• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 DETEKSI PERUBAHAN TUTUPAN MANGROVE MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT

6 PEMBAHASAN UMUM

Mangrove merupakan sumberdaya penting dalam kehidupan manusia, kajian- kajian berupa bio-ekologi, sosial ekonomi dan lainnya yang berkaitan dengan mangrove akan berkembang dan dikembangkan guna mempertahankan eksistensi mangrove itu sendiri. Inventarisir dan monitoring mangrove diperkirakan telah berlangsung semenjak generasi pertama satelit penginderaan jauh dihadirkan dan berlangsung hingga saat ini dan jumlahnya akan terus meningkat dan telah dibahas oleh beberapa peneliti sebelumnya (Heumann 2011b; Kuenzer et al. 2011; Suratman 2014)

Penelitian ini dirangkai oleh suatu proses klasifikasi yang dimulai dari rancangan penentuan sampel di lapangan hingga uji akurasi, yang terdiri dari pra pengolahan data, rancangan sampel, pengukuran dan pengamatan lapangan, pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove, klasifikasi mangrove berbasis objek dan penerapan teknik klasifikasi berbasis obyek untuk deteksi perubahan mangrove.

Hasil analisis struktur vegetasi menyatakan bahwa mangrove di Sungai Kembung dikategorikan sebagai kawasan yang baik dan sangat padat dan memiliki jumlah jenis pohon mangrove (32 spesies) yang lebih banyak dibandingkan ekosistem yang berada di sekitarnya. Jumlah tersebut digunakan untuk mengelompokan jenis penyusun mangrove di Sungai Kembung, yaitu sebanyak 10 jenis dan berhasil mengelompokan sebanyak tiga kelas utama yaitu komunitas R. apuculata (Ra), komunitas X. granatum (Xg). Kelompok-kelompok komunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa jenis mangrove dominan seperti X. granatum, R. apiculata, L. racemosa dan S. hydrophyllacea. Kelimpahan masing-masing jenis memiliki kontribusi besar dalam penyusunan komunitas.

Pengelompokan komunitas mangrove menggunakan analisis gerombol dan dibantu oleh persentase kemiripan (SIMPER) (Mumby dan Harborne 1999; Green et al. 2000). Melalui analisis gerombol, komunitas dibangun melalui karakteristik penyusun dihitung berdasarkan similaritas jarak Bray-Curtis. Seharusnya melalui analisis gerombol dapat dikembangkan skema klasifikasi hirarki dengan tiga tingkatan (hirarki), mulai dari tingkatan kasar, menengah dan detail. Namun berdasarkan nilai similaritas Bray-Curtis yang digunakan (50%), telah dihasilkan 12 kelas komunitas komunitas mangrove di Sungai Kembung, namun mengingat keterhubungan (dendogram) antar kelas yang telah diputuskan melalui tingkat kemiripan tersebut maka hirarki pada tingkatan yang lebih rendah (menengah dan kasar) tidak dapat dikembangkan. Kelas-kelas yang dihasilkan memungkinkan hadir dengan jumlah anggota kelas yang sedikit dan tidak dapat diterapkan dalam aplikasi penginderaan jauh. Hal tersebut berdampak terhadap berkurangnya jumlah kelas komunitas mangrove yang digunakan. Solusi lain dalam permasalahan ini adalah membagi kelas-kelas dengan jumlah anggota yang lebih sedikit tersebut dan digabungkan menjadi satu kelas komunitas, meskipun konsekuensi kemiripan komponen penyusun menjadi lebih rendah.

Green et al. (2000) merekomendasikan bahwa skema klasifikasi yang baik harus dapat diartikan dengan mudah dan tidak ambigu. Skema harus didefinisikan secara objektif dan semi kuantitatif atau kuantitatif. Sebuah penjeasan yang mampu mengkarakteristik dan memisahkan di antara skema tersebut dan ditambahkannya

69

lagi bahwa skema klasifikasi yang telah dikembangkan melalui penelitian ini disarankan untuk dievaluasi secara berkala, seiring dengan perkembangan ekosistem mangrove di Sungai Kembung. Pada akhirnya komunitas mangrove yang dibangun telah mewakili komunitas mangrove di Sungai Kembung.

Citra multispektral tidak cukup baik membedakan mangrove di tingkat spesies (Ajithkumar et al. 2008), bahkan dengan citra hiperspektral pun masih dijumpai kesulitan dalam memisahkan spesies mangrove (Vaiphasa et al. 2005; Wang dan Sousa 2009). Namun penggunaan penamaan objek permukaan pada hirarki yang lebih rendah lagi seperti spesies dominan (Wang et al. 2004b; Vaiphasa et al. 2006). Karakteristik reflektansi spektral komunitas mangrove di Sungai Kembung masih belum mampu dipisahkan oleh citra SPOT 6 dan LANDSAT 5 TM. Kemiripan spektral yang dipengaruhi oleh banyak faktor reflektansi spektral kanopi seperti air dan sedimen (Ajithkumar et al. 2008; Kuenzer et al. 2011) serta ditambahkan lagi oleh (Vaiphasa et al. (2005)) berupa pengaruh fluktuasi energi matahari, perubahan harian kondisi atmosfer, pengaruh formasi kanopi, resolusi spasial dan spektral. Penentuan posisi sampel yang tepat dan tepat di lapangan serta merepresentasikannya pada piksel citra yang digunakan. Sebagai tawaran dalam penelitian ini adalah menerapkan teknik klasifikasi yang lebih maju, melalui teknik klasifikasi berbasis objek dan algoritma klasifikasi RF dapat membantu meningkatkan pemisahan antar kelas skema klasifikasi yang diterapkan.

Teknik klasifikasi yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan gabungan teknik segmentasi citra satelit (berbasis objek) dan pendekatan klasifikasi terbimbing dengan algoritma tertentu (umumnya machine learning). Pendekatan ini merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki oleh aplikasi yang digunakan. Segmentasi merupakan proses membangun objek berdasarkan IIL berdasarkan derajat kemiripan atau ketidakmiripan. Hasil segmentasi dipengaruhi oleh beberapa parameter yaitu: i) bobot (weight) IIL, setiap IIL dapat diberikan bobot yang berbeda dalam membangun objek. ii) Scale, merupakan sebuah nilai ambang batas yang mempengaruhi ukuran objek, scale dipengaruhi oleh shape, merupakan pengaruh nilai spektral yang dimiliki oleh masing-masing IIL dan compactness, merupakan kekompakan objek yang dihasilkan. Kombinasi keempat parameter tersebut sangat banyak, diperlukan acuan tertentu untuk memperoleh nilai-nilai optimum segmentasi. Penentuan nilai dilakukan dengan melakukan beberapa percobaan (trial and error) dari kombinasi parameter (de Santiagoa et al. 2013). Metode lain yang ditawarkan oleh Drǎguţ et al. (2010) adalah estimation of scale parameter. Metode ini menentukan derajat kemiripan berdasarkan varian lokal dalam suatu scene. Nilai ambang batas tingkat perubahan varian lokal menunjukkan tingkat skala dimana IIL dapat dibangi dengan cara yang tepat, relatif terhadap sifat data ditingkat kejadian.

Algoritma RF mampu mereduksi pengaruh salt and pepper dari hasil klasifikasi penutup lahan mangrove dibandingkan algoritma ML. Hal tersebut memperkuat penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Jhonnerie et al. (2015a) dan Jhonnerie et al. (2015b). Meskipun pemetaan penutup lahan mangrove dapat dilakukan dengan baik melalui algoritma RF namun beberapa permasalahan masih dijumpai, seperti masih dijumpai kesalahan pengkelasan objek (misclassification) penutup lahan mangrove oleh algoritma RF. Tiga kelas penutup lahan lainnya yang selalu hadir pada validasi kelas mangrove adalah transisi, badan air dan lahan

70

terbuka, dengan rentang nilai komisi 0.03%-25.3% dan omisi 9.6%-37.7%. Fatoyinbo et al. (2008) menemukan permasalahan yang sama dalam memetakan penutup lahan mangrove, sementara Heumann (2011a) menyatakan sumber kesalahan memetakan mangrove dengan menggunakan teknik klasifikasi adalah tergabungnya kelas transisi (mangrove ikutan) dengan kelas mangrove dan tidak menutup kemungkinan kelas lain. Beda waktu pengamatan lapangan dan perekaman citra satelit yang digunakan selisih waktu keduanya adalah 2 tahun. Van Beijma et al. (2014) melaporkan hal yang sama dalam penelitiannya. Permasalahan ini sering menjadi hambatan dalam penelitian penginderaan jauh, apatah lagi pada saat penggunaan data optik yang keberadaannya dipengaruhi oleh kondisi atmosferik pada saat perekaman dilakukan. Beberapa kelas penutup lahan telah mengalami perubahan menjadi penutup lahan lainnya, namun hal tersebut di atasi dengan bantuan data citra satelit lainnya dengan perekaman yang lebih baru, untuk melihat konsistensi perubahan penutup lahan yang diamati untuk penetapan pengamatan data validasi lapangan.

Ketidakpastian Penelitian

Ketidakpastian dapat diartikan sebagai minimnya pengetahuan (Atkinson dan Foody 2006). Dungan (2006) mengartikan ketidakpastian adalah pernyataan kuantitatif terhadap kemungkinan kesalahan. Ketidakpastian dapat hadir dari berbagai sumber mulai dari pengabaian pengukuran hingga prediksi. Ketidakpastian dapat mempengaruhi tingkat ketelitian produk yang dihasilkan pada tingkatan tertentu dalam penelitian ini. Secara teknis sumber ketidakpastian dapat berasal dari pra pengolahan data (Mahiny dan Turner 2007), pengukuran dan pengamatan lapangan (Ahmed et al. 2013) dan analisis data (Rocchini et al. 2013). Dungan (2006) menyatakan bahwa pengurangan ketidakpastian menyiratkan kemajuan namun peningkatan ketidakpastian juga menyiratkan kemajuan pemahaman.

Dungan (2006) memberikan contoh koreksi atmosferik (proses merubah nilai digital menjadi nilai reflektansi permukaan) sebagai ketidakpastian dalam pra pengolahan data. Model matematis yang digunakan dalam koreksi atmosferik menghasilkan nilai underestimate (kurang dari 0) dan overestimate (lebih dari 1) pada obyek permukaan seperti badan air, lahan terbuka dan vegetasi. Mahiny dan Turner (2007) menyatakan hasil koreksi tersebut merupakan anomali koreksi atmosferik.

Model aerosol [1], [2], dan [3] (Gambar 24), menghasilkan nilai negatif (underestimate) pada objek badan air, lahan terbuka dan vegetasi. Khusus pada reflektansi vegetasi (Gambar 24.c) ketiga model memprediksi nilai reflektansi yang melebihi nilai seharusnya (overestimate). Model aerosol [4] menyajikan hasil nilai reflektansi spektral yang lebih rasional, meskipun masih dijumpai piksel yang memiliki nilai negatif khususnya pada objek badan air pada panjang gelombang inframerah dekat, tengah dan jauh. Anomali tersebut dapat terjadi akibat nilai parameter aerosol yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, meskipun demikian hasil koreksi tersebut mampu meningkatkan akurasi pemetaan (Mahiny dan Turner 2007). Penelitian ini tidak melakukan pengujian terhadap hasil akurasi pemetaan dengan dan tanpa koreksi atmosferik.

71

a b

c

Gambar 24 Kurva reflektansi spektral permukaan dari beberapa objek (a. badan air, b. lahan terbuka dan c. vegetasi) dari empat percobaan model aerosol. Lingkaran merah mengindikasikan anomali koreksi atmosferik

Nilai reflektansi spektral permukaan yang dihasilkan melalui koreksi atmosferik tidak dapat divalidasi, meskipun nilai-nilai reflektansi spektral yang dihasilkan berada pada rentang acuan reflektansi yang telah ada.. Pustaka digital spektral yang disediakan oleh ENVI EXELIS tidak dapat dijadikan acuan mengingat pustaka digital tersebut merupakan referensi yang berasal dari komponen penyusun yang berbeda dengan obyek permukaan di lokasi penelitian, selain itu peralatan pendukung berupa spektrometer tidak mendukung untuk digunakan. Penelitian ini hanya mengandalkan nilai reflektansi spektral permukaan absolut yang dihasilkan melalui proses koreksi atmosferik.

Ketidakpastian pengukuran posisi obyek di lapangan menjadi permasalahan tersendiri dalam penelitian ini. Penggunaan alat ukur posisi berupa GPS pemetaan (TRIMBLE JUNO SB) dan tidak dilengkapi dengan antena yang memadai menghasilkan akurasi pengukuran posisi pengamatan lapangan yang rendah. Pengukuran posisi plot transek (di bawah tutupan tajuk mangrove) selama 30-45 menit menghasilkan distribusi titik seluas 30mx30m (Gambar 25), sementara pengukuran titik-titik yang dilakukan ditempat yang lebih terbuka (persimpangan jalan) yang dilakukan selama 30 menit menghasilkan distribusi titik seluas 10mx10m. Diperkirakan kesalahan tersebut lebih utama disebabkan oleh kesalahan multipath. Pengukuran dilakukan tidak diruang terlalu terbuka, penerimaan sinyal satelit oleh GPS penerima dipengaruhi oleh objek yang ada di sekitarnya, berupa tutupan kanopi, pohon dan bangunan yang ada di sekitar lokasi pengukuran. Selain itu kesalahan dapat dipengaruhi oleh kondisi ionosfer, stratosfer, jam satelit, kesalahan antena, derau sinyal GPS penerima. Pengukuran posisi hanya mengandalkan pengukuran absolut tanpa ada faktor koreksi terhadap posisi yang diterima oleh GPS penerima. Mengantisipasi hal tersebut Dungan (2006) merekomendasikan untuk menggunakan nilai rata-rata jendela piksel seukuran

72

distorsi posisi GPS yaitu 30 m x 30 m. Rata-rata diambil dalam upaya untuk mengurangi ketidakpastian posisi dan meningkatkan dukungan piksel dalam analisis lebih lanjut.

Gambar 25 Distribusi titik-titik multipath (berwarna merah) GPS (ditumpangtindihkan dengan Citra SPOT 6 multispektral) pada saat pengukuran vegetasi mangrove, pada dua lokasi berbeda. Titik berwarna biru dalam kotak merupakan rancangan titik plot dan pengamatan lainnya

Penelitian ini menyatakan bahwa teknik klasifikasi berbasis objek lebih baik dibandingkan dengan teknik klasifikasi berbasis piksel. Meskipun demikian ketidakpastian hadir pada saat segmentasi data kontinu menjadi data diskrit. Dijumpai objek-objek yang over-segmented dan tidak tepatnya batasan objek yang dihasilkan. Kim et al. (2008) menyatakan belum tersedia metode objektif dalam menentukan skala segmentasi, umumnya menggunakan metode uji coba. Padahal ukuran obyek merupakan salah satu permasalahan penting dan kritis dalam penentuan kualitas segmentasi, khususnya akurasi klasifikasi (Meinel dan Neubert 2004). Perolehan segmen optimum telah dalam penelitian ini telah menerapakan metode yang disarankan. Optimasi dilakukan terhadap parameter segmentasi (scale, shape dan compactness) berdasarkan nilai akurasi yang diperoleh.

Penggunaan algoritma MRS dan SDA dalam proses segmentasi dapat dengan mudah divalidasi secara visual, khususnya objek-objek yang dapat diinterpretasikan secara visual, seperti segmentasi penutup lahan. Kasus over-segmented dan under- segmented dapat diminimalisir melalui metode uji coba. Namun pada kasus lain komunitas mangrove, batas objek tidak dapat diinterpretasi secara visual, maka penggunaan algoritma segmentasi MRS dan SDA dapat menghadirkan ketidakpastian. Objek yang dihasilkan hanya mengandalkan parameter kemiripan spektral IIL dan kekompakan serta ukuran bergantung pada scale yang digunakan. Mereduksi ketidakpastian tersebut, dalam penelitian ini merekomendasikan penggunaan algoritma segmentasi chessboard. Algoritma ini membangun objek dalam bentuk kotak bujur sangkar, ukuran (scale) kotak mengacu pada distribusi titik-titik posisi pengukuran plot transek di lapangan. Cara yang sama juga diterapkan oleh Kamal dan Phinn (2011) untuk memetakan spesies mangrove menggunakan citra hiperspektral.

Dokumen terkait