dalam rongga parenkim. Tubuh cacing berbentuk seperti daun, simetris bilateral, pipih dorsoventral dan tidak bersegmen. Echinostoma memiliki dua alat penghisap, satu mengelilingi mulut atau yang sering disebut sebagai batil isap oral dan yang lain berada di dekat pertengahan tubuh atau ujung posterior yang disebut batil isap ventral atau acetabulum. Dinding luar tubuh cacing memiliki duri atau sisik (Levine, 1990).

(31)

Morfologi cacing Echinostoma dapat dilihat pada gambar 6 dibawah ini :

Gambar 6. Morfologi cacing Echinostoma revolutum(Sumber : Ulkhaq, 2012) Keterangan: AC: acetabulum (ventral sucker), OS: oral sucker, CL: collar, OV:

ovarium,CS: cirrus sac, TE: testis, UT: uterus, VT: vitellaria

C. Daur Hidup

Daur hidup cacing Echinostoma adalah cacing dewasa menghasilkan telur yang dikeluarkan bersama feses inang definitif. Telur akan menetas menjadi miracidium di dalam air. Miracidium secara aktif akan berenang mencari inang

(32)

dan Mahasri, 2010). Daur hidup cacing ini dapat dilihat pada gambar 7 dibawah ini :

Gambar 7. Daur Hidup cacing Echinostoma (Sumber : Lee et al.,1988)

D. Predileksi

Predileksi cacing Echinostoma yaitu pada daerah usus, rektum dan caecum (Indaryanto, 2012).

E. Inang

(33)

2.2.4 Pseudosteringophorus A. Klasifikasi

Klasifikasi Pseudosteringophorus menurut Noble (1989) adalah : Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda Ordo : Prosostomata Family : Fellodistomatidae Genus : Pseudosteringophorus

Spesies : Pseudosteringophorus hoplognathi

B. Morfologi

Cacing Pseudosteringophorus memiliki bentuk tubuh pipih dan oval memanjang, tegumen tipis, dan memiliki faring yang kecil. Tegumen pada cacing ini memiliki tiga lapisan otot yaitu sirkular, diagonal, dan longitudinal. Kontraksi dari ketiga otot ini dapat menyebabkan pergerakan pada tubuh cacing Pseudosteringophorus. Cacing ini tidak memiliki kait atau organ tambahan lain

untuk menempel pada inang. Pseudosteringophorus juga memiliki dua buah testes yang membulat dan simetris dimana testes yang satu berada di sebelah testes yang lain dan ovarium yang terletak di anterior testes. Uterus terletak di bagian posterior tubuh dan berisi telur dalam jumlah banyak (Olson et al., 2003).

(34)

Lapisan epidermis cacing Pseudosteringophorus tidak memiliki silia dan pada bentuk dewasa mengalami modifikasi menjadi kutikula. Cacing ini tidak memiliki pigmen. Mulut terletak pada bagian anterior tubuh yang dilengkapi dengan gigi-gigi kitin, memiliki alat penghisap yang terletak di sekitar lubang mulut atau pada permukaan ventral yang digunakan sebagai alat pelekat (Radiopoetro, 1988). Morfologi cacing Pseudosteringophorus dapat dilihat pada gambar 8

Gambar 8. Morfologi cacing Pseudosteringophorus (Sumber : Yamaguti, 1958 dalam Emelina, 2008)

C. Daur Hidup

(35)

dasar perairan. Telur kemudian menetas menjadi miracidium bersilia yang akan berenang bebas di air dan kemudian menginfeksi siput air (Planorbis) sebagai inang antara pertama. Dalam tubuh siput, miracidium berkembang menjadi sporokista. Sporokista berkembang menjadi redia yang akan berkembang lagi

menjadi cercaria. Cercaria akan keluar dari tubuh siput dan akan masuk ke dalam tubuh ikan sebagai inang antara kedua. Dalam tubuh ikan cercaria berkembang menjadi metacercaria. Apabila ikan yang mengandung metacercaria dimakan oleh inang definitif (burung pemakan ikan) maka metacercaria akan berkembang menjadi cacing dewasa (Susanti, 2008). Daur hidup cacing Pseudosteringophorus dapat dilihat pada gambar 9 dibawah ini :

Gambar 9. Daur Hidup cacing Pseudosteringophorus (Sumber : Chaari et al., 2011)

D. Predileksi

Predileksi cacing Pseudosteringophorus yaitu saluran pencernaan ikan terutama pada usus dan lambung, rongga mulut dan anus (Emelina, 2008).

(36)

E. Inang

Cacing Pseudosteringophorus lebih banyak menyerang ikan laut yaitu ikan kembung, ikan kakap dan ikan kerapu (Susanti, 2008).

2.2.5 Lecithocladium A. Klasifikasi

Klasifikasi Lecithocladium menurut Yamaguti (1958) dalam Emelina (2008) adalah :

Spesies : Lecithocladium excisum Lecithocladium angusiovum Lecithocladium scombri

B. Morfologi

Cacing ini memiliki bentuk tubuh silindris memanjang dan terdapat dua buah alat penghisap yang terletak di bagian oral dan ventral tubuh. Alat penghisap yang terletak di bagian anterior tubuh disebut oral sucker sedangkan alat penghisap yang terletak di bagian posterior tubuh disebut ventral sucker (Subekti dan Mahasri, 2010).

Lecithocladium memiliki testes yang berjumlah dua buah yang terletak

(37)

renang, atau di luar saluran pencernaan ikan (Emelina, 2008). Morfologi cacing Lecithocladium ditunjukkan oleh gambar 10

Gambar 10. Morfologi cacing Lecithocladium (Sumber : Yamaguti, 1958 dalam Emelina, 2008)

Keterangan: 1: mulut, 2: faring. 3:saluran hermaftodit, 4: batil hisap, 5: kelenjar prostat, 6: kantung seminal, 7: testis, 8: ovarium, 9: vitelin, 10: ekor, 11: uterus, 12: sekum, 13: lubang ekskretori.

C. Daur Hidup

Daur hidup cacing Lecithocladium dimulai dari telur yang dikeluarkan bersama feses inang definitif kemudian menetas menjadi miracidium yang hidup di dalam air dan aktif mencari inang antara I yaitu siput air (Lymnea dan Heliosoma). Dalam tubuh inang antara I miracidium akan berkembang menjadi

sporokista. Sporokista selanjutnya berkembang menjadi redia dan berkembang

(38)

ikan. Metacercaria akan menjadi cacing dewasa dalam tubuh inang definitif (Subekti dan Mahasri, 2010). Daur hidup cacing Lecithocladium ditunjukkan oleh gambar 11 dibawah ini :

Gambar 11. Daur Hidup cacing Lecithocladium (Sumber : Gudivada and Vankara, 2010)

D. Predileksi

Predileksi Lecithocladium yaitu pada bagian saluran pencernaan ikan (Emelina, 2008).

E. Inang

Lecithocladium memiliki inang antara utama yaitu ikan dari genus Decapterus, tetapi tidak menutup kemungkinan cacing ini akan menginfeksi ikan

(39)

III KERANGKA KONSEPTUAL

Salah satu kendala yang muncul pada hasil perikanan tangkap adalah penyakit. Penyakit ini disebabkan karena kualitas perairan yang menurun. Kualitas air yang menurun dapat menyebabkan ikan stress sehingga sangat rentan terserang penyakit. Penyakit ikan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penyakit infeksius dan non infeksius. Penyakit non infeksius disebabkan oleh lingkungan, makanan dan genetis, sedangkan penyakit infeksius disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit (Fidyandini, 2012).

Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain dan mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk berkembang biak dan untuk kebutuhan metabolisme tubuh parasit tersebut (Mahasri dan Kismiyati, 2008). Menurut Balai Karantina Ikan Batam (2007), parasit dibedakan menjadi tiga berdasarkan predileksi pada tubuh inang yaitu ektoparasit (parasit yang hidup pada permukaan tubuh inang), mesoparasit (parasit yang menginfeksi ikan dimana sebagian dari tubuh parasit menembus sampai organ dalam tubuh inang sedangkan bagian tubuh lainnya berada diluar tubuh inang) dan endoparasit (parasit yang hidup dalam tubuh inang).

(40)
(41)

Ikan konsumsi

Pencemaran

Keterangan :

: Aspek yang diteliti : Aspek yang tidak diteliti

Gambar 12.Bagan Kerangka Konseptual Penelitian Permintaan pasar tinggi

Ikan tongkol

Penyakit

jamur

Ektoparasit

bakteri parasit virus

Endoparasit

Identifikasi

Prevalensi

Saluran pencernaan darah daging otot

platyhelminthes nemathelminthes

helminthes

(42)

IV METODOLOGI

4.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013. Sampel ikan diambil di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan dan identifikasi parasit dilakukan di Laboratorium Pendidikan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga.

4.2 Materi Penelitian

4.2.1 Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan parasit yaitu nampan, pisau bedah, pinset dan gunting. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk identifikasi parasit adalah objec glass, cover glass, mikroskop camera lucida, lup, pipet, tabung centrifuge, dan mesin centrifuge.

4.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel ikan tongkol, tisu, aquades, NaCl, glycerine 5%, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 95%,

larutan Hung’s I, dan larutan Hung’s II.

4.3 Metode Penelitian

(43)

acak terhadap ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan.

Metode survei adalah pengumpulan informasi dari sebagian populasi yang dianggap dapat mewakili populasi tertentu. Metode ini bertitik tolak pada konsep, hipotesis, dan teori yang sudah mapan sehingga tidak akan memunculkan teori baru. Penelitian survei memiliki sifat verifikasi terhadap teori yang ada. Penelitian ini bersifat deskriptif. Data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel, data yang terkumpul akan dianalisis secara deskriptif (Azwar, 2010).

4.4 Prosedur Kerja

4.4.1 Pengambilan Sampel

(44)

4.4.2 Pengambilan Saluran Pencernaan

Sampel ikan yang telah diambil diletakkan di atas nampan kemudian ikan ditimbang dan diukur panjangnya. Kemudian dilakukan pembedahan ikan dengan gunting mengarah ke anterior tubuh sampai pada bagian sirip ventral, kemudian digunting ke arah dorsal ikan sampai pada bagian gurat sisi lalu digunting mengarah pada bagian anal ikan. Lambung ikan bagian anterior dipotong sampai pada bagian posterior usus, kemudian disimpan di dalam pot salep berisi alkohol 70% (Balai Karantina Ikan Batam, 2007).

4.4.3 Pemeriksaan Isi Saluran Pencernaan

Pemeriksaan isi saluran pencernaan dilakukan dengan dua metode yaitu metode natif dan metode konsentrasi. Metode natif dilakukan dengan cara mengeluarkan isi saluran pencernaan dengan diurut mengarah ke ujung posterior usus. Isi saluran pencernaan yang telah keluar kemudian ditampung dalam object glass atau cawan petri ditetesi air dan ditutup cover glass, kemudian diamati di

bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x (Stasiun Karantina Ikan Kelas I Hang Nadim Batam, 2010).

(45)

1. Metode Pengendapan (sedimentasi)

Cara kerja dalam metode sedimentasi yaitu mencampurkan feses dengan 10 ml air lalu diaduk sampai tercampur, dimasukkan ke dalam tabung centrifuge sampai dengan satu cm dibawah permukaan tabung dan di centrifuge selama 2-3 menit dengan kecepatan 1500 rpm, larutan supernatan (permukaan) dibuang, disisakan endapan 1 cm dari dasar tabung. lalu ditambahkan dengan air, di centrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit dan membuang larutan

supernatan (permukaan), endapan diambil menggunakan pipet, diletakkan pada object glass dan ditutup dengan cover glass, pemeriksaan endapan dilakukan di

bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x. 2. Metode Pengapungan

(46)

kemudian cover glass diletakkan di atas object glass dan diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x.

4.4.4 Pewarnaan Cacing

Pewarnaan cacing bertujuan untuk memudahkan identifikasi dan untuk mengawetkan preparat cacing agar tahan lama. Pewarnaan cacing menggunakan metode Semichen-Acetic Carmine. Cara pewarnaan yaitu cacing disimpan dalam alkohol gliserin 5% lalu dicuci dengan PZ lalu difiksir diantara dua object glass dan ikat kedua ujungnya dengan benang, object glass dimasukkan dalam alkohol gliserin 5% selama 24 jam, lalu dimasukkan dalam alkohol 70% selama lima menit dan dimasukkan dalam larutan carmine yang sudah diencerkan dengan alkohol 70% dengan perbandingan 1 : 2, biarkan selama delapan jam, kemudian cacing dilepas dari obyek glass, dipindahkan dalam larutan alkohol asam selama dua menit (alkohol 70% + HCl) lalu dipindahkan dalam larutan alkohol basa selama 20 menit (alkohol 70% + NaHCO3), dilakukan dehidrasi bertingkat dengan alkohol 70% selama 5 menit, alkohol 85% selama 5 menit dan alkohol 95% selama 5 menit kemudian mounting dalam larutan Hung’s I selama 20 menit,

cacing diletakkan pada obyek glass yang bersih dan diteteskan larutan Hung’s II

(47)

4.4.5 Identifikasi Cacing

Identifikasi cacing dilakukan berdasarkan Kabata (1985), Grabda (1991) dan Hoffman (1967).

4.5 Parameter Penelitian

4.5.1 Parameter Utama

Parameter utama yang diamati adalah jenis endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong dan tingkat prevalensi masing-masing endoparasit. Menurut Balai Karantina Ikan Batam (2007) prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Prevalensi = Jumlah ikan yang terinfeksi X 100% Jumlah sampel ikan yang diperiksa

4.5.2 Parameter Penunjang

(48)

4.6 Diagram Alir Penelitian

Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 13 dibawah ini

Gambar 13. Diagram Alir Penelitian

4.7 Analisis Data

Data hasil identifikasi endoparasit yang menyerang ikan tongkol dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel. Nilai prevalensi dihitung untuk setiap spesies parasit.

Penentuan lokasi pengambilan sampel ikan laut

Persiapan alat dan bahan

Pengambilan sampel di Pelabuhan Perikannan Nusantara Brondong

Identifikasi

Prevalensi

Pemeriksaan endoparasit pada saluran pencernaan

(49)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Identifikasi Cacing

Hasil identifikasi endoparasit yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol berasal dari Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Ascaridida, Famili Anisakidae, Genus Anisakis, Spesies Anisakis simplex. Cacing Anisakis simplex yang ditemukan memiliki ciri berwarna putih, pada bagian

anterior memiliki larva tooth, excretory pore dan excretory duct yang terlihat jelas, sedangkan pada bagian saluran pencernaan cacing terlihat esophagus, ventriculus dan intestinum, sedangkan pada bagian posterior cacing terdapat

mucron, rectal gland dan anus yang juga terlihat jelas. Berdasarkan beberapa ciri

diatas, cacing parasitik yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol dapat dikategorikan adalah larva cacing Anisakis simplex stadium tiga (L3). Identifikasi dilakukan berdasarkan Grabda (1991), Kabata (1985) dan Hoffman (1999).

(50)

ditunjukkan Gambar 14 dan 15, sedangkan Gambar Anisakis simplex menggunakan mikroskop lucida ditunjukkan Gambar 16 dan 17.

Gambar 14. Bagian Anterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Binokuler

Keterangan: Bagian anterior L3 Anisakis simplex dengan perbesaran mikroskop binokuler 400x dan skala bar 20µm

Gambar 15. Bagian Posterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Binokuler

Keterangan:Bagian posterior L3 Anisakis simplex dengan perbesaran mikroskop binokuler 400x dan skala bar 20µm

Larva tooth

(51)

Gambar 16. Bagian Anterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Lucida

Keterangan: LT: larva tooth, EP: excretory pore, ED: excretory duct, OE: oesophagus. Bar: 20 µm

Gambar 17. Bagian Posterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Lucida

(52)

5.1.2 Prevalensi Endoparasit

Prevalensi larva cacing Anisakis simplex stadium tiga pada saluran pencernaan ikan tongkol pada setiap minggunya berbeda. Data hasil penghitungan prevalensi larva cacing Anisakis simplex stadium tiga pada ikan tongkol dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Penghitungan Prevalensi Endoparasit pada Saluran Pencernaan Ikan Tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur

Berdasarkan tabel penghitungan prevalensi cacing Anisakis simplex yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong setiap minggunya berbeda. Tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada pengambilan sampel pertama yaitu 6,67% dengan jumlah

(53)

5.2 Pembahasan

Hasil identifikasi endoparasit pada saluran pencernaan ikan tongkol ditemukan satu jenis parasit yang sama selama empat kali pengambilan sampel. Endoparasit yang ditemukan pada penelitian ini termasuk dalam Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Ascaridida, Famili Anisakidae, Genus Anisakis, dan spesies Anisakis simplex. Larva cacing Anisakis simplex yang

ditemukan adalah larva stadium tiga (L3), hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Grabda (1991) yaitu cacing Anisakis simplex pada stadium tiga (L3) memiliki larva tooth pada bagian ujung anterior dan pada bagian posterior terdapat mucron, selain itu cacing Anisakis simplex memiliki siklus hidup sebagai larva stadium tiga (L3) dalam tubuh ikan .

Hasil pewarnaan cacing Anisakis simplex yang ditemukan di saluran pencernaan ikan tongkol selain memiliki larva tooth dan mucron, pada bagian anterior terdapat excretory pore dan excretory duct, sedangkan pada bagian saluran pencernaan makanan terdapat esophagus, ventriculus, dan intestinum dan pada bagian posterior terdapat anus dan kelenjar anus. Ciri morfologi cacing Anisakis simplex hasil pewarnaan sesuai dengan ciri morfologi Anisakis simplex

(54)

Euphausia dari kelas krustasea (Djamal, 1994). Thysanoessa dan Euphausia

merupakan inang antara pertama bagi cacing Anisakis simplex. Inang antara pertama yang terinfeksi L2 Anisakis simplex apabila dimakan oleh ikan tongkol maka larva tersebut akan berkembang menjadi L3. Tidak ditemukannya cacing Camallanus, Echinostoma, Pseudosteringophorus dan Lecithocladium juga

berhubungan dengan habitat, kebiasaan makan ikan tongkol dan keberadaan parasit. Camallanus, Echinostoma, Pseudosteringophorus dan Lecithocladium memiliki inang antara satu yaitu siput air (Planorbis, Lymnaea snail dan Heliosoma) (Lymbery et al., 2002). Siput air memiliki habitat di dasar perairan

sehingga ikan tongkol kemungkinan tidak memakan siput air yang merupakan inang antara satu dari parasit tersebut.

Cacing Anisakis simplex ditemukan di saluran pencernaan ikan tongkol yaitu pada bagian mukosa usus. Hal ini dikarenakan pada bagian usus merupakan tempat memproses makanan yang dapat diabsorpsi oleh cacing Anisakis simplex. Cacing Anisakis simplex memperoleh makanan dengan cara mengabsorpsi makanan yang terlarut dalam lumen usus ikan yaitu darah, sel jaringan, cairan tubuh dan sari-sari makanan (Arifudin dan Abdulgani, 2013). Cacing Anisakis simplex tidak dapat merombak bahan makanan yang belum disederhanakan karena

tidak memiliki saluran pencernaan yang sempurna dan tidak memiliki enzim pencernaan yang dapat membantu proses pencernaan makanan (Roberts, 2000).

(55)

maupun mampu bertahan di dalam usus pada kondisi anaerob karena suplai oksigen diperoleh dengan menghisap nutrisi yang mengalir bersama pembuluh darah vena di dalam lumen usus. Cacing Anisakis simplex memiliki struktur tubuh yang mampu beradaptasi dengan kondisi di dalam usus ikan. Cacing ini memiliki lapisan epidermis kulit yang dapat mensekresikan sebuah lapisan kutikula yang berfungsi untuk melindungi tubuh cacing dari enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan di dalam usus ikan. Intestinum Anisakis simplex mampu melindungi diri dari enzim pencernaan yang disekresikan oleh inang dengan cara mensekresikan muco protein yang berfungsi untuk menetralkan enzim inang. Parasit yang tidak memproduksi muco protein akan tercerna dalam usus halus inang (Lorenzo, 2000).

Faktor yang mempengaruhi ikan tongkol dapat terinfeksi cacing Anisakis simplex adalah faktor rantai makanan dan juga faktor lingkungan perairan

(Saputra, 2011). Ikan tongkol yang terinfeksi cacing Anisakis simplex yang disebabkan oleh faktor makanan karena ikan tongkol mengkonsumsi krustasea yang terinfeksi larva Anisakis simplex stadium dua (L2). Menurut Grabda (1991) Anisakis simplex memiliki inang antara pertama dari krustasea yaitu Thysanoessa

dan Euphausia. Krustasea merupakan inang antara satu dalam siklus hidup cacing Anisakis simplex. Krustasea ini apabila dimakan oleh ikan maka larva cacing

(56)

dan Abdulgani, 2013). Ikan yang terinfeksi larva cacing apabila termakan oleh inang definitif (burung pemakan ikan, singa laut, anjing laut, lumba-lumba dan paus) maka larva tersebut akan berkembang menjadi cacing dewasa yang akan melakukan proses reproduksi dan menghasilkan telur yang akan dikeluarkan bersama feses inang definitif (Shih et al., 2010).

Faktor lingkungan yang turut mempengaruhi ikan tongkol terinfeksi cacing Anisakis simplex disebabkan karena adanya interaksi yang tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan dan organisme penyakit (patogen). Interaksi yang tidak serasi ini akan menyebabkan stress pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimiliki ikan menjadi lemah dan akhirnya mudah terserang penyakit. Kesehatan ikan menurun atau kondisi lingkungan kurang menunjang akan menyebabkan ikan mengalami kondisi stress, sehingga menurunkan kemampuan mempertahankan diri dari serangan penyakit (Baladin, 2007).

Stress terjadi karena faktor lingkungan (stressor) yang meluas atau melewati kisaran toleransi untuk ikan dan akan mengganggu fungsi fisiologis pada ikan tersebut. Pengaruh stress pada ikan dapat menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh ikan yang terjadi secara hormonal sehingga sangat rentan terserang penyakit. Penyebab stress pada ikan dapat dikelompokkan menjadi stress kimia, lingkungan dan biologis (Johnny dkk., 2011).

(57)

cacing Anisakis simplex sedikit ditemukan pada ikan tongkol pada minggu pertama. Pengambilan sampel pada minggu pertama sebanyak 30 ekor, sedangkan ikan yang positif terinfeksi Anisakis simplex berjumlah 2 ekor dengan rincian masing-masing ikan ditemukan 1 ekor cacing Anisakis simplex. Pengambilan sampel ikan minggu kedua sebanyak 40 ekor ikan dan ditemukan parasit sebanyak 2 ekor cacing (setiap satu ekor ikan ditemukan satu parasit). Penghitungan tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada pengambilan sampel minggu kedua termasuk dalam kategori yang sama dengan pengambilan sampel minggu pertama yaitu termasuk dalam kategori occasionally (sedikit ditemukan pada ikan) dengan tingkat prevalensi sebanyak 5% dan ikan yang positif terinfeksi cacing sebanyak 2 ekor dan parasit yang ditemukan juga berjumlah 2 ekor. Pengambilan sampel minggu ketiga dan minggu keempat menggunakan jumlah sampel yang sama yaitu sebanyak 40 ekor ikan. Penghitungan tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada minggu ketiga dan minggu keempat termasuk dalam kategori yang

sama juga yaitu often yang berarti Anisakis simplex sering ditemukan pada ikan tongkol. Minggu ketiga ditemukan cacing Anisakis simplex sebanyak 6 ekor dari 6 ekor ikan sehingga nilai prevalensi parasit pada minggu ketiga ini sebanyak 15%, sedangkan pada minggu keempat ditemukan 5 ekor Anisakis simplex dari 5 ekor ikan dan memiliki nilai prevalensi sebanyak 12,5%. Penggolongan kategori infeksi berdasarkan pada tingkat prevalensi ikan yang terserang parasit sesuai dengan Williams and Williams (1996).

(58)
(59)

VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

a. Jenis endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan adalah larva cacing Anisakis simplex stadium tiga.

b. Tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan yaitu 10% yang termasuk dalam kategori often (sering ditemukan pada ikan).

6.2 Saran

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Adisanjaya, N. 2010. Potensi, Produksi Sumberdaya Ikan di Perairan Laut Indonesia dan Permasalahannya. Paper pada Seminar Potensi Hasil Perikanan Indonesia. 25 Oktober 2010. LIPI. Jakarta. 22 hal.

Adji, A. O. 2008. Studi Keragaman Cacing Parasitik pada Saluran Pencernaan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) dan Ikan Tongkol (Euthynnus spp.). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 51 hal.

Agustini, S. D. 2000. Aplikasi Metode Schaefer : Analisis Potensi Sumberdaya Tongkol (Scombridae) di Perairan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Skripsi. Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hal.

Andini, Y. 2006. Karakteristik Surimi Hasil Ozonisasi Daging Merah Ikan Tongkol (Euthynnus sp.). Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 76 hal. Arifudin, S. dan N. Abdulgani. 2013. Prevalensi dan Derajat Infeksi Anisakis sp.

Pada Saluran Pencernaan Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus sexfasciatus) di TPI Brondong Lamongan. Skripsi. Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. 55 hal.

Aryani, R. 2012. Identifikasi dan Prevalensi Cacing pada Saluran Pencernaan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) di Desa Ngrajek Magelang Jawa Tengah. Skripsi. Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya. 43 hal.

Azwar, S. 2010. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal 83.

Baladin, L.O. 2007. Studi Ketahanan Hidup Larva Anisakidae dengan Suhu Pembekuan dan Penggaraman pada Ikan (Rastrelliger spp.). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hal.

Balai Karantina Ikan Batam. 2007. Laporan Pemantauan HPI/HPIK Tahun 2007. Balai Karantina Ikan Batam. Batam. 52 hal.

(61)

Buchmann, K. and J. Bresciani. 2001. An Introduction to Parasitic Diseases of Freshwater Trout. Denmark: DSR Publisher.

Chaari, M., H. Derbel and L. Neifar. 2011. Oesophagotrema mediterranea (Platyhelminthes, Digenea, Zoogonidae), Parasite of the Needlefish Tylosurus acus imperialis (Beloniformes, Belonidae) from off Tunisia. Journal of the De Sfax University, 33 (3) : 281-286.

Djamal, S. J. 1994. Analisis Musim dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) di Perairan Utara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 76 hal.

Emelina, N. 2008. Cacing Parasitik pada Insang Ikan Kembung (Decapterus spp). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 hal.

Fidyandini, H. P. 2012. Identifikasi dan Prevalensi Ektoparasit pada Ikan Bandeng (Chanos chanos) yang Dipelihara di Karamba Jaring Apung UPBL Situbondo dan di Tambak Desa Bangunrejo Kecamatan Jabon Sidoarjo. Skripsi. Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitology: An Outline. Weinheim. New York. PWN-Polish Scientific Publisher. Warszawa.

Gudivada, M. and A. P. Vankara. 2010. Population Dynamics of Metazoan Parasites of Marine Threadfin Fish, Polydactylus sextarius (Bloch and Schneider, 1801) from Visakhapatnam Coast, Bay of Bengal. Journal of Yogi Vemana University, 5 (4) : 555-561.

Gunawan, S. 2008. Infestasi Cacing Parasitik pada Insang Ikan Tongkol (Euthyunus sp). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 75 hal.

Hoffman, G.L. 1999. Parasites Of North American Freshwater Fishes Second Edition. New York. Cornell University Press. 539 p.

Indaryanto, F. R. 2012. Intensitas, Prevalensi dan Dominasi Parasit Cacing pada Ikan Kembung (Rastrelliger) di Perairan Teluk Banten. Skripsi. Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang. 66 hal. Johnny, F., D. Roza dan Prisdiminggo. 2011. Kejadian Penyakit Infeksi Parasit

(62)

Kabata. 1985. Parasites and Disease of Fish Culturedd in The Tropics. Taylor and Francis. London and Philadellphia.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 8 hal. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Rancangan Undang-Undang

Kelautan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 50 hal.

Kuhlmann, W.F. 2006. Preservation, Staining, and Mounting Parasite Speciment.

http://www.facstaff.unca.com. 22/05/2014. 8 hal.

Lee, S. H., L. K. Joon, W. M. Sohn, S. T. Hong, J. H. Sung and J. Y. Chai. 1988. Metacercariae of Echinostoma cinetorchis Encysted in the Fresh Water Snail, Hippeutis cantori, and their Development in Rats and Mice. Journal of the Korean of Parasitology, 26 (3) : 189-197.

Levine, N. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Prof. Dr. Gatut Ashadi, Penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook Of Veterinary Parasitology.

Lorenzo, S. 2000. Usefulness of Currently Available Methods for the Diagnosis of Anisakis simplex Allergy. Allergy, 55 : 627-633.

Lymbery, A. J., R. G. Doupe, M. A. Munshi and T. Wong. 2002. Larvae of Contracaecum sp. Among Inshore Fish Species of Southwestern Australia. Journal of Murdoch University of Veterinary and Biomedical Sciences, 51 : 157-159.

Mahasri, G. dan Kismiyati. 2008. Buku Ajar Parasit dan Penyakit Ikan I (Ilmu Penyakit Protozoa Ikan dan Udang). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Hal 3-4.

Mahasri, G., S. Koesdarto, S. Subekti dan Kismiyati. 2008. Buku Ajar Parasit dan Penyakit Ikan II (Ilmu Penyakit Nematoda dan Acanthocephala). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Hal 19-21.

Mahasri, G., S. Koesdarto, S. Subekti dan Kismiyati. 2008. Buku Petunjuk Praktikum Parasit dan Penyakit Ikan II (Ilmu Penyakit Helminth). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Hal 28-30.

(63)

Monks, N. 2007. Camallanus Worms are Among the Most Commonly Encountered Internal Parasites for Aquarium Fish. Doctoral Thesis. Aberdeen University of Zoology. Scotland. 50p.

Moravec, F., J. Lorber and R. Konecny. 2008. Camallanus sp. (Nematoda: Camallanidae) and some other Adult Nematodes from Marine Fishes off the Maldive Islands. Journal of Parasitology, 70 (1) : 61-69.

Mulyanti, R. 2001. Inventarisasi Parasit pada Ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger neglectus), Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis), dan Ikan Belanak (Mugil sp) dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karang Antu, Serang, Banten. Skripsi. Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 hal.

Muttaqin, M. Z. dan N. Abdulgani. 2013. Prevalensi dan Derajat Infeksi Anisakis sp. pada Saluran Pencernaan Ikan Kakap Merah (Lutjanus malabaricus) di Tempat Pelelangan Ikan Brondong Lamongan. Jurnal Sains dan Seni Pomits, 2 (1) : 2337-3520.

Nggajo, R. 2009. Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 120 hal.

Noble, G. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Terjemahan: Wardiarto. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. hal 3-44.

Noga, E. J. 2010. Fish Disease Diagnosis and Treatment. 2nd Edition. Wiley-Balckwell. USA. 538 hal.

Oktaviani, A. 2008. Studi Keragaman Cacing Parasitik pada Saluran Pencernaan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) dan Ikan Tongkol (Euthynnus spp.). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 51 hal.

Olson, P., T. H. Cribb, V. V. Tkach, R. A. Bray and D. T. J. Littlewood. 2003. Phylogeny and Classification of the Digenea (Platyhelminthes : Trematoda). International Journal for Parasitology 33 : 733-755.

(64)

Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong. 2013. Hasil Tangkapan Harian Bulan April 2013. Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong. 30 hal.

Radiopoetro.1988. Zoologi. Erlangga. Jakarta.

Roberts. 2000. Foundation of Parasitology. 6th Edition. University of Miami. USA.

Saputra, L. 2011. Deteksi Morfologi dan Molekuler Parasit Anisakis spp pada Ikan Tongkol (Auxis thazard). Skripsi.Budidaya Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. 56 hal.

Sarjito dan Desrina. 2005. Analisa Infeksi Cacing Endoparasit pada Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch) dari Perairan Pantai Demak. Laporan Kegiatan Hasil Penelitian Dosen Muda. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang. 18 hal.

Shih, H. H., C. Chun and C. S. Wang. 2010. Anisakis simplex (Nematoda: Anisakidae) Third-Stage Larval Infection of Marine Cage Cultured Cobia, Rachycentron canadum in Taiwan. Journal of Veterinary Parasitology, 171 (3-4) : 277-285.

Soulsby, E. J. L. 1986. Helminth , Arthopods, and Protozoa of Domesticated Animals. 7th ed. Baillere Tindall. London. 809 p.

Stasiun Karantina Ikan kelas I Hang Nadim. 2010. Laporan Pemantauan Hama dan Penyakit Ikan. Batam. 57 hal.

Subekti, S. dan G. Mahasri. 2010. Buku Ajar Parasit dan Penyakit Ikan (Trematodiasis dan Cestodiasis). Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Suhendi. 2009. Identiifkasi dan Prevalensi Bakteri dan Cendawan yang Terseleksi serta Parasit pada Ikan Arwana Super Red (Scleropages formosus) yang Sakit. Skripsi. Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 90 hal.

(65)

Susanto, E. dan A. S. Fahmi. 2012. Senyawa Fungsional dari Ikan, Aplikasinya dalam Pangan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang. 8 hal.

Tamba, M. F. dan M. Damriyasa. 2012. Prevalensi dan Distribusi Cacing pada Berbagai Organ Ikan Selar Bentong. Jurnal Parasitologi Veteriner, 1 (4) : 555-566.

Teresa, M. and J. Ignacio. 2002. Anisakis simplex : Dangerous-Dead and Alive. Journal of the Glasgow University, 18(1) : 20-25.

Ulkhaq, M. 2012. Studi Identifikasi dan Prevalensi Endoparasit pada Saluran Percernaan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Keramba Jaring Apung Unit Pengelola Budidaya Laut Situbondo, Jawa Timur. Skripsi. Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya. 55 hal.

Zamani, N. 2011. Strategi Pengembangan Pengeolaan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu. Jurnal Saintek Perikanan 6 (2) : 38-51.

(66)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Pengambilan Sampel Ikan Tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur

Pengambilan Sampel Minggu I (1 Juli 2013)

(67)
(68)
(69)

Gambar

Tabel                                                                                                      Halaman
Gambar 1. Morfologi ikan tongkol (Sumber : Adji, 2008)
Gambar 2  Morfologi Cacing Anisakis (Sumber : Grabda, 1991)
Gambar 3. Daur Hidup Anisakis (Sumber : Teresa dan Ignacio, 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menghitung derajat infeksi dan prevalensi kehadiran cacing Anisakis sp dalam tubuh ikan tongkol pada ukuran panjang yang

Fokus penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong dalam rencana penyerapan tenaga kerja masyarakat pesisir Brondong

Layout Alternatif 3 memiliki kinerja paling baik dalam melindungi area Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong dan pantai Desa Blimbing, ditunjukkan oleh rata-rata tinggi gelombang

Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Pada Sapi Potong Di Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo.. Universitas

Prevalensi ikan layur ( Trichiurus savala ) yang diambil di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, Kabupaten Lamongan yang terinfeksi larva stadium tiga Anisakis

Tabel 5.1 Jenis Larva Cacing Endoparasit pada Ikan Kuniran di TPI Brondong Lamongan Pengambilan Ke- (Jumlah Sampel) Panjang Tubuh Ikan (cm) Cacing yang Ditemukan Panjang

PPN Brondong memiliki peranan strategis dalam pengembangan perikanan dan kelautan, yaitu sebagai pusat atau sentral kegiatan perikanan laut terutama yang berada di

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: cacing yang ditemukan pada ikan tongkol Euthynnus Affinis yang diambil dari Pelabuhan Pendaratan ikan PPI Oeba adalah