• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta Excelsa Jack.) Dan Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merril) Di Dalam Sistem Agroforestri)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta Excelsa Jack.) Dan Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merril) Di Dalam Sistem Agroforestri)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

DIMENSI POHON SENTANG (Azadirachta excelsa Jack.) DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) DI DALAM

SISTEM AGROFORESTRI

SUCI RATNA PURI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) di dalam Sistem Agroforestri)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Suci Ratna Puri

(4)

RINGKASAN

SUCI RATNA PURI. Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) di dalam Sistem Agroforestri). Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO dan ARUM SEKAR WULANDARI.

Sistem yang memadukan kehutanan dengan pertanian dikenal dengan agroforestri. Penggunaan lahan tidur di bawah tegakan, akan lebih mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang selama ini belum termanfaatkan. Tanaman sentang (Azadirachta excelsa Jack.) merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan dalam sistem agroforestri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dimensi pohon, respon fisiologi, pertumbuhan dan produksi berbagai varietas kedelai (Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis) di dalam sistem agroforestri sentang.

Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan yaitu percobaan pertama untuk mengetahui perbedaan dimensi pohon sentang pada pola agroforestri dan monokultur sentang, sedangkan percobaan kedua bertujuan untuk mengetahui pengaruh fisiologi, pertumbuhan dan produksi kedelai pada pola agroforestri dan monokultur kedelai. Percobaan pertama menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan faktor tunggal, yaitu pola tanam dengan 2 taraf dan perlakuan diulang 16 kali. Jumlah tanaman per satuan percobaan sebanyak 1 pohon. Pola tanam yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu Monokultur sentang (So) dan Agroforestri sentang dan kedelai (S1). Percobaan kedua menggunakan rancangan

petak terbagi (split plot design) yang terdiri dari 2 faktor dan 3 ulangan. Pola tanam sebagai petak utama, yang terdiri dari pola tanam agroforestri (S1) dan monokultur (S0). Faktor kedua yang merupakan anak petak adalah berbagai varietas kedelai yang terdiri dari Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis. Penelitian dilaksanakan di Kebun Pusat Penelitian Tanaman Obat Biofarmaka di Cikabayan Kampus IPB dengan luas lahan 450 m2. Pelaksanaan untuk penanaman kedelai dilakukan pada lahan yang sudah ditanami tanaman sentang yang telah berumur 1 tahun dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi pohon, diameter batang dan diameter tajuk sentang pada plot agroforestri lebih besar dibandingkan dengan plot monokultur. Akar lateral pada plot monokultur memiliki kedalaman yang lebih dalam dibandingkan dengan plot agroforestri. Perbedaan pertumbuhan tanaman pada masing-masing pola tanam agroforestri dipengaruhi oleh adanya interaksi antar komponen tanaman. Interaksi yang positif pada pola agroforestri akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan dan produksi dari semua komponen tanaman yang ada pada pola tersebut dan sebaliknya. Perbedaan dimensi sentang dalam penelitian ini terjadi karena pemeliharaan yang diberikan pada tanaman kedelai memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan sentang. Pemeliharaan pada tanaman kedelai seperti pemupukan, penggemburan dan penyiangan gulma secara tidak langsung berdampak pada pertumbuhan sentang.

(5)

meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran dengan menurunkan titik kompensasi cahaya. Serapan hara N, P, dan K pada pola tanam monokultur memiliki serapan hara lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai pada pola tanam agroforestri. Varietas Tanggamus, Anjasmoro, dan Wilis pada plot monokultur memiliki pertumbuhan dan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan Varietas Grobogan. Hasil/ha kedelai yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan Varietas Tanggamus dan Wilis memiliki hasil/ha yang melebihi hasil/ha berdasarkan deskripsi yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, sedangkan Varietas Grobogan dan Anjasmoro hasil/ha yang didapatkan lebih rendah dibandingkan deskripsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Varietas Tanggamus dan Wilis memiliki toleransi terhadap kondisi lingkungan yang ada di lokasi penelitian. Penggunaan berbagai varietas kedelai pada agroforestri tanaman sentang umur 1 tahun menghasilkan produksi yang sama dengan produksi pada pola tanam monokultur.

(6)

SUMMARY

SUCI RATNA PURI. Dimension of Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) and Production of Soyben (Glycine max (L.) Merril) in Agroforestry System. Supervised by NURHENI WIJAYANTO and ARUM SEKAR WULANDARI.

System which combines forestry and agriculture is known by agroforestry. Using of un-productive land below the trees will be more optimum. Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) is one of trees that can be used in agroforestry system. The aim of this study was to analyze tree dimension, physiology respon, growth and production some varieties of soybean (Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus and Wilis).

This Research consisted of two experiments. The first trial was conducted to determine differences of sentang dimension in agroforestry and monocultural Sentang pattern, while the second experiment aims to determine the effect of physiology, growth and production of soybean in agroforestry and monocultural soybean pattern. The first experiment using a completely randomized design, with a single factor, namely the cropping pattern with 2 levels and treatment was repeated 16 times. The number of plants per unit of experiment as much as 1 tree. The cropping pattern applied in this research is Monocultural Sentang (So) and Agroforestry Sentang and soybeans (S1). The second experiment using a split plot design, consisted of 2 factors and 3 repetitions. Planting pattern as a main plot, consisted of planting agroforestry pattern (S1) and monoculture (S0). The second factor as a subplot is some varieties of soybean that consisted of Variety of Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus, and Wilis. The study was conducted in Center of Medicinal Plants Biofarmaka Cikabayan, Bogor Agricultural University with area about 450 m2. Soybean plantation was conducted at land that has been planted by Sentang 1 year old and the planting distance was 2.5 m x 2.5 m.

The result shows that accretion mean of tree height, stem and crown diameter of Sentang in agroforestry plot are bigger than in monocultural plot. Lateral root in monocultural plot is deeper than in agroforestry plot. The difference of plant growth in each planting pattern of agroforestry is affected by interaction among plant component. Positive interaction in agroforestry pattern will result growth and production improvements from all plant component that present in its pattern and also in contrary. The difference of sentang dimension in this study is caused by soybean maintenance thas was given, gives possitive effect on sentang growth. Soybean maintenance such fertilizing, loosening, and clearing of weeds indirectly affected for sentang.

(7)

and Anjasmoro is less than mean production in description. It shows that Variety of Tanggamus and Wilis have tolerancy toward environmental condition that presented on study area. Using of some varieties of soybean on sentang agroforestry one year old produce same production with production in monocultural pattern.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Silvikultur Tropika

DIMENSI POHON SENTANG (Azadirachta excelsa Jack.) DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) DI DALAM

SISTEM AGROFORESTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) di dalam Sistem Agroforestri

Nama NIM

Suci Ratna Puri

E451130071

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Nurheni MS Ketua

Dr Ir Arum Sekar MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Silvikultur Tropika

i�

ProfDr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Tanggal Ujian: 22 Januari 2016

Pascasarjana

� .

.

· .

/{� .. ·� . , c.

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas rahmatNya hingga tesis yang berjudul “Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) di dalam Sistem Agroforestri” dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi besar Muhammad Sallallahu’ alaihi wa salam.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS dan Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS selaku komisi pembimbing, atas arahan dan bimbingannya. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga kami sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Unggulan Dikti kepada penulis untuk tahun anggaran 2013-2015 (lampiran surat Dikti No.2460/E4.4/2013).

Terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Laboratorium Mikoriza, Departemen Silvikultur (Sri Muryati, SP; Sri Astuti, SP; Rajjitha Handayani, SP; Tri Wahida, SP; Lily Novianty, S.Pd; Hutami Indah Pertiwi, SP; Laswi Irmayanti, S.Hut, MSi dan Fransisca YR Luturmas, S.Hut) dan seluruh teman-teman Silvikultur yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya. Terimakasih kepada: Sopto Darmawan, S.Hut; Adisti Permatasari Hartoyo, S.Hut, MSi; Ida Rosita, S.Hut; Jenny Rumondang, S.Hut; Asep Hendra Supriatna, S.Hut; Latif Al Anshary, S.Hut; Nofika Senjaya, S.Hut; Rince Muryunika, SP, MSi yang telah membantu penulis dalam pengumpulan sampel penelitian di lapangan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama perencanaan dan pelaksanaan penelitian, sampai tesis ini dapat diselesaikan. Semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Aamiin.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis selalu berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Bogor, Februari 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Alat dan Bahan 3

Prosedur Penelitian 5

Analisis Data 9

HASIL PENELITIAN 9

Kondisi Umum 13

Dimensi Sentang 14

Respon Fisiologi Kedelai 14

Pertumbuhan Kedelai 16

Produksi Kedelai 18

PEMBAHASAN PENELITIAN 21

Dimensi Sentang 21

Respon Fisiologi Kedelai 22

Pertumbuhan Kedelai 24

Produksi Kedelai 26

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 37

(14)

DAFTAR TABEL

1 Hasil analisis tanah awal pada lahan agroforestri dan monokultur kedelai 10 2 Pertambahan dimensi sentang pada plot monokultur dan agroforestri 14 3 Perbandingan kandungan klorofil tanaman kedelai pada pola tanam

agroforestri dan monokultur 14

4 Perbandingan serapan hara tanaman kedelai pada pola tanam

agroforestri dan monokultur 15 10 Pengaruh varietas terhadap produksi kedelai 20 11 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai 20

12 Perbandingan hasil kedelai per ha 21

DAFTAR GAMBAR

1 Penanaman kedelai: Agroforestri dengan sentang dan monokultur kedelai 9 2 Intensitas cahaya pada lahan agroforestri sentang dan monokultur kedelai 11 3 Suhu dan kelembaban pada lahan agroforestri dan monokultur kedelai 11 4 Curah hujan pada lahan agroforestri sentang dan monokultur kedelai 11

5 Hama kedelai pada fase vegetatif 12

3 Hasil analisis tanah akhir pada lahan agroforestri dan monokultur kedelai 40

4 Deskripsi Varietas Wilis 41

5 Deskripsi Varietas Grobogan 42

6 Deskripsi Varietas Anjasmoro 43

7 Deskripsi Varietas Tanggamus 44

8 Data curah hujan harian di Dramaga Bogor bulan Februari-Mei 2015 45 9 Data suhu dan kelembaban harian di Dramaga Bogor bulan

Februari-Mei 2015 46

10 Data hasil pengujian kandungan klorofil dan serapan hara kedelai 47 11 Hasil analisis tanah awal pada lahan monokultur kedelai 48 12 Hasil analisis tanah awal pada lahan agroforestri sentang 49 13 Hasil analisis tanah akhir pada lahan monokultur kedelai dan

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan peningkatan kebutuhan pangan, sandang dan papan. Lahan yang memadai diperlukan dalam memenuhi semua kebutuhan tersebut, terutama di bidang pertanian. Pengolahan lahan yang tidak ramah lingkungan dapat mempercepat terjadinya degradasi kesuburan tanah (Prasetyo 2004). Pembukaan hutan tropis untuk pertanian menyebabkan perluasan lahan kritis dan marjinal sehingga diperlukan suatu sistem kehutanan dan pertanian terpadu untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Sistem yang memadukan kehutanan dengan pertanian dikenal dengan agroforestri (Kartasubrata 2003).

Huxley (1999) dan Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa dalam melakukan pengelolaan lahan secara agroforestri perlu memperhatikan interaksi antar komponen-komponen agroforestri seperti lingkungan abiotik, biotik dan budaya. Tanaman sentang (Azadirachta excelsa Jack.) merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan dalam sistem agroforestri. Tanaman sentang merupakan jenis tanaman yang keberadaannya belum banyak diketahui dan diteliti khususnya dalam bidang agroforestri di Indonesia. Florido dan Mesa (2001) mengemukakan bahwa sentang merupakan jenis tanaman cepat tumbuh dan multifungsi. Jenis ini dapat dipanen pada umur 6–7 tahun dengan rata-rata diameter 24–30 cm sehingga tanaman ini sangat potensial sebagai alternatif pengganti kayu dari hutan alam.

Joker (2000) mengemukakan bahwa manfaat dari tanaman sentang adalah untuk konstruksi ringan, mebel, panel dan vinir. Tunas muda dan bunganya dikonsumsi sebagai sayuran. Seperti mimba, bijinya mengandung azadirachtin, digunakan sebagai bioinsektisida.

Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman potensial yang dapat dikembangkan dalam sistem agroforestri. Kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia, dan merupakan tanaman kacang-kacangan utama yang diusahakan di dunia sebagai sumber protein nabati, bahan baku industri, maupun bahan pakan ternak. Perkembangan kedelai sebagai tanaman penghasil protein di Indonesia ternyata masih memerlukan penanganan yang lebih tepat.

(16)

Penggunaan lahan tidur di bawah tegakan akan lebih mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang selama ini belum termanfaatkan. Kendala utama pada lahan semacam ini adalah intensitas cahaya, suhu dan kelembaban, oleh karena itu diperlukan upaya untuk memperoleh varietas yang berproduksi tinggi pada kondisi demikian.

Berdasarkan keunggulan yang dimiliki dari kedua jenis tersebut, diharapkan akan meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, dikarenakan terjadinya interaksi dari kombinasi kedua jenis tersebut. Penelitian tentang bagaimana sebenarnya proses hubungan interaksi yang terjadi antar komponen penyusun agroforestri dan produktivitas kedua jenis tanaman penyusunnya perlu dilakukan.

Perumusan Masalah

Keberadaan hutan sering terancam akibat adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti perluasan areal pertanian, illlegal logging, perambahan hutan dan sebagainya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan hidup, terutama kebutuhan pangan menyebabkan kebutuhan lahan pertanian akan meningkat pula. Lahan yang tersedia untuk pertanian terbatas, sehingga menimbulkan kecenderungan masyarakat sekitar hutan membuka hutan untuk dijadikan areal budidaya pertanian, perkebunan, pemukiman, dan lain-lain, tanpa memperhitungkan meningkatnya ancaman akibat deforestasi dan degradasi lingkungan. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan ditemukannya suatu sistem yang dapat menyeimbangkan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Salah satu sistem yang tepat yaitu agroforestri. Sistem agroforestri mempunyai keuntungan yaitu hasil yang diperoleh dari dua komponen yaitu tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Agroforestri tanaman sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan kombinasi yang tepat karena kedua tanaman tersebut memiliki keunggulan masing-masing. Interaksi di antara kedua tanaman tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dari kedua komponen agroforestri tersebut.

Kendala utama pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman tumpangsari pada lahan hutan tanaman adalah kurangnya daya adaptasi kedelai di bawah naungan (intensitas cahaya rendah dan kesuburan tanah yang rendah), sehingga diperlukan pengujian varietas kedelai yang mampu tumbuh dan berproduksi baik walaupun dalam kondisi tersebut.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan berikut: 1. Bagaimana interaksi antara tanaman sentang dengan tanaman kedelai di dalam

sistem agroforestri ?

2. Bagaimana respon fisiologi berbagai varietas tanaman kedelai (Varietas Anjasmoro, Grobogan, Tanggamus dan Wilis) di dalam sistem agroforestri? 3. Bagaimana respon pertumbuhan dan produksi berbagai varietas tanaman

(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis interaksi antara tanaman sentang dengan tanaman kedelai di dalam sistem agroforestri.

2. Menganalisis respon fisiologi berbagai varietas tanaman kedelai (Varietas Anjasmoro, Grobogan, Tanggamus dan Wilis).

3. Menganalisis respon pertumbuhan dan produksi berbagai varietas tanaman kedelai (Varietas Anjasmoro, Grobogan, Tanggamus dan Wilis) di dalam sistem agroforestri tanaman sentang.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi varietas kedelai yang mampu tumbuh dan berproduksi tinggi di dalam sistem agroforestri tanaman sentang, dan mengetahui bagaimana interaksi yang terjadi dari kedua komponen penyusun agroforestri tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi para pihak yang membutuhkan.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2015 sampai Juni 2015. Lokasi penelitian di Kebun Pusat Penelitian Tanaman Obat Biofarmaka di Cikabayan Kampus IPB Darmaga dengan luas lahan 450 m2. Agroforestri kedelai dilakukan pada lahan yang sudah ditanami tanaman sentang yang telah berumur 1 tahun dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai (Varietas Anjasmoro, Grobogan, Wilis, Tanggamus), kayu, bambu, paku, tali, pupuk kandang sapi, pupuk NPK, insektisida (bahan aktif karbofuran: 3%), insektisida (bahan aktif delta metrin 25 g/L), kapur.

Alat-alat yang digunakan adalah cangkul, golok, gembor, bor tanah, meteran jahit, penggaris, ring tanah, timbangan, tugal, ajir (terbuat dari bambu), bening, lux meter, kaliper, termohigrometer, label dan kamera.

Rancangan Penelitian

(18)

Percobaan 1

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan faktor tunggal, yaitu pola tanam dengan 2 taraf dan perlakuan diulang 16 kali. Jumlah tanaman per satuan percobaan sebanyak 1 pohon. Penentuan tanaman contoh dilakukan secara acak. Pola tanam yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu Monokultur sentang (So) dan Agroforestri sentang dan kedelai (S1).

Berdasarkan rancangan penelitian yang ada maka rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2013):

Yij = μ + Ai + Bj + ij

Yij = nilai pengamatan pada pola tanam ke-i dan ulangan ke-j i = pola tanam 1, 2

j = ulangan 1, 2, 3, 4,..., 16 µ = nilai rataan umum

i = pengaruh perlakuan pola tanam ke-i

j = pengaruh ulangan ke-j

ij = pengaruh acak dari pola tanam ke-j dan ulangan ke-j yang menyebar normal

Rancangan penelitian yang digunakan pada percobaan ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan petak terbagi (split plot design) yang terdiri dari 2 faktor dan 3 ulangan. Pola tanam sebagai petak utama, yang terdiri dari pola tanam agroforestri (S1) dan monokultur (S0). Faktor kedua yang merupakan anak petak adalah berbagai varietas kedelai yaitu Varietas Anjasmoro (A), Varietas Grobogan (G), Varietas Tanggamus (T) dan Varietas Wilis (W) yang keragamannya terletak di dalam petak utama.

Percobaan ini memiliki 8 kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Pengelompokkan dilakukan berdasarkan perbedaan dalam tangkapan cahaya matahari. Ukuran petak percobaan 1.2 m x 4 m, jarak tanam yang digunakan 40 cm x 20 cm sehingga dalam satu petak percobaan terdiri dari 60 lubang tanam. Tanaman contoh kedelai diambil di setiap satuan petak percobaan yang terdiri atas 10 tanaman kedelai untuk diamati, dan 2 tanaman kedelai per perlakuan pada setiap ulangan sebagai tanaman destruktif yang diambil di bagian tengah. Desain percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 2.

Berdasarkan rancangan penelitian yang ada maka rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2013):

Yijk = μ + Ai + Bj + (αβ)ij+ ik + jk

Yijk = nilai pengamatan pada petak utama taraf ke-i, anak petak taraf ke-j dan kelompok ke-k

(19)

j = anak petak yaitu berbagai varietas 1, 2, 3, 4 k = ulangan 1, 2 dan 3

µ = nilai rataan umum

i = pengaruh perlakuan petak utama ke-i j = pengaruh perlakuan anak petak ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan perlakuan anak petak ke-j

ik = komponen acak dari petak utama ke-i, kelompok ke-k yang menyebar normal

jk = pengaruh acak dari anak petak ke-j, kelompok ke-k yang menyebar normal

Analisis data menggunakan ANOVA pada taraf 5% untuk pengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut Duncan taraf 5% dilakukan apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati (Steel & Torrie 1991). Data diolah menggunakan program SAS 9.0.

Prosedur Penelitian

Persiapan Benih Kedelai

Benih yang digunakan adalah Varietas Anjasmoro, Grobogan, Tanggamus dan Wilis yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Genetika Cimanggu, Bogor. Benih terlebih dahulu dicampur dengan Rhizobium dengan dosis 40 kg/ha. Pencampuran Rhizobium dilakukan dengan membasahi benih kedelai dengan air secukupnya, dan kemudian dicampurkan dengan Rhizobium hingga rata melekat ke permukaan benih.

Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan dilakukan 1 minggu sebelum penanaman. Pengolahan lahan dimulai lebih awal dengan membersihkan lahan dari sisa-sisa akar tanaman dan semak belukar. Tanah kemudian diolah menggunakan cangkul hingga gembur dan rata, dan diikuti penaburan kapur 1.5 ton/ha dengan tujuan menaikan pH tanah. Ukuran petakan yang dibuat yaitu 1.2 m x 4 m dengan ketinggian petakan ± 30 cm. Tanah yang sudah dipetakkan dicampur dengan pupuk kandang sapi dengan dosis 1000 kg/ha. Jarak antar tanaman sentang dan petakan adalah 40 cm, sedangkan jarak antar plot dan ulangan adalah 2 m.

Penanaman

Lubang tanam dibuat sebanyak 60 lubang tanam sedalam 3–4 cm dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm. Benih ditanam ke dalam lubang tanam sebanyak 3 benih per lubang tanam, yang kemudian ditaburkan insektisida (bahan aktif karbofuran: 3%) pada lubang tanam dengan dosis 20 kg/ha atau 9.6 g per petak. Lubang tanam ditutup dengan tanah lapisan permukaan.

Pemupukan

(20)

100 kg/ha atau 48 g per petak. Pemupukan dilakukan dalam alur di sisi kiri atau kanan sejauh ± 10 cm, kemudian ditutup dengan tanah.

Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman kedelai meliputi penyiraman, penjarangan, penyulaman, pembumbunan, penyiangan gulma, pemberian lanjaran serta pengendalian hama dan penyakit. Tanaman kedelai disiram sebanyak 2 kali sehari, jika hari hujan maka penyiraman tidak dilakukan. Penjarangan dilakukan dengan meninggalkan satu tanaman yang terbaik dan seragam, penjarangan dilakukan 2 minggu setelah tanam.

Tanaman kedelai yang tidak tumbuh atau tumbuh abnormal diganti (disulam). Penyulaman dilakukan pada saat tanaman berumur 1 minggu setelah tanam. Cara penyulaman adalah dengan menggantikan tanaman yang mati dengan tanaman yang hidup dari petakan khusus untuk tanaman sulaman, bersamaan dengan penyulaman tersebut dilakukan pembumbunan.

Penyiangan dilakukan 2 minggu setelah tanam dan seterusnya secara berkelanjutan sesuai dengan kondisi lapangan. Penyiangan gulma dilakukan secara manual atau dengan menggunakan cangkul. Pemberian lanjaran dilakukan apabila tanaman terlampau tinggi untuk menopang tegaknya tanaman.

Pengendalian hama dilakukan dengan penyemprotan insektisida (bahan aktif deltametrin) dengan konsentrasi 2 mL/L, sedangkan pengendalian penyakit dilakukan dengan menyemprotkan fungisida (bahan aktif mankozeb 80%) dengan konsentrasi 1 g/L. Penyemprotan dilakukan dua minggu sekali dimulai sejak 2 minggu setelah tanam sampai 2 minggu sebelum panen.

Panen

Pemanenan tanaman kedelai dilakukan saat warna polong kuning kecoklatan, batang-batangnya sudah kering, dan sebagian daun-daunnya sudah kering dan rontok (Jufri 2006). Pemanenan dilakukan dengan cara memotong pangkal tanaman menggunakan sabit atau parang yang tajam.

Panen dilakukan secara serempak pada pagi hari dalam kondisi cuaca cerah. Caranya adalah dengan memotong dan mencabut batang tanaman, termasuk daunnya. Hal tersebut guna memastikan polong kedelai sudah cukup tua atau berisi sehingga dihasilkan biji kedelai yang berkualitas serta mengurangi kehilangan hasil pada saat panen.

Pengukuran Dimensi Tanaman Sentang

Menurut Wijayanto dan Hidayanthi (2012) pengukuran dimensi tanaman sentang meliputi:

1. Pengukuran tinggi (cm)

Pengukuran pertumbuhan tinggi sentang dilakukan menggunakan meteran, tanaman sentang diukur mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh sentang. Pengukuran ini dilakukan setiap 4 (empat) minggu sekali sampai minggu ke-14. 2. Pengukuran diameter batang (cm)

(21)

Pengukuran dilakukan terhadap panjang dan lebar tajuk dengan menggunakan meteran dan galah ukur pada proyeksi tajuk yang akan diamati. Pengukuran dilakukan pada awal, pertengahan dan akhir penanaman tanaman kedelai.

4. Pengukuran akar tanaman sentang (cm)

Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir penanaman tanaman kedelai. Pengukuran dilakukan terhadap jumlah akar sentang yang berada pada kedalaman 0–20 cm dengan mengukur diameter setiap akar yang ditemukan menggunakan kaliper (cm) dan busur (derajat) sebagai penanda arah akar. Penggalian akar dilakukan tegak lurus terhadap guludan kedelai. Penggalian ini dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah putusnya akar. Metode penggalian dilakukan dengan menggali di pertengahan larikan dua pohon, penggalian tersebut dihentikan ketika ditemukan akar, apabila masih belum ditemukan akar sampai kedalaman 30 cm, dilanjutkan menggali tanah pada jarak 25 cm ke arah kanan dan kiri, hal tersebut dilakukan sampai dijumpai akar di dalam permukaan tanah.

Pengukuran dimensi sentang masing-masing dilakukan pada lahan agroforestri dan monokultur sebagai pembanding yang terletak pada satu hamparan dengan plot penelitian. Pengukuran akar dan pengukuran tajuk dilakukan dengan mengamati pohon contoh pada masing-masing pola tanam, yaitu sebanyak 16 pohon untuk setiap pola tanam. Pengukuran tinggi dan diameter dilakukan pada semua tanaman sentang pada lahan agroforestri.

Pengukuran Tanaman Kedelai Pertumbuhan Tanaman Kedelai

Susanto dan Sundari (2011) menyatakan untuk mengetahui pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai, variabel yang dapat diamati adalah persen tumbuh benih, tinggi tanaman (cm), persen hidup kedelai (%), umur berbunga tanaman (HST), umur panen tanaman (HST), bobot basah tanaman (g), bobot kering tajuk (g), bobot kering akar (g) dan jumlah bintil akar tanaman kedelai.

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai titik tumbuh kedelai pada umur tanaman 2 MST setiap 1 (satu) minggu sampai umur tanaman kedelai mencapai 7 MST (akhir masa vegetatif). Bobot basah tanaman kedelai, bobot kering pucuk dan bobot kering akar tanaman kedelai dilakukan di akhir masa vegetatif tanaman kedelai yaitu ± 7 MST, yang dilakukan dengan menimbang bobot basah dan bobot kering yang ada pada tanaman contoh, sebelumnya untuk bobot kering bagian atas dan akar tanaman contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 80 ºC selama 2 x 24 jam.

Perhitungan jumlah bintil akar dilakukan bersamaan dengan bobot basah tanaman kedelai, bobot kering pucuk dan bobot kering akar tanaman kedelai. Tanaman dibongkar kemudian akar dicuci dengan air lalu dihitung jumah bintil akar yang aktif.

Komponen hasil

Hasil dan komponen hasil yang diamati adalah umur panen (HST), jumlah cabang produktif, jumlah buku produktif, jumlah polong per tanaman, jumlah polong berisi per tanaman, jumlah polong hampa, bobot biji per tanaman (g), bobot biji per petak (g), bobot 100 biji (g), dan hasil per ha (ton/ha) (Iqbal et al. 2013).

(22)

percobaan. Hasil dari perhitungan dirata-ratakan untuk mendapatkan hasil akhirnya. Perhitungan jumlah polong berisi per tanaman dilakukan setelah panen pada tanaman sampel dengan menghitung jumlah polong kedelai yang berisi pada tanaman sampel. Hasil dari perhitungan dirata-ratakan untuk mendapatkan hasil akhirnya. Polong dikatakan berisi jika dalam polong sekurang-kurangnya terdapat satu biji dan jika ditekan akan terasa keras. Bobot 100 biji ditentukan dengan cara menimbang 100 biji kering yang telah dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2–3 hari (kadar air ±14%). Biji diambil secara acak dari tanaman sampel sebanyak 100 biji, kemudian ditimbang beratnya. Penimbangan diulang sebanyak 3 kali selanjutnya hasil penimbangan 100 biji dirata-ratakan.

Analisis kandungan klorofil dan hara

Analisis fisiologi tanaman kedelai terdiri atas analisis klorofil dan serapan hara tanaman (Kisman et al. 2007). Analisis kandungan klorofil (klorofil a, klorofil b, klorofil total) dan rasio klorofil a/b menggunakan 2 daun contoh per varietas yang telah membuka sempurna yaitu pada umur 7 MST. Pengambilan sampel daun dilakukan pada daun ke-3 atau ke-4 dari atas pada setiap varietas pada tanaman di bagian tengah. Daun yang dijadikan sempel tersebut dimasukkan dalam plastik dan disimpan ke cool box. Pengukuran kandungan klorofil dilakukan di laboratorium RGCI (research group on crop improvement) Fakultas Pertanian IPB. Analisis kandungan klorofil a, b dan klorofil total dilakukan menggunakan metode yang digunakan Richardson et al. (2002) merupakan perbaikan metode yang digunakan Arnon (1949).

Analisis kandungan hara menggunakan 3 daun contoh per perlakuan. Cara pengambilan daun sampel untuk analisis kandungan hara sama dengan pengambilan daun sampel pada analisis kandungan klorofil. Sampel daun tersebut dihaluskan dan dikompositkan. Selanjutnya sampel daun yang sudah dihaluskan tersebut dianalisis di laboratorium untuk mendapatkan kandungan haranya. Menurut Agung dan Rahayu (2004), serapan hara dihitung dengan menggunakan rumus :

Serapan hara = bobot kering daun x kandungan hara

Pengamatan aspek biofisik, diameter batang dan perakaran sentang, peubah vegetatif serta generatif tanaman kedelai secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1.

Data pendukung

Data pendukung meliputi analisis tanah awal (pH, KTK, kandungan nutrisi berupa C-organik N, P tersedia, dan K) pada 2 tempat yaitu pada lahan agroforestri dan monokultur kedelai, iklim (curah hujan, suhu, intensitas cahaya dan kelembaban) dan pengamatan OPT (organisme pengganggu tanaman). Analisis tanah dilakukan dengan mengambil tanah contoh melalui dua metode yaitu metode tanah terusik dan metode utuh. Tanah contoh terusik diambil dengan menggunakan bor pada kedalaman 0–20 cm. Tanah contoh ini yang akan digunakan untuk analisis fisik dan kimia tanah. Tanah contoh dianalisis di Service Laboratory SEAMEO BIOTROP. Data iklim (curah hujan) diperoleh dari BMKG unit Dramaga.

(23)

A a

B a

dengan melihat banyaknya hama dan penyakit pada masa vegetatif dan generatif tanaman kedelai.

Analisis Data

Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA) pada taraf 5% untuk pengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut Duncan dan BNJ taraf 5% dilakukan apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Data diolah menggunakan program SAS 9.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kebun Pusat Penelitian Tanaman Obat Biofarmaka di Cikabayan Kampus IPB Darmaga dengan luas lahan 450 m2. Penanaman kedelai dilakukan pada 2 lokasi, yaitu (1) pada lahan yang sudah ditanami tanaman sentang yang telah berumur 1 tahun dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m dan (2) lahan kosong. Lahan yang telah ditanami pohon sentang akan dimanfaatkan untuk pola tanam agroforestri tanaman kedelai, sedangkan lahan kosong akan dimanfaatkan dalam pola tanam monokultur kedelai (Gambar 1).

Gambar 1 Penanaman kedelai: (A) Agroforestri dengan sentang dan (B) monokultur kedelai

Berdasarkan data hasil pengujian sifat kimia tanah (Tabel 2) diketahui pH tanah di lahan agroforestri dan monokultur adalah sama yaitu 4.60. Hasil ini menunjukkan bahwa tanah tersebut bersifat masam, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan kedelai adalah 5.87–7.0 (Andrianto & Indarto 2004). Pengapuran untuk meningkatkan pH tanah dilakukan dengan menggunakan kapur sebelum tanam dengan masa inkubasi selama satu minggu, tetapi diduga masa inkubasi kapur kurang lama sehingga kurang dapat memperbaiki pH tanah.

(24)

proses nitrifikasi akan berjalan kurang baik pada pH kurang dari 5.5. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 300–400 mm selama musim tanam (Andrianto & Indarto 2004). Kandungan N-total, P2O5 dan K2O berturut-turut pada plot agroforestri dan monokultur ini masuk dalam katagori rendah-sedang (Tabel 1).

Cahaya merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Cahaya pada plot monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan plot agroforestri (Gambar 2). Rendahnya intensitas cahaya dapat dikarenakan naungan atau tajuk (Ardie 2006).

Suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kedelai berkisar antara 22–27 ˚C. pertanaman kedelai. Rata-rata suhu pada lokasi penelitian agroforestri dan

monokultur dalam 3 bulan pertanaman yakni 32.4 ˚C dan 34.5 ˚C, sedangkan kelembabannya 51.3% dan 47.2% (Gambar 3). Curah hujan pada awal penanaman yaitu pada bulan Februari sebesar 346 mm/bulan dan mengalami kenaikan pada bulan Maret yaitu 374 mm/bulan, namun mengalami penurunan pada bulan April dan Mei yaitu 206 mm/bulan dan 202 mm/bulan (Gambar 4).

Tabel 1 Hasil analisis tanah awal sifat kimia tanah pada lahan agroforestri sentang dan monokultur kedelai

No Parameter Pengujian Satuan Perlakuan

Agroforestri Monokultur

(25)

Gambar 2 Intensitas cahaya pada lahan agroforestri sentang dan monokultur kedelai

Gambar 3 Suhu dan kelembaban pada lahan agroforestri sentang dan monokultur kedelai

(26)

Salah satu kendala dalam peningkatan produksi kedelai adalah gangguan hama. Serangan hama pada tanaman kedelai dapat menurunkan hasil sampai 80%, bahkan puso apabila tidak ada tindakan pengendalian (Marwoto et al. 2007). Tanaman kedelai disukai oleh hama dan penyakit, terbukti dengan hama yang menyerang, yakni hama dalam tanah, lalat bibit, ulat daun, hama penggerek batang, dan hama polong kedelai.

Gambar 5 Hama kedelai pada fase vegetatif kumbang (A), semut (B), ulat penggulung daun (C), kepik (D), ulat jengkal (E), belalang (F), ulat grayak (G), belalang (H)

Tanaman kedelai secara alami dapat terserang oleh serangga hama selama masa pertumbuhan dan produksi (Tengkano & Soehardjan 1993; Jackai et al. 1990). Jackai et al. (1990) melaporkan ada 56 spesies hama tanaman kedelai. Namun hanya sekitar 12–14 spesies yang memiliki nilai ekonomis tinggi, yaitu Ophiomyia paseoli,

E F

H G

A B

(27)

Melanagromyza sojae, Phaedonia inclusa, Bemisia tabaci, Spodoptera litura, Aphis glycines, Melanagromyza dolichostigma, Etiella zinckenella, Nezara viridula, Piezodorus hybneri, Riptortus linearis, dan Helicoverpa armigera (Tengkano & Soehardjan 1993). Aphis glycines dan Bemisia tabaci, perlu mendapat perhatian lebih karena fungsinya sebagai vektor virus utama kedelai. A. glycines menularkan

soybean mosaic virus (SMV), soybean stunt virus (SSV), peanut stripe virus (PStV),

peanut mottle virus (PMoV), bean yellow mosaic virus ( BYMV), indonesian soybean dwaef virus (ISDV), blakaye cowpea mosaic virus (BICMV), sedangkan B. tabaci menularkan cowpea mild mottle virus (CMMV) (Baliadi 2004).

Gambar 6 Hama dan penyakit kedelai pada fase generatif, SVM (Soybean mosaic virus) (A), SVM (Soybean mosaic virus) (B), belalang (C), ulat penggulung daun (D), ulat grayak (E)

Dalam penelitian ini, hama dan penyakit menyerang kedelai pada fase vegetatif dan fase generatif. Pada fase vegetatif hama yang menyerang terdiri dari ulat penggulung daun (Lamprosema indica), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), belalang, semut, kepik (Phiezodorus hybneri), ulat grayak (Gambar 5). Hama ulat penggulung daun dan belalang merupakan hama dominan yang menyerang pada fase vegetatif, hampir di semua plot terutama pada plot monokultur, sedangkan pada plot agroforestri hanya beberapa petak saja yang terserang. Hama semut menyerang benih kedelai yang telah ditanam sehingga benih tidak dapat tumbuh, serangan tertinggi berada pada plot monokultur dibandingkan dengan plot agroforestri.

Hama pada fase generatif yang paling dominan adalah ulat penggulung daun, belalang dan ulat grayak (Gambar 6). Serangan dari hama ini menyebabkan kehilangan daun sehingga dapat menurunkan hasil dari kedelai.

HASIL Dimensi Sentang

Berdasarkan analisis ragam terlihat bahwa perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata pertambahan tinggi pohon, diameter pohon

(28)

dan kedalaman akar, namun tidak berbeda nyata pada rata-rata pertambahan diameter tajuk, panjang dan diameter akar sentang (Tabel 2).

Respon Fisiologi Kedelai

Berdasarkan Tabel 3, kandungan klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan monokultur dibandingkan dengan perlakuan agroforestri, begitu juga dengan rasio klorofil a/b terlihat bahwa rasio klorofil a/b pada perlakuan agroforestri lebih rendah dengan perlakuan monokultur, namun perbedaanya tidak terlalu besar dikarenakan penutupan tajuk pada tanaman sentang belum terlalu rapat. Berdasarkan Gambar 7 Varietas Wilis memiliki kandungan klorofil tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya.

Tabel 2 Pertambahan dimensi sentang pada plot agroforestri dan monokultur

(29)

Gambar 7 Kandungan klorofil daun kedelai pada berbagai varietas kedelai Tabel 4 menunjukkan bahwa serapan hara N, P dan K pada pola tanam monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam agroforestri.

Gambar 8 Serapan hara berbagai varietas kedelai pada pola tanam agroforestri dan monokultur

Tabel 4 Perbandingan serapan hara tanaman kedelai pada pola tanam agroforestri dan monokultur

Parameter Agroforestri Monokultur

N Total (g/tanaman) 15.90 17.36

P Total (g/tanaman) 0.84 1.00

(30)

Varietas Tanggamus memiliki serapan hara tertinggi dibandingkan dengan varietas yang lainnya, sedangkan serapan hara N, P dan K terendah terdapat pada Varietas Grobogan (Gambar 8).

Pertumbuhan Kedelai

Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan pola tanam dan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman kedelai.

Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman (2 MST, 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST, 7 MST), umur berbunga, bobot kering akar dan jumlah bintil akar dan memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot basah akar, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase tumbuh benih, bobot basah pucuk, bobot kering pucuk (Tabel 5).

Tabel 5 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang diberikan perlakuan pola tanam dan varietas

Peubah Pola Tanam Varietas Interaksi KK R2

(31)

Tabel 6 Pengaruh pola tanam terhadap pertumbuhan kedelai

4. Umur berbunga kedelai (HST) 35.92a 35.33b

5. Bobot basah (g)

Pengaruh yang diberikan oleh perlakuan pola tanam tertentu dapat dilihat pada Tabel 6. Uji Duncan (Tabel 6) menunjukkan bahwa pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman kedelai. Pola tanam agroforestri menyebabkan meningkatnya tinggi tanaman, bobot pucuk dan memperlambat umur berbunga. Hal tersebut terjadi karena terdapat perbedaan penerimaan cahaya matahari pada pola tanam agroforestri dan monokultur. Pola tanam agroforestri memiliki penerimaan cahaya yang lebih sedikit dibandingkan pada pola tanam monokultur kedelai. Hal ini menyebabkan tanaman menjadi lebih lama berbunga dan menyebabkan tanaman kedelai tumbuh lebih tinggi agar tanaman dapat menangkap cahaya matahari lebih banyak.

(32)

Tabel 7 Pengaruh varietas terhadap pertumbuhan kedelai

Peubah Varietas

Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis

Pertumbuhan

Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap umur panen kedelai dan memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot 100 biji, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah buku produktif, jumlah cabang produktif, jumlah polong/tanaman, jumlah polong isi/tanaman, jumlah polong hampa/tanaman, bobot biji/tanaman, bobot biji/petak, hasil/ha (Tabel 8).

Varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah buku produktif, jumlah cabang produktif, jumlah polong/tanaman, jumlah polong isi/tanaman, bobot biji/tanaman, bobot 100 biji, bobot biji/petak, umur panen kedelai, hasil/ha namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah polong hampa/tanaman (Tabel 10).

(33)

Pengaruh yang diberikan oleh perlakuan pola tanam terhadap produksi kedelai dapat dilihat pada Tabel 9. Pada tabel tersebut terlihat bahwa pola tanam tidak memberikan pengaruh pada produksi tanaman kedelai. Hal tersebut terjadi karena pohon sentang umur 1 tahun belum memberikan pengaruh terhadap produksi tanaman kedelai.

Tabel 8 Rekapitulasi hasil analisis ragam data produksi kedelai yang diberikan perlakuan pola tanam dan varietas

(tn) : tidak berbeda nyata, (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**) : berbeda sangat nyata pada taraf uji 1% ; KK : koefisien keragaman; R2 : R kuadrat ; (t) : hasil trasformasi akar (x+0.5); HST: hari setelah tanam.

Tabel 9 Pengaruh pola tanam terhadap produksi kedelai

Peubah Pola tanam

Agroforestri Monokultur

1. Jumlah buku produktif/tanaman 9.15a 9.06a

2. Jumlah cabang produktif 3.36a 3.54a

3. Jumlah polong/tanaman 78.77a 82.49a 4. Jumlah polong isi/tanaman 75.95a 78.30a

5. Jumlah polong hampa/tanaman 1.72a 2.08a

(34)

Pengaruh yang diberikan oleh perlakuan varietas terhadap produksi kedelai dapat dilihat pada Tabel 10. Varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi tanaman kedelai. Produksi Varietas Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis tidak berbeda nyata terhadap. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga varietas tersebut memiliki daya adaptasi yang baik pada perlakuan yang diberikan pada lokasi penelitian tersebut.

Tabel 11 menunjukkan interaksi antara perlakuan pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai. Pada variabel umur panen, masing-masing varietas di pola tanam monokultur maupun agroforestri memiliki hasil yang berbeda. Varietas yang tercepat umur panennya adalah Varietas Grobogan pada pola tanam monokultur, sedangkan yang terlama adalah Varietas Tanggamus yang terdapat pada pola tanam agroforestri. Pada variabel lainnya Varietas Grobogan memiliki nilai terendah dibandingkan dengan varietas lainnya pada lahan monokultur maupun agroforestri. Tabel 10 Pengaruh varietas terhadap produksi kedelai

Peubah Varietas

Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis 1. Jumlah buku produktif/tanaman 5.78c 8.85b 11.12a 10.67a

Tabel 11 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai

Peubah Pola tanam Varietas

(35)

Pada Tabel 12 terlihat bahwa Varietas Tanggamus dan Wilis memilki hasil/ha yang melebihi dari hasil deskripsi dari Balitkabi (2012), sedangkan Varietas Grobogan dan Anjasmoro memiliki hasil/ha yang lebih rendah.

PEMBAHASAN

Dimensi pohon sentang

Pertambahan tinggi pohon, diameter batang dan diameter tajuk sentang pada plot agroforestri lebih besar dibandingkan pada plot monokultur (Tabel 2), hal ini diduga karena pemeliharaan yang diberikan pada tanaman kedelai memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan sentang. Hasil yang sama didapatkan pada hasil penelitian Wibowo (2012) yaitu pemeliharaan pada tanaman semusim seperti pemupukan, penggemburan dan penyiangan gulma secara tidak langsung berdampak pada tanaman kehutanan pada pola agroforestri. Sentang mendapatkan serapan unsur hara yang lebih baik karena pupuk yang diberikan untuk tanaman kedelai juga diserap oleh sentang untuk proses pertumbuhannya. Pengolahan tanah membuat tanah menjadi gembur sehingga akar sentang dapat berkembang dengan baik dan mampu menyerap air dan unsur hara yang lebih tinggi. Penyiangan gulma pada lahan agroforestri juga berdampak positif bagi sentang karena akan mengurangi adanya kompetisi antara tanaman sentang dan gulma.

Perbedaan pertumbuhan tanaman pada masing-masing pola tanam agroforestri juga dipengaruhi oleh adanya interaksi antar komponen tanaman. Interaksi yang positif pada pola agroforestri akan menghasilkan peningkatan produksi dari semua komponen tanaman yang ada pada pola tersebut dan sebaliknya (Hairiah et al. 2002).

Luas tajuk pohon akan bertambah seiring bertambahnya diameter dan tinggi pohon. Tajuk pohon yang rapat akan menyebabkan cahaya yang masuk ke permukaan lahan semakin sedikit. Intensitas cahaya yang rendah tersebut akan merugikan tanaman bawahnya tetapi juga menguntungkan untuk menjaga kelembaban sehingga ketersediaan air akan tercukupi.

Tajuk pohon yang luas akan meningkatkan proses fotosintesis yang terjadi pada pohon yang bersangkutan sehingga pertumbuhannya juga semakin cepat. Proses fotosintesis akan berpengaruh terhadap pertumbuhan daerah perakaran dan bagian pohon yang lainnya. Tajuk melalui proses fotosintesis menyediakan karbohidrat untuk akar, sedangkan akar menyerap air dan hara dari dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan tajuk (Wijayanto & Araujo 2011).

Akar merupakan bagian terpenting dari pohon untuk dapat mempertahankan hidupnya. Akar memiliki tugas untuk memperkuat berdirinya tumbuhan, menyerap Tabel 12 Perbandingan hasil kedelai per ha

Produktivitas (ton/ha)

Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis

Agroforestri 1.15 1.86 1.47 2.12

Monokultur 1 1.84 1.79 1.96

(36)

air dan unsur-unsur hara yang terlarut dari dalam tanah, serta sebagai tempat untuk menimbun makanan.

Pada sistem agroforestri pengaturan sifat-sifat perakaran sangat perlu untuk menghindari persaingan unsur hara dan air yang berasal dari dalam tanah. Sistem perakaran yang dalam ditumpangsarikan dengan tanaman yang berakar dangkal. Tanaman monokotil pada umumnya mempunyai sistem perakaran yang dangkal, sedangkan tanaman dikotil umumnya mempunyai sistem perakaran yang dalam, karena memiliki akar tunggang. Akar yang diukur pada penelitian ini merupakan akar lateral. Akar lateral adalah cabang-cabang akar yang dihasilkan oleh akar utama dan masih dapat bercabang lagi.

Intensitas cahaya yang sangat tinggi lebih baik bagi pertumbuhan perakaran daripada pertumbuhan pucuk. Intensitas yang seperti ini menyebabkan transpirasi yang berlebihan pada tumbuhan, yang mengakibatkan batang-batang menjadi pendek, daun-daun yang tebal menjadi kecil, bertambah banyaknya jaringan-jaringan pengangkut air, dan menurunnya pertumbuhan. Kedalaman perakaran sangat berpengaruh pada banyaknya unsur hara dan air yang diserap, makin panjang dan dalam akar menembus tanah, makin banyak unsur hara dan air yang dapat diserap bila dibandingkan dengan perakaran yang pendek dan dangkal dalam waktu yang sama. Kedalaman akar berkurang dengan bertambahnya kandungan unsur hara dan air pada permukaan tanah (Sopandie 2014). Menurut Sitompul dan Guritno (1995) perakaran yang dalam berhubungan dengan aktivitas akar menemukan unsur hara dan air. Arah pergerakan akar mengikuti letak unsur hara dan air di dalam tanah. Jumlah unsur hara dan air yang dapat diserap tanaman tergantung pada kesempatan untuk mendapatkan unsur hara dan air tersebut di dalam tanah.

Perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata pertambahan kedalaman akar, namun tidak berbeda nyata pada rata-rata pertambahan panjang dan diameter akar. Rata-rata pertambahan panjang, kedalaman dan diameter akar lateral pada plot monokultur lebih tinggi dibandingkan pada plot agroforestri (Tabel 2), hal ini diduga karena kandungan unsur hara dan air tanah pada pola tanam agroforestri lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur. Perlakuan pemupukan dan penyiraman yang dilakukan pada kedelai menyebabkan bertambahanya kandungan unsur hara dan air tanah pada permukaan tanah di lahan agroforestri yang dapat dimanfaatkan oleh akar sentang dalam memenuhi kebutuhan unsur hara dan air pada proses pertumbuhannya. Penambahan unsur hara dan air tersebut menyebabkan akar tidak perlu memperdalam perakarannya, dikarenakan ketersediaan unsur hara dan air pada jangkauan akar yang lebih dangkal.

Respon Fisiologi Kedelai

Klorofil (a dan b) dihasilkan di dalam kloroplas pada jaringan daun. Klorofil a berfungsi meneruskan cahaya ke pusat reaksi yang merubah energi cahaya menjadi energi kimia. Klorofil b berfungsi sebagai pemanen cahaya dan meneruskan energi ke karotenoid ke klorofil a (Salisbury & Ross 1995). Reaksi cahaya dalam fotosintesis merupakan proses penyerapan foton energi radiasi oleh molekul-molekul pigmen pemanen cahaya. Klorofil merupakan komponen kloroplas yang utama dan kandungan klorofil relatif berkorelasi positif dengan laju fotosintesis (La Muhuriah

(37)

genetik, unsur-unsur hara seperti N, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, S dan O (Hendriyani & Setiari 2009).

Tanaman kedelai merupakan tanaman yang memerlukan cahaya penuh (La Muhuriah et al. 2006), sehingga adanya intesitas cahaya rendah menyebabkan tanaman mengalami cekaman intensitas cahaya rendah. Adaptasi tanaman terhadap cekaman cahaya dicapai melalui mekanisme penghindaran dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran dengan menurunkan titik kompensasi cahaya (La Muhuriah et al. 2006). Metode adaptasi tanaman sebagai bentuk respon terhadap cekaman naungan, bervariasi dari beberapa galur/varietas tanaman. Respon tanaman kedelai secara morfologi dapat berupa peningkatan luas daun, ketebalan daun, dan peningkatan jumlah stomata, serta secara fisiologis terjadinya penurunan rasio klorofil a/b (Nyngtyas 2006).

Berdasarkan Tabel 3, kandungan klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan monokultur dibandingkan dengan perlakuan agroforestri, begitu juga dengan rasio klorofil a/b terlihat bahwa rasio klorofil a/b pada perlakuan agroforestri lebih rendah dengan perlakuan monokultur, namun perbedaanya tidak terlalu besar dikarenakan penutupan tajuk pada tanaman sentang belum terlalu rapat. Berdasarkan Gambar 7 Varietas Wilis memiliki kandungan klorofil tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Penurunan rasio klorofil a/b disebabkan oleh peningkatan klorofil b yang lebih tinggi dibandingan dengan klorofil a, hal ini menunjukkan bahwa klorofil b merupakan pigmen pemanen cahaya yang lebih utama dan sekitar 50% energi cahaya ditransfer ke pusat reaksi melalui klorofil b (Croce et al. 2001). Daun yang terbentuk pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukan peningkatan jumlah klorofil dan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas empat sampai lima kali lebih banyak dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih rendah dibandingkan pada tanaman cahaya penuh karena memiliki kompleks pemanenan cahaya yang meningkat sehingga mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya untuk fotosintesis (Djukri & Purwoko 2003). Peningkatan efisiensi cahaya dilakukan tanaman dengan meningkatkan luas bidang tangkapan yang menyebabkan daun lebih tipis, dan meningkatkan jumlah klorofil, serta menurunkan rasio klorofil a/b (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003; Handayani 2003).

Berdasarkan Tabel 4, perlakuan pola tanam monokultur memiliki serapan hara N, P dan K tertinggi dibandingkan dengan perlakuan agroforestri, namun perbedaannya tidak terlalu besar. Berdasarkan Gambar 8, Varietas Wilis memiliki nilai serapan hara NPK yang tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, hal ini diduga karena adanya perbedaan perolehan cahaya matahari pada perlakuan agroforestri dan monokultur.

Cahaya matahari mempengaruhi laju traspirasi secara tidak langsung, yaitu melalui pembukaan stomata dan mengatur suhu udara. Suhu udara yang tinggi, akibat intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan penguapan air dari permukaan sel tanaman semakin tinggi. Translokasi air dan serapan N, P dan K berjalan semakin cepat. Hal tersebut berarti cahaya matahari berfungsi sebagai sumber energi bagi serapan hara N, P dan K oleh akar tanaman kedelai.

(38)

(Sopandie 2014). Berkurangnya serapan hara akan mengurangi tingkat alokasi bahan kering. Tingkat alokasi bahan kering selama pertumbuhan sangat menentukan besarnya tingkat produksi yang dihasilkan. Bobot kering akar menunjukkan kemampuan serapan hara tanaman. Berat kering tanaman erat hubungannya dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan dalam menyerap hara untuk pertumbuhan dan perkembangan bagian vegetatif.

Pertumbuhan Kedelai

Pemberian perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman (Tabel 5). Tinggi tanaman perlakuan pola tanam agroforestri lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam monokultur (Tabel 6). Hal tersebut diduga karena adanya perbedaan penerimaan intensitas cahaya yang diterima pada setiap plot perlakuan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Agusta dan Santosa (2005) yang menyatakan bahwa kondisi ternaungi membuat tanaman kedelai tumbuh lebih memanjang dibandingkan dengan pada keadaan terbuka. Tanaman yang ternaungi umumnya akan beradaptasi dengan meningkatkan tinggi tanaman. Peningkatan tinggi tanaman merupakan salah satu bentuk mekanisme tanaman agar dapat menangkap cahaya dalam jumlah banyak. Hal ini berhubungan dengan aktivitas hormon auksin dalam tumbuhan. Auksin merupakan hormon yang menyebabkan semakin tingginya tanaman kedelai dengan meningkatnya taraf naungan yang diberikan pada pertanamannya (Gardner et al. 1991). Sopandie et al.

(2006) menambahkan bahwa etiolasi merupakan salah satu mekanisme yang dibangun tanaman agar dapat menangkap cahaya lebih banyak, namun peningkatan tanaman yang berlebihan memiliki dampak negatif, yaitu tanaman menjadi mudah rebah dan rentan terhadap penyakit.

Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman 2–4 MST dan 7 MST (Tabel 5). Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada umur 2–4 MST Varietas Grobogan memberikan hasil tinggi tanaman yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, sedangkan pada umur tanaman 7 MST Varietas Anjasmoro memberikan hasil tinggi tanaman yang tertinggi. Nilai tinggi tanaman 7 MST Varietas Anjasmoro ini berbeda nyata bila dibandingkan dengan nilai tinggi tanaman 2 MST sampai panen Varietas Grobongan, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Tanggamus dan Wilis. Umur 7 MST, tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 55.32 cm, 70.46 cm, 70.24 cm dan 70.30 cm, sedangkan berdasarkan deskripsi tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 50–60 cm, 64–68 cm, 67 cm dan ± 50 cm (Balitkabi 2012). Hasil yang diperoleh sesuai kisaran dari deskripsi bahkan untuk Varietas Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis, hasil yang didapatkan lebih tinggi dari deskripsi. Grobogan memiliki tinggi yang paling rendah, hal tersebut diduga bahwa Varietas Grobogan lebih cepat berbunga dibandingkan dengan varietas yang lainnya sehingga pertumbuhan tinggi tidak terjadi lagi.

(39)

intensitas cahaya pada pola tanam agroforestri tidak sesuai untuk induksi pembungaan sehingga munculnya bunga pada pola tanam agroforestri terjadi lebih lama.

Pembentukan bunga sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan lamanya penyinaran. Suhu tinggi, kelembaban rendah, dengan jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak maka merangsang pembentukan bunga (Adie & Krisnawati 2007). Tanaman kedelai yang ditanam pada kondisi cahaya rendah secara umum memiliki umur berbunga yang lebih cepat. Proses pembungaan dapat terbentuk karena adanya protein yang mudah larut (fitokrom). Intensitas cahaya yang tinggi mengubah pigmen menjadi bentuk yang mengawali induksi pembungaan (Karamoy 2009).

Tiap varietas memiliki umur berbunga yang berbeda (Tabel 7). Umur berbunga yang paling pendek sampai yang paling lama secara berturut turut yaitu Grobogan (30.00 HST), Anjasmoro (37.33 HST), Tanggamus (37.50 HST), Wilis (37.67 HST), sedangkan berdasarkan deskripsi umur berbunga Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 30–32 HST, 35.7– 39.4 HST, 35 HST dan ± 39 HST (Balitkabi 2012). Hasil dari umur berbunga penelitian ini sesuai kisaran dari deskripsi.

Nilai bobot basah dan kering pucuk kedelai pada pola tanam monokultur memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam agroforestri. Hasil ini diikuti dengan peningkatan hasil kedelai. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh lingkungan seperti perbedaan penerimaan cahaya pada masing-masing pola tanam. Hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan bobot kering baik pucuk maupun akar pada masing-masing pola tanam. Cahaya merupakan sumber energi penting untuk fotosintesis dan sebagai kontrol dalam berbagai proses fisiologi tanaman. Tanaman kedelai pada pola tanam monokultur mendapat intensitas cahaya tertinggi sehingga proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik. Hasil fotosintesis maksimal dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga bobot kering akan tinggi. Hasan (1985) menyatakan bahwa pertambahan bobot kering merupakan akumulasi dari fotosintat yang berakibat lansung terhadap pembesaran dan diferensiasi sel yang dinyatakan dalam pertumbuhan tinggi, perubahan ukuran, struktur daun serta batang tanaman.

Nilai bobot basah dan kering akar kedelai pada pola tanam monokultur memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam agroforestri (Tabel 6). Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh lingkungan seperti perbedaan penerimaan cahaya pada masing-masing pola tanam. Besarnya rata-rata radiasi matahari pada pola tanam monokultur yaitu 454.50 lux lebih tinggi dari pola tanam agroforestri yaitu 347. 59 lux, hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan bobot kering baik pucuk maupun akar pada masing-masing pola tanam. Karamoy (2009) menyatakan bahwa produksi bahan kering dipengaruhi oleh banyaknya cahaya yang diserap oleh tanaman tersebut.

Bobot kering tanaman mencerminkan pola tanaman akumulasi produk dari proses fotosintesis dan merupakan intergrasi dengan faktor-faktor lingkungan lainnya (Sumarsono 2008). Hal ini menjelaskan bahwa intensitas cahaya mempengaruhi pertambahan berat kering tanaman.

(40)

di dalam tanah pada pola tanam monokultur dan agroforestri. Ketersediaan unsur N di dalam tanah sangat mempengaruhi pembentukan bintil akar. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa jumlah N tersedia yang tinggi di dalam tanah akan menekan ekspresi nif, sehingga mengurangi pembintilan dan aktivitas nitrogenase. Rhizobium

dalam bintil akar dapat mengikat nitrogen (N2) dari udara dan kemudian mengubahnya ke dalam bentuk amonium (NH+4) dengan bantuan enzim nitrogenase.

Amonium yang dihasilkan oleh Rhizobium tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman, sebaliknya bakteri Rhizobium mengambil karbohidrat, protein dan oksigen yang dihasilkan tanaman untuk hidup dan berkembang biak (Gardner et al.1991).

Jumlah bintil akar dan bobot kering bintil akar akan mempengaruhi bobot kering tanaman. Bintil akar yang berfungsi sebagai penambat N sudah dapat meningkatkan efisiensi pemupukan yang mengakibatkan pertumbuhan kedelai menjadi optimal dan fotosintat yang dihasilkan banyak, sehingga mengakibatkan banyaknya cadangan fotosintat yang digunakan untuk pertumbuhan vegetatif yang berdampak pada tingginya bobot kering tanaman.

Bintil akar aktif yang banyak terbentuk menunjukkan tanaman semakin aktif mengikat N bebas di tanah. Bintil akar aktif menyuplai kebutuhan nitrogen untuk pengisian dan pemasakan polong kedelai. Bintil akar aktif yang semakin banyak dapat meningkatkan jumlah polong isi dan biji kedelai.

Produksi Kedelai

Umur panen kedelai dan bobot 100 biji pada pola tanam agroforestri berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan pola tanam monokultur. Hal ini diduga karena adanya tanggap faktor genetik yang berbeda terhadap faktor lingkungan, sehingga menunjukkan perbedaan pertumbuhan dan pemasakan buah. Umur panen yang lama juga berhubungan dengan umur berbunga, semakin cepat tanaman berbunga, maka semakin cepat pula umur panen dari suatu tanaman. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada penelitian ini pola tanam monokultur menyebabkan tanaman berbunga lebih cepat dibandingkan pada pola tanam agroforestri. Hal inilah yang menyebabkan kedelai pada pola tanam monokultur lebih cepat umur panennya dibandingkan pada pola tanam agroforestri. Menurut Wirnas (2007) penambahan umur panen dapat menurunkan bobot biji per tanaman, jumlah polong total dan jumlah polong isi. Galur-galur kedelai toleran naungan memiliki tingkat kemasakan polong yang berbeda. Perbedaan tingkat kemasakan polong mengakibatkan umur panen yang berbeda pula sehingga proses pemanenan kedelai tidak dapat dilakukan secara serempak. Kondisi kekeringan dari fase pembentukan polong sampai fase pemasakan polong turut memberikan pengaruh terhadap umur tanaman. Hal ini didukung oleh Suhartina dan Arsyad (2006) bahwa kekeringan pada fase reproduktif mempercepat umur masak.

(41)

Kombinasi antar perlakuan pola tanam dan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur panen kedelai (Tabel 8). Umur panen Varietas Tanggamus pada pola tanam agroforestri lebih lama dibandingkan dengan varietas lainnya baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri (Tabel 11). Umur panen tercepat terdapat pada Varietas Grobogan pada pola tanam monokultur.

Bobot 100 butir merupakan karakter untuk mengetahui ukuran biji kedelai, semakin besar bobot 100 butir biji kedelai maka ukuran biji kedelai juga semakin besar. Tanaman kedelai yang tumbuh pada lingkungan ternaungi pada fase generatif akan mengalami penurunan aktivitas fotosintesis sehingga alokasi fotosintat ke organ reproduksi menjadi berkurang (Kakiuchi & Kobata 2004), hal ini menyebabkan ukuran biji menjadi lebih kecil dibandingkan pada kondisi terbuka.

Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot 100 biji kedelai (Tabel 8). Bobot 100 biji Varietas Grobogan memberikan hasil bobot 100 biji yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya (Tabel 10). Bobot 100 biji Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 20.32 g, 14.10 g, 10.36 g dan 9.82 g, sedangkan pada deskripsi tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah ± 18 g, 14.8–15.3 g, 11 g dan ± 10 g (Balitkabi 2012). Hasil dari tinggi penelitian ini sesuai kisaran dari deskripsi bahkan untuk Varietas Grobogan, hasil yang didapatkan lebih tinggi dari deskripsi.

Jumlah buku dan jumlah cabang produktif Varietas Tanggamus memberikan hasil jumlah buku dan cabang produktif yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Wilis. Perbedaan jumlah buku tiap varietas diduga karena adanya perbedaan rata-rata tinggi tanaman. Rata-rata jumlah cabang Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 2.33 cabang, 3.47 cabang, 3.97 cabang dan 4.03 cabang, sedangkan pada deskripsi tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah tidak ada percabangan, 2.9–5.6 cabang , 3–4 cabang dan 3.65 cabang (Balitkabi 2012). Hasil dari jumlah cabang penelitian ini sesuai kisaran dari deskripsi bahkan untuk Varietas Grobogan dan Tanggamus hasil yang didapatkan lebih tinggi dari deskripsi.

Pola tanam agroforestri memiliki jumlah buku produktif yang banyak dibandingkan dengan pola tanam monokultur, namun memiliki jumlah cabang yang sedikit dibandingkan dengan pola tanam monokultur (Tabel 9), Sopandie et al. (2006) menyatakan bahwa respon tanaman terhadap intensitas cahaya rendah adalah dengan peningkatan tinggi tanaman, tetapi jumlah daun dan jumlah cabang juga akan berkurang sebagai konsekuensi pertumbuhan tinggi tanaman yang diutamakan. Pembentukan cabang juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa peningkatan intensitas cahaya dapat melipatgandakan percabangan per tanaman.

Kombinasi antar perlakuan pola tanam dan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah cabang produktif kedelai (Tabel 9). Jumlah cabang produktif Varietas Tanggamus pada pola tanam monokultur memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan Varietas Grobogan baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Anjasmoro dan Wilis baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri (Tabel 11).

Gambar

Gambar 2 Intensitas cahaya pada lahan agroforestri sentang dan monokultur kedelai
Gambar 5 Hama kedelai pada fase vegetatif kumbang (A), semut (B), ulat
Gambar 6  Hama dan penyakit kedelai pada fase generatif, SVM (Soybean mosaic
Tabel 2  Pertambahan dimensi sentang pada plot agroforestri dan monokultur
+7

Referensi

Dokumen terkait

5elain perbesaran uterus yang lebih menon!ol, pada MH# ditemukan pula dua hal lain yang berbeda dengan kehamilan normal, yaitu kadar hCG dan kista lutein. #adar hCG pada

- Sebagai vector mekanik bagi beberapa mikro organisme patogen. - Sebagai inang perantara bagi beberapa spesies cacing. - Menyebabkan timbulnya reaksi-reaksi alergi

Efikasi Lima Insektisida Terhadap Kecoak Jerman Strain VCRU-WHO, GFA-JKT dan PLZ-PDG Berdasarkan Waktu Kelumpuhan Berdasarkan waktu kelumpuhan (Tabel 3), lima

Sedangkan faktor dari luar siswa (eksternal) siswa antara lain lingkungan keluarga, sekolah, ruang belajar, fasilitas belajar dan masyarakat. Dari beberapa faktor

Penggunaan Bahan Bakar Alternatif pengganti BBM Pengembangan Teknologi Kendaraan Pemeriksaan dan Perawatan Kendaraan Change Mitigation (2009) dari Tanaman penghasil gula,

Rekomendasi akan menampilkan sejumlah film yang dirating oleh 3 orang yang memiliki tingkat kedekatan paling tinggi dengan pengguna.Pengguna hanya dapat memberikan nilai

Untuk mengetahui selera pelanggan yang bersangkutan dapat dilihat dari transaksi transaksi sehari-hari yang dilakukan pelanggan, selain itu jika website

Dalam rangka meningkatkan kesehatan dan keadaan gizi anak – anak SD, sejak tahun 1991/92 telah dilakukan uji coba mengatasi masalah kekurangan gizi anak SD di daerah miskin di