• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA, KONDISI

LINGKUNGAN, MORBIDITAS, DAN HUBUNGANNYA DENGAN

STATUS GIZI ANAK BALITA PADA RUMAHTANGGA DI

DAERAH RAWAN PANGAN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH

ESTA TSANIA SOBLIA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ABSTRACT

ESTA TSANIA SOBLIA. Correlation of Household Food Security, Environment, Morbidity with Nutritional Status of Under-five Children in Food Insecurity Area, Banjarnegara, Cental Java. Under direction of HADI RIYADI.

The most basic need for a human being for its survival is food. In developing country like Indonesia, poverty and food insecurity are still become central issues. Poverty and food security have a relationship with nutritional problem indirectly. Under-five children is one of vulnerable group of nutritional problem. Banjarnegara include food insecurity area in Indonesia. Household level food insecurity is generally caused by lack of livelihood opportunities and high food prices. At the individual level, aspects like morbidity, access to basic services like health, water and sanitation, education etc. can influence the levels of food insecurity. The aim of this study is to understand the correlation of household food security, environment, morbidity with food consumption and nutritional status of under-five children, especially in food insecurity area. A descriptive analytic study with cross sectional approach was conducted on 2 areas (Pejawaran and Punggelan) of Banjarnegara. Sample was chosen with simple random sampling which consists of 300 household with children 2-5 years old. Data collected include: sosio-economics household characteristic, sanitation and environment condition, under-five children morbidity, level consumption and nutiritonal status. Descriptive analytic was carried to all variables followed by bivariate test using Pearson and Spearman correlation. Measurement of household food security in this study used household overall energy intake. In correlated analyses, household food security, sosio-economics characteristic (parents’ education level, income, food and non-food expenditure), sanitation and environment condition was significantly positive correlated with under-five children energy and protein consumption. Under-five children morbidity was significantly negative correlated with energy and protein consumption. Under-five children nutritional status (stunted and underweight) was significantly positive correlated with household food security, sosio-economics characteristic (parents’ education level, income, food expenditure), sanitation and environment condition. Keywords: household food security, environment, under-five children nutritional status

(3)

RINGKASAN

ESTA TSANIA SOBLIA. Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga, Kondisi Lingkungan, Morbiditas, dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita pada Rumahtangga di Daerah Rawan Pangan Banjarnegara, Jawa Tengah. Dibimbing oleh HADI RIYADI.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumah tangga, kondisi lingkungan, morbiditas dengan status gizi balita. Tujuan khusus adalah: (1) Mempelajari tingkat ketahanan pangan rumah tangga, (2) Mempelajari karakteristik sosial ekonomi rumah tangga (3) Mempelajari kondisi sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik rumah tangga, (4) Mengetahui tingkat kesakitan (morbidity) balita, (5) Menganalisis hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbiditas dengan konsumsi pangan dan status gizi balita.

Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini merupakan bagian dari studi Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak. Penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah, Banjarnegara masih termasuk dalam wilayah yang rumah tangganya dikategorikan beresiko tinggi defisit konsumsi energi dan protein. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2009.

Sampel balita berasal dari dua kecamatan yang dipilih secara purposive, yaitu Pejawaran dan Punggelan yang merupakan wilayah berisiko rawan pangan. Total ukuran sampel pada studi ini adalah 300 rumah tangga (6 desa).

Data primer terdiri dari karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga dan alokasi pengeluaran), kondisi sanitasi dan lingkungan fisik, konsumsi pangan anak balita, status kesehatan dan gizi anak balita, melalui wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan. Data sekunder berupa keadaan umum wilayah Banjarnegara dan kecamatan. Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi 13.0 dengan jenis analisis statistik yaitu tabulasi silang, uji t, dan korelasi Pearson serta Rank Spearman.

Tingkat ketahanan pangan rumahtangga persentase terbesar ada pada rumahtangga sangat rawan pangan (37,3%), rawan pangan 31,7 persen, kemudian rumahtangga tergolong tahan pangan (31%). Pada Kecamatan Pejawaran separuh rumahtangganya (50%) tergolong sangat rawan pangan, 26,7 persen rawan pangan dan 23,3 persen tahan pangan. Pada Kecamatan Punggelan 24,7 persen rumahtangganya tergolong sangat rawan pangan dan 38,7 persen tergolong tahan pangan. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) antara tingkat ketahanan pangan pada dua kecamatan tersebut.

Sebagian besar tergolong dalam keluarga kecil (59,3%) keluarga sedang sebanyak 36,7 persen dan sisanya (4%) tergolong dalam keluarga besar. Pada Kecamatan Pejawaran rata-rata jumlah anggota rumahtangganya 4,6 orang dan Punggelan 4,5 orang. Hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) antara rata-rata jumlah anggota keluarga di dua kecamatan tersebut.

Tingkat pendidikan ayah dan ibu di wilayah penelitian masih tergolong rendah. Persentase terbesar pendidikan ayah (69,4% Pejawaran dan 51,4% Punggelan) dan ibu (75,3% Pejawaran dan Punggelan 48,7%) pada dua kecamatan tersebut adalah tamatan SD. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara lama pendidikan ayah dan ibu di dua Kecamatan tersebut (p<0,05).

(4)

Berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Banjarnegara 61 persen rumahtangga tergolong tidak miskin, dengan rata-rata pendapatan/kapita/bulan sebesar Rp 231.851. Kecamatan Pejawaran didominasi oleh rumahtangga dengan kategori miskin (59,3%) sedangkan pada Kecamatan Punggelan didominasi oleh rumahtangga dengan kategori tidak miskin (81,3%). Namun jika berdasarkan garis kemiskinan dunia 97,6 persen rumahtangganya tergolong miskin. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan nyata antara rata-rata pendapatan pada dua kecamatan tersebut. Pada dua kecamatan di wilayah penelitian persentase pengeluaran pangan dan non panganya berada pada kisaran 30-70% dari pengeluaran total.

Kondisi sanitasi dan lingkungan fisik tergolong kurang baik dengan 51,7 persen rumahtangganya memiliki sanitasi dan lingkungan fisik yang kurang. Kecamatan Pejawaran didominasi oleh rumahtangga dengan kategori kondisi sanitasi dan lingkungan fisik kurang sedangkan Punggelan dalam kategori cukup. Hasil uji statistik juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kondisi sanitasi dan lingkungan fisik pada dua kecamatan tersebut (p<0,05).

Sebagian besar anak balita (81,3%) pernah sakit dalam rentang waktu tiga bulan terakhir dengan rata-rata frekuensi sakit 3 kali. Rata-rata lama sakit sekitar 13 hari. Rata-rata lama sakit anak balita pada Pejawaran 12,6 hari dan Punggelan 12,8 hari. Hasi uji statistik antara lama sakit anak balita pada kedua kecamatan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Jenis penyakit yang sering diderita anak balita adalah panas/demam (67,2%), kemudian pilek/influenza (39,8%), serta batuk pilek (38,9%).

Rata-rata asupan energi balita adalah 975 kkal dengan tingkat kecukupan energi 94 persen dan rata-rata asupan protein balita adalah 24,5 gram dengan tingkat kecukupan 97 persen. Pada dua kecamatan rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein tergolong cukup. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein pada kedua kecamatan tersebut (p>0,05).

Berdasarkan BB/U 68 persen anak balitanya berstatus gizi baik. Terdapat 31,6% anak balita yang memiliki z-score dibawah -2. Berdasarkan kriteria WHO maka masalah kesehatan masyarakat di wilayah penelitian termasuk pada kategori sangat tinggi (≥ 30%). Berdasarkan TB/U 54,3 persen anak balita tergolong stunted. Menurut kriteria WHO maka masalah kesehatan masyarakat di wilayah penelitian termasuk pada kategori sangat tinggi (≥40%). Persentase balita stunted di Pejawaran (66%) lebih tinggi dari Punggelan (42,7%). Hasil uji statistik berdasarkan BB/U dan TB/U terdapat perbedaan yang nyata pada dua kecamatan tersebut. Berdasarkan BB/TB 86,3 persen status gizi anak balitanya tergolong normal, namun masih ditemukan 11 persen anak balita yang memiliki

z-score BB/TB dibawah -2. Menurut kriteria WHO masalah kesehatan

masyarakat diwilayah penelitian masuk pada kategori serius. Hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara rata-rata nilai z-score BB/TB pada dua kecamatan tersebut (p>0,05).

Tingkat ketahanan pangan rumahtangga memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan tingkat kosumsi energi dan protein balita. Begitu juga dengan karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan ,pengeluaran pangan dan non pangan), sanitasi dan lingkungan fisik, sedang morbiditas berkorelasi negatif dan signifikan dengan tingkat konsumsi energi dan protein balita. Variabel yang berkorelasi positif dan signifikan dengan status gizi balita adalah ketahanan pangan, karakteristik sosial ekonomi keluarga seperti pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan, pengeluaran pangan. Sanitasi dan lingkungan fisik juga berkorelasi positif dan signifikan dengan status gizi balita.

(5)

TINGKAT KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA, KONDISI

LINGKUNGAN, MORBIDITAS, DAN HUBUNGANNYA DENGAN

STATUS GIZI ANAK BALITA PADA RUMAHTANGGA DI

DAERAH RAWAN PANGAN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH

ESTA TSANIA SOBLIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

35

Judul : Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga, Kondisi Lingkungan, Morbiditas, dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita pada Rumahtangga di Daerah Rawan Pangan Banjarnegara, Jawa Tengah

Nama : Esta Tsania Soblia NRP : I14050746

Disetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS NIP. 19610615 198603 1 004

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS NIP. 19621204 198903 2 002

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, puteri pasangan Bapak H. M. Sobaruddin S.H dan Hj. Laeliyah BA. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Maret 1988. Pendidikan SD ditempuh di SD Negeri Buaran Bong Bekasi pada tahun 1993 sampai 1999. Setelah itu melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 7 Bekasi sampai tahun 2002 dan melanjutkan lagi ke SMU Negeri 2 Bekasi.

Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah melalui Tingkat Persiapan Bersama penulis berhasil masuk Program Studi Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa penulis tercatat sebagai Bendahara Divisi Organoleptik HIMAGITA periode 2006/2007, Public Relation Internal HIMAGIZI periode 2007/2008, anggota Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia (FORSIA) periode 2007/2008, Sekertaris Badan Konsultasi Gizi periode 2007/2009.

Pada tahun 2007, penulis pernah mengikuti kegiatan Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan dengan judul “Pemanfaatan Khasiat Kunyit dan Asam dalam Produk Permen Jelly”. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di desa Nanggung, Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan tahun 2009 melaksanakan Internship Dietetik Di RS Islam Pondok Kopi Jakarta.

(8)

PRAKATA

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas nikmat, izin dan bantuan-Nya lah penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga, Kondisi Lingkungan, Morbiditas, dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita pada Rumah Tangga di Daerah Rawan Pangan Banjarnegara, Jawa Tengah” dilakukan sebagai salah satu syarat guna mencapai gelar sarjana gizi pada Program Studi Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini , penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini, dan juga selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani kuliah.

2. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi selaku ketua dalam Studi Kajian “Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah” yang telah mengikutsertakan dan turut membimbing serta memberi masukan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc selaku dosen pemandu dan dosen penguji skripsi atas saran yang diberikan.

4. Staf pengajar dan TU serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah turut membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini. 5. Abi, Mama, Kakakku Fiducia, Adikku Hamim dan semua keponakanku

(Fathi, Farhat, Firdha) tercinta atas do’a, nasehat, bantuan, dorongan, tempat sandaran dan semangat yang selalu diberikan pada penulis.

6. Asisten peneitian kajian ini (Kak Aqsa, Mba Yuli, Teh Meidina, Mba Ira, Kak Aris) yang turut membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan penelitian (Nuy, Dede, Rama, Ima, Chandri, Endah, dan Dinda) terima kasih atas kerjasama dan kenangan yang diberikan untuk sama-sama menyelesaikan tugas akhir.

(9)

8. Sahabat-sahabatku (Dessy, Eni, Rifa, Nca) terima kasih atas bantuan, do’a, masukan, dan nasehat selama ini. Sahabat-sahabat KKP (Iwan, Mpit, Ari, Indah) Sahabat-sahabat Internship (Agni, Ardi, Dessy, Laras, Hani, Sofy, Jesa, Ida, Rie) dan semua sahabat-sahabatku di GM 42 yang aku sayangi terima kasih atas kenangan-kenangan indah dan seru yang diberikan.

9. Adik-adik Angkatan 43 dan 44 yang turut memberikan dorongan, masukan, dan semangat.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat dan ilmu bagi semua.

Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bogor, September 2009

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan ... 3 Hipotesis ... 3 Kegunaan Penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Ketahanan Pangan dan Faktor yang Berpengaruh ... 5

Kondisi Lingkungan dan Morbiditas ... 6

Konsumsi Pangan ... 17

Konsumsi Pangan, Kondisi Lingkungan, dan Status Gizi ... 18

KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

METODE PENELITIAN ... 24

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ... 24

Teknik Pengambilan Sampel ... 24

Jenis dan cara Pengumpulan Data ... 25

Pengolahan dan Analisis Data ... 25

Definisi Operasional ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 30

Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 32

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ... 33

Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Fisik ... 38

Morbiditas ... 41

Konsumsi Pangan Balita ... 42

Status Gizi Balita ... 43

Keterkaitan Antar Variabel ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

Kesimpulan ... 55

Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pengertian indikator status gizi ... 21

2 Kisaran Prevalensi menurut BB/U dan TB/U anak balita ... 21

3 Tingkatan masalah gizi dalam emergency situation menurut prevalensi wasting dan rata-rata z-score anak balita ... 21

4 Variabel dan indikator penelitian ... 25

5 Kategori status gizi pada berbagai ukuran antropometri ... 28

6 Sebaran rumahtangga menurut tingkat ketahanan pangan ... 33

7 Sebaran rumahtangga menurut besar keluarga ... 34

8 Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ayah ... 34

9 Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ibu ... 35

10 Sebaran rumahtangga menurut pendapatan ... 36

11 Sebaran rumahtangga menurut garis kemiskinan dunia ... 37

12 Alokasi pengeluaran pangan ... 38

13 Alokasi pengeluaran non pangan ... 38

14 Sebaran rumahtangga menurut kondisi sanitasi dan lingkungan fisik 40 15 Sebaran anak balita menurut lama sakit ... 41

16 Jenis penyakit yang pernah diderita anak balita (3 bulan terakhir) .. 42

17 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi balita ... 42

18 Sebaran anak balita menurut tingkat kecukupan energi ... 43

19 Sebaran anak balita menurut tingkat kecukupan protein ... 43

20 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/U ... 45

21 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan TB/U ... 47

22 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/TB ... 48

23 Korelasi anatara tingkat konsumsi balita dan status gizi balita dengan ketahanan pangan, kondisi lingkungan dan morbiditas ... 49

24 Karakteristik kondisi lingkungan, morbiditas dan tingkat konsumsi Rumahtangga dan balita menurut status gizi TB/U pada Kecamatan Pejawaran dan Punggelan ... 52

25 Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi TB/U di wilayah penelitian ... 53

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema mata rantai penularan penyakit dari tinja ... 14

2 Bagan penyebab gizi kurang ... 20

3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, Morbidity, konsumsi pangan dan status gizi sasaran ... 23

4 Sebaran rumahtangga menurut tingkat ketahanan pangan ... 32

5 Sebaran rumahtangga menurut pendapatan ... 36

6 Sebaran rumahtangga meurut pengeluaran pangan dan non pangan 38 7 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/U ... 44

8 Kurva sebaran anak balita menurut z-score BB/U ... 45

9 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan TB/U ... 46

10 Kurva sebaran anak balita menurut z-score TB/U ... 46

11 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/TB ... 47

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tingkat ketahanan pangan di Provinsi Jawa Tengah ... 61

2 Sebaran rumahtangga berdasarkan karakteristik sanitasi dan Lingkungan fisik pada Kecamatan Pejawaran dan Punggelan ... 62

3 Hasil Uji t variable penelitian ... 63

4 Hasil korelasi pearson variable penelitian ... 65

5 Hasil korelasi spearman variable penelitian ... 66

6 Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi TB/U di wilayah penelitian ... 66

7 Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi BB/U di wilayah penelitian ... 66

8 Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi BB/TB di wilayah penelitian ... 67

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

WHO (1999) menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Sejak janin dalam kandungan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut, makanan yang memenuhi syarat gizi merupakan kebutuhan utama untuk pertahanan hidup, pertumbuhan fisik, perkembangan mental, prestasi kerja, kesehatan dan kesejahteraan (Supariasa et al. 2001). Terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat esensial adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang bergizi (Syarief 2004).

Masalah gizi dibagi menjadi dua kelompok yaitu masalah gizi kurang (under nutrition) dan masalah gizi lebih (Supariasa et al. 2001). Seseorang mempunyai status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksin atau membahayakan. Masalah gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh berkurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi. Misalnya, faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya pencernaan, faktor-faktor yang mengganggu absorbsi zat-zat gizi, faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat-zat gizi seperti adanya penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekskresi sehingga menyebabkan banyak kehilangan zat gizi (Almatsier 2001).

Masalah gizi di Indonesia dan di Negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar (Supariasa et

al. 2001). Pada keluarga yang berlatar belakang sosial ekonomi yang rendah

atau miskin, umumnya menghadapi masalah kekurangan gizi (gizi kurang). Gizi kurang adalah semua hal yang berkaitan dengan ketidakcukupan makanan (diet), termasuk penyerapan dan pencernaan makanan yang tidak

(15)

sempurna sehingga mengakibatkan timbulnya peyakit yang muncul sebagai gejala klinis serta makanan yang tidak mencukupi secara kualitas atau kuantitas (Khumadi 1989). Kekurangan gizi dapat berakibat negatif terhadap kesejahteraan perorangan, keluarga, dan masyarakat sehingga dapat merugikan pembangunan nasional suatu bangsa. Dampak kekurangan gizi secara umum dikelompokkan kedalam 11 kategori, yaitu dampak terhadap: kematian anak, penyakit anak, kematian ibu, kesuburan wanita atau fertilitas, fungsi mata, kecerdasan, prestasi sekolah, anggaran pendidikan dan kesehatan pemerintah, jumlah dan nilai ekonomi air susu ibu, produktivitas kerja, dan masalah ekonomi bangsa (Soekirman 2000).

Jelliffe (1989) menyatakan bahwa masalah gizi merupakan masalah ekologi sebagai hasil yang saling mempengaruhi (multiple overlapping) dan interaksi beberapa faktor fisik, biologi, dan lingkungan budaya. Jadi jumlah makanan dan zat-zat gizi yang tersedia tergantung pada keadaan lingkungan seperti iklim, tanah, irigasi, penyimpanan, transportasi, dan tingkat ekonomi penduduk. Faktor ekologi yang berhubungan dengan penyebab masalah gizi dibagi dalam enam kelompok, yaitu keadaan infeksi, konsumsi makanan, pengaruh budaya, sosial ekonomi, produksi pangan, serta kesehatan dan pendidikan.

Konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan aspek gizi dan kesehatan. Konsumsi makanan yang selalu kurang dari kecukupan dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan kurang gizi walaupun tidak menderita penyakit. Akan tetapi, konsumsi makanan yang cukup apabila terdapat penyakit, dapat pula berakibat kurang gizi (Riyadi 2006).

Soekirman (2000) menyatakan bahwa kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab tidak langsung terjadinya status gizi kurang atau buruk. Balita merupakan salah satu kelompok yang termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi. Kekurangan gizi (KEP) ini adalah suatu bentuk masalah gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor terutama faktor makanan yang tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi protein serta karena infeksi, yang berdampak pada penurunan status gizi anak. Sementara itu gizi yang baik pada masa bayi dan anak-anak sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya (Roedjito 1989). Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut

(16)

dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia (Syarief 2004).

Seperti yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah gizi merupakan masalah yang multikompleks, yang banyak dipengaruhi dan mempengaruhi berbagai faktor. Banjarnegara merupakan salah satu propinsi di Jawa Tengah yang memiliki riwayat kurang pangan pada tahun 1930-1940 dan 1961-1962. Pada tahun 2004/2005 dan 2006 Banjarnegara masih termasuk dalam wilayah yang situasi pangan dan gizinya dikategorikan beresiko tinggi. Situasi pangan dan gizi yang beresiko tinggi ini tentunya akan mempengaruhi status gizi balitanya. Oleh karena itu, menarik untuk dipelajari faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan status gizi balita terutama di wilayah rawan pangan seperti Banjarnegara.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbiditas dengan status gizi anak balita

Tujuan Khusus

1. Mempelajari tingkat ketahanan pangan rumahtangga. 2. Mempelajari karakteristik sosial ekonomi rumahtangga.

3. Mempelajari kondisi sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik rumahtangga. 4. Mengetahui tingkat kesakitan (morbidity) anak balita.

5. Menganalisis hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbiditas dengan konsumsi pangan dan status gizi anak balita.

Hipotesis

1. Tingkat ketahanan pangan rumahtangga berhubungan dengan status gizi anak balita.

2. Kondisi sanitasi dan lingkungan fisik serta morbiditas berhubungan dengan status gizi anak balita.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang beberapa faktor yang berhubungan terhadap status gizi anak terutama di daerah rawan pangan kepada masyarakat dan pemerintah, khususnya di daerah Banjarnegara

(17)

atau daerah yang tergolong rawan pangan lainnya sehingga prevalensi masalah gizi dapat diturunkan dan dicegah melalui pembuatan kebijakan oleh pemerintah setempat atau kesadaran masyarakat untuk menjaga munculnya faktor-faktor pemicu yang beresiko meningkatkan prevalensi masalah gizi terutama pada anak, yang merupakan aset keluarga dan negara.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan dan Faktor yang Berpengaruh

Menurut Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Deptan 2002). Sedangkan menurut FAO tahun 1996 ketahanan pangan adalah keadaan apabila semua rumahtangga mempunyai akses terhadap pangan baik secara fisik maupun secara ekonomi sehingga semua anggota rumahtangga memperoleh pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya; serta keadaan dimana semua rumahtangga tidak beresiko untuk kehilangan kesempatan memperoleh pangan tersebut (Soekirman 2000).

Ketahanan pangan merupakan salah satu isu utama upaya peningkatan status gizi masyarakat yang paling erat kaitannya dengan pembangunan pertanian. Situasi produksi pangan dalam negeri serta ekspor dan impor pangan akan menentukan ketersediaan pangan yang selanjutnya akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di tingkat wilayah. Sementara ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga, akan ditentukan pula oleh daya daya beli masyarakat terhadap pangan (Syarief 2004).

Ketahanan pangan pada dasarnya bicara soal ketersediaan pangan (food

avaibilitas), stabilitas harga pangan (food price stability), dan keterjangkauan

pangan (food accessibility). Ketersediaan pangan yang cukup berarti rata-rata jumlah dan mutu gizi pangan yang tersedia di masyarakat dan pasar mencukupi kebutuhan untuk konsumsi semua rumahtangga (Soekirman 2000).

Menurut Khomsan (2002) bahwa situasi ketidaktahanan pangan rumahtangga dapat ditandai oleh adanya perubahan-perubahan kehidupan sosial, seperti semakin banyak anggota masyarakat yang menggadaikan barang, bertambahnya anggota rumahtangga pergi ke luar daerah untuk mencari pekerjaan, dan lain-lain.

Konsumsi pangan yang mencukupi merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok.

Berdasarkan hasil dari International Scientific Symposyum on Measurement and Assessment of Food Devriation and Undernutrition, yang

(19)

diadakan pada bulan Juni 2002 di Roma, ada lima metode yang lazim digunakan untuk mengukur kerawanan pangan dan kelaparan, salah satunya adalah pengukuran kerawanan pangan melalui survey pendapatan atau pengeluaran rumahtangga. Metode survey pendapatan atau pengeluaran rumahtangga dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah penderita kelaparan. Melalui survey ini kita dapat menghitung rata-rata konsumsi energi, karena dalam survey pengeluaran responden ditanya mengenai pengeluaran untuk pangan dalam waktu tertentu seperti seminggu yang lalu. Oleh karena itu, kita dapat menghitung proporsi rumahtangga yang konsumsi energinya dibawah level minimum (Tanziha 2005).

Kondisi Lingkungan dan Morbiditas Faktor Sosioekonomi

Riset menunjukkan bahwa tingkat sosioekonomi keluarga anak mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia anak dari keluarga kelas atas dan menengah mempunyai tinggi badan lebih dari anak dari keluarga dengan strata sosioekonomi rendah. Penyebab perbedaan ini kurang jelas, meskipun kesehatan dan gizi yang kurang baik pada tingkat sosioekonomi rendah mungkin merupakan faktor signifikan. Sumber makanan bergizi (khususnya protein) sulit didapat, dan faktor lain (misalnya, ukuran keluarga besar dan ketidakteraturan dalam makan, tidur, dan latihan fisik) dapat memainkan peran. Keluarga dari kelompok sosioekonomi rendah mungkin kurang memiliki pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan lingkungan yang aman, menstimulasi, dan kaya gizi yang membentu perkembangan optimal (Wong et al 2008).

Sosial ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai gizi masyarakat. Subindikatornya adalah pendapatan, dimana pendapatan ini dapat mempengaruhi tingkat gizi, keadaan perumahan, status sosial, pendidikan, pengeluaran untuk makan dan sebagainya (Roedjito 1989)

Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap masalah gizi. Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar pendapatan

(20)

untuk memenuhi kebutuhan makanan, dimana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitar dua per tiganya.

Kebijaksanaan nasional dalam hal harga komoditi pangan dapat merangsang peningkatan produksi pangan. Kenaikan produksi pangan dapat pula tidak memberikan hasil pada peningkatan status gizi penduduk karena masih belum seimbang dengan laju pertambahan jumlah penduduk. Keadaan tersebut mengakibatkan porsi pangan per kapita tetap saja berada di bawah kebutuhan yang seharusnya dipenuhi, sehingga masalah kekurangan pangan dan gizi selalu dihadapi, terlebih di kalangan keluarga yang berpendapatan rendah atau keluarga miskin (Suhardjo 2002).

Distribusi pangan banyak ditentukan oleh kelompok-kelompok masyarakat menurut taraf ekonominya. Golongan masyarakat ekonomi kuat memiliki kebiasaan makan yang cenderung beras, dengan konsumsi rata-rata melebihi angka kecukupannya. Sebaliknya,golongan masyarakat ekonomi paling lemah, yang justru pada umumnya produsen pangan, mereka mempunyai kebiasaan makan yang memberikan nilai gizi dibawah kecukupan jumlah maupun mutunya (Khumaidi 1989).

Pendapatan

Meningkatnya pendapatan pada perorangan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Bukti menunjukkan bahwa kebiasaan makan cenderung berubah bersama dengan naiknya pendapatan, maka masa pertumbuhan pendapatan merupakan saat yang baik untuk mempromosikan diversifikasi pangan (Suhardjo 1989).

Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging.

(21)

Menurut Hanani (2009) tingginya kemiskinan maka akses terhadap pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya menjadi rendah dan itu akan menyebabkan rendahnya pendapatan masyarakat. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli masyarakat menjadi rendah. Rendahnya daya beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan pangan yang memenuhi pola pangan harapan sebagai syarat asupan gizi yang cukup juga berpeluang besar tidak dapat dipenuhi.

Alokasi Pengeluaran Pangan, Non-pangan

Dalam International Scientific Symposium on Measurement and

Assessment of Food Deprivation and Under-Nutrition , FAO-Rome tanggal 26-28

Juni 2002, pengukuran konsumsi dengan estimasi pengeluaran rumahtangga untuk makanan (Household Income and Expenditure Survey) merupakan salah satu metodologi untuk pengukuran food security (Hanani 2009). Persen pengeluaran untuk makanan menunjukkan rumahtangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk makanan dari total pendapatan sebesar 70% atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30% pendapatan, dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70% (den Hatog, van Staverev dan Broower 1995 dan Behrman 1995 dalam Tanziha 2005).

Besar Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Terutama keluarga yang sangat miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian jelas tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.

Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin, adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang diantara semua anggota keluarga; anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Tahun-tahun awal masa kanak-kanak yaitu

(22)

pada umur satu hingga enam tahun berada dalam situasi yang rawan (Suhardjo 1989).

Pendidikan orang tua

Pengetahuan dan pendidikan formal serta keikutsertaan dalam pendidikan non-formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga (Sukarni 1989). Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan oleh perilaku pengasuhnya, apakah ayah, ibu, kakek, atau nenek. Kekurangan gizi bisa pula muncul akibat ketidaktahuan. Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan pendidikan ibu di suatu negara merupakan komponen penting dalam menurunkan prevalensi kurang gizi di negara tersebut.

Perbaikan pendidikan ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal atau informal. Pendidikan formal dapat dilakukan dengan cara meningkatkan taraf pendidikan formal masyarakat, terutama para wanitanya yang akan banyak berperan dalam mengasuh anak. Di samping itu, dapat dilakukan dengan menyelipkan pendidikan gizi melalui jalur pendidikan formal (Riyadi 2006).

Serupa dengan pernyataan diatas FAO (1989) menyatakan tingkat pendidikan, status kesehatan, dan lingkungan hidup dapat berpengaruh terhadap apa dan berapa banyak penduduk mengkonsumsi pangan serta terhadap status gizinya. Kurang makan dan kurang gizi karena berbagai faktor seperti rendahnya persediaan pangan, pendidikan, serta kondisi kesehatan dapat menimbulkan dampak yang serius dan berakhir lama pada kesehatan tubuh individu dan keluarga.

Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan

Mengingat dampak dari perilaku terhadap derajat kesehatan cukup besar, secara teoritis mempunyai andil 30-35%, maka diperlukan berbagai upaya untuk mengubah perilaku yang tidak sehat (Depkes 2003).

Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Kesehatan lingkungan adalah usaha-usaha pengendalian/pengawasan keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan atau yang dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan perkembangan fisik, keseluruhan, dan daya tahan hidup manusia. Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi hampir seluruh aspek

(23)

kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.

Kegiatan sanitasi lingkungan dalam pengendalian vector merupakan salah satu upaya kesehatan yang diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat. Upaya pengendalian vector tersebut dilaksanakan secara terintegrasi dengan berbagai upaya pokok dalam pelaksanaan penyehatan dan pengamanan substansi lingkungan (Depkes 2001).

Keadaan rumah

Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan hygiene dan sanitasi lingkungan. Seperti dikemukakan WHO bahwa perumahan yang tidak cukup dan terlalu sempit mengakibatkan pula tingginya kejadian penyakit dalam masyarakat (Entjang 1981). Menurut Notoatmodjo (2003), rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Syarat-syarat rumah yang sehat adalah:

Bahan bangunan Lantai

Ubin atau semen adalah baik namun tidak cocok untuk kondisi ekonomi pedesaan, lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang yang mampu di pedesaan dan ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda-benda yang berat dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit. Namun, dalam Depkes (2003) terdapat skor yang lebih tinggi untuk kategori jenis lantai semen, ubin, keramik, dibandingkan dengan tanah dalam indikator rumah sehat. Menurut Sukarni (1999) jenis lantai, atap, dinding dan jendela mempengaruhi pula perlindungan para penghuninya terhadap dingin, panas, dan hujan. Lantai dari tanah mempengaruhi penyebaran penyakit parasit.

Dinding

Dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan, lebih baik dinding atau papan. Sebab meskipun jendela tidak cukup maka lubang-lubang pada dinding atau papan tersebut dapat merupakan ventilasi dan dapat menambah penerangan alamiah.

(24)

Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.

Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang

berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.

Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).

Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap didalam kelembaban yang optimum. Ada 2 macam ventilasi, yakni : ventilasi alamiah dan buatan.

Cahaya

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusak mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni :

Cahaya alamiah, yakni matahari.

Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen didalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15-20 % dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan didalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini disamping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok).

(25)

Cahaya buatan

Yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya.

Luas Bangunan Rumah

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu

anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Menurut Depkes (2003) batasan kepadatan hunian yang baik adalah lebih dari sama dengan 8 m2 /orang.

Kandang ternak

Ternak merupakan bagian hidup para petani maka kadang-kadang ternak tersebut ditaruh didalam rumah. Hal ini tidak sehat karena ternak kadang-kadang merupakan sumber penyakit pula. Maka sebaiknya, demi kesehatan, ternak harus terpisah dari rumah tinggal atau dibuatkan kandang tersendiri.

Sampah

Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai lagi dan harus dibuang. Sampah ini bisa berasal dari rumahtangga, rumah sakit, hotel, restoran, industri dan lain-lain. Telah terbukti adanya hubungan antara sampah dengan penyakit-penyakit yang ditulari oleh tikus, lalat, nyamuk, dan lain-lain. Agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia, perlu pengaturan pembuangannya. Hal-hal yang dapat diakibatkan oleh sampah antara lain sebagai berikut:

1. Menimbulkan penyakit 2. Tidak sedap dipandang mata

3. Menyebabkan polusi udara (bau yang tidak enak) 4. Pembuangan dan pengolahan sampah

Menurut Entjang (1981) dan Sukarni (1989,1999) sampah dibagi dalam: Garbage adalah sisa-sisa pengolahan ataupun makanan yang mudah

membusuk

Rubbish adalah bahan-bahan sisa pengolahan yang tidak membusuk. Rubbish ini ada yang mudah terbakar misalnya kayu,kertas. Ada yang tidak terbakar misalnya kaleng, kawat dan sebagainya.

(26)

Tempat sampah harus:

Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak Harus tertutup rapat

Ditempatkan di luar rumah

Pembuangan dapat dilakukan dengan cara: Individual incineration

Sampah dikumpulkan di lubang sampah kemudian di bakar di pekarangan masing-masing. Pembakaran sampah ini harus dilakukan dengan baik sebab bila tidak asapnya mengotori udara dan bila tidak terbakar sempurna sisanya berceceran kemana-mana.

Sanitary land fill

Sampah dibuang ditempat yang rendah, kemudian diurug supaya tidak dikorek oleh anjing misalnya. Cara ini memenuhi syarat kesehatan.

Land fill

Sampah dibuang di tempat rendah. Pembuangan sampah ini hanya baik untuk sampah-sampah jenis rubbish, sedangkan bila jenis garbage atau tercampur dengan garbage, tempat pembuangan sampah ini akan menjadi perkembangbiakan serangga, dan tikus, juga menimbulkan bau-bauan yang tidak sedap.

Composting (dibuat pupuk)

Dari sampah yang terbuang masih dapat dibuat pupuk sebagai penyubur tanah pertanian.

Pembuangan Tinja

Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), pembuangan tinja yang layak merupakan kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Pembuangan tinja yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Penyakit yang penularannya melalui tinja merupakan penyebab kematian dan penyebab penyakit yang tinggi di Indonesia. Sebagian besar penyakit tersebut dapat dikendalikan/dikurangi dengan sanitasi yang baik melalui pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan.

Bakteri coliform berasal dari tinja. Oleh karena itu, kehadiran bakteri ini di dalam berbagai tempat, mulai dari air minum, bahan makanan ataupun bahan-bahan lain untuk keperluan manusia, tidak diharapkan dan bahkan sangat dihindari. Karena adanya hubungan antara tinja dan bakteri Coliform, jadilah kemudian bakteri ini sebagai indicator alami kehadiran materi fecal. Artinya, jika

(27)

pada suatu substrat atau benda tersebut sudah dikenal atau dicemari oleh materi fecal (Suriawiria 1996).

Gambar 1 Skema mata rantai penularan penyakit dari tinja

Melalui gambar tersebut perlu dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin agar transmisi/pemindahan penyakit tidak terjadi dan dapat dihindarkan. Dengan mengisolasi tinja sedini mungkin maka penyebab penyakit tidak dapat mencapai penjamu/penderita baru (Widyati & Yuliarsih 2002).

Syarat pembuangan kotoran menurut Ehlera dan Steel dalam Entjang (1981):

Tidak mengotori tanah permukaan Tidak mengotori air permukaan Tidak mengotori air tanah

Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk bertelur atau berkembang biak

Kakus harus terlindung atau tertutup Pembuatannya mudah dan murah

Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari: Rumah kakus

Lantai kakus,sebaiknya semen Slab (tempat kaki atau pijakan) Closet tempat feses masuk

Pit-sumur tempat feses masuk (cubluk) Bidang resapan

Akses Terhadap Air Bersih

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia untuk kelangsungan hidupnya dan merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang kesehatan dan pengembangan perekonomiannya. Sumber-sumber air, ekosistem yang mendukung dan upaya pelestarian terbebani oleh adanya pencemaran, pemanfaatan lahan yang berubah-ubah, perubahan iklim dan

Makanan sayur/buah Air Tangan Lalat Tanah Tinja sumber infeksi Penderitaan baru

(28)

faktor-faktor lain yang memberatkan. Dalam memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari diperlukan sarana air bersih yang sesuai dengan keadaan, kebutuhan dan peruntukannya (Depkes 2001).

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok makhluk hidup sehari-hari. Air yang digunakan untuk kebutuhan manusia sebagai air minum atau keperluan rumahtangga lainnya harus memenuhi syarat kesehatan, antara lain bebas dari kuman penyakit dan tidak mengandung bahan beracun. Air minum yang memenuhi derajat kesehatan sangat penting dalam mempertinggi derajat kesehatan masyarakat (Direktorat Penyehatan Air 1990).

Khusus untuk mengelompokkan tingkat keamanan sumber air untuk masak dan minum digunakan metode seperti yang dipakai oleh Soemowerdojo dkk (1976), Entjang (1981) dan Sumengen (1987) dalam Atmojo et al. (1992) yang meliputi kategori sumber air tidak aman (air sungai, air kolam): sumber air kurang aman (mata air, sumur terbuka tanpa dinding tembok ke bawah) dan sumber air aman (sumur pompa, sumur tertutup/terlindung, air PAM) sesuai dengan peluang terjadinya kontaminasi oleh sumber pencemaran, baik biologi, fisik, dan kimiawi.

Menurut Hanani (2009) tingginya akses air bersih tentunya menunjukkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik dan lebih sehat, hal ini tentunya akan berimplikasi pada makin tingginya harapan hidup rata-rata penduduk. Akses air bersih memegang peranan yang sangat penting untuk pencapaian ketahanan pangan. Air yang tidak bersih akan meningkatkan resiko terjadinya sakit dan kemampuan dalam menyerap makanan dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi seseorang.

Morbiditas

Salah satu data yang dipergunakan untuk menilai keadaan kesehatan gizi masyarakat secara tidak langsung adalah dengan morbiditas (Angka Sakit). Angka ini menunjukkan jumlah orang sakit pada suatu saat tertentu, untuk tiap 1000 penduduk. Terutama angka morbiditas untuk kelompok umur bayi dan kelompok umur balita merupakan indikator kesehatan gizi yang cukup sensitif. Jika disuatu daerah atau dalam suatu masyarakat tidak ada peristiwa epidemi suatu jenis penyakit tertentu, tetapi terdapat angka morbiditas tinggi, terutama di antara bayi dan balita, maka harus curiga bahwa kondisi ini disebabkan oleh kesehatan gizi yang rendah.

(29)

Kesehatan gizi yang rendah menyebabkan kondisi daya tahan umum tubuh menurun, sehingga berbagai penyakit dapat timbul dengan mudah. Seorang anak sehat tidak akan mudah terserang berbagai jenis penyakit, termasuk penyakit infeksi, karena akan mempunyai daya tahan tubuh yang cukup kuat. Daya tahan tubuh akan meningkat pada keadaan kesehatan gizi yang baik dan akan menurun bila kondisi kesehatan gizinya menurun (Sediaoetama 1989).

Menurut Suryanah (1996) telah lama diketahui adanya interaksi sinergistis antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan makanan dan meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergistik, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi secara sendiri-sendiri.

Dampak infeksi terhadap pertumbuhan seperti menurunnya berat badan telah lama diketahui. Keadaan demikian disebabkan oleh hilangnya nafsu makan penderita penyakit infeksi hingga masukan (intake) zat gizi dan energi kurang daripada kebutuhannya. Lagipula pada infeksi kebutuhan tersebut justru meningkat oleh katabolisme yang berlebihan dan suhu badan yang meningkat.

Serupa dengan penyataan tersebut menurut Suhardjo (2002) antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme dan yang paling penting ialah efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah akan menimbulkan kehilangan nitrogen.

Infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Di berbagai tempat di dunia, makanan dapat tercemar oleh berbagai bibit penyakit yang menimbulkan gangguan dalam penyerapan zat gizi oleh tubuh. Orang yang mengalami gizi kurang daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit infeksi. Demikian pula sebaliknya, orang yang kena penyakit infeksi dapat mengalami kurang gizi (Suhardjo 1989).

Menurut Hidayat (2008) angka kesakitan bayi menjadi indikator kedua dalam memnentukan derajat kesehatan anak, karena nilai kesakitan merupakan cerminan dari lemahnya daya tahah tubuh bayi dan anak balita. Angka kesakitan

(30)

tersebut juga dapat dipengaruhi oleh status gizi, jaminan pelayanan kesehatan anak, perlindungan kesehatan anak, faktor sosial ekonomi, dan pendidikan anak.

Konsumsi Pangan

Semua manusia di negara manapun di dunia ini memerlukan pangan untuk dikonsumsi. Tubuh manusia harus memperoleh cukup pangan untuk memenuhi kebutuhan gizinya termasuk energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air guna mempertahankan kelangsungan hidupnya (Suhardjo 1989).

Setiap orang dalam siklus hidupnya selalu membutuhkan dan mengkonsumsi berbagai bahan makanan. Nilai yang sangat penting dari bahan makanan atau zat makanan bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik serta perolehan energi guna melakukan kegiatan sehari-hari. Termasuk dalam memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan yaitu penggantian sel-sel yang rusak dan sebagai zat pelindung tubuh (dengan cara menjaga keseimbangan cairan tubuh). Proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan yang terpelihara dengan baik akan menunjukkan baiknya kesehatan yang dimiliki seseorang. Seseorang yang sehat tentunya memiliki daya pikir dan daya kegiatan fisik sehari-hari yang cukup tinggi (Kartasapoetra & Marsetyo 2003).

Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Harper et al. ada empat faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu: produksi pangan untuk keperluan rumahtangga, pengeluaran uang untuk pangan rumahtangga, pengetahuan gizi, tersedianya pangan (Suhardjo 1989).

Menurut Wong et al (2008), gizi mungkin merupakan satu-satunya pengaruh paling penting pada pertumbuhan. Faktor diet mengatur pertumbuhan pada semua tahap perkembangan, dan efeknya ditunjukkan pada cara yang beragam dan rumit. Selama periode pertumbuhan prenatal yang cepat, gizi buruk dapat mempengaruhi perkembangan dari waktu implantasi ovum sampai kelahiran. Selama masa bayi dan kanak-kanan, kebutuhan terhadap kalori relatif besar, seperti yang dibuktikan oleh peningkatan tinggi dan berat badan. Pada waktu ini kebutuhan protein dan kalori lebih tinggi dibandingkan pada hampir setiap periode perkembangan pascanatal. Ketika laju pertumbuhan melambat disertai dengan penurunan metabolisme, akibatnya terjadi penurunan kebutuhan kalori dan protein. Pengukuran konsumsi makanan sangat penting untuk

(31)

mengetahui kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat dan hal ini dapat berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan faktor diet yang menyebabkan malnutrisi (Supariasa et al 2001).

Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukkan kuantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut kaulitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan mendapat kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya. Konsumsi yang menghasilkan kesehatan gizi yang sebaik-baiknya, disebut konsumsi adekwat. Kalau konsumsi baik kualitasnya dan dalam jumlah melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih; maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitasnya maupun kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisiensi (Sediaoetama 1996).

Ketahanan Pangan, Kondisi Lingkungan, dan Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksin atau membahayakan (Almatsier 2001).

Status gizi menjadi indikator kategori ketiga dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang cukup juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan bebas dari segala penyakit. Status gizi dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan. Pemantauan status gizi dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dalam merencanakan perbaikan status kesehatan anak (Hidayat 2008).

Menurut Khomsan (2002) Gizi yang cukup merupakan masukan yang penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Telah terbukti

(32)

bahwa kurang gizi menyebabkan seseorang lebih rentan terhadap penyakit, kurang motivasi, bereaksi lamban dan apatis, sehingga prestasi belajar pun turun. Seorang anak yang menderita kurang gizi tidak dapat bereaksi maksimal terhadap lingkungan. Anak tersebut akan terisolir dan kehilangan kesempatan berkembang pada masa kritis pertumbuhannya. Oleh karena itu, agar sumber daya manusia dapat bekerja produktif, maka sejak kanak-kanak seorang harus baik gizi makanannya.

Konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai dimensi yang sangat kompleks. Daly et al dalam Supariasa et al (2001) membuat model faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, makanan, dan tersedianya bahan makanan. Banyak sebab masalah gizi timbul, baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap keadaan gizi individu, keluarga maupun masyarakat. Masalah kurang gizi adalah kompleks, merupakan kombinasi dari beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Penyebab utama dari kelaparan adalah kekurangan sumberdaya keluarga untuk membeli makanan atau kecukupan produksi pangan keluarga. Ketidakcukupan pangan berhubungan dengan faktor sosial, kepercayaan, proses pembagian dalam keluarga dan distribusinya, sanitasi, kelesuan dan efek lain dari kemiskinan. Ketajaman fluktusi pangan dan harga tinggi merupakan masalah yang menimbulkan kelaparan dan kurang gizi.

Data perumahan penduduk merupakan salah satu indikator untuk menilai gizi masyarakat, karena rumah dapat digunakan sebagai indikator sosial ekonomi seseorang dan rumah juga dapat digunakan untuk mengetahui keadaan keluarga itu. Subindikator yang dipakai antara lain sanitasi rumah, perlengkapan rumahtangga, fasilitas air bersih, sumber penerangan dan lain-lain. Keadaan lingkungan menentukan masalah gizi yang ada (Roedjito 1989).

Sesuai dengan kerangka pikir UNICEF dalam Soekirman (2000) dan telah digunakan luas secara internasional mengenai berbagai faktor penyebab kurang gizi anak. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak.penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga faktor tidak langsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pada akar masalah yaitu pendidikan dan ekonomi keluarga serta keterampilan memanfaatkan sumber daya keluarga

(33)

dan masyarakat. Akhirnya semuanya dapat berpangkal pada masalah pokok yang lebih besar dimasyarakat dan bangsa secara keseluruhan, seperti masalah ekonomi, politik dan sosial.

KURANG GIZI

Makan

Tidak Seimbang Penyakit Infeksi

Tidak Cukup

Persediaan Pangan Pola Asuh AnakTidak Memadai

Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan

sumberdaya masyarakat

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial Dampak Penyebab langsung Penyebab Tidak langsung Pokok Masalah di Masyarakat Akar Masalah (nasional)

Gambar 2 Bagan penyebab gizi kurang

Menurut Soekirman (2000) untuk mengetahui secara tepat status gizi anak atau kelompok anak tertentu maka indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB harus digunakan. Dengan mengukur BB,TB, dan U anak atau kelompok anak, dapat dihitung tiga jenis indikator atas dasar kombinasi ketiga ukuran tersebut. Dengan mengetahui keadaan dari masing-masing ke-3 indikator di atas dapat disimpulkan secara tepat keadaan gizi anak atau kelompok anak. Ketiga indikator tersebut diatas lebih banyak digunakan pada survey khusus, pada kegiatan penelitian, atau untuk penapisan (screening) anak yang kurang gizi. Interpretasi keadaan gizi anak dengan ketiga indikator ini menjadi lebih tajam, seperti contoh pada tabel berikut.

(34)

Tabel 1 Pengertian indikator status gizi Indikator BB/U Indikator TB/U Indikator BB/TB Kesimpulan

Rendah Rendah Normal

Keadaan gizi anak saat ini baik, tetapi anak tersebut mengalami masalah gizi kronis. BB anak proporsional dengan TB-nya

Normal Rendah Lebih

Anak mengalami masalah gizi kronis dan pada saat ini anak menderita kegemukan (overweight) karena BB lebih dari proporsional terhadap TB-nya

Rendah Rendah Rendah

Anak mengalami kurang gizi berat dan kronis artinya pada saat ini keadaan gizi anak tidak baik dan riwayat masa lalunya juga tidak baik

Normal Normal Normal Keadaan gizi anak baik pada saat ini dan pada masa lalu

Rendah Normal Rendah Agak mengalami kurang gizi yang berat (kurus)

Normal Normal Rendah

Keadaan gizi anak secara umum baik tetapi badannya kurang proporsional terhadap TB-nya karena tubuh anak jangkung

WHO menggunakan kisaran prevalensi dari indikator BB/U, TB/U dan BB/TB tersebut untuk mengkategorikan tingkat keadaan status gizi anak dibawah lima tahun (balita) untuk mengetahui masalah kesehatan masyarakat. Kisaran prevalensi tersebut ditunjukan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2 Kisaran prevalensi menurut BB/U dan TB/U anak balita

Kategori Prevalensi (% anak dengan z-score <-2)

TB/U (stunting) BB/U (underweight)

Rendah < 20 < 10

Sedang 20 - 29 10 – 19

Tinggi 30 - 39 20 – 29

Sangat Tinggi ≥ 40 ≥ 30

Tabel 3 Tingkatan masalah gizi dalam emergency situation menurut prevalensi wasting dan rata-rata z-score anak balita

Kategori Prevalensi wasting

(% anak dengan z-score <-2) Rata-rata z-score BB/TB

Dapat Diterima < 5 > -0,40

Buruk 5 – 9 -0,40 s/d -0,69

Serius 10 – 14 -0,70 s/d -0,99

(35)

KERANGKA PEMIKIRAN

Status gizi yang baik, terutama pada anak merupakan salah satu aset penting untuk pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal untuk menghadapi persaingan bebas di era globalisasi. Pemenuhan zat gizi yang baik dan cukup akan mendukung pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan pada tingkat yang optimal.

Masalah gizi yang muncul sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, salah satunya timbul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumahtangga, yaitu kemampuan rumahtangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya. Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga selain dipengaruhi oleh penyediaan (produksi) pangan dan distribusi pangan, juga berhubungan erat dengan kondisi ekonomi keluarga untuk memenuhi konsumsi pangannya, yang akan berdampak pada status gizi tiap anggota keluarga, salah satunya adalah anak.

Menurut kerangka pikir UNICEF (1998) faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi adalah asupan pangan dan adanya penyakit. Pencapaian konsumsi pangan anak dipengaruhi oleh karakterisitik sosial ekonomi keluarga yang dilihat dari besar keluarga, penghasilan yang diperoleh keluarga, dan alokasi pengeluarannya, sebesar apa prioritasnya untuk pangan. Suatu penyakit muncul akibat tidak seimbangnya berbagai faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan (environment). Kondisi lingkungan yang tidak bersih dapat memicu timbulnya berbagai penyakit yang turut mempengaruhi asupan pangan seseorang, karena umumnya orang yang sakit kebutuhan akan zat gizinya lebih tinggi sedangkan selera makannya rendah yang akhirnya akan berdampak pada status gizinya.

(36)

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

Kondisi lingkungan Akses pelayanan kesehatan Tingkat Ketahanan Pangan RT

Konsumsi pangan anak balita Pengetahuan

gizi ibu

Besar keluarga Pendidikan orang tua Pendapatan keluarga Alokasi pengeluaran

pangan, non-pangan Karakteristik sosial

ekonomi keluarga

Sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik Keadaan rumah Pembuangan sampah Pembuangan

tinja/kepemilikan MCK Akses air bersih

Tingkat kesakitan (morbidity)

Gambar

Gambar 1  Skema mata rantai penularan penyakit dari tinja
Gambar 2  Bagan penyebab gizi kurang
Tabel 1  Pengertian indikator status gizi  Indikator  BB/U  Indikator TB/U  Indikator BB/TB  Kesimpulan
Gambar 3  Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan,             morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis SWOT sebagai dasar dalam memberikan gambaran mengenai keadaan usaha pada mahasiswa di Politeknik Negeri Sriwijaya meliputi faktor internal yaitu kekuatan

- Disebut juga kalkulus predikat, merupakan logika yang digunakan untuk merepresentasikan masalah yang tidak dapat direpresentasikan dengan menggunakan proposisi. -

Anda dapat mengenakan biaya untuk tindakan fisik transfer salinan dan dapat menawarkan perlindungan jaminan berbayar. Anda dapat memodifikasi satu atau beberapa salinan Program

Hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Christianti (2006) menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara struktur aktiva dengan tingkat leverage perusahaan,

(5) Penambahan bagian pekerjaan yang memiliki kondisi ketidakpastian (unforeseen condition) yang tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus mendapatkan persetujuan

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya ajukan dengan judul: Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Turnover Intentions dengan Kepuasan Kerja sebagai

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan KBBR di UMY adalah pengetahuan tentang KBBR, sikap terhadap KBBR, kurangnya sosialisasi dan tanda