• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Banjarnegara

Banjarnegara adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Banjarnegara terletak pada jalur pegunungan di bagian tengah Jawa Tengah sebelah Barat yang membujur dari arah Barat ke Timur. Terletak di antara 7º12’ - 7º31’ Lintang Selatan dan 109º29’ - 109º45’50” Bujur Timur. Sebelah utara Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pekalongan, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Wonosobo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas.

Luas wilayah Kabupaten Banjarnegara tercatat 106.970,997 Ha atau sekitar 3,29 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah (3,25 juta Ha). Ditinjau dari ketinggiannya Kabupaten Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100-500 m diatas permukaan laut sebesar 37,04 persen, kemudian antara 500-1.000 m diatas permukaan laut sebesar 28,74 persen, lebih besar dari 1000 m diatas permukaan laut sebesar 24,4 persen dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m diatas permukaan sebesar 9,82 persen. Berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografisnya dapat digolongkan menjadi daerah pegunungan relief bergelombang dan curam di bagian utara, wilayah dengan relief datar di bagian tengah, dan wilayah dengan relief curam di bagian selatan.

Kabupaten Banjarnegara beriklim tropis, musim hujan dan musim kemarau silih berganti sepanjang tahun. Bulan basah umumnya lebih banyak dari bulan kering. Curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Banjarnegara sebanyak 4.269 mm per tahun. Sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Pejawaran sebesar 2.282 mm per tahun

Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sampai akhir tahun 2007 adalah sebanyak 910.513 jiwa, terdiri dari 454.986 laki-laki dan 455.527 perempuan. Kepadatan penduduk akhir tahun 2007 sebesar 851 jiwa per km2. Pertumbuhan penduduk dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 secara umum mengalami penurunan. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan. Lokasi penelitian difokuskan pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran (BPS 2007).

Kecamatan Punggelan

Kecamatan Punggelan merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 10.284,01 Ha yang terdiri dari 17 desa. Kecamatan Punggelan merupakan wilayah yang topografinya bergelombang dan berbukit dan sebagian besar merupakan tanah kering, sehingga cocok untuk tanaman perkebunan dan kayu-kayuan.

Penduduk Kecamatan Punggelan pada akhir 2007 sebanyak 70.877 jiwa, dengan jumlah rumahtangga 18.057 dan rata-rata anggota rumahtangga 3,9 orang serta kepadatan penduduk sebesar 689 jiwa per km2. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Punggelan adalah bekerja di sektor pertanian yang mencapai 43,8 persen, sektor jasa 5,50 persen, sektor perdagangan 3,96 persen, sektor transportasi dan industri masing-masing 0,97 persen dan 2,19 persen sedangkan yang berkerja di sektor lainnya mencapai 41,08 persen.

Pada sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai penentu keberhasilan sektor-sektor lainnya, Kecamatan Punggelan digolongkan masih sangat rendah. Hal ini terlihat pada angka tingkat pendidikan yang masih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang mencapai 55,85 persen. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan tamatan Akademi maupun Perguruan Tinggi (AK/PT) masing-masing hanya sebesar 7,7 persen dan 1,37 persen. Kemudian untuk yang masih sekolah atau belum tamat SD, tidak tamat SD dan yang tidak pernah sekolah atau tidak mengenyam pendidikan sama sekali masing-masing sebesar 17,31 persen, 13,45 persen, dan 5,07 persen.

Kecamatan Pejawaran

Kecamatan Pejawaran merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 5.224,97 Ha yang terdiri dari 17 desa. Penduduk kecamatan pejawaran berjumlah 41.829 dengan jumlah rumahtangga 11.929, rata-rata anggota rumahtangga 3,5 orang. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 21.056 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 20.773 jiwa.

Rata-rata tingkat pendidikan penduduknya didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) yang mencapai 46 persen. Dominasi mata pencaharian penduduknya adalah petani dan buruh tani dengan persentase 66,7 persen dan 29,7 persen (BPS 2007).

Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga

Menurut Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Deptan 2002). Konsumsi pangan yang mencukupi merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok .

Ketahanan pangan menekankan adanya jaminan pada kesejahteraan keluarga, salah satunya adalah pangan sebagai alat mencapai kesejahteraan. Stabilitas pangan berarti menjaga agar tingkat konsumsi pangan rata-rata rumahtangga tidak menurun di bawah kebutuhan yang seharusnya. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan yang merupakan salah satu faktor atau penyebab tidak langsung yang berpengaruh pada status gizi anak (Soekirman 2000).

Tingkat ketahanan pangan rumahtangga ini dikelompokkan berdasarkan kemampuan rumahtangga dalam mencukupi kebutuhan energinya. Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan pada daerah penelitian dapat terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4 Sebaran rumahtangga menurut tingkat ketahanan pangan Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumahtangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa tingkat ketahanan pangan rumahtangga di wilayah penelitian menyebar hampir merata dengan persentase paling besar berada pada kategori sangat rawan pangan (37,3%), sedangkan persentase terkecil rumahtangga tergolong tahan pangan (31%). Hal tersebut menggambarkan bahwa rata-rata rumahtangga di wilayah

penelitian belum mampu memenuhi kebutuhan energinya dengan baik, karena sebagian besar rumahtangganya ada dalam kategori rawan pangan (69%). Jika dilihat dari rata-rata nilai kecukupan energinya mencapai 84 persen dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi energinya defisit sedang.

Tabel 6 Sebaran rumahtangga menurut tingkat ketahanan pangan

Tingkat Ketahanan Pangan RT Kecamatan Total Pejawaran Punggelan n % n % n % Tahan pangan (>90%) 35 23,3 58 38,7 112 37,3 Rawan pangan (70%-90%) 40 26,7 55 36,7 95 31,7

Sangat rawan pangan (<70%) 75 50 37 24,7 93 31

Total 150 100 150 100 300 100

Rata-rata std 75,4 ± 30 92,2 ± 33,1 83,4 ± 32,6

Kecamatan Pejawaran dan Punggelan merupakan wilayah yang tergolong beresiko rawan pangan di Banjarnegara. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa pada Kecamatan Pejawaran sebagian besar rumahtangganya tergolong rawan pangan (76,7%) dengan separuh rumahtangganya tergolong sangat rawan pangan dan hanya 23,3 persen yang berada pada kategori tahan pangan. Pada Kecamatan Punggelan lebih dari separuh rumahtangganya berada pada rawan pangan (61,4%) dengan 24,7 persen rumahtangganya tergolong sangat rawan pangan dan 38,7 persen tergolong tahan pangan. Dapat dikatakan pada kedua kecamatan tersebut sebagian besar rumahtangganya ada pada kategori rawan pangan, namun keadaan di Kecamatan Punggelan lebih baik daripada Pejawaran. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) antara tingkat ketahanan pangan pada dua kecamatan tersebut. Tingkat ketahanan pangan di kecamatan Punggelan lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran, yang dilihat dari rata-rata tingkat kecukupan energinya. Pada Kecamatan Punggelan tingkat kecukupan energinya sudah dapat dikatakan cukup (92%) sedangkan Pejawaran dikatakan defisit sedang (75%).

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 300 keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 5 keluarga dengan status perkawinan cerai, sehingga jumlah keluarga yang lengkap sebanyak 295 keluarga.

Besar Keluarga

Besar keluarga di wilayah penelitian sebagian besar tergolong dalam keluarga kecil (59,3%) yang memiliki jumlah anggota rumahtangga kurang dari 5 orang, sedangkan rumahtangga yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang atau tergolong dalam keluarga sedang sebanyak 36,7 persen dan sisanya

(4%) tergolong dalam keluarga besar. Sebaran rumahtangga berdasarkan besaran keluarga menurut kategori kecamatan dan tingkat ketahanan pangan rumahtangganya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran rumahtangga menurut besar keluarga

Besar Keluarga Kecamatan Total Pejawaran Punggelan n % n % n % Kecil 87 58 91 60,7 178 59,3 Sedang 56 37,3 54 36 110 36,7 Besar 7 4,7 5 3,3 12 4 Total 150 100 150 100 300 100 Rata-rata std 4,6 ± 1,4 4,5 ± 1,4 4,6 ± 1,4

Pada Tabel 7 terlihat bahwa di kedua kecamatan pada umumnya memiliki jumlah anggota keluarga berjumlah 4-5 orang (Pejawaran 4,6 orang dan Punggelan 4,5 orang). Menurut Suhardjo (1989) hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga, terutama keluarga yang sangat miskin. Anak-anak adalah golongan yang paling rawan terhadap kekurangan gizi, dan yang mempengaruhi adalah kecukupan akan pangannya. Makin besar jumlah keluarga maka makin besar pangan yang harus dipenuhi.

Hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) antara rata-rata jumlah anggota keluarga di dua kecamatan tersebut. Hal tersebut berarti tidak terdapat perbedaan jumlah anggota keluarga yang signifikan antara Kecamatan Pejawaran dengan Punggelan.

Pendidikan Orang tua

Pengetahuan dan pendidikan orang tua sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga, karena pendidikan seseorang dapat membantu sampainya informasi tentang kesehatan juga gizi, sehingga kurangnya pendidikan merupakan penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi pada anak. Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ayah dan ibu dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9.

Tabel 8 Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ayah

Pendidikan Ayah Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % Tidak sekolah 9 6,1 5 3,4 14 4,7 Tidak tamat SD 23 15,6 19 12,8 42 14,2 Tamat SD/sederajat 102 69,4 76 51,4 178 60,3 Tamat SLTP/sederajat 8 5,4 26 17,6 34 11,5 Tamat SLTA/sederajat 3 2 16 10,8 19 6,4 Perguruan Tinggi 2 1,4 6 4,1 8 2,7 Total 147 100 148 100 295 100

Tingkat pendidikan ayah tersebar dari tidak sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan ayah di wilayah penelitian masih tergolong rendah. Hal ini terlihat pada persentase terbesar pendidikan ayah pada dua kecamatan tersebut adalah tamatan SD (69,4% Pejawaran dan 51,4% Punggelan). Selain itu masih terdapat 6,1 persen ayah di Pejawaran dan 3,4 persen di Punggelan yang tidak sekolah dan hanya 1,4 persen ayah di Kecamatan Pejawaran serta 4,1 persen di Punggelan yang sampai pada perguruan tinggi.

Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara lama pendidikan ayah di dua Kecamatan tersebut (p<0,05). Kecamatan Punggelan memiliki lama pendidikan ayah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran. Rata-rata lama pendidikan ayah di Kecamatan Pejawaran adalah 5,6 tahun sedangkan di Kecamatan Punggelan adalah 7,1 tahun.

Tabel 9 Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ibu

Pendidikan Ibu Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % Tidak sekolah 6 4 1 0,7 7 2,3 Tidak tamat SD 12 8 16 10,7 28 9,3 Tamat SD/sederajat 113 75,3 73 48,7 186 62 Tamat SLTP/sederajat 18 12 38 25,3 56 18,7 Tamat SLTA/sederajat 1 0,7 16 10,7 17 5,7 Perguruan Tinggi 0 0 6 4 6 2 Total 150 100 150 100 300 100

Sama halnya dengan pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu di wilayah penelitian pun masih tergolong rendah karena didominasi oleh tamatan SD (62%) baik di Kecamatan Pejawaran (75,3%) maupun Punggelan (48,7%). Masih ditemukan juga ibu yang tidak sekolah di Pejawaran (4%) dan Punggelan (0,7%) dan yang bersekolah sampai perguruan tinggi hanya di temukan di Kecamatan Punggelan (4%). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara lama sekolah ibu di dua kecamatan tersebut (p<0,05). Kecamatan Punggelan memiliki lama sekolah ibu yang lebih tinggi dibandingkan Pejawaran. Rata-rata lama sekolah ibu di pejawaran adalah 6 tahun sedangkan di Punggelan adalah 7,6 tahun.

Pendapatan

Kemiskinan erat kaitannya dengan ketahanan pangan. Kemiskinan juga merupakan salah satu akar masalah yang berkaitan dengan timbulnya masalah gizi. Menurut Martianto dan Ariani (2004) Tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya.

Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari.

Garis kemiskinan di Kabupaten Banjarnegara menurut badan pusat statistik (2007) adalah Rp 146.531/kapitan/bulan. Pada wilayah penelitian sebagian besar rumahtangganya tergolong dalam kategori tidak miskin (61%) dengan rata-rata pendapatan/kapita/bulan sebesar Rp 231.851. Sebaran rumahtangga menurut pendapatan/kapita/bulan yang diperoleh dari pendekatan pengeluaran total rumahtangga pada wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Sebaran rumahtangga menurut pendapatan

Terdapat perbedaan sebaran rumahtangga berdasarkan pendapatan di pada dua kecamatan tersebut. Kecamatan Pejawaran didominasi oleh rumahtangga dengan kategori miskin (59,3%) sedangkan pada Kecamatan Punggelan didominasi oleh rumahtangga dengan kategori tidak miskin (81,3%). Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan nyata antara rata-rata pendapatan pada dua kecamatan tersebut. Kecamatan Punggelan memiliki rata-rata pendapatan lebih tinggi (Rp 278.688) dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran (Rp 185.015).

Tabel 10 Sebaran rumahtangga menurut pendapatan

Pendapatan/ Kapita /Bulan Kecamatan Total Pejawaran Punggelan n % n % n % Miskin (<Rp 161 831) 89 59,3 28 18,7 117 39 Tidak Miskin (≥ Rp 161 831) 61 40,7 122 81,3 183 61 Total 150 100 150 100 300 100 Rata-rata std 185.051 ± 170.957 278.689 ± 204.287 231.851 ± 193.809

Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2/hari (Anonim 2009). Maka jika pendapatan pada wilayah penelitian digolongkan berdasarkan garis kemiskinan dunia, sebarannya dapat terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran rumahtangga menurut garis kemiskinan dunia

Pendapatan/ Kapita /Hari Kecamatan Total Pejawaran Punggelan n % n % n % < USD $1 135 90 115 76,7 250 83,3 USD $1 -$2 12 8 31 20,7 43 14,3 >USD $2 3 2 4 2,7 7 2,3 Total 150 100 150 100 300 100 Rata-rata std 6.167 ± 5.699 9.290 ± 6.810 7.728 ± 6.460

Pada Tabel 11 maka dapat terlihat bahwa jika pendapatan di wilayah penelitian digolongkan menurut garis kemiskinan dunia maka 83,3 persen rumah tangganya tergolong dalam kemiskinan absolut. Persentase terbesar dari dua kecamatan juga berada pada golongan kemiskinan absolut. Dengan rata-rata pendapatan perkapita perhari Rp 7.728 jika dibandingkan dengan nilai USD $1 per tanggal 30 Maret 2009 adalah Rp 11.472. Maka wilayah penelitian tergolong wilayah miskin.

Pengeluaran Pangan dan Non-pangan

Pengeluaran total rumahtangga terdiri dari pengeluran pangan dan non-pangan. Persen pengeluaran untuk makanan menunjukkan rumahtangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk makanan dari total pendapatan sebesar 70 persen atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30 persen pendapatan, dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70 persen (den Hatog, van Staverev dan Broower 1995 dan Behrman 1995 dalam Tanziha 2005). Sebaran rumahtangga menurut pengeluaran pangan dan non pangan di wilayah Pejawaran dan Punggelan dapat dilihat pada Gambar 6.

Pengeluaran pangan nilainya berkebalikan dengan pengeluaran non-pangan yang berasal dari pengeluaran total. Pada dua kecamatan di wilayah penelitian persentase pengeluaran pangan dan non panganya berada pada kisaran 30-70% dari pengeluaran total. Rata-rata persen pengeluaran pangan di Kecamatan Punggelan lebih tinggi (59,3%) dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran (52,6%) namun rata-rata kedua kecamatan tersebut masih termasuk

dalam rumahtangga menengah. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara persen pengeluaran pangan dan non pangan di dua kecamatan tersebut (p<0,05)

Gambar 6 Sebaran rumahtangga menurut pengeluaran pangan dan non pangan Tabel 12 Alokasi pengeluaran pangan

Pengeluaran Pangan /kapita/Bulan Kecamatan Total Pejawaran Punggelan n % n % n % < 30% 14 9,3 6 4 21 7 30-70% 117 78 109 72,7 221 73,7 >70% 19 12,7 35 23,3 58 19,3 Total 150 100 150 100 300 100 Rata-rata std 52,6 ± 16,2 59,3 ± 15 56 ± 16

Tabel 13 Alokasi pengeluaran non pangan

Pengeluaran Non Pangan /kapita/Bulan Kecamatan Total Pejawaran Punggelan n % n % n % < 30% 19 12,7 35 23,3 58 19,3 30-70% 117 78 109 72,7 221 73,7 >70% 14 9,3 6 4 21 7 Total 150 100 150 100 300 100 Rata-rata std 47,4 ± 16,2 40,7 ± 15 44 ± 16

Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Fisik

Kondisi lingkungan fisik dan sanitasi tentunya akan mempengaruhi manusia yang tinggal disekitarnya. Kondisi lingkungan fisik yang tidak memadai dan tidak sehat juga merupakan salah satu penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi terutama pada anak. Karakteristik sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik pada wilayah penelitian ini dilihat dari kondisi rumah, pembuangan sampah rumahtangga, pembuangan tinja/kepemilikan MCK dan sumber air bersih, kemudian dinilai dengan sistem skoring.

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Air dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga yang paling utama adalah untuk keperluan memasak/minum. Air yang digunakan untuk kebutuhan manusia

sebagai air minum atau keperluan rumahtangga lainnya harus memenuhi syarat kesehatan, antara lain bebas dari kuman penyakit dan tidak mengandung bahan beracun. Air minum yang memenuhi derajat kesehatan sangat penting dalam mempertinggi derajat kesehatan masyarakat (Direktorat Penyehatan Air 1990).

Sesuai dengan peluang terjadinya kontaminasi oleh sumber pencemaran, baik biologi, fisik, dan kimiawi. Menurut Soemowerdojo dkk (1976), Entjang (1981) dan Sumengen (1987) dalam Atmojo et al. (1992) tingkat keamanan sumber air untuk masak dan minum dikategorikan menjadi sumber air tidak aman (air sungai, air kolam): sumber air kurang aman (mata air, sumur terbuka tanpa dinding tembok ke bawah) dan sumber air aman (sumur pompa, sumur tertutup/terlindung, air PAM). Sumber air yang digunakan untuk memasak/minum di wilayah penelitian adalah sebanyak 86,3 persen rumahtangga menggunakan sumber air aman seperti sumur sendiri dan PDAM, sedangkan 10 persen menggunakan sumur umum, dan masih ada 3,7 persen rumahtangga menggunakan air sungai.

Tinja merupakan salah satu vektor penularan penyakit. Pembuangan tinja yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Oleh karena itu keberadaan MCK sangat penting bagi kesehatan masyarakat. Di wilayah penelitian hanya 36,3 persen rumahtangga yang memiliki MCK sendiri. Sedangkan, sisanya sebesar 63,7 persen tidak punya MCK sendiri, rumahtangga yang tidak mempunyai MCK sendiri menggunakan MCK tetangga/saudara yaitu sekitar 8,7 persen dan menggunakan sungai/ruang publik terbuka sebesar 55 persen dari seluruh rumahtangga.

Sampah pada rumahtangga jika tidak ditangani dengan baik akan membahayakan kesehatan manusia, agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia, perlu pengaturan pembuangannya. Sebanyak 16,3 persen rumahtangga mengumpulkan sampahnya terlebih dahulu untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar dan ada pula yang menjadikannya pupuk. Sedangkan sebanyak 42,3 persen rumahtangga mengumpulkan sampahnya di kebun/lubang setelah penuh dibakar/ditimbun. Sisanya yaitu sebanyak 41,3 persen rumahtangga hanya membuang sampah ke kebun atau sekitar rumah (selokan dan sungai) tanpa penanganan apapun.

Keadaan perumahan merupakan salah satu faktor yang menentukan keadaan hygiene dan sanitasi lingkungan. Pada wilayah penelitian sudah lebih dari setengah rumahtangga (51,3%) dinding rumahnya terbuat dari tembok,

sebanyak 22,7 persen rumahtangga dindingnya terbuat dari papan atau setengah tembok, dan masih ada sebanyak 26 persen rumahtangga yang dindingnya masih menggunakan bilik. Sedangkan lantainya, hampir seperempat rumahtangga (24,7%) yang menggunakan keramik, dan masih ada 29 persen rumahtangga yang lantainya hanya tanah, persentase paling besar (46,3%) rumahtangga menggunakan semen/tegel/papan sebagai lantai rumah.

Keberadaan ventilasi dan cahaya yang memadai juga sangat penting untuk menunjang kesehatan penghuni rumah. Ventilasi rumah dalam penelitian ini dikatakan cukup apabila ventilasi ada disetiap ruangan. Lebih dari setengah rumahtangga (53%) ventilasi rumahnya sudah cukup dan sisanya 47 persen masih dikategorikan tidak cukup. Sedangkan untuk pencahayaan rumah lebih dari setengah rumahtangga yaitu 55,7 persen cahaya matahari masuk ke sebagian ruangan, sebanyak 33,3 persen cahaya matahari sudah masuk ke seluruh ruangan, dan sebanyak 11 persen dikategorikan gelap (cahaya matahari sangat sedikit masuk ke dalam rumah).

Luas bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya, artinya luas bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Pada wilayah penelitian hampir semua rumahtangga yaitu 93% kepadatan rumahnya dikatakan baik karena memiliki kepadatan hunian lebih dari sama dengan 8 m2/orang, sisanya yaitu 7 persen masih dikatakan tidak baik. Rata-rata kepadatan hunian di daerah penelitian adalah 17,7 m2/orang.

Keberadaan kandang ternak disekitar rumah juga perlu diperhatikan, karena kandang merupakan sumber penyakit juga. Rata-rata rumahtangga diwilayah penelitian memiliki ternak atau hewan peliharaan yang digunakan sebagai aset ekonomi atau bahkan mata pencaharian. Oleh karena itu 70,7 persen rumahtangga, disekitar rumahnya terdapat kandang ternak dengan jarak kurang dari 10 meter dari rumahnya, dan 13 persen berjarak lebih dari sama dengan 10 meter. Sisanya yaitu sekitar 16,3 persen disekitar rumahnya tidak ada kandang ternak.

Tabel 14 Sebaran rumahtangga menurut kondisi sanitasi dan lingkungan fisik

Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Fisik Kecamatan Total Pejawaran Punggelan n % n % n % Kurang ( <60%) 113 75,3 42 28 155 51,7 Cukup (60-%80%) 32 21,3 75 50 107 35,7 Baik ( > 80%) 5 3,3 33 22 38 12,7 Total 150 100 150 100 300 100 Rata-rata std 45,7 ± 17,1 66,6 ± 17 56,1 ± 20

Hasil analisis terhadap karakteristik sanitasi dan lingkungan fisik rumahtangga disajikan pada Tabel 14. Wilayah penelitian memiliki kondisi sanitasi dan lingkungan fisik yang kurang baik karena sebagian besar rumahtangga di wilayah penelitian memiliki sanitasi dan lingkungan fisik yang kurang yaitu 51,7 persen dan rata-rata skor sanitasi dan lingkungan fisiknya masih dalam kategori kurang (56,1). Kecamatan Pejawaran didominasi oleh rumahtangga dengan kategori kondisi sanitasi dan lingkungan fisik kurang (75%) sedangkan Punggelan sebagian besar rumahtangganya di kategorikan dalam kondisi sanitasi dan lingkungan fisik cukup. Hal ini dapat diartikan bahwa kondisi sanitasi dan lingkungan fisik di Punggelan lebih baik dari Pejawaran. Hasil uji statistik juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kondisi sanitasi dan lingkungan fisik pada dua kecamatan tersebut (p<0,05).

Morbiditas

Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar anak balita (81,3%) pernah sakit dalam rentang waktu tiga bulan terakhir dengan rata-rata frekuensi sakit 3 kali. Rata-rata lama sakit anak balita pada di wilayah penelitian adalah sekitar 13 hari. Sebaran balita menurut lama sakit dapat terlihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Sebaran anak balita menurut lama sakit

Lama Sakit (hari)

Kecamatan Total Pejawaran Punggelan n % n % n % Tidak pernah 29 19,3 27 18 56 18,7 1-3 hari 22 14,7 17 11,3 39 13 4-7 hari 27 18 39 26 66 22 >7 hari 72 48 67 44,7 139 46,3 Total 150 100 150 100 300 100 Rata-rata std 12,6 ± 15,3 12,8 ± 16,6 12,7 ± 15,9

Rata-rata lama sakit anak balita pada dua kecamatan di wilayah penelitian tidak berbeda jauh (Pejawaran 12,6 hari dan Punggelan 12,8 hari). Hasi uji statistik antara lama sakit anak balita pada kedua kecamatan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Pada dua kecamatan tersebut menunjukkan bahwa persentase terbesar anak balitanya pernah menderita sakit lebih dari seminggu.

Jenis penyakit yang diderita anak balita pada tiga bulan terakhir dapat terlihat pada Tabel 16. Pada tabel tersebut terlihat pula bahwa di wilayah penelitan jenis penyakit yang sering diderita anak balita adalah panas/demam (67,2%), kemudian pilek/influenza (39,8%), serta batuk pilek (38,9%). Jenis penyakit lainnya tidak terlalu sering terjadi (dibawah 10%).

Tabel 16 Jenis penyakit yang pernah diderita anak balita (3 bulan terakhir)

Jenis Penyakit n %

Panas/demam 164 67,2

Pilek/influenza 97 39,8

Batuk Biasa (ISPA) 24 9,8

Batuk Pilek 95 38,9 Sakit mata 4 1,6 Cacar 2 0,8 Diare (>3 kali) 3 1,2 Mencret Biasa 12 4,9 Muntaber 3 1,2 Sakit kulit 28 11,5 congek 1 0,4 Sakit gigi 9 3,7

Panas pilek batuk 4 1,6

Panas pilek 2 0,8

Sakit perut 3 1,2

Adanya penyakit atau infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan makanan dan meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Selain itu, dampak infeksi terhadap pertumbuhan seperti

Dokumen terkait