• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaikan varietas tanaman cabai melalui program pemuliaan tanaman ditujukan untuk menghasilkan varietas cabai baru yang memiliki potensi hasil tinggi dengan kualitas buah yang baik sesuai selera konsumen. Kualitas buah yang dimaksud merupakan kombinasi dari penampilan fisik buah, bebas dari serangan hama dan penyakit serta kandungan produk metabolit didalam buah cabai tersebut. Penelitian terhadap genotipe-genotipe tanam cabai, baik untuk mengetahui potensi produksi, kadar produk metabolit sekunder, maupun pendugaan parameter genetiknya pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka menghasilkan cabai varietas baru yang berproduksi tinggi dan sesuai dengan selera konsumen.

Empat belas genotipe yang diuji pada percobaan awal memperlihatkan adanya keragaman yang cukup tinggi diantara genotipe-genotipe tersebut. Hal ini terlihat dari nilai koefisien keragaman genetik dari karakter yang diamati menunjukkan kriteria tinggi kecuali karakter kadar capsaicin yang memiliki nilai koefisien keragaman genetik dengan kriteria sedang. Menurut Kusandriani dan Permadi (1996) keragaman genetik yang tinggi merupakan potensi yang besar untuk mengembangkan varietas cabai yang memiliki kuantitas dan kualitas hasil baik melalui program pemulian tanaman. Dengan keragaman genetik yang tinggi ini maka sebagian besar karakter memiliki peluang terhadap usaha-usaha perbaikan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Allard (1960) bahwa semakin tinggi nilai KKG maka peluang dalam usaha perbaikan yang efektif dalam seleksi lebih besar pula sehingga dapat meningkatkan kemajuan genetik hasil seleksi.

Selain itu genotipe-genotipe yang diuji pada tahap awal percobaan ini memperlihatkan peran faktor genetik yang sangat besar terhadap terekspresi karakter-karakter yang diamati. Hal ini terlihat pada nilai heritabilitas dari karakter-karakter-karakter-karakter yang diamati tergolong tinggi. Nilai heritabilitas ini juga dapat dipakai untuk menduga besarnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses seleksi. Apabila

pengaruh lingkungan besar maka terekspresinya karakter akan sangat ditentukan oleh kondisi optimum lingkungan bagi pertumbuhan tanaman.

Bobot buah per tanaman merupakan karakter yang menggambarkan produksi akhir dari tanaman cabai apabila dikonversi per satuan luas tertentu. Hasil analisis memperlihatkan nilai tengah bobot buah per tanaman adalah sebesar 366,89 g, dengan kisaran antara 102,69 g (IPB C10), hingga 501,91 g (IPB C129). Nilai-nilai penting bobot buah per tanaman ini apabila dihubungkan dengan peran faktor genetik yang tercermin dari nilai heritabilitas yang tergolong tinggi (62,31 %), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor genetik sangat berperan dalam menentukan bobot buah per tanaman tersebut. Hal ini dapat dijelaskan bahwa apabila genotipe cabai yang digunakan memiliki genetik yang mengekspresikan buah cabai besar maka secara otomatis bobot buah dari genotipe tersebut lebih besar dibandingkan dengan jenis cabai dari genotipe yang ukuran buahnya kecil (misalnya cabai rawit). Perubahan lingkungan yang dilakukan seperti apapun akan tetap menghasilkan bobot buah dari jenis cabai besar lebih tinggi dari jenis cabai rawit.

Dalam mempelajari suatu sifat, maka hubungan korelasi antara sifat sangat baik diketahui sebagai indikator untuk memperbaiki suatu sifat melalui sifat lainnya (Baihaki 2000). Hasil analisis korelasi antara karakter kadar vitamin C dan kadar capsaicin dari 14 genotipe yang diseleksi, menunjukkan adanya hubungan korelasi yang positif. Setelah dilakukan analisis ulang pada lima genotipe terpilih sebagai tetua dan hibridanya, dihasilkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kedua karakter tersebut. Oleh sebab itu untuk memperbaiki karakter kadar capsaicin dan vitamin C harus dilakukan secara terpisah.

Hasil dari percobaan 1 diperoleh lima genotipe tetua yang mempunyai produksi tinggi dengan karakter beragam diantaranya kadar capsaicin dan vitamin C. Kelima genotipe tersebut adalah genotipe IPB C2 grup cabai semi keriting (capsaicin rendah, vitamin C rendah), genotipe IPB C9 grup cabai besar (capsaicin sedang, vitamin C rendah), genotipe IPB C10 grup cabai rawit (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), genotipe IPB C15 grup cabai semi keriting (capsaicin sedang, vitamin C sedang) dan genotipe IPB C20 grup cabai rawit (capsaicin sedang, vitamin C sedang).

Keragaman penampilan yang terlihat dari suatu tanaman (fenotipe) ditentukan oleh keragaman genetik, keragaman lingkungan dan interaksi antara keduanya. Faktor genetik yang menjadi fokus perhatian dalam pemuliaan tanaman karena faktor ini diwariskan dari tetua kepada turunannya. Keragaman genetik merupakan keragaman yang disebabkan oleh pengaruh aditif, pengaruh dominansi dan interaksi antar gen (Falconer 1981). Evalusi terhadap hibrida F1 perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana sifat-sifat yang dikendalikan secara genetik itu diwariskan dari kedua tetuanya kepada turunannya.

Berdasarkan hasil evaluasi hibrida F1, diketahui bahwa tetua betina memberikan pengaruh terhadap karakter kadar capsaicin namun tidak ada pengaruhnya pada karakter kadar vitamin C. Seperti diketahui bahwa pada tanaman, umumnya dikenal 2 macam pewarisan ekstrakromosomal yaitu pewarisan sitoplasmik (pewarisan maternal) dan efek maternal (Yunianti et al. 2006). Pewarisan sitoplasmik terjadi apabila faktor yang menentukan karakter zuriat terdapat diluar nukleus. Menurut Suryo (2007) pewarisan sitoplasmik terjadi karena sitoplasma gamet betina biasanya jauh lebih banyak dari pada sitoplasma gamet jantan. Efek maternal terjadi apabila genotipe nukleus dari tetua betina menentukan fenotipe turunannya, tanpa dipengaruhi oleh tetua jantan sehingga apapun genotipe turunannya, fenotipenya akan sama dengan tetua betina.

Persilangan diantara genotipe tetua pada percobaan ini dihasilkan perbedaan antara hibrida F1 dengan F1R untuk karakter kadar capsaicin. Dengan demikian karakter kadar capsaicin dipengaruhi oleh pewarisan ekstrakromosomal. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Gardner et al. (1990) bahwa apabila suatu karakter dikendalikan oleh tetua betina (pewarisan ekstrakromosomal), keturunan persilangan resiproknya (F1R) akan memberikan hasil yang berbeda dari F1-nya, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina. Namun demikian pengaruh pewarisan ekstrakromosomal dimaksud, apakah akibat aksi gen diluar inti ataukah gen di dalam inti sel, belum dapat diketahui secara pasti sehingga pembuktian yang lebih mendalam khususnya dengan pendekatan molekuler masih perlu dilakukan. Dengan adanya pengaruh pewarisan ekstrakromosomal ini

menyebabkan salah satu asumsi dilaksanakan persilangan dialel tidak terpenuhi. Untuk karakter kadar vitamin C, asumsi tidak adanya pewarisan ekstrakromosomal untuk persilangan dialel terpenuhi.

Pendugaan heterosis dan heterobeltiosis untuk karakter kadar capsaicin pada hibrida yang diuji menunjukkan genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi. Hal ini berarti kadar capsaicin yang terbentuk pada genotipe IPB C15 x IPB C9 mengalami peningkatan kadar capsaicin melebihi salah satu tetua terbaik (IPB C15). Pada karakter kadar vitamin C, genotipe hibrida F1 IPB C9 x IPB C10 yang berasal dari hasil persilangan cabai besar dengan cabai rawit, menunjukkan nilai heterosis dan heterobeltiosis yang tinggi pula. Peningkatan kadar capsaicin dan vitamin C pada genotipe – genotipe hibrida F1 ini diduga disebabkan kedua tetua dari hibrida F1 secara genetik berbeda yaitu dari jenis cabai semi keriting dengan cabai besar (capsaicin) dan jenis cabai besar dengan cabai rawit (vitamin C). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Singh (1987) bahwa untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi, maka tetua galur murni berasal dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara genetik sehingga memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil persilangan. Ragam genetik aditif merupakan basis utama bagi heterosis.

Pendugaan parameter genetik pada percobaan ini menggunakan pendekatan analisis silang dialel. Hal ini disebabkan karena pendekatan ini memiliki keunggulan yaitu pendugaan parameter genetik telah dapat dilakukan pada generasi F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1, ataupun BCP2. Hayman (1961) mengemukakan bahwa analisis dialel adalah alat penting untuk memilih tetua terbaik dalam program pemuliaan tanaman. Hasil uji terhadap nilai dugaan b untuk karakter kadar capsaicin menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan satu (nilai p=0,4367 > 0.05). Hal ini dapat menjadi petunjuk tidak terjadinya interaksi antar gen dalam menetukan kadar capsaicin pada tanaman cabai. Untuk karakter kadar vitamin C, nilai dugaan b menunjukkan perbedaan yang nyata sehingga terjadi interaksi gen antar lokus dalam menentukan karakter kadar vitamin C. Adanya interaksi antar gen pada lokus yang berbeda menunjukkan bahwa dalam pewarisan karakter kadar

vitamin C tersebut terdapat sekurang-kurangnya peran dua lokus yang berbeda. Dengan adanya interaksi gen dalam ekspresi dari karakter kadar vitamin C maka salah satu asumsi analisis silang dialel tidak terpenuhi.

Menurut Hayman (1954), bahwa adanya tipe interaksi komplementer akan menggeser garis regresi (Wr,Vr), memperbesar nilai (H1/D)1/2, menekan nilai h2/H2, tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap penduga frekwensi gen (H2/4H1); sedangkan tipe interaksi duplikasi akan menekan nilai h2/H2, meningkatkan proporsi gen dominan (Kd/Kr), tetapi kurang mempengaruhi (H1/D)1/2, (H2/4H1), dan garis regresi (Wr,Vr). Dengan memperhitungkan jenis interaksi gen yang ada, maka nilai pendugaan parameter tingkat dominansi (H1/D)1/2, jumlah gen pengendali karakter (h2/H2), (H2/4H1), dan proporsi gen dominan terhadap gen resesif (Kd/Kr) untuk karakter kadar vitamin C tidak dapat digunakan.

Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi untuk karakter kadar capsaicin sekurang-kurangnya satu kelompok gen pengendali, sementara karakter kadar vitamin C tidak dapat dibuktikan karena adanya efek interaksi gen. Gen-gen yang menentukan pewarisan sifat kadar capsaicin tidak menyebar secara merata di dalam tetua, namun gen-gen yang menentukan kadar vitamin C menyebar merata di dalam tetua. Hal ini diduga disebabkan dari 5 tetua yang digunakan, kadar capsaicin tinggi hanya dimiliki oleh satu tetua yaitu IPB C10, sedangkan untuk kadar vitamin C yang tinggi terdapat pada 3 tetua yaitu IPB C10, IPB C20 dan IPB C15. Untuk mengetahui lebih pasti tentang distribusi gen didalam tetua maka jumlah tetua yang digunakan dalam percobaan yang akan datang sebaiknya diperbanyak.

Pengaruh dominan dan interaksi antar gen merupakan pengaruh gen non aditif. Pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri seperti cabai, sebenarnya seleksi harus dilakukan unuk pengaruh aditif dengan harapan dapat mengumpulkan genotipe-genotipe superior. Seleksi menjadi tidak efektif jika genotipe-genotipe superior tersebut ditentukan oleh pengaruh dominan dan interaksi gen (Poehlman 1983). Besarnya pengaruh non aditif ini akan memperkecil nilai heritabilitas arti sempit. Pada karakter kadar capsaicin, seharusnya akibat pengaruh gen dominan maka nilai heritabilitas arti

sempit menjadi kecil namun hasil yang diperoleh nilai heritabilitas arti sempit masih tergolong tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena pengaruh maternal seperti yang telah dibahas sebelumnya. Untuk karakter kadar vitamin C, nilai heritabilitas tergolong kecil akibat pengaruh dari adanya interaksi gen. Hal ini menunjukan peran gen non aditif yaitu epistasis lebih besar sehingga pelaksanaan seleksi bagi karakter kadar vitamin C sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, kadar capsaicin ditentukan oleh gen resesif namun kadar vitamin C ditentukan oleh gen dominan. Sudjindro et al. (1991) yang melakukan penelitian pada beberapa kultivar kenaf (Hibiscus cannabinus L.) menghasilkan bahwa semakin dekat letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y atau titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen dominan, sebaliknya makin jauh titik tetua dari titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen resesif.

Heritabilitas merupakan parameter paling penting dalam pemuliaan tanaman. Semakin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat atau karakter yang diseleksi, maka semakin tinggi peningkatan sifat/karakter yang diperoleh setelah seleksi. Tingginya nilai heritabiltas suatu karakter menunjukkan bahwa korelasi antara ragam fenotipik dan ragam genetik yang tinggi. Pada kondisi tersebut seleksi individu sangat efektif dilakukan, sebaliknya jika nilai heritabilitas rendah, maka sebaiknya seleksi dilakukan berdasarkan seleksi kelompok. Heritabilitas merupakan bagian dari keragaman total pada sifat-sifat yang disebabkan oleh perbedaan genetik diantara tanaman-tanaman yang diamati atau dengan kata lain heritabilitas merupakan perbandingan antara ragam genetik terhadap ragam fenotipik. Ragam fenotipik dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

Ada dua pengertian tentang heritabilitas. Pertama, heritabilitas dalam arti luas (h2bs), yaitu perbandingan antara ragam genetik yang merupakan gabungan dari ragam genetik aditif, dominan dan epistasis, dengan ragam fenotipik. Heritabilitas dalam arti luas hanya dapat menjelaskan berapa bagian dari keragaman fenotipik yang disebabkan oleh pengaruh genetik dan berapa bagian pengaruh faktor lingkungan, namun tidak dapat menjelaskan proporsi keragaman fenotipik pada tetua

yang dapat diwariskan pada turunannya. Diketahui bahwa genotipe suatu tanaman tidak diwariskan secara keseluruhan pada turunannya. Keunggulan suatu tanaman yang disebabkan oleh gen-gen yang beraksi secara dominansi dan epistasis akan terpecah pada saat proses pindah silang dan segregasi dalam meoisis. Kedua, heritabilitas dalam arti sempit (h2ns), yaitu perbandingan antara ragam genetik additif dengan ragam fenotipik. Heritabilitas arti sempit menunjukkan bagian atau persentase dari keragaman fenotipik yang disebabkan oleh keragaman genetik additif. Semakin tinggi nilai (h2ns), dapat diartikan bahwa keragaman sifat lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan genotipe tanaman dalam populasi, dan hanya sedikit pengaruh keragaman lingkungan. Untuk banyak tujuan, heritabilitas dalam arti sempit merupakan dugaan yang paling banyak bermanfaat karena mampu menunjukkan laju perubahan yang dapat dicapai dengan seleksi untuk suatu karakter di dalam populasi. Pengaruh taksiran additif biasanya lebih penting dari pengaruh genetik total.

Terdapat banyak metode untuk menduga nilai heritabilitas dan komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan cara tidak langsung dari pendugaan komponen ragam, diantaranya adalah perhitungan ragam turunan dan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam (Baihaki 2000). Pada percobaan ini, metode yang digunakan untuk menghitung nilai heritabilitas adalah dengan pendugaan komponen ragam melalui analisis ragam menggunakan analsis silang dialel.

Nilai heritabilitas arti luas (h2bs) untuk karakter kadar capsaicin adalah 97,29 % dan nilai heritabilitas dalam arti sempit (h2ns) sebesar 60,90 % dikategorikan tinggi. Ini menunjukan ragam yang muncul dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai heritabilitas arti luas yang tinggi diduga disebabkan oleh aksi gen dominan dan aditif, sesuai dengan hasil analisis bahwa pengaruh aditif (D) dan dominan (H1) berpengaruh sangat nyata. Dengan demikian pengaruh aditif terhadap keragaman genetik masih cukup besar. Berdasarkan kedua nilai heritabilitas ini maka besarnya keragaman genetik yang ditentukan oleh gen non aditif baik dominan maupun epistasis adalah 36,39% (nilai h2bs - h2ns) tergolong cukup besar. Untuk karakter kadar capsaicin, nilai heritabilitas arti luas adalah sebesar 92,19 % tergolong tinggi dan nilai heritabilitas dalam arti sempit adalah 30,46 % tergolong sedang. Hasil nilai heritabilitas arti

sempit ini menunjukkan pengaruh aditifpun kecil, sementara pengaruh non aditif yaitu epistasis adalah sebesar 61,73 %.

Hasil pengujian daya gabung umum (GCA) dan daya gabung khusus (SCA) untuk karakter kadar capsaicin dan kadar vitamin C memperlihatkan hasil yang sangat nyata. Namun demikian nilai GCA dari kedua karakter lebih besar dari nilai SCA. Dengan kondisi ini maka seharusnya kedua karakter dikendalikan oleh aksi gen aditif. Untuk karakter kadar capsaicin, masih bisa disimpulkan bahwa adanya pengaruh aksi gen aditif dalam menentukan ekspresi dari karakter tersebut. Namun untuk karakter kadar vitamin C, terjadi bias dalam penentuan aksi gen. Hal ini masih belum dapat dijelaskan. Seperti diketahui bahwa, daya gabung umum merupakan penduga terhadap ragam aditif, sementara daya gabung khusus merupakan penduga dari ragam non aditif (dominan dan epistasis) (Roy 2000). Daya gabung umum yang lebih besar dari pada daya gabung khusus menunjukan bahwa aksi gen aditif lebih berperan dalam mengendalikan sifat tersebut dibandingkan dengan aksi gen non aditif. Sebaliknya daya gabung khusus yang lebih besar dari pada daya gabung umum, maka aksi gen non aditif yang lebih berperan dalam mengendalikan sifat dibandingkan dengan aksi gen aditif (Sousa dan Maluf 2003).

Nilai daya gabung umum untuk tetua IPB C10 merupakan nilai DGU yang paling tinggi untuk kedua karakter yang diauji, yaitu 62,40 untuk karakter kadar capsaicin dan 9,50 untuk karakter kadar vitamin C. Ini menunjukkan peluang untuk pembentukan varietas bersari bebas sangat mungkin untuk dilakukan. Pada karakter kadar capsaicin, nilai daya gabung khusus tertinggi terbentuk pada persilangan genotipe IPB-C20 x IPB-C10 yaitu sebesar 73,49. Untuk karakter kadar vitamin C, adalah sebesar 25,94 pada kombinasi persilangan antara genotipe IPB C9 dengan IPB C10. Nilai Daya Gabung Khusus yang tinggi menggambarkan adanya kemungkinan untuk tetua-tetua yang digunakan membentuk varietas hibrida.

Hasil pengujian kadar capsaicin dan vitamin C pada tanaman cabai dalam percobaan ini menunjukkan genotipe IPB C10 (jenis cabai rawit) memiliki keunggulan sehingga dapat dipakai sebagai genotipe dalam program pemuliaan tanaman untuk perbaikan sifat kadar capsaicin dan vitamin C.

Dokumen terkait