• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan

1. Representasi Sosial Masyarakat Desa Gunung terhadap Pemena

Representasi sosial Masyarakat Karo Desa Gunung tentang pemena dimaknai sebagai agama awal orang Suku Karo, sebagai ritual yang mengandung kekuatan mistis dan sebagai adat istiadat Suku Karo.

45

Pemena dimaknai oleh masyarakat sebagai agama yang pertama kali dimiliki oleh Masyarakat Suku Karo, sebelum masuknya pengaruh agama-agama resmi. Hal ini sejalan dengan Sri Alem (2005) mengatakan bahwa pemena adalah kepercayaan asli orang-orang Karo sebelum msauknya pengaruh-pengaruh agama baru seperti Kristen, Khatolik, dan Islam. Pemena sendiri mengajarkan manusia untuk menguasai alam dan menghormati roh-roh leluhur. Dalam kehidupannya Masyarakat Karobergantung dengan hasil pertanian dimana hal tersebut membuat mereka menjadi sangat dekat dengan alam, dalam konsep kepercayaan pemenaOrang Karo berpandangan bahwa alam tersebut dikuasi oleh roh-roh leluhur.

Pemena juga dimaknai oleh masyarakat sebagai suatu praktek yang mengandung unsur mistis yang bertujuan untuk membersihkan diri, berhubungan dengan roh leluhur, dan menguasai alam. Masyarakat Desa Gunung masih mengandalkan dan mempercayai bahwa ritual-ritual tersebut dapat membantu dan menolong mereka di dalam kehidupan sehari-hari, hal ini sejalan dengan Sri Alem (2005) mengatakan ritual dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara tubuh-tendi (jiwa dan perasaan), nafas, dan pikiran dalam diri seseorang.

Ritual-ritual masih dilaksanakan di Desa Gunung adalah, Erpaing ku lau (mandi ke sungai) dimana ritual ini bertujuan untuk membersihkan diri, Ercibal belo (meletakkan sekapur siri) memberikan sesajen kepada roh-roh leluhur, Perumah begu (memanggil roh orang yang sudah meninggal dunia) bertujuan berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal dunia, Selok (kesurupan)

46

Pemena juga dimaknai Sebagai adat-istiadat Suku Karo, Hal ini karena nilai-nilai pemena sudah tertanam di tengah-tengah kehidupan Masyarak Desa Gunung, mulai dari kebiasaan dalam acara Suku Karo seperti acara pernikahaan adat Karo, kerja tahun, serta kebiasaan-kebiasan pada aktivitas sehari-hari seperti bercocok tanam, pemena juga memberikan norma-norma berperilaku antar masyarakat seperti bergotong royong dan kerja sama antar masyarakat.

Berdasarkan penelitian ini, dapat diketahui bahwa objectification tentang pemena pada Masyarakat Desa Gunung adalah Budaya Suku Karo. Objectification mengacu pada penerjemahaan ide yang abstrak dari suatu objek ke dalam ide yang lebih konkret (Deaux dan Philogene, 2001). Hal tersebut berarti bahwa pemena sebagai sesuatu yang abstrak bagi Masyarakat Desa Gunung diterjemahkan ke dalam ide yang lebih konkret yaitu sebagai Agama Suku Karo, ritual yang mengandung mistis, dan adat-istiadat Suku Karo yang ketiga hal tersebut merupakan Budaya Suku Karo.

Persoalan yang menarik dari representasi sosial terhadap pemena ini adalah, bahwa masyarakat di Desa Gunung sudah memeluk agama resmi pemerintah seperti Kristen Khatolik dan Islam, dan tersedianya tempat-tempat ibadah seperti Gereja dan Mesjid. Meskipun begitu, ada sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat yaitu mereka masih tetap percaya dengan nilai-nilai dan melaksanakan ritual-ritual yang berbau animisme dan dinamisme sesuai konsep yang ada pada pemena.

Hal ini dikarenakan pemena sudah dianggap sebagai bagian dari budaya Suku Karo karena nilai-nilai budaya yang ada di Suku Karo seperti penghormatan

47

terhadap leluhur, adanya ritual-ritual mistis yang dapat membantu masyarakat, dan adat-istiadat, tercermin pula dalam konsep pemena yang merupakan unsur Budaya Suku Karo itu sendiri.

Sesuai dengan salah satu identitas budaya Karo yang terkadang sulit untuk membedakan mana acara yang dilaksanakan atas dasar kepercayaan, atau suatu adat khusus, atau hanya suatu kebiasaan-kebiasaan saja meskipun begitu Masyarakat Karo tetap berpandangan bahwa segala sesuatu yang memang telah diadatkan harus dipatuhi, karena sangat berharganya budaya ini maka Orang Karo akan sangat terhina bila dikatakan tidak beradat (Sitepu, dkk, 1996).

Berdasarkan penelitian ini, maka dapat diketahui pula bahwa pada Masyarakat Desa Gunung telah terjadi akulturasi antara nilai-nilai yang sudah ada dari awal yaitu konsep pemena, dengan nilai-nilai baru yang dalam hal ini adalah agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasilnya adalah bahwa meskipun mereka sudah memeluk agama resmi tersebut, namun konsep pemena itu sendiri tidak serta merta menjadi hilang dari diri mereka.

2. Pengetahuan Masyarakat Desa Gunung tentang Perbedaan Pemena

dengan Agama Resmi

Perbedaan pemena dengan agama yang ada saat ini adalah, pertama, pemena menyembah leluhur sedangkan agama yang ada saat ini menyembah Tuhan. Kedua, pemena hanya dianut oleh Orang Karo sedangkan agama yang ada saat ini dianut oleh orang-orang dari berbagai suku bangsa. Ketiga, terletak pada instrumen keagamaan pemena tidak miliki kitab, sedangkan agama yang ada saat

48

sedangkan agama yang ada saat ini sudah memiliki seperti masjid, dan gereja. Keempat, pemena mempercayai hal-hal mistik sedangkan agama sekarang tidak. Kelima pemena sendiri tidak percaya Yesus. Keenam pemena mengajarkan kerja sama antar masyarakat sedangkan agama yang ada saat ini tidak.

3. Ritual Pemena yang Masih Dijalankan Saat ini oleh Masyarakat Desa

Gunung

Ritual-ritual yang masih dijalankan sampai saat ini adalah, yang pertama, Erpangir ku lau yaitu, ritual yang dilakukan oleh seseorang untuk membersihkan diri dari hal-hal buruk yang dialami dalam kehidupan sehari-hari atau untuk menenangkan diri karena adanya firasat buruk.

Sitepu dkk (1996) mengatakan pelaksanaan Erpangir ku lau tersebut dipimpin oleh Guru Sibaso, biasanya tempat pelaksaan ritual Erpangir ku lau dilakukan di sebuah sungai, Guru Sibaso akan mencari tempat yang cocok untuk dilakukannya ritual, adapun bahan-bahan yang diperlukan antara lain seperti sebelas jenis Jeruk, daun-daun, pisang emas, dan seekor ayam hitam. Guru Sibaso akan meramu semua bahan-bahan tersebut untuk dimandikan ke seseorang yang melakukan ritual tersebut.

Kedua adalahndilo wari udahSarjani (2011) mengatakan ndilo wari udanyaitu suatu ritual yang dilakukan oleh masyarakat secara beramai-ramai dan juga dipimpin oleh Guru Sibaso, ritual ini dilakukan untuk mendatangkan hujan adapun peralatan yang dipakai dalam ritual ini berupa tempat air dari bambu, selang dari bambu dan ember yang dibawa masing-masing oleh masyarakat, untuk

49

memulainya ritual ini Guru Sibaso dan masyarakat berdoa bersama kepada leluhur untuk meminta bantuan agar hujan turun setelah itu semua orang yang ikut dalam ritual tersebut saling menyiram satu dengan yang lain dan berteriak memanggil hujan agar segera turun.

Ketiga adalah Perumah Begu ritual bertujuan memanggil roh orang-orang yang telah meninggal dunia. Keempat adalah Releng tendi yang merupakan pemanggilan roh orang yang masih hidup dalam bahasa Karo.Sri Alem (2005) mengatakan roh orang yang masih hidup disebut tendi, roh atau tendi yang keluar dari tubuh seseorang karena adanya peristiwa atau kejadian yang dialami, kejadian tersebut membuat orang sangat terkejut. Perilaku seseorang yang rohnya (tendi) keluar dari tubuh akan menunjukan keanehan seperti tiba-tiba menjadi sangat pendiam, tertawa seorang diri, menanggis secara tiba-tiba, roh atau tendi seseorang dipercaya telah ditawan oleh makluk gaib yang ada disekitar kampung untuk itu perlu dilaksanakannya ritual releng tendi oleh Guru Sibaso.

Kelima adalah Selok, Sri Alem (2005) menjelaskanSelok merupakan kondisi ketika Guru Sibasokerasukan atau kesurupan, roh-roh yang merasuki tubuh Guru Sibaso tersebut dipercaya merupakan roh leluhur, yang ingin berkomunikasi dengan masyarakat.

Sejalan dengan definisi ritual menurut Koenjtaraningrat (1985) yang mengatakan ritual adalah tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sejumlah umat beragama. Ritual-ritual yang dilakukan

50

dimana dilaksanakannya ritual, peralatan yang diperlukan, dan orang-orang yang menjalankan ritual. Dalam Masyarakat Karo yang tinggal di Desa Gunung juga terdapat beberapa ritual-ritual yang dianggap keramat seperti yang dijelaskan diatas, dan terdapat orang yang memimpin ritual atau upacara seperti Guru Sibaso yang akan memandu orang-orang untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam pelaksaan ritual, seperti waktu, peralatan pelaksaan ritual.

Praktek-praktek dari ritual tersebut digambarkan sebagai sarana untuk mengisi sisi spiritual yang ada pada individu seperti yang diungkapkan oleh Berman dan Snyder (2012) yang mengatakan manusia memiliki kebutuhan unutk menyalurkan dan memenuhi sisi spiritualitasnya.

4. Pandangan terhadap Peran Guru Sibaso dan Leluhur

Ada beberapa pandangan terhadapat peran Guru Sibaso yang pertama, dipandang sebagai seseorang yang mempunyai kekuatan supranatural untuk menyembuhkan suatu penyakit dan berbicara dengan roh-roh. Kedua, Guru Sibaso masih diperlukan dalam menjalankan ritual-ritual yang ada. Ketiga adanya pandangan yang sudah tidak mempercayai peran Guru Sibaso dalam kehidupan saat ini. Keempat ada yang menyatakan masih ragu antara apakah ingin percaya atau tidak percaya. Beberapa masyarkat juga mengatakan percaya karena beberapa hal yang dikatakan oleh Guru Sibaso benar terjadi, namun disisi lain hal itu dianggap sebagai hal yang mustahil.

Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Sri Alem (2005) tentang Guru Sibaso, yaitu bahwa Guru Sibaso berperan dalam kehidupan sosial sebagai orang yang dianugrahi kekuatan supranatural, yang berfungsi untuk memenuhi

51

kebutuhan rohani dalam masyarakat, sebagai sarana penghubung rasa antara masyarakat dengan penguasa alam dimana masyarakat tinggal, Guru Sibaso juga berperan sebagai orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar peristiwa aneh yang dialami oleh masyarakat.

Guru Sibaso juga diharapkan memberikan nasehat-nasehat kepada masyarakat ketika terjadinya konflik-konflik antar masyarakat, dalam ranah kesehatan Guru Sibaso berperan sebagai penyembuh orang yang sakit, dengan metode tradisional dan ritual yang dilaksanakan oleh Guru Sibaso.

Pandangan terhadap peran leluhur yang dimiliki oleh Masyarakat Desa Gunung adalah, yang Pertama,leluhur dianggap sosok yang memiliki kekuatan untuk menjaga keselamatan anak cucu yang ada di kampung. Kedualeluhur adalah sosok yang harus dihormati oleh masyarakat. Ketiga ada pula yang menganggap leluhur sebagai Tuhan.

Jawak (2009) mengatakan roh leluhur atau nini yang menjadi pelindung/pengawal penduduk suatu kampung/desa yang selalu ada disekeliling desa dan Masyarakat Karo menyebut leluhur denga istilah Nini Pagar.Nini Pagar berfungsi sebagai pelindung masyarakat dari malapetaka, pemberi rejeki dan kenyamanan. Nini Pagar merupakan sesembahan suatu kampung/desa dan diadakan upacara persembahan dengan acara tertentu dan dalam waktu tertentu yang dipimpin oleh guru.

Berdasarkan hal diatas Masyarakat Karo memiliki hubungan spiritual dengan roh-roh leluhur dengan menghormati para leluhur yang dianggap menjadi

52

pelindung di desa, seperti yang diungkapkan oleh Peterson dan Seligman (2004) sepirititualitas menggambarkan hubungan antara manusia dan Tuhan.

5. Pandangan Masyarakat terhadap Orang Suku Karo yang tidak Percaya

dengan Pemena

Respon yang muncul ketika subjek menjawab pertanyaan diatas adalah mereka mengatakan orang-orang yang tidak percaya dengan pemena adalah orang yang tidak mengerti dan tidak mengenal adat-istiadat Suku Karo, kebudayaan Suku Karo dan sejarah Suku Karo. Kemudian orang-orang yang tidak percaya dengan pemena dianggap anti dengan kebudayaan Karo. Mereka yang tidak percaya dengan pemena dianggap kurang informasi mengenai hal-hal yang terkait dengan pemena.Respon selanjutnya adalah subjek tidak mempermasalahkan mereka tidak percaya dengan pemena karena saat ini sudah ada agama yang dianut.

Turner dkk., (dalam Tajfel, 1982) mengatakan kategori sosial sebagai pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Dalam konteks Masyarakat Desa Gunung yang mempunyai pengetahuan bahwa pemena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adat-istiadat Suku Karo mereka beranggapan bahwa orang yang tidak percaya kepada pemena adalah orang yang tidak mengenal adat-istiadat Suku Karo itu sendri yang mengartikan bahwa orang tersebut bukan bagian dari Masyarakat Karo hal ini sejalan dengan dibaginya dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yakni kita (ingroup) dan mereka (outgroup).

53

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Representasi sosial tentang pemena pada Masyarakat Desa Gunung adalah, Agama Suku Karo, ritual yang memiliki kekuatan mistis, dan adat-istiadat Suku Karo, ketiga hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan Suku Karo sehingga masyarakat Suku Karo yang tinggal di Desa Gunung masih percaya dan melakukan praktek-praktek yang berasal dari konsep pemena.

2. Masyarakat Desa Gunung membedakan pemena dengan agama resmi dari segi objek penyembahan. Ajaran pemena menyembah dan menghormati leluhur sedangkan agama resmi resmi pemerintah menyembah Tuhan.

3. Masyarakat Desa Gunung masih sering melihat dan melakukan ritual-ritual pemena dalam kehidupan sehari-hari seperti erpangir ku lau (mandi ke sungai), ndilo wari udan (memanggil hujan turun), perumah begu (memanggil roh yang orang yang sudah mati), raleng tendi(memangil roh orang yang masih hidup) dan selok (kesurpuan roh leluhur).

4. Masyarakat Desa Gunung memahami peran Guru sibaso sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural, dan dianggap sebagai pemimpin dalam ranah adat Suku Karo, sedangkan peran leluhur dianggap masyarakat sebagai roh

54

5. Masyarakat Desa Gunung mengatakan orang-orang yang tidak percaya dengan pemena adalah orang yang tidak mengerti dan tidak mengenal adat-istiadat Suku Karo, kebudayaan Suku Karo dan sejarah Suku Karo. Kemudian orang-orang yang tidak percaya dengan pemena dianggap anti dengan kebudayaan Karo. Mereka yang tidak percaya dengan pemena dianggap kurang informasi mengenai hal-hal yang terkait dengan pemena.Respon selanjutnya adalah subjek tidak mempermasalahkan mereka tidak percaya dengan pemena karena saat ini sudah ada agama yang dianut.

B. Saran

Adapun saran-saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Saran Metodologis

Bagi peneliti yang tertarik mengenai pemena dapat mencoba meneliti representasi sosial pemena di daerah Tanah Karo lainnya. Agar memperkaya konsep-konsep kepercayaan yang dimiliki Masyarkat Suku Karo.

2. Saran Praktis

a. Bagi Orang Karo agar melestarikan pemena sebagai sebuah kebudayaan karena ada banyak keunikan di dalamnya, agar di masa yang akan datang konsep pemena tidak hilang.

b. Bagi pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait dengan kebudayaan, dan keagamaan agar melindungi dan membuat kebijakan-kebijakan untuk mengembangkan dan mengenalkan konsep pemena sebagai warisan budaya Karo.

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Representasi Sosial

1. Definisi Representasi Sosial

Moscovici (dalam Smith, 2011) mengartikan reprensentasi sosial sebagai sebuah sistem dari kumpulan nilai, gagasan, dan praktek yang memiliki fungsi membangun urutan pada individu untuk menyesuaikan atau mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka serta untuk menguasai lingkungannya. Dalam pengertian ini, represntasi sosial menjadi proses pemahaman suatu objek sosial yang terdapat dalam masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa representasi sosial merupakan proses sosial yang tidak universal tetapi bersifat khusus dalam suatu masyarakat tertentu.

Flick (1998) menambahkan bahwa representasi sosial sering terbentuk melalui pendapat-pendapat masyarakat awam dan professional. Dengan kata lain representasi sosial memberikan suatu dampak bagi individu untuk mempersepsikan sebuah objek sosial dan memberikan arah untuk berprilaku.

Berdasarkan definisi representasi sosial dari beberapa tokoh di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa representasi sosial adalah nalar sosial yang ada di dalam masyarakat yang berfungsi untuk panduan dalam berpikir, berprilaku dan berkeyakinan.

13

2. Proses Pembentukan Representasi Sosial

Moscovici (dalam Smith, 2011) menjelaskan bahwa Representasi sosial dapat merubah suatu hal yang tidak lazim dan atau tidak dikenal menjadi sesuatu hal yang dapat dikenali, melalui dua proses pembentukan.

Proses pembentukan representasi sosial tersebut terjadi dalam dua tahapan. (Deuaxdan Philogene, 2001) menjelaskan tahap pertama adalah Anchoring yang merupakan proses pengenalan atau pengaitan suatu objek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses ini informasi yang baru didapat diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki oleh individu sebelumnya. Tahap kedua adalah Objectification yang merupakan proses penerjemahan ide-ide yang abstrak dari suatu objek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau mengaitkan abstraksi tersebut dengan objek konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif atau afek dari komunikasi serta pemilihan dan penataan representasi mental atas objek tersebut.

3. Elemen Representasi Sosial

Menurut Arbic (dalam Smith, 2011) representasi sosial terdiri atas elemen informasi yaitu segala informasi yang diketahui oleh anggota suatu komunitas mengenai suatu objek tertentu, keyakinan yaitu segala sesuatu hal yang dipercayai dan diyakini, pendapat ialah hasil pemikiran mereka, dan sikap tentang suatu objek ialah, suka atau tidak suka, penilaian, pengaruh atau penolakan, serta kepositifan atau kenegatifan.

14

B. Agama

1. Definisi Agama

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada TuhanYang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan. Sedangkan definisi beragama adalah menganut agama, taat kepada agama, dan sangat memuja-muja.

Semuel Patty (2009) menjelaskan agama merupakan kata yang berasal dari Bahasa Arab yang telah menjadi Bahasa Indonesia yang dimaknai sebagai suatu sistem kepercayaan manusia yang memuja atau menyembah sesutau yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa yang tidak dimiliki oleh manusia itu sendiri. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang konsep agama atau religi hal tersebut dikarenakan masing-masing orang memiliki pengalaman keagamaan yang tidak sama.

Berman & Snyder (2012) mengatakan agama merupakan sistem keyakinan dan praktik yang terorganisir, agama juga menawarkan akses dan ekspresi spiritual. Ancok dan Suroso (2001) menambahkan bahwa keberagamaan memiliki macam sisi dan dimensi seperti melakukan suatu aktivitas sehari-hari yang di dorong oleh kekuatan supranatural. Rasa keagamaan yang dimiliki seseorang bersumber dari perasaan tentang segala keterbatasaan dan kelemahannya, terkait dengan hal itulah manusia mencari kekuatan yang besar untuk dapat dijadikan sebagai pelindung dalam kehidupannya.

15

Dalam penelitian ini peneliti menyimpulkan agama sebagai suatu kepercayaan dan keyakinan yang dipegang oleh seseorang dalam sisi dan dimensi kehidupa seperti aktivitas sehari-hari, rasa keagamaan tersebut bersumber dari perasaan keterbatasan dan kelemahan yang di miliki manusia sehingga manusia mencari kekuatan yang lebih besar yang dapat dijadikan pelindung dalam kehidupan yang dijalani.

Rudolf Pasaribu (1980) mendefinisikan agama suku merupakan agama yang dianut oleh suku tertentu dengan batasan tertentu pula, agama tersebut hanya berlaku pada kumpulan orang-orang yang memiliki Suku yang sama dan mempercayai Tuhan yang hanya memberkati Suku tertentu saja.

C. Kepercayaan Suku Karo

1. Sejarah Kepercayaan Suku Karo

Sarjani (2011) mengatakan kepercayaan tradisional Karo dahulu disebut perbegu. Secara etimologi perbegu berasal dari bahasa Karo yaitu begu yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai mahkluk halus. Kemudian berganti dengan istilah pemena hal itu dikarenakan untuk menghidari pemahaman yang negatif pada kata begu yang sering disamakan dengan setan, hantu dan sebagainya.

Tarigan (1990) mengatakan pemena sendiri berasal dari kata bena yang di dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai awal atau asli, jadi pemena tersebut merupakan kepercayaan awal Suku Karo jauh sebelum agama-agama besar masuk ke dalam masyarakat Suku Karo seperti Katolik, Kristen Protestan, Islam. Hal

16

serupa juga dikatakan oleh Milala (2008) bahwa kepercayaan Suku Karo adalah animisme karena masih percaya pada roh-roh leluhur dan percaya pada kekuatan magis yang terdapat dalam benda-benda, alam, dan diri manusia.

Ginting (1999) mengatakan konsep kepercayaan Masyarakat Karo yang paling tua adalah Animisme dan Dinamisme didalamnya dilakukan pemujaan dan penyembahan kepada sesuatu yang dianggap suci dan berkuasa, konsep kepercayaan ini diperkirakan berasal dari zaman pra Hindu yaitu sejak Proto Melayu masuk ke daerah yang sekarang diduduki oleh masyarakat Suku Karo. Selanjutnya konsep kepercayaan Suku Karo juga dipengaruhi agama Hindu yang dibawa oleh pedagang yang berasal dari India diperkiran pada abad ke-III dan pada saat itu Masyarakat Karo mulai mengenal konsep Dewata yang di dalam bahasa Karo disebut Dibata, dan akhirnya Masyarakat Karo memiliki konsep kepercayaan yang berasal dari kombinasi antara animisme, dinamisme dan konsep agama Hindu.

Dari uraian di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan awal Suku Karo adalah animisme dan dinamisme ini ditandai dengan penyembahaan kepada alam, benda-benda tua serta roh-roh nenek moyang, kemudian kepercayaan Suku Karo berkembang dengan adanya konsep dewa-dewa yang dipengaruhi oleh ajaran Agama Hindu yang di bawa oleh pedagang dari India sehingga Masyarakat Karo memiliki konsep Dibata Sitelu.

2. Konsep Tuhan dalam Kepercayaan Suku Karo

17

yaituGuru Butara yang menguasai langit, Padukah ni Aji yang menguasi dunia

Dokumen terkait