• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN Dimensi pohon sentang

Pertambahan tinggi pohon, diameter batang dan diameter tajuk sentang pada plot agroforestri lebih besar dibandingkan pada plot monokultur (Tabel 2), hal ini diduga karena pemeliharaan yang diberikan pada tanaman kedelai memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan sentang. Hasil yang sama didapatkan pada hasil penelitian Wibowo (2012) yaitu pemeliharaan pada tanaman semusim seperti pemupukan, penggemburan dan penyiangan gulma secara tidak langsung berdampak pada tanaman kehutanan pada pola agroforestri. Sentang mendapatkan serapan unsur hara yang lebih baik karena pupuk yang diberikan untuk tanaman kedelai juga diserap oleh sentang untuk proses pertumbuhannya. Pengolahan tanah membuat tanah menjadi gembur sehingga akar sentang dapat berkembang dengan baik dan mampu menyerap air dan unsur hara yang lebih tinggi. Penyiangan gulma pada lahan agroforestri juga berdampak positif bagi sentang karena akan mengurangi adanya kompetisi antara tanaman sentang dan gulma.

Perbedaan pertumbuhan tanaman pada masing-masing pola tanam agroforestri juga dipengaruhi oleh adanya interaksi antar komponen tanaman. Interaksi yang positif pada pola agroforestri akan menghasilkan peningkatan produksi dari semua komponen tanaman yang ada pada pola tersebut dan sebaliknya (Hairiah et al. 2002).

Luas tajuk pohon akan bertambah seiring bertambahnya diameter dan tinggi pohon. Tajuk pohon yang rapat akan menyebabkan cahaya yang masuk ke permukaan lahan semakin sedikit. Intensitas cahaya yang rendah tersebut akan merugikan tanaman bawahnya tetapi juga menguntungkan untuk menjaga kelembaban sehingga ketersediaan air akan tercukupi.

Tajuk pohon yang luas akan meningkatkan proses fotosintesis yang terjadi pada pohon yang bersangkutan sehingga pertumbuhannya juga semakin cepat. Proses fotosintesis akan berpengaruh terhadap pertumbuhan daerah perakaran dan bagian pohon yang lainnya. Tajuk melalui proses fotosintesis menyediakan karbohidrat untuk akar, sedangkan akar menyerap air dan hara dari dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan tajuk (Wijayanto & Araujo 2011).

Akar merupakan bagian terpenting dari pohon untuk dapat mempertahankan hidupnya. Akar memiliki tugas untuk memperkuat berdirinya tumbuhan, menyerap Tabel 12 Perbandingan hasil kedelai per ha

Produktivitas (ton/ha)

Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis

Agroforestri 1.15 1.86 1.47 2.12

Monokultur 1 1.84 1.79 1.96

air dan unsur-unsur hara yang terlarut dari dalam tanah, serta sebagai tempat untuk menimbun makanan.

Pada sistem agroforestri pengaturan sifat-sifat perakaran sangat perlu untuk menghindari persaingan unsur hara dan air yang berasal dari dalam tanah. Sistem perakaran yang dalam ditumpangsarikan dengan tanaman yang berakar dangkal. Tanaman monokotil pada umumnya mempunyai sistem perakaran yang dangkal, sedangkan tanaman dikotil umumnya mempunyai sistem perakaran yang dalam, karena memiliki akar tunggang. Akar yang diukur pada penelitian ini merupakan akar lateral. Akar lateral adalah cabang-cabang akar yang dihasilkan oleh akar utama dan masih dapat bercabang lagi.

Intensitas cahaya yang sangat tinggi lebih baik bagi pertumbuhan perakaran daripada pertumbuhan pucuk. Intensitas yang seperti ini menyebabkan transpirasi yang berlebihan pada tumbuhan, yang mengakibatkan batang-batang menjadi pendek, daun-daun yang tebal menjadi kecil, bertambah banyaknya jaringan-jaringan pengangkut air, dan menurunnya pertumbuhan. Kedalaman perakaran sangat berpengaruh pada banyaknya unsur hara dan air yang diserap, makin panjang dan dalam akar menembus tanah, makin banyak unsur hara dan air yang dapat diserap bila dibandingkan dengan perakaran yang pendek dan dangkal dalam waktu yang sama. Kedalaman akar berkurang dengan bertambahnya kandungan unsur hara dan air pada permukaan tanah (Sopandie 2014). Menurut Sitompul dan Guritno (1995) perakaran yang dalam berhubungan dengan aktivitas akar menemukan unsur hara dan air. Arah pergerakan akar mengikuti letak unsur hara dan air di dalam tanah. Jumlah unsur hara dan air yang dapat diserap tanaman tergantung pada kesempatan untuk mendapatkan unsur hara dan air tersebut di dalam tanah.

Perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata pertambahan kedalaman akar, namun tidak berbeda nyata pada rata-rata pertambahan panjang dan diameter akar. Rata-rata pertambahan panjang, kedalaman dan diameter akar lateral pada plot monokultur lebih tinggi dibandingkan pada plot agroforestri (Tabel 2), hal ini diduga karena kandungan unsur hara dan air tanah pada pola tanam agroforestri lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur. Perlakuan pemupukan dan penyiraman yang dilakukan pada kedelai menyebabkan bertambahanya kandungan unsur hara dan air tanah pada permukaan tanah di lahan agroforestri yang dapat dimanfaatkan oleh akar sentang dalam memenuhi kebutuhan unsur hara dan air pada proses pertumbuhannya. Penambahan unsur hara dan air tersebut menyebabkan akar tidak perlu memperdalam perakarannya, dikarenakan ketersediaan unsur hara dan air pada jangkauan akar yang lebih dangkal.

Respon Fisiologi Kedelai

Klorofil (a dan b) dihasilkan di dalam kloroplas pada jaringan daun. Klorofil a berfungsi meneruskan cahaya ke pusat reaksi yang merubah energi cahaya menjadi energi kimia. Klorofil b berfungsi sebagai pemanen cahaya dan meneruskan energi ke karotenoid ke klorofil a (Salisbury & Ross 1995). Reaksi cahaya dalam fotosintesis merupakan proses penyerapan foton energi radiasi oleh molekul-molekul pigmen pemanen cahaya. Klorofil merupakan komponen kloroplas yang utama dan kandungan klorofil relatif berkorelasi positif dengan laju fotosintesis (La Muhuriah

et al. 2006). Klorofil disintesis di daun dan berperan untuk menangkap cahaya matahari yang jumlahnya berbeda untuk tiap spesies. Sintesis klorofil dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti cahaya, gula atau karbohidrat, air, temperatur, faktor

genetik, unsur-unsur hara seperti N, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, S dan O (Hendriyani & Setiari 2009).

Tanaman kedelai merupakan tanaman yang memerlukan cahaya penuh (La Muhuriah et al. 2006), sehingga adanya intesitas cahaya rendah menyebabkan tanaman mengalami cekaman intensitas cahaya rendah. Adaptasi tanaman terhadap cekaman cahaya dicapai melalui mekanisme penghindaran dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran dengan menurunkan titik kompensasi cahaya (La Muhuriah et al. 2006). Metode adaptasi tanaman sebagai bentuk respon terhadap cekaman naungan, bervariasi dari beberapa galur/varietas tanaman. Respon tanaman kedelai secara morfologi dapat berupa peningkatan luas daun, ketebalan daun, dan peningkatan jumlah stomata, serta secara fisiologis terjadinya penurunan rasio klorofil a/b (Nyngtyas 2006).

Berdasarkan Tabel 3, kandungan klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan monokultur dibandingkan dengan perlakuan agroforestri, begitu juga dengan rasio klorofil a/b terlihat bahwa rasio klorofil a/b pada perlakuan agroforestri lebih rendah dengan perlakuan monokultur, namun perbedaanya tidak terlalu besar dikarenakan penutupan tajuk pada tanaman sentang belum terlalu rapat. Berdasarkan Gambar 7 Varietas Wilis memiliki kandungan klorofil tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Penurunan rasio klorofil a/b disebabkan oleh peningkatan klorofil b yang lebih tinggi dibandingan dengan klorofil a, hal ini menunjukkan bahwa klorofil b merupakan pigmen pemanen cahaya yang lebih utama dan sekitar 50% energi cahaya ditransfer ke pusat reaksi melalui klorofil b (Croce et al. 2001). Daun yang terbentuk pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukan peningkatan jumlah klorofil dan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas empat sampai lima kali lebih banyak dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih rendah dibandingkan pada tanaman cahaya penuh karena memiliki kompleks pemanenan cahaya yang meningkat sehingga mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya untuk fotosintesis (Djukri & Purwoko 2003). Peningkatan efisiensi cahaya dilakukan tanaman dengan meningkatkan luas bidang tangkapan yang menyebabkan daun lebih tipis, dan meningkatkan jumlah klorofil, serta menurunkan rasio klorofil a/b (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003; Handayani 2003).

Berdasarkan Tabel 4, perlakuan pola tanam monokultur memiliki serapan hara N, P dan K tertinggi dibandingkan dengan perlakuan agroforestri, namun perbedaannya tidak terlalu besar. Berdasarkan Gambar 8, Varietas Wilis memiliki nilai serapan hara NPK yang tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, hal ini diduga karena adanya perbedaan perolehan cahaya matahari pada perlakuan agroforestri dan monokultur.

Cahaya matahari mempengaruhi laju traspirasi secara tidak langsung, yaitu melalui pembukaan stomata dan mengatur suhu udara. Suhu udara yang tinggi, akibat intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan penguapan air dari permukaan sel tanaman semakin tinggi. Translokasi air dan serapan N, P dan K berjalan semakin cepat. Hal tersebut berarti cahaya matahari berfungsi sebagai sumber energi bagi serapan hara N, P dan K oleh akar tanaman kedelai.

Pengurangan intensitas cahaya matahari akibat pemberian naungan menyebabkan serapan hara N, P dan K serta pembentukan bobot kering tanaman dan biji semakin rendah (Syahbuddin at al. 1998). Cahaya sangat berperan dalam menyerapan unsur hara tanaman. Penyediaan, mobilisasi dan serapan hara tanaman sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, suhu udara dan suhu tanah

(Sopandie 2014). Berkurangnya serapan hara akan mengurangi tingkat alokasi bahan kering. Tingkat alokasi bahan kering selama pertumbuhan sangat menentukan besarnya tingkat produksi yang dihasilkan. Bobot kering akar menunjukkan kemampuan serapan hara tanaman. Berat kering tanaman erat hubungannya dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan dalam menyerap hara untuk pertumbuhan dan perkembangan bagian vegetatif.

Pertumbuhan Kedelai

Pemberian perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman (Tabel 5). Tinggi tanaman perlakuan pola tanam agroforestri lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam monokultur (Tabel 6). Hal tersebut diduga karena adanya perbedaan penerimaan intensitas cahaya yang diterima pada setiap plot perlakuan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Agusta dan Santosa (2005) yang menyatakan bahwa kondisi ternaungi membuat tanaman kedelai tumbuh lebih memanjang dibandingkan dengan pada keadaan terbuka. Tanaman yang ternaungi umumnya akan beradaptasi dengan meningkatkan tinggi tanaman. Peningkatan tinggi tanaman merupakan salah satu bentuk mekanisme tanaman agar dapat menangkap cahaya dalam jumlah banyak. Hal ini berhubungan dengan aktivitas hormon auksin dalam tumbuhan. Auksin merupakan hormon yang menyebabkan semakin tingginya tanaman kedelai dengan meningkatnya taraf naungan yang diberikan pada pertanamannya (Gardner et al. 1991). Sopandie et al.

(2006) menambahkan bahwa etiolasi merupakan salah satu mekanisme yang dibangun tanaman agar dapat menangkap cahaya lebih banyak, namun peningkatan tanaman yang berlebihan memiliki dampak negatif, yaitu tanaman menjadi mudah rebah dan rentan terhadap penyakit.

Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman 2–4 MST dan 7 MST (Tabel 5). Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada umur 2–4 MST Varietas Grobogan memberikan hasil tinggi tanaman yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, sedangkan pada umur tanaman 7 MST Varietas Anjasmoro memberikan hasil tinggi tanaman yang tertinggi. Nilai tinggi tanaman 7 MST Varietas Anjasmoro ini berbeda nyata bila dibandingkan dengan nilai tinggi tanaman 2 MST sampai panen Varietas Grobongan, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Tanggamus dan Wilis. Umur 7 MST, tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 55.32 cm, 70.46 cm, 70.24 cm dan 70.30 cm, sedangkan berdasarkan deskripsi tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 50–60 cm, 64–68 cm, 67 cm dan ± 50 cm (Balitkabi 2012). Hasil yang diperoleh sesuai kisaran dari deskripsi bahkan untuk Varietas Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis, hasil yang didapatkan lebih tinggi dari deskripsi. Grobogan memiliki tinggi yang paling rendah, hal tersebut diduga bahwa Varietas Grobogan lebih cepat berbunga dibandingkan dengan varietas yang lainnya sehingga pertumbuhan tinggi tidak terjadi lagi.

Pemberian perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur berbunga tanaman (Tabel 5). Pola tanam monokultur menyebabkan tanaman kedelai berbunga lebih cepat dibandingkan dengan kedelai pada pola tanam agroforestri. Hal tersebut diduga karena adanya perbedaan penerimaan cahaya matahari antara pola tanam monokultur dan agroforestri. Intensitas cahaya matahari pada pola monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan pola agroforestri. Perbedaan intensitas cahaya tersebut mengakibatkan umur berbunga yang berbeda pula. Diduga

intensitas cahaya pada pola tanam agroforestri tidak sesuai untuk induksi pembungaan sehingga munculnya bunga pada pola tanam agroforestri terjadi lebih lama.

Pembentukan bunga sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan lamanya penyinaran. Suhu tinggi, kelembaban rendah, dengan jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak maka merangsang pembentukan bunga (Adie & Krisnawati 2007). Tanaman kedelai yang ditanam pada kondisi cahaya rendah secara umum memiliki umur berbunga yang lebih cepat. Proses pembungaan dapat terbentuk karena adanya protein yang mudah larut (fitokrom). Intensitas cahaya yang tinggi mengubah pigmen menjadi bentuk yang mengawali induksi pembungaan (Karamoy 2009).

Tiap varietas memiliki umur berbunga yang berbeda (Tabel 7). Umur berbunga yang paling pendek sampai yang paling lama secara berturut turut yaitu Grobogan (30.00 HST), Anjasmoro (37.33 HST), Tanggamus (37.50 HST), Wilis (37.67 HST), sedangkan berdasarkan deskripsi umur berbunga Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 30–32 HST, 35.7–

39.4 HST, 35 HST dan ± 39 HST (Balitkabi 2012). Hasil dari umur berbunga penelitian ini sesuai kisaran dari deskripsi.

Nilai bobot basah dan kering pucuk kedelai pada pola tanam monokultur memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam agroforestri. Hasil ini diikuti dengan peningkatan hasil kedelai. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh lingkungan seperti perbedaan penerimaan cahaya pada masing-masing pola tanam. Hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan bobot kering baik pucuk maupun akar pada masing-masing pola tanam. Cahaya merupakan sumber energi penting untuk fotosintesis dan sebagai kontrol dalam berbagai proses fisiologi tanaman. Tanaman kedelai pada pola tanam monokultur mendapat intensitas cahaya tertinggi sehingga proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik. Hasil fotosintesis maksimal dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga bobot kering akan tinggi. Hasan (1985) menyatakan bahwa pertambahan bobot kering merupakan akumulasi dari fotosintat yang berakibat lansung terhadap pembesaran dan diferensiasi sel yang dinyatakan dalam pertumbuhan tinggi, perubahan ukuran, struktur daun serta batang tanaman.

Nilai bobot basah dan kering akar kedelai pada pola tanam monokultur memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam agroforestri (Tabel 6). Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh lingkungan seperti perbedaan penerimaan cahaya pada masing-masing pola tanam. Besarnya rata-rata radiasi matahari pada pola tanam monokultur yaitu 454.50 lux lebih tinggi dari pola tanam agroforestri yaitu 347. 59 lux, hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan bobot kering baik pucuk maupun akar pada masing-masing pola tanam. Karamoy (2009) menyatakan bahwa produksi bahan kering dipengaruhi oleh banyaknya cahaya yang diserap oleh tanaman tersebut.

Bobot kering tanaman mencerminkan pola tanaman akumulasi produk dari proses fotosintesis dan merupakan intergrasi dengan faktor-faktor lingkungan lainnya (Sumarsono 2008). Hal ini menjelaskan bahwa intensitas cahaya mempengaruhi pertambahan berat kering tanaman.

Jumlah bintil akar kedelai pada pola tanam monokultur memberikan hasil jumlah bintil akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam agroforestri (Tabel 6). Hal tersebut diduga karena adanya perbedaan jumlah unsur N

di dalam tanah pada pola tanam monokultur dan agroforestri. Ketersediaan unsur N di dalam tanah sangat mempengaruhi pembentukan bintil akar. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa jumlah N tersedia yang tinggi di dalam tanah akan menekan ekspresi nif, sehingga mengurangi pembintilan dan aktivitas nitrogenase. Rhizobium

dalam bintil akar dapat mengikat nitrogen (N2) dari udara dan kemudian mengubahnya ke dalam bentuk amonium (NH+4) dengan bantuan enzim nitrogenase. Amonium yang dihasilkan oleh Rhizobium tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman, sebaliknya bakteri Rhizobium mengambil karbohidrat, protein dan oksigen yang dihasilkan tanaman untuk hidup dan berkembang biak (Gardner et al.1991).

Jumlah bintil akar dan bobot kering bintil akar akan mempengaruhi bobot kering tanaman. Bintil akar yang berfungsi sebagai penambat N sudah dapat meningkatkan efisiensi pemupukan yang mengakibatkan pertumbuhan kedelai menjadi optimal dan fotosintat yang dihasilkan banyak, sehingga mengakibatkan banyaknya cadangan fotosintat yang digunakan untuk pertumbuhan vegetatif yang berdampak pada tingginya bobot kering tanaman.

Bintil akar aktif yang banyak terbentuk menunjukkan tanaman semakin aktif mengikat N bebas di tanah. Bintil akar aktif menyuplai kebutuhan nitrogen untuk pengisian dan pemasakan polong kedelai. Bintil akar aktif yang semakin banyak dapat meningkatkan jumlah polong isi dan biji kedelai.

Produksi Kedelai

Umur panen kedelai dan bobot 100 biji pada pola tanam agroforestri berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan pola tanam monokultur. Hal ini diduga karena adanya tanggap faktor genetik yang berbeda terhadap faktor lingkungan, sehingga menunjukkan perbedaan pertumbuhan dan pemasakan buah. Umur panen yang lama juga berhubungan dengan umur berbunga, semakin cepat tanaman berbunga, maka semakin cepat pula umur panen dari suatu tanaman. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada penelitian ini pola tanam monokultur menyebabkan tanaman berbunga lebih cepat dibandingkan pada pola tanam agroforestri. Hal inilah yang menyebabkan kedelai pada pola tanam monokultur lebih cepat umur panennya dibandingkan pada pola tanam agroforestri. Menurut Wirnas (2007) penambahan umur panen dapat menurunkan bobot biji per tanaman, jumlah polong total dan jumlah polong isi. Galur-galur kedelai toleran naungan memiliki tingkat kemasakan polong yang berbeda. Perbedaan tingkat kemasakan polong mengakibatkan umur panen yang berbeda pula sehingga proses pemanenan kedelai tidak dapat dilakukan secara serempak. Kondisi kekeringan dari fase pembentukan polong sampai fase pemasakan polong turut memberikan pengaruh terhadap umur tanaman. Hal ini didukung oleh Suhartina dan Arsyad (2006) bahwa kekeringan pada fase reproduktif mempercepat umur masak.

Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur panen kedelai (Tabel 8). Tiap varietas memiliki umur panen yang berbeda (Tabel 10). Umur panen yang paling pendek sampai yang paling lama secara berturut turut yaitu Grobogan (77.50 HST), Anjasmoro (90.50 HST), Wilis (91.50 HST), Tanggamus (93.50 HST), sedangkan pada deskripsi umur panen Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah ± 76 HST, 82.5–92.5 HST, 88 HST dan 85–90 HST (Balitkabi 2012). Hasil dari umur panen penelitian ini sesuai kisaran dari deskripsi.

Kombinasi antar perlakuan pola tanam dan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur panen kedelai (Tabel 8). Umur panen Varietas Tanggamus pada pola tanam agroforestri lebih lama dibandingkan dengan varietas lainnya baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri (Tabel 11). Umur panen tercepat terdapat pada Varietas Grobogan pada pola tanam monokultur.

Bobot 100 butir merupakan karakter untuk mengetahui ukuran biji kedelai, semakin besar bobot 100 butir biji kedelai maka ukuran biji kedelai juga semakin besar. Tanaman kedelai yang tumbuh pada lingkungan ternaungi pada fase generatif akan mengalami penurunan aktivitas fotosintesis sehingga alokasi fotosintat ke organ reproduksi menjadi berkurang (Kakiuchi & Kobata 2004), hal ini menyebabkan ukuran biji menjadi lebih kecil dibandingkan pada kondisi terbuka.

Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot 100 biji kedelai (Tabel 8). Bobot 100 biji Varietas Grobogan memberikan hasil bobot 100 biji yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya (Tabel 10). Bobot 100 biji Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 20.32 g, 14.10 g, 10.36 g dan 9.82 g, sedangkan pada deskripsi tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah ± 18 g, 14.8–15.3 g, 11 g dan ± 10 g (Balitkabi 2012). Hasil dari tinggi penelitian ini sesuai kisaran dari deskripsi bahkan untuk Varietas Grobogan, hasil yang didapatkan lebih tinggi dari deskripsi.

Jumlah buku dan jumlah cabang produktif Varietas Tanggamus memberikan hasil jumlah buku dan cabang produktif yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Wilis. Perbedaan jumlah buku tiap varietas diduga karena adanya perbedaan rata-rata tinggi tanaman. Rata-rata jumlah cabang Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 2.33 cabang, 3.47 cabang, 3.97 cabang dan 4.03 cabang, sedangkan pada deskripsi tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah tidak ada percabangan, 2.9–5.6 cabang , 3–4 cabang dan 3.65 cabang (Balitkabi 2012). Hasil dari jumlah cabang penelitian ini sesuai kisaran dari deskripsi bahkan untuk Varietas Grobogan dan Tanggamus hasil yang didapatkan lebih tinggi dari deskripsi.

Pola tanam agroforestri memiliki jumlah buku produktif yang banyak dibandingkan dengan pola tanam monokultur, namun memiliki jumlah cabang yang sedikit dibandingkan dengan pola tanam monokultur (Tabel 9), Sopandie et al. (2006) menyatakan bahwa respon tanaman terhadap intensitas cahaya rendah adalah dengan peningkatan tinggi tanaman, tetapi jumlah daun dan jumlah cabang juga akan berkurang sebagai konsekuensi pertumbuhan tinggi tanaman yang diutamakan. Pembentukan cabang juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa peningkatan intensitas cahaya dapat melipatgandakan percabangan per tanaman.

Kombinasi antar perlakuan pola tanam dan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah cabang produktif kedelai (Tabel 9). Jumlah cabang produktif Varietas Tanggamus pada pola tanam monokultur memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan Varietas Grobogan baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Anjasmoro dan Wilis baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri (Tabel 11).

Jumlah polong total dan jumlah polong isi per tanaman Varietas Wilis memberikan hasil jumlah polong total dan polong isi per tanaman yang tertinggi

dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Tanggamus. Hal tersebut di duga karena jumlah buku produktif, cabang produktif dan polong isi dari Varietas Wilis memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Peningkatan jumlah polong total diikuti dengan meningkatnya jumlah cabang produktif, buku produktif dan jumlah polong isi (Tabel 10).

Pola tanam monokultur memiliki jumlah polong total dan polong isi kedelai yang banyak dibandingkan dengan pola tanam agroforestri (Tabel 9). Hasil yang sama dari penelitian Wahyu dan Sundari (2010) bahwa varietas Wilis memiliki jumlah polong terbanyak, hasil biji tertinggi dan dinilai sangat toleran terhadap naungan. Penurunan jumlah polong dapat disebabkan adanya penerimaan cahaya yang sedikit oleh tanaman yang menyebabkan berkurangnya hasil fotosintat. Kedelai

Dokumen terkait