• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga. IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga. IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN

PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, LAMONGAN - JAWA TIMUR

Oleh :

SSUCI KURNIAWATI 140911118

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA 2014

(2)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN

PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, LAMONGAN - JAWA TIMUR

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga

Oleh : SUCI KURNIAWATI NIM. 140911118 Mengetahui, Komisi Pembimbing Pembimbing Utama

Dr. Kismiyati, Ir., M.Si NIP. 19590808 198603 2 002

Pembimbing Serta

Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si NIP. 19600912 198603 2 001

(3)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN

PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, LAMONGAN - JAWA TIMUR

Oleh :

SUCI KURNIAWATI NIM. 140911118

Telah diujikan pada

Tanggal : Kamis, 28 Agustus 2014

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA. Anggota : Prof. Dr. Hari Suprapto, Ir., M. Agr.

Rahayu Kusdarwati, Ir., M.Si. Dr. Kismiyati, Ir., M.Si. Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si

Dekan

Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga

(4)

RINGKASAN

SUCI KURNIAWATI. Identifikasi Dan Prevalensi Endoparasit Pada Saluran Cerna Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan - Jawa Timur. Dosen Pembimbing Dr. Kismiyati, Ir., M.Si. dan Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si.

Ikan tongkol merupakan salah satu ikan konsumsi yang memiliki harga ekonomis tinggi. Nilai produksi tangkapan ikan tongkol dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada data statistik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan bahwa hasil tangkapan ikan tongkol pada tahun 2009 sebanyak 1.420.039.707 ekor dan meningkat pada tahun 2010 sebesar 1.454.305.423 ekor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan prevalensi endoparasit yang terdapat pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode survey melalui pengambilan sampel pada lokasi secara langsung. Sampel yang digunakan sebanyak 150 ekor ikan dengan pengambilan sampel sebanyak empat kali. Ukuran sampel yang digunakan rata-rata panjangnya 50 cm dan berat 1 kg. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah jenis dan tingkat prevalensi endoparasit yang terdapat pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong terinfeksi endoparasit dari jenis Anisakis simplex. Prevalensi ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan yang terinfeksi Anisakis simplex sebanyak 10% (15 dari 150 sampel) yang termasuk dalam kategori often.

(5)

SUMMARY

SUCI KURNIAWATI. Identification and Prevalence of Endoparasites on Sword Fish (Euthynnus affinis) Gastrointestinal in Nusantara Fisheries Port Brondong, Lamongan - East Java. Academic Advisor Dr. Kismiyati, Ir., M.Si. and Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si.

Sword fish is one of the consumption fish which has high economic value. Production value of sword fish’s catching annually always increases. It can be showed by statistic of Ministry of Marine and Fisheries that remarked the result of sword fish’s catching in 2009 was 1.420.039.707 fishes and increased in 2010 was 1.454.305.423 fishes.

The study aimed was to know both the kind and the prevalence of sword fish gastrointestinal endoparasites at Nusantara Fisheries Port Brondong, Lamongan-East Java. Research used survey methods using 150 fishes through sampling at the site directly. Size sample was used rate longht 50 cm and weight 1 kg. The parameters of the study was the kind and prevalence degree of endoparasite were found in the gastrointestinal of sword fish in Nusantara Fisheries Port Brondong, Lamongan-East Java.

The result showed that there was only Anisakis simplex infected sword fish at Nusantara Fisheries Port Brondong, Lamongan-East Java. The prevalence of Anisakis simplex of sword fish at Fisheries Port Brondong, Lamongan was 10 % (15 of 150 samples), that is mean often.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rakhmat dan hidayah Nya, sehingga Skripsi tentang Identifikasi dan Prevalensi Endoparasit pada Saluran Pencernaan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi S-1 Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga, Surabaya.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Laporan Skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga Laporan Skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi semua pihak, khususnya bagi mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya guna kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan, terutama dalam hal ilmu parasit dan penyakit ikan.

Surabaya,September 2014

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA., Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universiras Airlangga dan Ketua Penguji yang telah memberikan masukan, kritik serta saran demi kesempurnaan Skripsi ini.

2. Ibu Dr. Kismiyati, Ir., M.Si. Dosen Pembimbing pertama yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran yang membangun dengan penuh kesabaran mulai dari penyusunan proposal sampai terselesainya Laporan Skripsi ini.

3. Ibu Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si. Dosen Pembimbing kedua yang telah memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan sejak penyusunan usulan hingga selesainya penyusunan Skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Hari Suprapto, Ir., M. Agr. dan Ibu Rahayu Kusdarwati, Ir., M.Kes. Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritik serta saran demi kesempurnaan Skripsi ini.

5. Ibu Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. Dosen Wali yang telah memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan selama masa perkuliahan. 6. Bapak Agustono, Ir. M.Kes., Koordinator Pelaksana Skripsi.

7. Ibu Ayunda, Koordinator Laboratorium Parasit Balai Karantina Ikan Juanda yang telah banyak memberikan informasi dan bimbingan selama penelitian.

(8)

8. Bapak Harnoto, Kepala Unit Syah Bandar Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong yang juga membantu memberikan informasi, pengarahan, dan mempermudah perizinan pada waktu pengambilan sampel.

9. Bapak Budiman, Koordinator Laboratorium Parasit Balai Karantina Ikan Perak yang telah banyak memberikan informasi dan bimbingan selama penelitian.

10.Keluargaku tercinta, Ibu, Ramah, dan adek Icha yang telah memberikan dukungan moril dan materi serta semangat sehingga Laporan Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

11.Mas Faiz terima kasih atas segala doa dan motivasi dalam memberikan semangat sehingga laporan Skripsi ini dapat terselesaikan.

12.Teman-temanku Titii, Lieeya, Imas Riena, Mariha, Anabel, Ochie, Mbk Siska Reny, Annie, Tutiek, Titii dan Reshi dan teman-teman angkatan Gold Fish yang telah memberikan masukan dan semangat sehingga Laporan Skripsi ini dapat terselesaikan.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... iv

SUMMARY ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Balakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan ... 4 1.3 Manfaat ... 4 II TINJAUAN PUSTAKA ... 6 2.1 Ikan Tongkol ... 6

2.1.1 Klasifikasi Ikan Tongkol... 6

2.1.2 Morfologi Ikan Tongkol ... 6

2.1.3 Habitat dan Kebiasaan Hidup ... 7

2.2 Parasit pada Ikan Laut ... 8

2.2.1 Anisakis ... 10 A. Klasifikasi ... 10 B. Morfologi ... 10 C. Daur Hidup ... 11 D. Predileksi ... 12 E. Inang... 12 2.2.2 Camallanus caringis ... 13 A. Klasifikasi ... 13

(10)

C. Daur Hidup ... 14 D. Predileksi ... 15 E. Inang... 15 2.2.3 Echinostoma ... 16 A. Klasifikasi ... 16 B. Morfologi ... 16 C. Daur Hidup ... 17 D. Predileksi ... 18 E. Inang... 18 2.2.4 Pseudosteringophorus ... 19 A. Klasifikasi ... 19 B. Morfologi ... 19 C. Daur Hidup ... 20 D. Predileksi ... 21 E. Inang... 22 2.2.5 Lecithocladium ... 22 A. Klasifikasi ... 22 B. Morfologi ... 22 C. Daur Hidup ... 23 D. Predileksi ... 24 E. Inang... 24

III KERANGKA KONSEPTUAL ... 25

IV METODOLOGI PENELITIAN ... 28

4.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ... 28

4.2 Materi Penelitian ... 28 4.2.1 Alat Penelitian ... 28 4.2.2 Bahan Penelitian ... 28 4.3 Metode Penelitian ... 28 4.4 Prosedur Kerja ... 29 4.4.1 Pengambilan Sampel ... 29

4.4.2 Pengambilan Saluran Pencernaan ... 30

4.4.3 Pemeriksaan Isi Saluran Pencernaan ... 30

4.4.4 Pewarnaan Cacing ... 32

4.4.5 Identifikasi Cacing ... 33

4.5 Parameter Penelitian ... 33

(11)

4.5.2 Parameter Penunjang ... 33

4.6 Diagram Alir Penelitian ... 34

4.7 Analisis Data ... 34

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1 Hasil Penelitian ... 35

5.1.1 Identifikasi Cacing ... 35

5.1.2 Prevalensi Endoparasit ... 38

5.2 Pembahasan ... 32

VI SIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1 Simpulan ... 45

6.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hasil Penghitungan Prevalensi Endoparasit pada Saluran Pencernaan Ikan Tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Morfologi Ikan Tongkol ... 7

2. Morfologi Anisakis ... 11

3. Daur Hidup Anisakis ... 12

4. Morfologi Camallanus ... 14

5. Daur Hidup Camallanus ... 15

6. Morfologi Echinostoma ... 17

7. Daur Hidup Echinostoma ... 18

8. Morfologi Pseudosteringophorus ... 20

9. Daur Hidup Pseudosteringophorus ... 21

10. Morfologi Lecithocladium ... 23

11. Daur Hidup Lecithocladium ... 24

12. Bagan Kerangka Konseptual Penelitian ... 27

13. Diagram Alir Penelitian ... 34

14. Bagian Anterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Binokuler ... 36

15. Bagian Posterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Binokuler ... 36

16. Bagian Anterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Lucida ... 37

17. Bagian Posterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Lucida ... 37

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data Pengambilan Sampel Ikan Tongkol di Pelabuhan Perikanan

(15)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) dengan 17.499 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 104.000 km2 (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014). Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sumberdaya tersebut mencakup 37% dari spesies ikan di dunia. Kondisi ini merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan perikanan tangkap di Indonesia (Zamani, 2011).

Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain: tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang, ikan hias, kerang, dan rumput laut (Adisanjaya, 2010). Ikan tongkol merupakan ikan yang memiliki harga ekonomis tinggi. Ikan tongkol termasuk dalam familia Scrombidae yang merupakan salah satu jenis ikan konsumsi (Oktaviani, 2008). Nilai produksi tangkapan ikan tongkol dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada data statistik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan bahwa hasil tangkapan ikan tongkol di wilayah Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 1.420.039.707 ekor dan meningkat pada tahun 2010 yaitu 1.454.305.423 ekor (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).

Ikan tongkol merupakan salah satu ikan konsumsi yang sangat digemari masyarakat. Daging ikan tongkol memiliki cita rasa yang enak dan memiliki kandungan gizi yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi tubuh. Kandungan

(16)

gizi daging ikan tongkol per 100 gram yaitu terdiri dari air 69,40%, lemak 1,50%, protein 25,00%, mineral 2,25%, dan karbohidrat 0,03%. Protein pada ikan tongkol memiliki komposisi asam amino yang lengkap yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia (Andini, 2006). Mineral yang terkandung dalam daging ikan tongkol terdiri dari magnesium, fosfor, yodium, fluor, zat besi, copper, zinc, kalsium dan selenium. Omega 3 dan omega 6 yang terkandung dalam asam lemak berguna untuk memperkuat daya tahan otot jantung, meningkatkan kecerdasan otak, melenturkan pembuluh darah, menurunkan kadar trigliserida dan mencegah penggumpalan darah (Susanto dan Fahmi, 2012).

Ikan tongkol yang hidup di perairan Indonesia sangat rentan terinfeksi penyakit. Penyakit pada ikan dapat dibedakan menjadi dua yaitu penyakit infeksius dan penyakit non infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan organisme patogen (jamur, bakteri, virus dan parasit), sedangkan penyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh lingkungan, pakan, genetik. Penyakit infeksius tidak hanya menginfeksi ikan budidaya tetapi juga dapat menginfeksi ikan yang hidup di perairan laut (ikan hasil perikanan tangkap) (Balai Karantina Ikan Batam, 2007).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa parasit dari genus Anisakis lebih banyak menyerang ikan laut. Ikan tongkol di perairan Sulawesi Selatan positif terinfeksi cacing Anisakis dengan prevalensi sebesar 70% (Saputra, 2011), hal ini juga terjadi pada ikan tongkol di perairan Jakarta dengan nilai prevalensi 25% (Gunawan, 2008). Ikan kembung di perairan Jakarta Utara pada penelitian Susanti (2008) terinfeksi cacing Anisakis dengan jumlah

(17)

prevalensi sebesar 61%, sedangkan pada penelitian Emelina (2008) ikan kembung dari perairan Jakarta terinfeksi parasit dari genus Anisakis sebesar 5%, genus Pseudosteringophorus 55%, dan genus Lecithocladium 16%. Cacing Anisakis juga menginfeksi ikan kerapu hasil tangkapan di TPI Brondong, Lamongan dengan prevalensi sebesar 100% (Arifudin dan Abdulgani, 2013). Penelitian Tamba dan Damriyasa (2012) melaporkan bahwa ikan selar bentong yang diambil dari Pasar Ikan Kedonganan, Badung positif terinfeksi Anisakis (83,8%), Camallanus sp. (0,95%), Filum Acanthocephala (0,95%), dan Kelas Digenea (14,3%), sedangkan ikan kakap merah di perairan Jakarta terinfeksi cacing dari genus Anisakis dengan prevalensi 10% (Batara, 2008).

Cacing Anisakis merupakan endoparasit yang bersifat zoonosis atau dapat menginfeksi manusia yang mengkonsumsi ikan tongkol yang terinfeksi larva Anisakis (Pardede, 2000). Penyakit yang disebabkan oleh cacing Anisakis ini disebut anisakiasis (Mulyanti, 2001). Endoparasit ini menyerang saluran pencernaan manusia dan dapat menimbulkan muntah-muntah, diare, dan reaksi alergi yang meliputi urtikaria, anafilaksis, dermatitis, gastroenteritis, sampai gejala asma (Saputra, 2011).

Di Indonesia penelitian terhadap parasit yang bersifat zoonosis pada ikan tongkol belum banyak dilakukan padahal ikan tongkol merupakan ikan yang memiliki harga ekonomis tinggi dengan jumlah permintaan yang terus meningkat sehingga perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi dan prevalensi endoparasit pada ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur.

(18)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Jenis endoparasit apa saja yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur?

2.Berapakah tingkat prevalensi endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Mengetahui jenis endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur.

2.Mengetahui tingkat prevalensi endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur.

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi informasi tentang berbagai jenis endoparasit yang menyerang saluran cerna ikan tongkol (Euthynnus affinis) serta tingkat prevalensi dari endoparasit yang menyerang saluran cerna ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan oleh masyarakat

(19)

sebagai tambahan pengetahuan penyakit cacing dan protozoa pada ikan yang memiliki potensi dapat menular pada manusia (zoonosis).

(20)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Tongkol

2.1.1 Klasifikasi Ikan tongkol

Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Teleostei Ordo : Perciformes Family : Scrombidae Genus : Euthynnus Spesies : Euthynnus affinis

2.1.2 Morfologi Ikan tongkol

Menurut Oktaviani (2008), ikan tongkol mempunyai ciri-ciri yakni tubuh berukuran sedang, memanjang seperti torpedo, mempunyai dua sirip punggung yang dipisahkan oleh celah sempit. Sirip punggung pertama diikuti oleh celah sempit, sirip punggung kedua diikuti oleh 8-10 sirip tambahan. Ikan tongkol tidak memiliki gelembung renang. Warna tubuh pada bagian punggung ikan ini adalah gelap kebiruan dan pada sisi badan dan perut berwarna putih keperakan.

Ikan tongkol memiliki sirip punggung pertama berjari-jari keras sebanyak 10 ruas, sedangkan yang kedua berjari-jari lemah sebanyak 12 ruas, dan terdapat enam sampai sembilan jari-jari sirip tambahan. Terdapat dua tonjolan antara kedua sirip perut. Sirip dada pendek dengan ujung yang tidak mencapai celah diantara kedua sirip punggung. Sirip dubur berjari-jari lemah sebanyak 14 dan memiliki 6-9 jari-jari sirip tambahan. Sirip-sirip kecil berjumlah 8-10 buah terletak di belakang sirip punggung kedua (Agustini, 2000). Pada umumnya ikan

(21)

tongkol memiliki panjang tubuh 50-60 cm. Gambar morfologi ikan tongkol (Euthynnus affinis) disajikan pada gambar 1 dibawah ini :

Gambar 1. Morfologi ikan tongkol (Sumber : Adji, 2008)

2.1.3 Habitat dan Kebiasaan Hidup

Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup didalamnya secara normal (Nggajo, 2009). Habitat ikan tongkol yaitu pada perairan lepas dengan suhu 18-290C. Ikan ini merupakan ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) (Saputra, 2011). Menurut Djamal (1994), ikan tongkol lebih aktif mencari makan pada waktu siang hari daripada malam hari dan merupakan ikan karnivora. Ikan tongkol biasanya memakan udang, cumi, dan ikan teri.

Ikan tongkol mempunyai daerah penyebaran yang sangat luas yaitu pada perairan pantai dan oseanik. Kondisi oseanografi yang mempengaruhi migrasi ikan tongkol yaitu suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan ketersediaan makanan. Ikan tongkol pada umumnya menyenangi perairan panas dan hidup di lapisan permukaan sampai pada kedalaman 40 meter dengan kisaran optimum antara 20-28°C. Penyebaran ikan tongkol di perairan Samudra Hindia

(22)

meliputi daerah tropis dan sub tropis dan penyebaran ini berlansung secara teratur (Oktaviani, 2008).

2.2 Parasit pada Ikan Laut

Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain dan mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk berkembang biak dan untuk kebutuhan metabolisme tubuh parasit tersebut (Subekti dan Mahasri, 2010). Berdasarkan predileksi, parasit dapat dibedakan menjadi ektoparasit, endoparasit dan mesoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup pada bagian luar tubuh inang yaitu pada insang, sirip dan kulit. Endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang yaitu pada usus, ginjal dan hati. Mesoparasit adalah parasit yang sebagian tubuh bersifat endoparasit dan sebagian yang lain ektoparasit (Balai Karantina Ikan Batam, 2007).

Keberhasilan parasit dalam menginfeksi inang ditentukan oleh keberhasilan parasit dalam menyerang, hidup dan berkembang biak di dalam maupun di luar tubuh inang sedangkan keberhasilan parasit menyerang dan hidup pada tubuh inang bergantung pada kemampuan parasit menembus tubuh inang, ketersediaan kebutuhan parasit dalam tubuh inang dan kerentanan parasit (Suhendi, 2009).

Setiap parasit yang hidup dalam tubuh inang bisa menimbulkan pengaruh yang berbahaya bagi inang. Metabolisme dan sekresi kelenjar parasit dapat menjadi racun bagi inang. Racun yang dihasilkan oleh sekresi kelenjar tersebut dapat mengganggu kulit dan menyebabkan radang (Grabda, 1991). Kerusakan tubuh dan organ internal yang berupa luka dapat menjadi tempat berkembang

(23)

yang baik bagi jamur dan bakteri patogen. Dalam tubuh inang terjadi persaingan yang kuat antar parasit untuk mendapatkan ruang dan makanan. Parasit berusaha mencapai seluruh jaringan dalam tubuh inang untuk mencari lokasi yang paling baik. Parasit akan menempati organ target bila telah menemukan lokasi yang tepat untuk mendapatkan makanan dan bereproduksi secara maksimal (Mulyanti, 2001).

Menurut hasil penelitian Batara (2008), Gunawan (2008), Emelina (2008), Susanti (2008), Saputra (2011) dan Ulkhaq (2012) menyebutkan bahwa jenis endoparasit yang banyak menyerang ikan laut di perairan Indonesia adalah Anisakis, Camallanus, Echinostoma, Pseudosteringophorus, dan Lecithocladium. Hal ini berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan. Saputra (2011) melaporkan bahwa Anisakis menyerang ikan tongkol di perairan Sulawesi Selatan, hal serupa juga terjadi pada hasil penelitian Gunawan (2008) di perairan Jakarta. Anisakis juga ditemukan menyerang ikan kembung (Susanti, 2008), sedangkan pada penelitian Emelina (2008) selain terserang Anisakis ikan kembung juga terserang endoparasit dari genus Pseudosteringophorus dan genus Lecithocladium. Ikan kakap merah di perairan Jakarta juga ditemukan terserang Anisakis (Batara, 2008). Pada penelitian Ulkhaq (2012) dilaporkan bahwa endoparasit yang menyerang ikan kerapu tikus adalah Camallanus carangis dengan prevalensi 13.33% dan Echinostoma dengan prevalensi 26,67%.

(24)

2.2.1 Anisakis A. Klasifikasi

Klasifikasi parasit Anisakis menurut Noga (2010) yaitu : Phylum : Nemathelminthes

Class : Nematoda Ordo : Ascaridida Family : Anisakidae Genus : Anisakis

Spesies : Anisakis simplex

B. Morfologi

Cacing Anisakis memiliki warna putih dengan panjang antara 10-29 mm. Cacing Anisakis dewasa memiliki morfologi yaitu memiliki tiga buah bibir yang mengelilingi mulut, satu bibir terletak di dorsal dan dua bibir lainnya terletak di sisi ventro-lateral yang berfungsi untuk menyerap bahan organik dari dinding usus. Pada bagian anterior terdapat boring tooth yang berfungsi untuk melubangi dinding usus halus dan untuk melekat pada mukosa usus halus agar tidak lepas pada waktu intestinum berkontraksi mencerna makanan. Bagian ekor panjang dan runcing serta pada bagian posterior terdapat mucron. Cacing ini memiliki lapisan kutikula yang terlihat jelas di sepanjang tubuh. Cacing ini juga memiliki esofagus yang berbentuk silindris atau sedikit mengalami pelebaran di bagian posterior (Sarjito dan Desrina, 2005). Anisakis memiliki rektum yang membuka keluar melalui anus dengan tiga kelenjar anal besar yang berasosiasi dengan rektum. Anisakis memiliki ujung lobus yang tumpul pada pertemuan ventrikulus dan sekum. Bagian anterior berhubungan langsung dengan appendiks dan bagian posterior berhubungan langsung dengan sekum (Saputra, 2011).

(25)

Morfologi cacing Anisakis dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini :

Gambar 2 Morfologi Cacing Anisakis (Sumber : Grabda, 1991)

Keterangan: A: anterior, C: Posterior, I: intestine, EP: excretory pore, ED: excretory duct, OE: esofagus, LT: larva tooth, V: ventriculus

C. Daur Hidup

Daur hidup cacing Anisakis adalah dimulai dari telur yang dikeluarkan oleh cacing dewasa melalui feses mamalia laut yang berperan sebagai inang definitif. Telur tersebut tenggelam ke dasar perairan dan kemudian menetas menjadi larva stadium pertama. Larva ini kemudian dimakan oleh krustasea laut yang berperan sebagai inang antara pertama dan dalam tubuh krustasea ini larva berkembang menjadi larva stadium dua yang bersifat infektif. Jika krustasea dimakan oleh ikan (inang antara kedua), maka larva akan berkembang menjadi stadium tiga dan menetap di organ dalam inang antara kedua. Ikan yang terinfeksi larva Anisakis apabila dimakan oleh inang definitif (mamalia laut) maka larva

(26)

akan berkembang menjadi cacing dewasa dalam saluran cerna inang definitif. Cacing dewasa akan hidup dan berkembang biak dalam tubuh inang definitif (Shih et al., 2010). Daur hidup cacing Anisakis akan disajikan pada gambar 3 dibawah ini:

Gambar 3. Daur Hidup Anisakis (Sumber : Teresa dan Ignacio, 2002)

D. Predileksi

Predileksi cacing Anisakis yaitu saluran pencernaan terutama pada bagian usus, membran hati, otot, limpa, rongga badan dan gonad (Batara, 2008).

E. Inang

Cacing Anisakis memiliki inang definitif yaitu singa laut, anjing laut, lumba-lumba dan paus (Saputra, 2011).

Cacing dewasa dalam saluran cerna inang definitif

Telur dalam feses inang definitif

L1

hidup bebas di air L2

Inang antara I L3

(27)

2.2.2 Camallanus carangis

A. Klasifikasi

Klasifikasi Camallanus carangis menurut Soulsby (1986) adalah : Phylum : Nemathelminthes

Class : Nematoda Ordo : Camallanoidea Family : Camallanidae Genus : Camallanus

Spesies : Camallanus carangis Camallanus maculatus Camallanus acaudatus Camallanus corderoi

B. Morfologi

Cacing Camallanus betina memiliki ukuran 10 mm sedangkan cacing Camallanus jantan berukuran 3 mm. Bagian ujung kepala cacing membulat sedangkan pada bagian akhir ekor cacing meruncing. Ujung anterior cacing terdiri dari rasping organ yang berfungsi untuk menembus kedalam dinding usus dan untuk menempatkan jangkar. Cacing parasitik ini memiliki bucal capsule yang dilapisi kutikula yang tebal dan sepasang lekukan pada bucal capsule. Bentuk seperti ini akan membuat cacing dapat memegang dinding usus dengan kuat dan tidak dapat lepas. Mulut cacing Camallanus berbingkai yang dikelilingi oleh buku-buku seperti tanduk dan pada bagian mulut ini terdapat celah sempit yang terbuka dengan sudut yang membulat (Mahasri dkk., 2008).

Menurut Buchmann dan Bresciani (2001), cacing ini berbentuk panjang, ramping, silindris, tidak bersegmen dengan kedua ujung meruncing, mempunyai mulut serta anus serta memiliki rongga tubuh semu yang disebut pseudoselom. Cacing ini memiliki sistem pencernaan yang lengkap yang dimulai dari mulut,

(28)

esofagus dengan dinding otot tebal, usus, rektum, dan anus (Grabda, 1991). Pada ujung anterior tubuh terdapat modifikasi kutikuler yang disebut amphid. Amphid merupakan alat indera yang berjumlah sepasang (Radiopoetro, 1988). Morfologi cacing Camallanus akan disajikan pada gambar 4

Gambar 4. Morfologi Cacing Camallanus (Sumber : Moravec et al., 2008) Keterangan: A. anterior terlihat lateral, B. anterior terlihat dorsoventral, C.

posterior, D. Vulva. Skala bar: A-C.100µm, D.200µm

C. Daur Hidup

Daur hidup Camallanus dimulai dengan telur yang dikeluarkan bersama feses inang definitif. Telur tenggelam ke dasar perairan dan kemudian menetas menjadi larva stadium pertama yang hidup bebas di perairan. Larva yang berenang bebas di makan oleh inang antara I yaitu invertebrata (copepoda dan krustasea). Larva akan berkembang menjadi larva stadium dua dalam tubuh inang antara I. Apabila inang antara I dimakan oleh ikan (inang antara II) maka larva

(29)

stadium dua akan berkembang menjadi larva stadium tiga dalam tubuh inang antara II. Apabila inang antara II dimakan oleh inang definitif yaitu burung pemakan ikan, larva ini akan berkembang menjadi cacing dewasa pada tubuh inang definitif dan melakukan perkembangbiakan (Monks, 2007). Daur hidup cacing Camallanus ditunjukkan oleh gambar 5 dibawah ini :

Gambar 5. Daur Hidup Cacing Camallanus (Sumber : Martins et al., 2007).

D. Predileksi

Camallanus memiliki daerah predileksi yaitu pada dinding saluran pencernaan ikan, rektum, dan anus (Aryani, 2012).

E. Inang

Cacing dewasa dalam saluran cerna inang definitif

Telur dalam feses inang definitif

L1

hidup bebas di air L2

Inang antara I L3

(30)

Inang definitif cacing Camallanus yaitu burung pemakan ikan dan memiliki inang antara dua yaitu ikan kakap dan selar (Batara, 2008).

2.2.3 Echinostoma A. Klasifikasi

Klasifikasi Echinostoma menurut Noga (2010) adalah : Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda Ordo : Prosostomata Family : Echinostomatidae Genus : Echinostoma

Spesies : Echinostoma revolutum Echinostoma echinatum Echinostoma caproni

B. Morfologi

Cacing ini tidak mempunyai rongga tubuh dan seluruh organ berada di dalam rongga parenkim. Tubuh cacing berbentuk seperti daun, simetris bilateral, pipih dorsoventral dan tidak bersegmen. Echinostoma memiliki dua alat penghisap, satu mengelilingi mulut atau yang sering disebut sebagai batil isap oral dan yang lain berada di dekat pertengahan tubuh atau ujung posterior yang disebut batil isap ventral atau acetabulum. Dinding luar tubuh cacing memiliki duri atau sisik (Levine, 1990).

Sistem ekskretoris cacing ini terdiri atas flame cells yang dihubungkan oleh tubulus yang kemudian bersatu menjadi duktus yang lebih besar. Duktus ini bermuara pada saluran kencing dekat ujung posterior tubuh cacing. Cacing ini memiliki mulut dan saluran pencernaan, namun tidak memliki anus (Noble, 1989).

(31)

Morfologi cacing Echinostoma dapat dilihat pada gambar 6 dibawah ini :

Gambar 6. Morfologi cacing Echinostoma revolutum(Sumber : Ulkhaq, 2012) Keterangan: AC: acetabulum (ventral sucker), OS: oral sucker, CL: collar, OV:

ovarium,CS: cirrus sac, TE: testis, UT: uterus, VT: vitellaria

C. Daur Hidup

Daur hidup cacing Echinostoma adalah cacing dewasa menghasilkan telur yang dikeluarkan bersama feses inang definitif. Telur akan menetas menjadi miracidium di dalam air. Miracidium secara aktif akan berenang mencari inang antara I yaitu siput air (Lymnaea snail) dan dalam tubuh siput tersebut miracidium akan berkembang menjadi sporokista yang selanjutnya akan berkembang menjadi redia induk, kemudian berkembang menjadi redia anak dan berkembang lagi menjadi cercaria. Cercaria keluar dari tubuh siput dan berenang mencari inang antara II yaitu ikan. Cercaria berkembang menjadi metacercaria dalam tubuh ikan. Apabila inang antara II yang mengandung metacercaria dimakan oleh inang definitif (burung pamakan ikan) maka metacercaria akan berkembang menjadi cacing dewasa dan melakukan reproduksi di dalam tubuh inang definitif (Subekti

(32)

dan Mahasri, 2010). Daur hidup cacing ini dapat dilihat pada gambar 7 dibawah ini :

Gambar 7. Daur Hidup cacing Echinostoma (Sumber : Lee et al.,1988)

D. Predileksi

Predileksi cacing Echinostoma yaitu pada daerah usus, rektum dan caecum (Indaryanto, 2012).

E. Inang

Cacing Echinostoma memiliki inang definitif yaitu burung pemakan ikan, bebek dan unggas. Cacing Echinostoma memiliki inang antara dua yaitu ikan sedangkan inang antara pertama cacing Echinostoma adalah siput Lymnea, Heliosoma, dan Paludina (Susanti, 2008).

Cacing dewasa dalam saluran cerna inang definitif

Telur dalam feses inang definitif miracidium hidup bebas di air

sporokista inang antara I redia inang antara I cercaria inang antara I metacercaria inang antara II

(33)

2.2.4 Pseudosteringophorus A. Klasifikasi

Klasifikasi Pseudosteringophorus menurut Noble (1989) adalah : Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda Ordo : Prosostomata Family : Fellodistomatidae Genus : Pseudosteringophorus

Spesies : Pseudosteringophorus hoplognathi

B. Morfologi

Cacing Pseudosteringophorus memiliki bentuk tubuh pipih dan oval memanjang, tegumen tipis, dan memiliki faring yang kecil. Tegumen pada cacing ini memiliki tiga lapisan otot yaitu sirkular, diagonal, dan longitudinal. Kontraksi dari ketiga otot ini dapat menyebabkan pergerakan pada tubuh cacing Pseudosteringophorus. Cacing ini tidak memiliki kait atau organ tambahan lain untuk menempel pada inang. Pseudosteringophorus juga memiliki dua buah testes yang membulat dan simetris dimana testes yang satu berada di sebelah testes yang lain dan ovarium yang terletak di anterior testes. Uterus terletak di bagian posterior tubuh dan berisi telur dalam jumlah banyak (Olson et al., 2003).

Cacing Pseudosteringophorus dewasa memiliki predileksi pada saluran pencernaan ikan, namun cacing ini juga dapat ditemukan di rongga mulut, paru-paru atau organ dalam lain (Emelina, 2008). Pseudosteringophorus merupakan endoparasit pada ikan air laut dengan predileksi pada saluran pencernaan yaitu lambung dan usus.

(34)

Lapisan epidermis cacing Pseudosteringophorus tidak memiliki silia dan pada bentuk dewasa mengalami modifikasi menjadi kutikula. Cacing ini tidak memiliki pigmen. Mulut terletak pada bagian anterior tubuh yang dilengkapi dengan gigi-gigi kitin, memiliki alat penghisap yang terletak di sekitar lubang mulut atau pada permukaan ventral yang digunakan sebagai alat pelekat (Radiopoetro, 1988). Morfologi cacing Pseudosteringophorus dapat dilihat pada gambar 8

Gambar 8. Morfologi cacing Pseudosteringophorus (Sumber : Yamaguti, 1958 dalam Emelina, 2008)

C. Daur Hidup

Daur hidup cacing Pseudosteringophorus yaitu cacing dewasa memproduksi telur yang berbentuk oval dalam jumlah banyak dalam tubuh inang definitif. Telur tersebut akan keluar bersama feses inang dan tenggelam pada

(35)

dasar perairan. Telur kemudian menetas menjadi miracidium bersilia yang akan berenang bebas di air dan kemudian menginfeksi siput air (Planorbis) sebagai inang antara pertama. Dalam tubuh siput, miracidium berkembang menjadi sporokista. Sporokista berkembang menjadi redia yang akan berkembang lagi menjadi cercaria. Cercaria akan keluar dari tubuh siput dan akan masuk ke dalam tubuh ikan sebagai inang antara kedua. Dalam tubuh ikan cercaria berkembang menjadi metacercaria. Apabila ikan yang mengandung metacercaria dimakan oleh inang definitif (burung pemakan ikan) maka metacercaria akan berkembang menjadi cacing dewasa (Susanti, 2008). Daur hidup cacing Pseudosteringophorus dapat dilihat pada gambar 9 dibawah ini :

Gambar 9. Daur Hidup cacing Pseudosteringophorus (Sumber : Chaari et al., 2011)

D. Predileksi

Predileksi cacing Pseudosteringophorus yaitu saluran pencernaan ikan terutama pada usus dan lambung, rongga mulut dan anus (Emelina, 2008).

Cacing dewasa dalam saluran cerna inang definitif

Telur dalam feses inang definitif miracidium hidup bebas di air sporokista inang antara I redia inang antara I cercaria inang antara I metacercaria inang antara II

(36)

E. Inang

Cacing Pseudosteringophorus lebih banyak menyerang ikan laut yaitu ikan kembung, ikan kakap dan ikan kerapu (Susanti, 2008).

2.2.5 Lecithocladium A. Klasifikasi

Klasifikasi Lecithocladium menurut Yamaguti (1958) dalam Emelina (2008) adalah : Phylum : Platyhelminthes Class : Digenea Ordo : Prosostomata Family : Hemiuridae Genus : Lecithocladium

Spesies : Lecithocladium excisum Lecithocladium angusiovum Lecithocladium scombri

B. Morfologi

Cacing ini memiliki bentuk tubuh silindris memanjang dan terdapat dua buah alat penghisap yang terletak di bagian oral dan ventral tubuh. Alat penghisap yang terletak di bagian anterior tubuh disebut oral sucker sedangkan alat penghisap yang terletak di bagian posterior tubuh disebut ventral sucker (Subekti dan Mahasri, 2010).

Lecithocladium memiliki testes yang berjumlah dua buah yang terletak diagonal dan ovarium yang tidak berlobus yang terletak di belakang testes. Sistem pencernaan terdiri dari mulut, faring dan usus. Cacing ini memiliki predileksi pada esofagus dan lambung, tetapi dapat juga ditemukan di usus, gelembung

(37)

renang, atau di luar saluran pencernaan ikan (Emelina, 2008). Morfologi cacing Lecithocladium ditunjukkan oleh gambar 10

Gambar 10. Morfologi cacing Lecithocladium (Sumber : Yamaguti, 1958 dalam Emelina, 2008)

Keterangan: 1: mulut, 2: faring. 3:saluran hermaftodit, 4: batil hisap, 5: kelenjar prostat, 6: kantung seminal, 7: testis, 8: ovarium, 9: vitelin, 10: ekor, 11: uterus, 12: sekum, 13: lubang ekskretori.

C. Daur Hidup

Daur hidup cacing Lecithocladium dimulai dari telur yang dikeluarkan bersama feses inang definitif kemudian menetas menjadi miracidium yang hidup di dalam air dan aktif mencari inang antara I yaitu siput air (Lymnea dan Heliosoma). Dalam tubuh inang antara I miracidium akan berkembang menjadi sporokista. Sporokista selanjutnya berkembang menjadi redia dan berkembang lagi menjadi cercaria. Cercaria keluar dari tubuh siput dan berenang mencari ikan (inang antara II). Cercaria akan berkembang menjadi metacercaria dalam tubuh

(38)

ikan. Metacercaria akan menjadi cacing dewasa dalam tubuh inang definitif (Subekti dan Mahasri, 2010). Daur hidup cacing Lecithocladium ditunjukkan oleh gambar 11 dibawah ini :

Gambar 11. Daur Hidup cacing Lecithocladium (Sumber : Gudivada and Vankara, 2010)

D. Predileksi

Predileksi Lecithocladium yaitu pada bagian saluran pencernaan ikan (Emelina, 2008).

E. Inang

Lecithocladium memiliki inang antara utama yaitu ikan dari genus Decapterus, tetapi tidak menutup kemungkinan cacing ini akan menginfeksi ikan laut jenis lain karena sifatnya yang tidak host specific (Susanti, 2008).

Cacing dewasa dalam saluran cerna inang definitif

Telur dalam feses inang definitif miracidium hidup bebas di air

sporokista inang antara I redia inang antara I cercaria inang antara I metacercaria inang antara II

(39)

III KERANGKA KONSEPTUAL

Salah satu kendala yang muncul pada hasil perikanan tangkap adalah penyakit. Penyakit ini disebabkan karena kualitas perairan yang menurun. Kualitas air yang menurun dapat menyebabkan ikan stress sehingga sangat rentan terserang penyakit. Penyakit ikan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penyakit infeksius dan non infeksius. Penyakit non infeksius disebabkan oleh lingkungan, makanan dan genetis, sedangkan penyakit infeksius disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit (Fidyandini, 2012).

Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain dan mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk berkembang biak dan untuk kebutuhan metabolisme tubuh parasit tersebut (Mahasri dan Kismiyati, 2008). Menurut Balai Karantina Ikan Batam (2007), parasit dibedakan menjadi tiga berdasarkan predileksi pada tubuh inang yaitu ektoparasit (parasit yang hidup pada permukaan tubuh inang), mesoparasit (parasit yang menginfeksi ikan dimana sebagian dari tubuh parasit menembus sampai organ dalam tubuh inang sedangkan bagian tubuh lainnya berada diluar tubuh inang) dan endoparasit (parasit yang hidup dalam tubuh inang).

Endoparasit dapat ditemukan pada bagian organ dalam inang yaitu saluran pencernaan (terutama usus dan lambung), darah, daging dan otot (Aryani, 2012). Endoparasit dari filum nemathelminthes ada yang bersifat zoonosis seperti cacing Anisakis.

(40)

Saat ini belum banyak penelitian yang mengungkapkan jenis endoparasit yang menginfeksi ikan tongkol sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang jenis endoparasit yang menyerang saluran cerna ikan tongkol dengan tingkat prevalensi endoparasit tersebut. Bagan kerangka konseptual penelitian dapat dilihat pada gambar 12 dibawah ini :

(41)

Ikan konsumsi

Pencemaran

Keterangan :

: Aspek yang diteliti : Aspek yang tidak diteliti

Gambar 12.Bagan Kerangka Konseptual Penelitian Permintaan pasar tinggi

Ikan tongkol

Penyakit

jamur

Ektoparasit

bakteri parasit virus

Endoparasit

Identifikasi

Prevalensi

Saluran pencernaan darah daging otot

platyhelminthes nemathelminthes helminthes

(42)

IV METODOLOGI

4.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013. Sampel ikan diambil di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan dan identifikasi parasit dilakukan di Laboratorium Pendidikan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga.

4.2 Materi Penelitian 4.2.1 Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan parasit yaitu nampan, pisau bedah, pinset dan gunting. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk identifikasi parasit adalah objec glass, cover glass, mikroskop camera lucida, lup, pipet, tabung centrifuge, dan mesin centrifuge.

4.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel ikan tongkol, tisu, aquades, NaCl, glycerine 5%, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 95%, larutan Hung’s I, dan larutan Hung’s II.

4.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pengambilan sampel secara langsung pada lokasi penelitian untuk mengidentifikasi jenis endoparasit pada ikan tongkol. Lokasi pengambilan sampel ikan ditentukan dengan sengaja. Metode pengambilan sampel dilakukan secara

(43)

acak terhadap ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan.

Metode survei adalah pengumpulan informasi dari sebagian populasi yang dianggap dapat mewakili populasi tertentu. Metode ini bertitik tolak pada konsep, hipotesis, dan teori yang sudah mapan sehingga tidak akan memunculkan teori baru. Penelitian survei memiliki sifat verifikasi terhadap teori yang ada. Penelitian ini bersifat deskriptif. Data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel, data yang terkumpul akan dianalisis secara deskriptif (Azwar, 2010).

4.4 Prosedur Kerja 4.4.1 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel ikan diusahakan dapat mewakili populasi ikan yang ada. Sampel ikan yang diambil adalah ikan yang masih segar. Berdasarkan data Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong (2013) tangkapan ikan tongkol per hari sebanyak 3000 kg ikan dengan berat 1 ekor ikan sebesar 1 kg. Ikan tongkol yang diambil sebagai sampel sebanyak 5% dari 3000 kg/ekor yaitu 150 kg/ekor. Hal ini sesuai dengan standar yang telah dibakukan yaitu pengambilan sampel sebanyak 5-10% dari populasi (Balai Karantina Ikan Batam, 2007). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara aktif tanpa menunggu laporan atau informasi terjadinya infeksi parasit. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sebanyak empat kali, pengambilan pertama dilakukan pada tanggal 1 Juli, kedua tanggal 8 Juli, ketiga tanggal 15 Juli, dan keempat tanggal tanggal 22 Juli 2013. Sampel yang telah diambil dibawa ke Laboratorium Pendidikan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga.

(44)

4.4.2 Pengambilan Saluran Pencernaan

Sampel ikan yang telah diambil diletakkan di atas nampan kemudian ikan ditimbang dan diukur panjangnya. Kemudian dilakukan pembedahan ikan dengan gunting mengarah ke anterior tubuh sampai pada bagian sirip ventral, kemudian digunting ke arah dorsal ikan sampai pada bagian gurat sisi lalu digunting mengarah pada bagian anal ikan. Lambung ikan bagian anterior dipotong sampai pada bagian posterior usus, kemudian disimpan di dalam pot salep berisi alkohol 70% (Balai Karantina Ikan Batam, 2007).

4.4.3 Pemeriksaan Isi Saluran Pencernaan

Pemeriksaan isi saluran pencernaan dilakukan dengan dua metode yaitu metode natif dan metode konsentrasi. Metode natif dilakukan dengan cara mengeluarkan isi saluran pencernaan dengan diurut mengarah ke ujung posterior usus. Isi saluran pencernaan yang telah keluar kemudian ditampung dalam object glass atau cawan petri ditetesi air dan ditutup cover glass, kemudian diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x (Stasiun Karantina Ikan Kelas I Hang Nadim Batam, 2010).

Menurut Mahasri dkk (2008), apabila dengan metode tersebut ditemukan cacing maka dilakukan pewarnaan, tapi apabila tidak ditemukan cacing maka dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan metode konsentrasi yang terdiri dari metode pengendapan (sedimentasi) dan pengapungan. Pemeriksaan isi saluran pencernaan dilakukan dengan metode konsentrasi yang dibagi menjadi 2, yaitu :

(45)

1. Metode Pengendapan (sedimentasi)

Cara kerja dalam metode sedimentasi yaitu mencampurkan feses dengan 10 ml air lalu diaduk sampai tercampur, dimasukkan ke dalam tabung centrifuge sampai dengan satu cm dibawah permukaan tabung dan di centrifuge selama 2-3 menit dengan kecepatan 1500 rpm, larutan supernatan (permukaan) dibuang, disisakan endapan 1 cm dari dasar tabung. lalu ditambahkan dengan air, di centrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit dan membuang larutan supernatan (permukaan), endapan diambil menggunakan pipet, diletakkan pada object glass dan ditutup dengan cover glass, pemeriksaan endapan dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x.

2. Metode Pengapungan

Metode ini dilakukan untuk mengkonsentrasikan cacing dengan cara mengapungkan, dengan cairan yang berat jenisnya lebih besar dari berat jenis cacing. Cairan yang digunakan adalah larutan jenuh NaCl, Cara kerja dalam metode ini yaitu mencampurkan feses dengan 10 ml air lalu diaduk sampai tercampur, dimasukkan ke dalam tabung centrifuge sampai dengan 1 cm dibawah permukaan tabung dan di centrifuge selama 2-3 menit dengan kecepatan 1500 rpm, larutan supernatan (permukaan) dibuang, disisakan endapan 1 cm dari dasar tabung. lalu ditambahkan dengan adalah larutan jenuh NaCl, dicentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit kemudian ditambahkan dengan larutan jenuh NaCl hingga permukaan larutan cembung mendekati mulut tabung lalu menempelkan cover glass pada mulut tabung dan ditunggu selama 5 menit,

(46)

kemudian cover glass diletakkan di atas object glass dan diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x.

4.4.4 Pewarnaan Cacing

Pewarnaan cacing bertujuan untuk memudahkan identifikasi dan untuk mengawetkan preparat cacing agar tahan lama. Pewarnaan cacing menggunakan metode Semichen-Acetic Carmine. Cara pewarnaan yaitu cacing disimpan dalam alkohol gliserin 5% lalu dicuci dengan PZ lalu difiksir diantara dua object glass dan ikat kedua ujungnya dengan benang, object glass dimasukkan dalam alkohol gliserin 5% selama 24 jam, lalu dimasukkan dalam alkohol 70% selama lima menit dan dimasukkan dalam larutan carmine yang sudah diencerkan dengan alkohol 70% dengan perbandingan 1 : 2, biarkan selama delapan jam, kemudian cacing dilepas dari obyek glass, dipindahkan dalam larutan alkohol asam selama dua menit (alkohol 70% + HCl) lalu dipindahkan dalam larutan alkohol basa selama 20 menit (alkohol 70% + NaHCO3), dilakukan dehidrasi bertingkat dengan alkohol 70% selama 5 menit, alkohol 85% selama 5 menit dan alkohol 95% selama 5 menit kemudian mounting dalam larutan Hung’s I selama 20 menit, cacing diletakkan pada obyek glass yang bersih dan diteteskan larutan Hung’s II di atas cacing tersebut yang berfungsi sebagai perekat pada cover glass, kemudian menutup dengan cover glass. Preparat dikeringkan selama kurang lebih 24 jam (Kuhlman, 2006).

(47)

4.4.5 Identifikasi Cacing

Identifikasi cacing dilakukan berdasarkan Kabata (1985), Grabda (1991) dan Hoffman (1967).

4.5 Parameter Penelitian 4.5.1 Parameter Utama

Parameter utama yang diamati adalah jenis endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong dan tingkat prevalensi masing-masing endoparasit. Menurut Balai Karantina Ikan Batam (2007) prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Prevalensi = Jumlah ikan yang terinfeksi X 100% Jumlah sampel ikan yang diperiksa

4.5.2 Parameter Penunjang

Parameter penunjang pada penelitian ini adalah ukuran ikan yang meliputi panjang dan berat tubuh ikan. Data parameter penunjang ini digunakan sebagai data pelengkap parameter utama.

(48)

4.6 Diagram Alir Penelitian

Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 13 dibawah ini

Gambar 13. Diagram Alir Penelitian

4.7 Analisis Data

Data hasil identifikasi endoparasit yang menyerang ikan tongkol dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel. Nilai prevalensi dihitung untuk setiap spesies parasit.

Penentuan lokasi pengambilan sampel ikan laut

Persiapan alat dan bahan

Pengambilan sampel di Pelabuhan Perikannan Nusantara Brondong

Identifikasi

Prevalensi

Pemeriksaan endoparasit pada saluran pencernaan Pembuatan preparat dengan

(49)

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Identifikasi Cacing

Hasil identifikasi endoparasit yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol berasal dari Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Ascaridida, Famili Anisakidae, Genus Anisakis, Spesies Anisakis simplex. Cacing Anisakis simplex yang ditemukan memiliki ciri berwarna putih, pada bagian anterior memiliki larva tooth, excretory pore dan excretory duct yang terlihat jelas, sedangkan pada bagian saluran pencernaan cacing terlihat esophagus, ventriculus dan intestinum, sedangkan pada bagian posterior cacing terdapat mucron, rectal gland dan anus yang juga terlihat jelas. Berdasarkan beberapa ciri diatas, cacing parasitik yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol dapat dikategorikan adalah larva cacing Anisakis simplex stadium tiga (L3). Identifikasi dilakukan berdasarkan Grabda (1991), Kabata (1985) dan Hoffman (1999).

Menurut Grabda (1991) larva cacing Anisakis stadium tiga (L3) memiliki larva tooth yang berfungsi untuk melubangi dinding usus halus dan juga berfungsi untuk berpegangan pada mukosa usus halus agar tidak lepas pada saat intestinum berkontraksi mencerna makanan dan juga terdapat ventriculus yang terletak antara esofagus dan usus. Bagian ekor cacing Anisakis simplex panjang dan runcing serta pada ujung posterior dari ekor terdapat mucron. Mucron merupakan pelebaran kutikula. Mucron terdapat pada larva Anisakis simplex baik jantan maupun betina. Gambar hasil identifikasi Anisakis simplex yang ditemukan pada saluran

(50)

ditunjukkan Gambar 14 dan 15, sedangkan Gambar Anisakis simplex menggunakan mikroskop lucida ditunjukkan Gambar 16 dan 17.

Gambar 14. Bagian Anterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Binokuler

Keterangan: Bagian anterior L3 Anisakis simplex dengan perbesaran mikroskop binokuler 400x dan skala bar 20µm

Gambar 15. Bagian Posterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Binokuler

Keterangan:Bagian posterior L3 Anisakis simplex dengan perbesaran mikroskop binokuler 400x dan skala bar 20µm

Larva tooth

(51)

Gambar 16. Bagian Anterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Lucida

Keterangan: LT: larva tooth, EP: excretory pore, ED: excretory duct, OE: oesophagus. Bar: 20 µm

Gambar 17. Bagian Posterior Larva Anisakis simplex Stadium Tiga dengan Menggunakan Mikroskop Lucida

Keterangan: M: mucron, A: anus, G: rectal gland (kelenjar anus), I: intestinum. Bar: 20 µm

(52)

5.1.2 Prevalensi Endoparasit

Prevalensi larva cacing Anisakis simplex stadium tiga pada saluran pencernaan ikan tongkol pada setiap minggunya berbeda. Data hasil penghitungan prevalensi larva cacing Anisakis simplex stadium tiga pada ikan tongkol dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Penghitungan Prevalensi Endoparasit pada Saluran Pencernaan Ikan Tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur Pengambilan Sampel Jumlah Sampel yang diambil (ekor)

Jumlah Ikan yang Terinfeksi (ekor) Prevalensi (%) I 30 2 6,67 II 40 2 5 III 40 6 15 IV 40 5 12,5 Jumlah 150 15 10

Berdasarkan tabel penghitungan prevalensi cacing Anisakis simplex yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong setiap minggunya berbeda. Tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada pengambilan sampel pertama yaitu 6,67% dengan jumlah ikan yang terinfeksi cacing dua ekor, pada pengambilan sampel kedua yaitu 5% dengan jumlah ikan yang terinfeksi cacing dua ekor, pengambilan sampel ketiga yaitu 15% dengan jumlah ikan yang terinfeksi cacing enam ekor, dan pada pengambilan sampel keempat yaitu 12,5% dengan jumlah ikan yang terinfeksi cacing 5 ekor. Total sampel ikan yang terinfeksi Anisakis simplex dari pengambilan 150 ekor ikan sebanyak 15 ekor dengan rata-rata tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong sebesar 10%.

(53)

5.2 Pembahasan

Hasil identifikasi endoparasit pada saluran pencernaan ikan tongkol ditemukan satu jenis parasit yang sama selama empat kali pengambilan sampel. Endoparasit yang ditemukan pada penelitian ini termasuk dalam Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Ascaridida, Famili Anisakidae, Genus Anisakis, dan spesies Anisakis simplex. Larva cacing Anisakis simplex yang ditemukan adalah larva stadium tiga (L3), hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Grabda (1991) yaitu cacing Anisakis simplex pada stadium tiga (L3) memiliki larva tooth pada bagian ujung anterior dan pada bagian posterior terdapat mucron, selain itu cacing Anisakis simplex memiliki siklus hidup sebagai larva stadium tiga (L3) dalam tubuh ikan .

Hasil pewarnaan cacing Anisakis simplex yang ditemukan di saluran pencernaan ikan tongkol selain memiliki larva tooth dan mucron, pada bagian anterior terdapat excretory pore dan excretory duct, sedangkan pada bagian saluran pencernaan makanan terdapat esophagus, ventriculus, dan intestinum dan pada bagian posterior terdapat anus dan kelenjar anus. Ciri morfologi cacing Anisakis simplex hasil pewarnaan sesuai dengan ciri morfologi Anisakis simplex pada kunci identifikasi Grabda (1991), Kabata (1985) dan Hoffman (1967).

Penelitian ini hanya menemukan satu jenis cacing yaitu Anisakis simplex, hal ini berkaitan dengan habitat, kebiasaan makan ikan tongkol dan keberadaan parasit. Ikan tongkol merupakan ikan pelagis yang hidup di lapisan permukaan sampai pada kedalaman 40 meter. Ikan tongkol lebih aktif mencari makan pada siang hari dan merupakan ikan karnivora yang memakan Thysanoessa dan

(54)

Euphausia dari kelas krustasea (Djamal, 1994). Thysanoessa dan Euphausia merupakan inang antara pertama bagi cacing Anisakis simplex. Inang antara pertama yang terinfeksi L2 Anisakis simplex apabila dimakan oleh ikan tongkol maka larva tersebut akan berkembang menjadi L3. Tidak ditemukannya cacing Camallanus, Echinostoma, Pseudosteringophorus dan Lecithocladium juga berhubungan dengan habitat, kebiasaan makan ikan tongkol dan keberadaan parasit. Camallanus, Echinostoma, Pseudosteringophorus dan Lecithocladium memiliki inang antara satu yaitu siput air (Planorbis, Lymnaea snail dan Heliosoma) (Lymbery et al., 2002). Siput air memiliki habitat di dasar perairan sehingga ikan tongkol kemungkinan tidak memakan siput air yang merupakan inang antara satu dari parasit tersebut.

Cacing Anisakis simplex ditemukan di saluran pencernaan ikan tongkol yaitu pada bagian mukosa usus. Hal ini dikarenakan pada bagian usus merupakan tempat memproses makanan yang dapat diabsorpsi oleh cacing Anisakis simplex. Cacing Anisakis simplex memperoleh makanan dengan cara mengabsorpsi makanan yang terlarut dalam lumen usus ikan yaitu darah, sel jaringan, cairan tubuh dan sari-sari makanan (Arifudin dan Abdulgani, 2013). Cacing Anisakis simplex tidak dapat merombak bahan makanan yang belum disederhanakan karena tidak memiliki saluran pencernaan yang sempurna dan tidak memiliki enzim pencernaan yang dapat membantu proses pencernaan makanan (Roberts, 2000).

Cacing Anisakis simplex yang mampu hidup dalam usus ikan memiliki kemampuan untuk resisten terhadap mekanisme pencernaan ikan baik proses kimiawi yang terjadi dalam tubuh inang, tahan melawan respon imun inang,

(55)

maupun mampu bertahan di dalam usus pada kondisi anaerob karena suplai oksigen diperoleh dengan menghisap nutrisi yang mengalir bersama pembuluh darah vena di dalam lumen usus. Cacing Anisakis simplex memiliki struktur tubuh yang mampu beradaptasi dengan kondisi di dalam usus ikan. Cacing ini memiliki lapisan epidermis kulit yang dapat mensekresikan sebuah lapisan kutikula yang berfungsi untuk melindungi tubuh cacing dari enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan di dalam usus ikan. Intestinum Anisakis simplex mampu melindungi diri dari enzim pencernaan yang disekresikan oleh inang dengan cara mensekresikan muco protein yang berfungsi untuk menetralkan enzim inang. Parasit yang tidak memproduksi muco protein akan tercerna dalam usus halus inang (Lorenzo, 2000).

Faktor yang mempengaruhi ikan tongkol dapat terinfeksi cacing Anisakis simplex adalah faktor rantai makanan dan juga faktor lingkungan perairan (Saputra, 2011). Ikan tongkol yang terinfeksi cacing Anisakis simplex yang disebabkan oleh faktor makanan karena ikan tongkol mengkonsumsi krustasea yang terinfeksi larva Anisakis simplex stadium dua (L2). Menurut Grabda (1991) Anisakis simplex memiliki inang antara pertama dari krustasea yaitu Thysanoessa dan Euphausia. Krustasea merupakan inang antara satu dalam siklus hidup cacing Anisakis simplex. Krustasea ini apabila dimakan oleh ikan maka larva cacing stadium dua (L2) akan berkembang menjadi larva stadium tiga (L3) dan menginfeksi ikan (Batara, 2008). Larva stadium tiga (L3) banyak ditemukan pada bagian usus karena larva ini mengabsorpsi makanan yang terlarut dalam lumen usus ikan yaitu darah, sel jaringan, cairan tubuh dan sari-sari makanan (Arifudin

(56)

dan Abdulgani, 2013). Ikan yang terinfeksi larva cacing apabila termakan oleh inang definitif (burung pemakan ikan, singa laut, anjing laut, lumba-lumba dan paus) maka larva tersebut akan berkembang menjadi cacing dewasa yang akan melakukan proses reproduksi dan menghasilkan telur yang akan dikeluarkan bersama feses inang definitif (Shih et al., 2010).

Faktor lingkungan yang turut mempengaruhi ikan tongkol terinfeksi cacing Anisakis simplex disebabkan karena adanya interaksi yang tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan dan organisme penyakit (patogen). Interaksi yang tidak serasi ini akan menyebabkan stress pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimiliki ikan menjadi lemah dan akhirnya mudah terserang penyakit. Kesehatan ikan menurun atau kondisi lingkungan kurang menunjang akan menyebabkan ikan mengalami kondisi stress, sehingga menurunkan kemampuan mempertahankan diri dari serangan penyakit (Baladin, 2007).

Stress terjadi karena faktor lingkungan (stressor) yang meluas atau melewati kisaran toleransi untuk ikan dan akan mengganggu fungsi fisiologis pada ikan tersebut. Pengaruh stress pada ikan dapat menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh ikan yang terjadi secara hormonal sehingga sangat rentan terserang penyakit. Penyebab stress pada ikan dapat dikelompokkan menjadi stress kimia, lingkungan dan biologis (Johnny dkk., 2011).

Tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada pengambilan sampel minggu pertama termasuk dalam kategori occasionally. Hal ini berdasarkan pada penghitungan tingkat prevalensi parasit cacing Anisakis simplex dalam saluran pencernaan ikan tongkol sebanyak 6,67%. Angka tersebut menunjukkan bahwa

(57)

cacing Anisakis simplex sedikit ditemukan pada ikan tongkol pada minggu pertama. Pengambilan sampel pada minggu pertama sebanyak 30 ekor, sedangkan ikan yang positif terinfeksi Anisakis simplex berjumlah 2 ekor dengan rincian masing-masing ikan ditemukan 1 ekor cacing Anisakis simplex. Pengambilan sampel ikan minggu kedua sebanyak 40 ekor ikan dan ditemukan parasit sebanyak 2 ekor cacing (setiap satu ekor ikan ditemukan satu parasit). Penghitungan tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada pengambilan sampel minggu kedua termasuk dalam kategori yang sama dengan pengambilan sampel minggu pertama yaitu termasuk dalam kategori occasionally (sedikit ditemukan pada ikan) dengan tingkat prevalensi sebanyak 5% dan ikan yang positif terinfeksi cacing sebanyak 2 ekor dan parasit yang ditemukan juga berjumlah 2 ekor. Pengambilan sampel minggu ketiga dan minggu keempat menggunakan jumlah sampel yang sama yaitu sebanyak 40 ekor ikan. Penghitungan tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex pada minggu ketiga dan minggu keempat termasuk dalam kategori yang sama juga yaitu often yang berarti Anisakis simplex sering ditemukan pada ikan tongkol. Minggu ketiga ditemukan cacing Anisakis simplex sebanyak 6 ekor dari 6 ekor ikan sehingga nilai prevalensi parasit pada minggu ketiga ini sebanyak 15%, sedangkan pada minggu keempat ditemukan 5 ekor Anisakis simplex dari 5 ekor ikan dan memiliki nilai prevalensi sebanyak 12,5%. Penggolongan kategori infeksi berdasarkan pada tingkat prevalensi ikan yang terserang parasit sesuai dengan Williams and Williams (1996).

Tingkat prevalensi rata-rata Anisakis simplex yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong,

(58)

Lamongan-Jawa Timur adalah 10% termasuk dalam kategoti often yang berarti tingkat kejadian Anisakis simplex sering ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan-Jawa Timur. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor panjang tubuh ikan tongkol. Hal ini sesuai dengan pendapat Muttaqin dan Abdulgani (2013) bahwa ikan dengan panjang 25-37 cm memiliki nilai prevalensi dan derajat infeksi yang lebih besar dibandingkan dengan ikan yang memiliki panjang 21-24 cm. Ikan yang lebih besar mampu hidup lebih lama yang berarti umur ikan juga semakin bertambah, sehingga kesempatan terinfeksi oleh larva cacing Anisakis simplex juga semakin tinggi selama masa hidupnya. Roberts (2000) juga menyatakan bahwa pertambahan panjang tubuh ikan mengakibatkan semakin tinggi akumulasi parasit terhadap siklus hidup inang karena adanya pertambahan jumlah dan jenis makanan pada ikan yang lebih besar.

(59)

VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

a. Jenis endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan adalah larva cacing Anisakis simplex stadium tiga.

b. Tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex yang menginfeksi saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan yaitu 10% yang termasuk dalam kategori often (sering ditemukan pada ikan).

6.2 Saran

Tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan tongkol di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan sebanyak 10% yang termasuk dalam kategori often (sering ditemukan pada ikan) sehingga dengan nilai tingkat prevalensi cacing Anisakis simplex tersebut sebaiknya masyarakat lebih memperhatikan cara pengolahan ikan yang baik sebelum mengkonsumsi ikan hasil tangkapan, karena cacing Anisakis simplex yang ditemukan dapat berbahaya bagi kesehatan manusia (zoonosis).

Gambar

Tabel                                                                                                      Halaman
Gambar 1. Morfologi ikan tongkol (Sumber : Adji, 2008)
Gambar 2  Morfologi Cacing Anisakis (Sumber : Grabda, 1991)
Gambar 3. Daur Hidup Anisakis (Sumber : Teresa dan Ignacio, 2002)
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Produksi kedelai, jurnlah alat yang dibu- tuhkan, dan jurnlah alat yang sudah ada di WKPP-WKPP yang di analisis di Kabupa-. Alokasi penempatan alat pada

Heinich dkk (dalam Arsyad, 2007: 4) mengemukakan bahwa medium sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Dari beberapa definisi tersebut

Berdasarkan kajian di atas, maka dapat diasumsikan hipotesis tindakannya adalah dengan memulai penerapan model pembelajaran examples non examples dengan gambar seri

Dengan menggabungkan layanan bimbingan kelompok dan teknik sosiodrama dapat menjadi salah satu cara untuk dapat membantu siswa dalam meningkatkan solidaritas kepada

Pekerjaan ini baja kerja panas AISI H11 digunakan untuk menyelidiki peran lingkungan kerja yang berbeda (pendinginan kering, pendinginan basah dan gas tekan) dan

Ini membuktikan bahwa ketika mahasiswa/i menghadapi situasi di mana mereka harus tidak setuju kepada dosen mereka, mereka jarang mengakui kesalahan mereka tetapi mereka

William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai persepsi tentang diri kita yang bersifat fisik, psikologi dan sosial yang datang dari pengalaman dan interaksi

Ciri komunikasi antarpribadi efektif yang ditandai dengan keterbukaan bisa dilihat dari ketiga aspek yaitu komunikator terbuka pada komunikannya, kesediaan komunikator