• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Penerapan penginderaan jauh dalam berbagai bidang telah dilakukan sejak beberapa dekade lalu, secara teoritis telah teruji dan ekonomis (Tang dan Li 2010). Kerr dan Ostrovsky (2003) menjelaskan dengan gamblang pemanfaatan penginderaan jauh dan hubungannya dengan data yang dikumpulkan di lapangan, hal tersebut membawa pendekatan baru dalam penelitian ekologi dan biologi. Mangrove merupakan salah satu ekosistem unik di wilayah pesisir. Kajian-kajian ekobiologi mangrove menggunakan data penginderaan jauh telah banyak dihasilkan. Referensi lebih detail mengenai hal tersebut bisa diacu pada Kuenzer et al. (2011) dan Heumann (2011b).

Jensen (2005) dan Gao (2010) menyatakan terdapat beberapa tahapan dalam klasifikasi terbimbing (supervised). Tahapan awal adalah mengembangkan skema klasifikasi. Skema klasifikasi sangat krusial dalam tahapan tersebut karena dapat mempengaruhi data diskrit yang dihasilkan. Skema klasifikasi yang baik menurut Prenzel dan Treitz (2005) adalah skema yang mampu menyediakan hasil klasifikasi yang standar dan dapat diulang. Mumby dan Harborne (1999) menegaskan, penggunaan skema klasifikasi yang tidak sistematik serta dokumentasi yang ambigu menciptakan masalah dalam interpretasi skema klasifikasi dan penggabungan beberapa peta mengingat sedikit atau tidak adanya standarisasi dalam terminologi yang digunakan.

Beragamnya tujuan penelitian pemetaan habitat di wilayah pesisir berdampak terhadap beragamnya skema dan kriteria digunakan untuk menentukan skema klasifikasi mangrove. Permasalahan yang hadir tidak hanya terjadi pada dua istilah yang identik tetapi kurang detailnya kuantitatif juga mengaburkan perbedaaan yang ada sehingga mengurangi kemungkinan bahwa objek akan dibedakan dengan benar. Selain itu tidak banyak tulisan secara spesifik yang membahas tentang skema klasifikasi mangrove. Penelitian ini bertujuan: (i) mengidentifikasi ragam dan jenis vegetasi mangrove di Sungai Kembung sehingga dapat diketahui komposisi vegetasi penyusun ekosistem (ii) mengembangkan skema klasifikasi komunitas mangrove yang dapat diterapkan pada berbagai tingkatan resolusi spasial citra satelit.

Metode Pengumpulan Data

Pengukuran data vegetasi mangrove Data vegetasi diperoleh melalui pengamatan lapangan yang dilakukan di setiap stasiun pengamatan (plot). Data yang diamati adalah strata pohon (mature), anakan (sapling) dan semai (seedling). Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pohon adalah semua tumbuhan berkayu dengan diameter batang setinggi dada (pada ketinggian 130 cm di atas permukaan tanah) ≥ 4 cm atau lingkar batang 12,5 cm (English et al. 1997). Setiap pohon di

20

dalam plot pengamatan diukur diameter batangnya dan kemudian diidentifikasi sampai pada tingkat spesies dengan mengacu pada buku panduan identifikasi vegetasi mangrove (Giesen et al. 2006; Noor et al. 2006).

Ketentuan pengukuran diameter batang dan perhitungan jumlah pohon adalah sebagai berikut: (i) Pengukuran dilakukan pada setinggi dada (130 cm di atas permukaan tanah), (ii) Pengukuran pohon yang memiliki akar lebih dari 130 cm dari permukaan tanah dilakukan 30 cm di atas akar, (iii) Pohon yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm maka pengukuran dilakukan setinggi 130 cm (pohon dianggap satu), apabila percabangan di bawah 130 cm dari permukaan tanah maka pengukuran dilakukan terhadap kedua cabang (pohon dianggap dua), (iv) Apabila setengah atau lebih dari garis menengah suatu pohon masuk ke dalam plot, maka pengukuran terhadap diameternya dilakukan, namun sebaliknya tidak dilakukan (Gambar 7).

Gambar 7 Teknis pengukuran diameter batang mangrove (Dahdouh-Guebas dan Koedam 2006)

Komposisi mangrove Komposisi spesies yang menyusun vegetasi pada area kajian dapat diketahui dari daftar spesies yang dicatat pada saat pengamatan lapangan. Identifikasi langsung dilakukan di lapangan. Pendokumentasian daun, bunga, kulit, buah, batang serta akar dilakukan jika nama spesies tumbuhan tidak diketahui. Proses yang dilakukan dalam kajian komposisi vegetasi adalah: menggunakan buku identifikasi mangrove (Giesen et al. 2006; Noor et al. 2006) untuk mengetahui karakteristik bentuk batang, daun, bunga dan buah.

Kelimpahan spesies penyusun mangrove Perhitungan kelimpahan spesies di lokasi penelitian berdasarkan kepentingan relatif dari spesies-spesies yang menyusun vegetasi, melalui perhitungan diameter pohon, basal area, kerapatan mutlak, kerapatan relatif, frekuensi mutlak, frekuensi relatif, dominansi mutlak, dominansi relatif serta indeks nilai penting (INP).

Pengolahan Data

Pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove Aspek penting dari skema klasifikasi adalah pendekatan kuantitas parameter ekologi untuk mendefinisikan kelas komunitas mangrove. Variabel kuantitas parameter ekologi yang digunakan adalah nilai INP. Namun tidak seluruh spesies pembangun komunitas mangrove dapat diikutsertakan dalam pengelompokan data, mengingat keterbatasan kehadiran (frekuensi) spesies mangrove pada seluruh plot transek. Spesies mangrove yang memiliki persentase kehadiran kurang dari 4% dieliminir keberadaannya sebagai penyusun komunitas mangrove (Green et al. 2000). Selanjutnya spesies-spesies mangrove tersebut dikelompokkan menggunakan analisis gerombol (cluster analysis). Kemiripan/ketidakmiripan penyusun komunitas diukur menggunakan koefisien Bray-Curtis, koefisien tersebut telah

21

terbukti menjadi ukuran yang memadai dalam penentuan jarak ekologi (Faith et al. 1987). Persamaan Bray-Curtis dinyatakan sebagai berikut:

� = [∑�= |� −� |

∑� (� +� )

= ] (11)

xij adalah kelimpahan spesies ke-i pada sample ke-j dan p adalah spesies keseluruhan.

Penentuan kelas komunitas mangrove ditetapkan dari jarak kemiripan dengan nilai kemiripan 0.5. Dendogram jarak koefisien Bray-Curtis dibangun menggunakan metode average group (Mumby dan Harborne 1999; Green et al. 2000). Karakteristik komunitas mangrove ditentukan oleh persentase kontribusi komponen penyusunnya menggunakan analisis persentase kemiripan (Similarity Percentage/SIMPER) (Clarke 1993). SIMPER dianalisi menggunakan aplikasi PRIMER 6.0. SIMPER menghitung nilai rata-rata ketidakmiripan Bray-Curtis antara pasangan kelompok dalam sampel. Rata-rata ketidakmiripan antara sampel pada dua klaster dapat dinyatakan sebagai rata-rata kontribusi dari setiap variabel penyusunnya. Sebuah variabel penciri memiliki kontribusi besar dalam membedakan komunitas. Pemberian nama kelas komunitas mengacu pada penamaan komunitas berdasarkan karakteritik ekologi, atau dapat juga menggabungkan nama spesies yang memiliki persentase komposisi terbesar pada komunitas tersebut (Green et al. 2000; Phinn et al. 2012).

Hasil dan Pembahasan Struktur Komunitas

Komunitas mangrove Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies mangrove ikutan. Penelitian ini hanya mengamati enam kelompok dari tujuh pengelompokan lifeform oleh Giesen et al. (2006) yaitu: (i) pakis/ferns (14 jenis), (ii) epifit/epiphyetes (4 spesies), (iii) pemanjat/climbers (7 spesies), (iv) herba tanah/other ground herbs sebanyak (2 spesies), (v) palma tumbuhan seperti palma/palm and palm-like plants (6 spesies), (vi) pohon dan dan semak/trees and shrubs (36 spesies). Khusus mangrove sejati Sungai Kembung terdiri dari 11 famili yaitu Avicenniaceae (2 spesies), Combretaceae (2 spesies), Euphorbiceae (1 spesies), Lythraceae (3 spesies), Meliaceae (2 spesies), Myristicaceae (1 spesies), Arecaceae (1 spesies), Pteridaceae (2 spesies), Rhizophoraceae (6 spesies), Rubiceae (1 spesies) dan Sterculiaceae (1 spesies). Empat dari sebelas famili tersebut merupakan komponen utama penyusun mangrove yaitu Combretaceae, Arecaceae, Rhizophoraceae dan Lythraceae sedangkan yang lain merupakan komponen minor (Tomlinson 1986).

Penelitian ini lebih mengayakan informasi keanekaragaman hayati vegetasi mangrove di Sungai Kembung. Kartaharja (2010) melaporkan 20 spesies mangrove sejati dan 12 mangrove ikutan di lokasi penelitian. Keanekaragaman hayati vegetasi mangrove di Sungai Kembung lebih banyak jika dibandingkan dengan laporan Nursal et al. (2005) yang mengamati mangrove di pesisir Tanjungsekodi, Pulau Bengkalis, yaitu hanya 5 spesies mangrove sejati, Prianto et al. (2006) mengamati struktur komunitas mangrove dewasa di sepanjang garis pantai Kota Dumai,

22

menyatakan bahwa jumlah mangrove sejati yang dijumpai sebanyak 17 spesies dan 18 spesies mangrove ikutan.

Beberapa spesies mangrove di lokasi penelitian merupakan spesies endemik Asia Tenggara, yaitu A. lanata, O. tigillarium, I. cymosa, P. coronarium, D. aloefolium. Dua spesies yang secara lokal umum dijumpai tapi langka dalam skala global, yaitu S. hydrophyllacea dan S. ovata (Giesen et al. 2006). Berdasarkan daftar merah spesies terancam International Union for Conservation of Nature (IUCN), empat spesies belum termasuk ke dalam daftar tersebut yaitu, B. gymnorrhiza, B. hasselsi. C. tagal dan S. hydrophyllaceae. Satu spesies masuk ke dalam kategori rentan (vulnerable B1+2c) yaitu A. lanata, satu spesies dalam status hampir terancam (near threatened) yaitu S. ovata, dan sisanya berada pada kategori sedikit perhatian (least concerns).

Jenis X. granamun, R. apiculata, L. racemosa dan S. hidrophyllaceae merupakan komunitas dominan dan selalu dijumpai di lokasi studi dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya pada semua strata. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya nilai penting baik strata dewasa, anakan maupun semai (Tabel 8)

Tabel 8 Nilai penting (%) berdasarkan strata mangrove

No Nama Botani Strata Mangrove

Dewasa Anakan Semai

1 Aegiceras corniculatum 0.3 2.8 1.4 2 Avicennia alba 0.4 - - 3 Avicennia lanata 1.5 - - 4 Bruguiera cylindrica 6.3 2.9 4.9 5 Bruguiera gymnorhiza 6.0 5.6 2.0 6 Bruguiera hainesii 9.0 8.8 3.9 7 Ceriops tagal 6.2 9.4 7.8 8 Excoecaria agallocha 7.1 7.9 3.3 9 Heritiera littoralis 0.9 - - 10 Lumnitzera littorea - - 12.3 11 Lumnitzera racemosa 11.9 2.2 3.7 12 Nypa fruticans 2.6 - 1.0 13 Rhizophora apiculata 55.6 41.2 7.8 14 Rhizophora mucronata 7.1 6.9 2.3 15 Scyphiphora hidrophyllacea 10.8 25.2 6.9 16 Sonneratia alba 1.7 - - 17 Sonneratia ovata 1.2 0.7 - 18 Xylocarpus granatum 161.8 84.6 135.9

Tingginya nilai INP X. granatum diindikasikan oleh kemampuannya melakukan perkembangbiakan secara vegetatif, dibuktikan dengan dijumpainya tunas-tunas muda pada batang bekas tebangan. Pada pengamatan lapangan dijumpai dua spesies yang mampu melakukan hal tersebut yaitu X. granatum dan S.ovata (Gambar 8) sedangkan jenis lainnya yang menjadi komoditas kayu, seperti famili Rhizophoracea dan Combretaceae tidak ditemukan tunas yang tumbuh, umumnya batang yang telah ditebang akan mengalami pembusukan dan akhirnya mati.

23

Gambar 8 X. granatum memiliki kemampuan perkembangbiakan vegetatif. Tunas muda dapat tumbuh setelah mengalami gangguan berupa pemotongan pada batang. b dan c tunas yang tumbuh menjadi ukuran dewasa dan anakan, d. hal yang sama juga terjadi pada jenis S. ovata

Kerapatan mangrove strata semai dan anakan di Sungai Kembung adalah sangat melimpah (semai > 7000 ind/ha dan anakan > 2000 ind/ha) dan strata pohon berada pada angka >2000 ind/ha (Tabel 9). Berdasarkan kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, mangrove Sungai Kembung dikategorikan sebagai kawasan mangrove yang baik dan sangat padat.

24

Tabel 9 Kerapatan (ind/ha) strata vegetasi mangrove

No Nama Botani Strata Mangrove

Dewasa Anakan Semai

1 Aegiceras corniculatum 0.6 22.9 47.8 2 Avicennia alba 5.1 - - 3 Avicennia lanata 14.0 - - 4 Bruguiera cylindrica 73.2 25.5 127.4 5 Bruguiera gymnorhiza 33.8 30.6 95.5 6 Bruguiera hainesii 65.0 89.2 111.5 7 Ceriops tagal 28.7 61.1 222.9 8 Excoecaria agallocha 69.4 68.8 63.7 9 Heritiera littoralis 4.5 - - 10 Lumnitzera littorea - - 525.5 11 Lumnitzera racemosa 120.4 22.9 95.5 12 Nypa fruticans 34.4 15.9 13 Rhizophora apiculata 622.9 438.2 222.9 14 Rhizophora mucronata 75.8 61.1 47.8 15 Scyphiphora hidrophyllacea 96.8 389.8 222.9 16 Sonneratia alba 11.5 - - 17 Sonneratia ovata 7.0 2.5 - 18 Xylocarpus granatum 1,114.0 1,019.1 6,019.1 Kerapatan 2,377.1 2,231.8 7,818.5

Skema Komunitas Mangrove

Hasil inventaris lapangan terhadap jenis pohon dan semak, dijumpai sebanyak 32 spesies, 15 di antaranya merupakan mangrove ikutan dan 17 spesies merupakan mangrove sejati, 6 spesies pohon hanya teridentifikasi nama lokal dan satu spesies tidak teridentifikasi (Tabel 10).

Spesies-spesies mangrove ikutan memiliki tingkat kehadiran rendah karena terbatasnya jumlah plot transek yang ditempatkan di daerah transisi. O. tigillarium dan Setuak merupakan spesies pohon mangrove ikutan yang sering dijumpai di daerah transisi dengan tingkat kehadiran 4 plot. X. granatum merupakan spesies yang memiliki kehadiran tertinggi, sebanyak 117 plot diikuti oleh R. apiculata (93 plot) dan S. hidrophyllacea (29 plot). Berdasarkan perhitungan tingkat kehadiran, spesies mangrove yang layak digunakan dalam analisis gerombol hanya 10 spesies yaitu: B. cylindrical, E. agallocha, R. mucronata, B. gymnorhiza, C. tagal, B. hainesii, L. racemosa, S. hidrophyllacea, R. apiculata, dan X. granatum. Spesies- spesies tersebut memiliki memiliki tingkat kehadiran >4% (8.9% - 74.5%), sedangkan spesies lainnya memiliki kehadiran kurang dari 4%. Proses eliminasi spesies mangrove tersebut menyebabkan tiga plot transek tidak dapat digunakan, karena tidak dijumpai spesies mangrove penyusun komunitas pada plot tersebut.

25

Tabel 10 Nama spesies, kategori mangrove dan jumlah kehadiran spesies dari seluruh plot transek

No Nama Spesies Kode Kategori Jumlah Kehadiran

1 Ardisia elliptica Ae Ikutan 2

2 Buah Gurah Bg Ikutan 1

3 Cimpo Co Ikutan 2

4 Dendan Laut Dl Ikutan 1

5 Fiscus sp Fs Ikutan 2

6 Flocourtia rukam Fr Ikutan 4

7 Hibiscus tilaceus Ht Ikutan 2

8 Ilex cymosa Ic Ikutan 2

9 Kelat Putih Kp Ikutan 2

10 Oncosperma tigillarium Ot Ikutan 4

11 Pokok Miang Pm Ikutan 1

12 Pouteria obovata Po Ikutan 2

13 Setuak Sak Ikutan 4

14 Terminalia catappa Tc Ikutan 1

15 X XX Ikutan 1

16 Aegiceras corniculatum Ac Sejati 1

17 Avicennia alba Aa Sejati 1

18 Avicennia lanata Al Sejati 4

19 Bruguiera cylindrical Bc Sejati 14

20 Bruguiera gymnorhiza Bg Sejati 20

21 Bruguiera hainesii Bh Sejati 27

22 Ceriops tagal Ct Sejati 22

23 Excoecaria agallocha Ea Sejati 17

24 Heritiera littoralis Hl Sejati 3

25 Lumnitzera racemosa Lr Sejati 27

26 Nypa fruticans Nf Sejati 3

27 Rhizophora apiculata Ra Sejati 93

28 Rhizophora mucronata Rm Sejati 17

29 Scyphiphora hidrophyllacea Sh Sejati 29

30 Sonneratia alba Sa Sejati 5

31 Sonneratia ovate So Sejati 4

32 Xylocarpus granatum Xg Sejati 117

Komposisi INP menujukkan bahwa jumlah spesies penyusun komunitas mangrove di Sungai Kembung terdiri dari 1-6 spesies pohon mangrove (Gambar 9). Umumnya plot transek terdiri dari dua spesies (52 plot), kemudian diikuti oleh komposisi 3 spesies pohon (41 plot) dan konsosiasi atau tegakan tunggal (33 plot). Komposisi tunggal dapat diartikan: i) konsosiasi dengan nilai INP = 300 terdiri dari 25 plot transek, yaitu jenis L. racemosa (2 plot), R. apiculata (13 plot), dan X. granatum (10 plot), sementara 8 plot lainnya memiliki nilai INP kurang dari 300 (8 plot), hal tersebut terjadi akibat proses eliminasi sebelumnya.

26

Gambar 9 Jumlah komposisi jenis pohon mangrove terhadap jumlah plot transek Ilustrasi skema komunitas mangrove di Sungai Kembung disajikan melalui dendogram (Gambar 10). Dendogram adalah diagram pohon yang digunakan untuk menggambarkan susunan klaster dan dihasilkan oleh gerombol hirarki. Sebuah rincian hirarki berdasarkan dendogram suatu komunitas berguna untuk mendefinisikan tingkatan deskriptif yang berbeda. Jarak Bray-Curtis yang digunakan adalah 50%, artinya setiap komunitas mangrove yang dibangun memiliki kemiripan komponen penyusun minimal 50%. Jarak kemiripan yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan Mumby dan Harborne (1999) dan Green et al. (2000) yang menggunakan nilai jarak kemiripan sebesar 60% – 65% dalam mengembangkan habitat lamun, terumbu karang dan mangrove. Green et al. (2000) menambahkan bahwa tidak ada metode pengelompokkan yang sempurna, mengingat ragam metode analisis gerombol cukup banyak dan lokasi pengamatan bervariasi dan keputusan yang dibuat terkadang subjektif terhadap pengelompokkan lokasi pengamatan.

Gambar 10 Dendogram skema komunitas mangrove. Angka pada dendogram menunjukan kelas komunitas mangrove

27

Kemiripan 50% hanya mampu memfasilitasi satu tingkatan skema komunitas mangrove dengan 12 kelas komunitas mangrove. Kelas dengan jumlah anggota terbanyak adalah kelas 1 dan diikuti oleh kelas 2. Empat kelas memiliki satu anggota (kelas 6, 7, 10 dan 11), sedangkan kelas lainnya memiliki jumlah anggota lebih dari dua dan kurang dari tujuh anggota (Gambar 11).

Gambar 11 Jumlah anggota kelas komunitas mangrove. Angka di atas diagram batang merupakan jumlah anggota

Pendefenisian Komunitas Mangrove

Penelitian ini menggunakan parameter ekologi yaitu indeks nilai penting (INP) dalam membangun komunitas mangrove. Sementara itu peneliti lain menerapkan beberapa data struktur vegetasi berupa: tinggi dan kondisi (Kovacs et al. 2011; Kamal et al. 2014), tinggi dan jenis mangrove (Pellegrini et al. 2009), skema kerapatan (Nayak dan Bahuguna 2001). Penggunaan parameter ekologi dalam pengembangan skema klasifikasi diistilahkan dengan skema struktur. Skema ini menggunakan atribut struktural yang mencirikan jumlah jaringan fotosintesis dan biomasa. Klasifikasi struktural akan lebih mudah digabungkan dengan interpretasi foto udara dan berbagai macam sensor penginderaan jauh (Saenger 2002). Umumnya atribut yang digunakan diperoleh dari hasil pengukuran transek (transek plot dan plotless), pengukuran dilakukan terhadap diameter batang setinggi dada (DBH), tinggi pohon, basal area, kondisi pohon (hidup atau mati) dan informasi lainnya yang dihasilkan dari pengumpulan data lapangan seperti rata-rata ketinggian, rata-rata DBH, kerapatan serta dominansi.

Tidak dijumpai standarisasi penamaan kelas komunitas mangrove yang baku dan hal tersebut memberikan peluang bagi para peneliti mengadaptasikan penamaan sesuai dengan kondisi lapangan. Beberapa penamaan yang telah digunakan sebelumnya: menggunakan nama spesies dominan yang dijumpai dari hasil pengamatan lapangan (Lucas et al. 2003; Vaiphasa et al. 2006; Ajithkumar et al. 2008; Neukermans et al. 2008; Chakravortty dan Choudhury 2012; Koedsin dan Vaiphasa 2013) atau penggunaan nama umum (common name) khususnya di

28

daerah Panama, Ekuador (Wang et al. 2004b; Wang dan Sousa 2009; Heumann 2011a) mencantumkan nama ilmiah, seperti: red mangrove (Rhizophora mangle), black mangrove (Avicennia germinan) dan white mangrove (Luguncularia racemosa), penamaan kelas di Malaysia memberikan nama kelas berdasarkan nama lokal seperti: bakau kurap (Rhizophora apiculata), bakau minyak (Rhizophora mucronata) dan kelas lainnya (Kanniah et al. 2007). Penamaan kelas juga menggabungkan satu atau lebih nama genus mangrove (Kasawani et al. 2010), seperti Acanthus-Sonneratia, Avicennia-Sonneratia, Avicennia, Sonneratia campuran dan campuran. Penamaan kelas komunitas mangrove dalam penelitian mengunakan nama spesies yang berkontribusi besar dalam penyusun komunitas mangrove.

Kelas skema klasifikasi yang dapat diterapkan pada cita satelit adalah kelas yang memiliki jumlah anggota kelas minimal 4% dari total jumlah sampel. Hanya 2 kelas saja yang mampu memenuhi jumlah minimal tersebut, yaitu kelas 1 (33 anggota) dan 2 (93 anggota). Kelas 3 (6 anggota) memiliki anggota lebih dari 4% namun jumlah tersebut tidak layak diterapkan seluruhnya pengelompokan citra satelit. Jika hanya 2 kelas yang digunakan, 28 anggota tersisa dan tidak dapat digunakan, maka kelas-kelas tersebut digabungkan menjadi satu kelas tersendiri, meskipun konsekuensi nilai kemiripan anggota kelas lebih rendah. Pada akhirnya terdapat 3 kelas komunitas mangrove di Sungai Kembung, kelas 1 adalah komunitas Rhizopora apiculata (Ra), kelas 2 adalah komunitas Xylocarpus granatum (Xg) dan kelas 3 adalah komunitas lainnya (La) (Gambar 12).

Kelas komunitas 1 (Ra) dibangun oleh enam spesies mangrove yaitu R. apiculata, X. granatum, L. racemosa, S. hidrophyllacea, B. haenesii, B gymnorhiza. R. apiculata memiliki kontribusi paling besar (97.81%) dalam membangun komunitas, dan sisanya merupakan kontribusi komponen lainnya. Kemiripan plot penyusun komunitas ini adalah 72.28%. Kelas 2 (Xg), dibangun oleh seluruh spesies komunitas. X. granatum merupakan kontributor terbesar dalam membangun komunitas ini (89.11%) dan sisanya merupakan kontribusi dari 9 spesies lainnya. Kemiripan plot penyusun kelas ini lebih rendah dibandingkan kelas 1, yaitu 68.93%. Kelas 3 (La) dibangun oleh hampir seluruh spesies mangrove kecuali B. gymnorhiza. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh keberadaan L. racemosa (36.57%), X. granatum (25.68%), B. haenesii (11.68%) dan sisanya dibangun oleh spesies lainnya. Kemiripan antar plot penyusun paling rendah yaitu 20.60%, karena komunitas ini dibangun dari gabungan 10 kelas komunitas mangrove. Keberadaan spesies-spesies yang memiliki kontribusi terbesar dalam setiap komunitas yang dibangun dapat menjadi penciri pada komunitas tersebut.

Secara deskriptif skema klasifikasi hirarki mampu memfasilitasi penerapan penginderaan jauh, namun keterbatasan data penginderaan jauh mempengaruhi penyerapan skema tersebut (Mumby dan Harborne 1999). Beberapa keterbatasan itu di antaranya: i) Kemampuan resolusi spektral yang terbatas, umumnya kemampuan resolusi data multispektral terbatas pada panjang gelombang biru, hijau, merah dan inframerah dekat. Meskipun beberapa sensor telah memiliki lebih dari itu (Landsat 8 OLI dan WorldView-2). Mumby dan Harborne (1999) menyatakan data multispektral memiliki kemampuan memisahkan habitat dengan baik pada tingkatan kasar, ii) Biaya yang mahal dalam penggunaan data dengan resolusi (spektral, spasial dan temporal) yang lebih baik, untuk memetakan habitat yang lebih detail. Skema klasifikasi yang dijelaskan dalam tulisan ini, diyakini telah

29

mewakili semua komunitas mangrove di Sungai Kembung, Pulau Bengkalis. Namun skema ini tidak dapat diterapkan pada kawasan lainnya, mengingat komunitas mangrove dipengaruhi banyak faktor seperti yang dijelaskan dengan rinci oleh Kathiresan dan Bingham (2001); Saenger (2002); dan Tomlinson (1986).

Gambar 12 Persentase kontribusi spesies mangrove dalam menyusun kelas komunitas mangrove. Angka pada sumbu X merupakan urutan kelas. Bc= Bruguiera cylindrical, Bg= Bruguiera gymnorhiza, Bh= Bruguiera hainesii, Ct= Ceriops tagal, Ea= Excoecaria agallocha, Lr= Lumnitzera racemosa, Ra= Rhizophora apiculata, Rm= Rhizophora mucronata, Sh= Scyphiphora hidrophyllacea, Xg=Xylocarpus granatum

Simpulan

Komunitas mangrove Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies mangrove ikutan. Xylocapus granatum dan Rhizophora apiculata merupakan spesies penting penyusun komunitas mangrove. Mangrove di Sungai Kembung dikategorikan sebagai kawasan mangrove yang baik dan sangat padat.

Berdasarkan hirarki, hanya satu tingkatan skema klasifikasi komunitas mangrove yang dapat dikembangkan. Skema tersebut terdiri dari 12 kelas komunitas dan hanya tiga kelas dominan yang dapat diterapkan pada pemetaan komunitas mangrove, yaitu: (1) komunitas Rhizophora apiculata (Ra), 33 sampel (2) komunitas Xylocarpus granatum (Xg), 93 sampel dan (3) komunitas Lainnya (La), 28 sampel.

30

4 PERBANDINGAN KLASIFIKASI BERBASIS OBJEK DAN

Dokumen terkait