• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani, Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

Secara umum tanaman cabe dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Sub kelas : Sympetale Ordo : Tubiflorae Famili : Solanaceae Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annuum L.

Deskripsi spesies Capsicum menurut Heiser dan Smith (1953), Smith dan Heiser (1957) dan Heiser dan Pickersgill (1969) dalam Djarwaningsih (2005), adalah sebagai berikut:

Capsicum annuum L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-100 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya menggantung. Mahkota bunga berwarna putih, berbentuk seperti bintang, kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna dan tingkat kepedasan. Bentuk buah seperti garis, menyerupai kerucut, seperti tabung memanjang, lonceng atau berbentuk bulat. Warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning atau keunguan. Posisi buah menggantung. Biji berwarna kuning pucat.

Capsicum baccatum L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-75 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya tegak atau menggantung. Mahkota bunga berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, berbentuk seperti bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, bentuk buah bulat memanjang. Warna buah ketika masih muda dapat merah, jingga, kuning, hijau atau

coklat dan setelah masakpun bervariasi dari jingga, kuning sampai merah. Posisi buah tegak atau menggantung. Biji berwarna kuning pucat.

Capsicum frutescens L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi 50-150 cm, hidupnya dapat mencapai 2 atau 3 tahunan. Bunganya muncul berpasangan atau bahkan lebih di bagian ujung ranting, posisinya tegak. Mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang, kelopak rompong. Buah muncul berpasangan atau bahkan lebih pada setiap ruas, biasanya rasanya sangat pedas. Kadang-kadang mempunyai bentuk buah bulat memanjang atau berbentuk setengah kerucut. Warna buah setelah masak biasanya merah, posisi buah tegak. Biji berwarna kuning pucat.

Capsicum pubescens R. & P. Tumbuhan berupa perdu, tinggi 45-113 cm, berbulu lebat, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal atau kadang-kadang menggerombol berjumlah 2-3 pada tiap ruas, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna ungu, berbulu, berbentuk seperti bintang. Kelopak berwarna hijau, berbulu. Buah tunggal atau muncul bergerombol berjumlah 2-3 pada setiap ruas, rasanya pedas. Buahnya berbentuk bulat telur; warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, jingga atau cokelat; posisi buah menggantung. Biji berwarna hitam.

Capsicum sinense Jacq. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi 45-90 cm. Bunga menggerombol berjumlah 3-5 pada tiap ruas, posisinya tegak atau merunduk. Mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang. Buah muncul bergerombol berjumlah 3-5 pada setiap ruas, panjangnya dapat mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas, mempunyai bentuk buah yang bervariasi dari bulat dengan ujung berpapila, berbentuk seperti lonceng dengan sisi- sisi yang beralur, berbentuk seperti kerucut dengan sisi-sisi yang beralur sampai bulat memanjang, kulit berkeriput atau kadang-kadang licin. Warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, merah jambu, jingga, kuning atau cokelat. Biji berwarna kuning pucat.

Cabai dapat ditanam di dataran rendah sampai tinggi dengan suhu ideal untuk pertumbuhan 24–27C dan untuk pembentukan buah 16–23C (Djarwaningsih 2005). Cabai menghendaki intensitas cahaya 10–12 jam/hari dan kelembaban relatif 80 %,

dengan curah hujan 100–200 mm/bulan. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan meningkatkan intensitas serangan bakteri yang menyebabkan layu akar serta merangsang perkembangbiakan cendawan. Lokasi penanaman cabai di bawah 1.400 m dpl, suhu tinggi, kering dan pengairan kurang menyebabkan penguapan/transpirasi tinggi sehingga daun dan buah banyak yang rontok serta buah yang terbentuk tidak sempurna.

Hampir semua jenis tanah yang cocok untuk budidaya tanaman pertanian pada umumnya cocok pula untuk cabai asalkan subur, gembur, kaya bahan organik dan tidak mudah tergenang. Jenis tanah yang ideal untuk cabai adalah Andosol, Latosol, Regusol, Ultisol, dan Grumosol dengan pH tanah 5–7. Pada tanah yang ber-pH asam, unsur hara tanaman, terutama P, K, S, Mg dan Mo tidak dapat diserap tanaman karena terikat oleh Al, Mn dan Fe. Pada tanah pH netral, sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air sehingga mudah diserap tanaman.

Pemuliaan Tanaman Cabai

Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode atau teknik yang secara sistematik merakit keragaman genetik, baik secara konvensional maupun non konvensional agar diperoleh bentuk-bentuk tanaman unggul baru yang lebih bermanfaat bagi manusia. Kegiatan pemuliaan tanaman merupakan serangkaian kegiatan yang saling berkaitan, diawali dengan koleksi plasma nutfah, evaluasi plasma nutfah, penerapan metode pemuliaan dan seleksi terhadap populasi yang terbentuk diikuti evaluasi terhadap hasil pemuliaan (Allard 1960). Usaha untuk memperbaiki bentuk dan sifat tanaman melalui kegiatan pemuaian tanaman akan lebih cepat dibandingkan dengan perbaikan melalui seleksi alam.

Tujuan akhir kegiatan pemuliaan tanaman sangat terkait dengan sifat yang akan dikembangkan. Menurut Kusandriani dan Permadi (1996) terdapat beberapa tujuan pemuliaan cabai antara lain: (1) memperbaiki daya hasil dan kualitas hasil, (2) perbaikan daya resistensi terhadap hama dan penyakit tertentu, (3) perbaikan sifat-sifat hortikultura, (4) perbaikan terhadap kemampuan mengatasi cekaman lingkungan.

Pada cabai, produktivitas tanaman merupakan prioritas utama. Produktivitas cabai berhubungan dengan tingkat pendapatan yang akan diperoleh petani. Dengan semakin tinggi produktivitas cabai maka pendapatan petani akan semakin tinggi pula. Selain produktivitas, sifat lain yang dikembangkan sangat berhubungan dengan permintaan konsumen. Panjang buah cabai merupakan karakter yang berhubungan dengan permintaan konsumen sehingga dilakukan standarisasi panjang buah cabai. Menurut Badan Standardisasi Nasional (1998) panjang buah cabai merah pada mutu I : 12-14 cm, mutu II : 9-11 cm dan mutu III : < 9 cm; diameter buah cabai merah pada mutu I : 1.5-1.7 cm, mutu II : 1.3-1.5 cm dan mutu III : < 1.3 cm.

Pemuliaan tanaman cabai membutuhkan keragaman genetik dan cara yang sesuai untuk memindahkan suatu karakter dari suatu individu tanaman ke individu tanaman lainnya. Allard (1960) menyampaikan bahwa suatu metode pengenalan dan identifikasi suatu karakter sangat diperlukan sehingga suatu seleksi dalam program pemuliaan dapat dilakukan. Identifikasi suatu karakter meliputi karakteristik gen yang mengendalikan dan pola pewarisan karakter tersebut. Informasi ini akan dijadikan sebagai dasar pembentukan metode pemuliaan tanaman.

Hayman (1961) mengemukakan bahwa studi genetik untuk mempelajari pola pewarisan gen yang mengendalikan suatu karakter dapat dilakukan dengan menduga parameter genetik. Salah satu cara untuk menduga parameter genetik adalah analisis silang dialel dengan menyilangkan beberapa galur/genotipe yang memiliki sifat tertentu. Persilangan antara galur/genotipe ini akan menginformasikan karakteristik dari gen-gen pengendali karakter serta daya gabung dari masing-masing galur/genotipe sehingga pada tahap akhir dari kegiatan pemuliaan tanaman akan menghasilkan varietas baru yang memilki keunggulan untuk sifat-sifat yang diwariskan.

Ada dua kelompok varietas cabai yang beredar di Indonesia yaitu kelompok varietas hibrida dan kelompok varietas bersari bebas (OP). Varietas hibrida merupakan Fl yang mempunyai sifat heterosis. Hibrida Fl tersebut mempunyai penampilan yang lebih baik dibandingkan dengan penampilan rata-rata kedua tetuanya (heterosis), atau lebih baik dari pada tetuanya yang terbaik (heterobeltiosis).

Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bila pemulia ingin melakukan pembentukan varietas hibrida yaitu persyaratan ekonomis, ekologis dan teknis. Persyaratan ekonomis yang menitik beratkan pada keunggulan komparatif yang menguntungkan dan mampu memberikan keuntungan bagi produsen. Persyaratan ekologis yaitu adanya adaptasi tanaman hibrida terhadap lingkungan yang lebih luas. Persyaratan teknis yang memfokuskan terhadap struktur genetik tetua superior dan dapat berperan dalam penyediaan sumber genetik dalam waktu yang lama. Salah satu kriteria genetik tersebut adalah efek heterosis dan heterobeltiosis pada kombinasi persilangannya (Mangoendidjojo 2003).

Capsaicin dan Vitamin Sebagai Produk Metabolit Sekunder

Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga melakukan metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang akan menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit sekunder (Herbert 1995). Karakteristik metabolit sekunder adalah heterogen struktur kimianya dan terbatas pada kelompok makhluk hidup bahkan jenis tertentu. Sintesisnya dibantu oleh enzim yang dikode oleh materi genetik khusus, serta terdapat kontrol pada biosintesisnya melalui regulasi aktivitas dan jumlah enzim, kompartemensasi enzim, prekursor, intermediat, serta produk yang terlibat dalam biosintesis, maupun penyimpanan dan penguraiannya. Metabolit yang diproduksi oleh tumbuhan tersebut memiliki nilai penting dalam berbagai industri, khususnya sebagai bahan baku industri farmasi, penyedap makanan, dan parfum (Khadi et al. 1981).  

Produk metabolit sekunder yang terdapat pada buah cabai salah satunya adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas dari cabai (Sukrasmo et al. 1997). Zat ini tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses oksidasi. Capsaicin (C18H27NO3) terdiri dari unit vanillamin dengan asam dekanoat, yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai lurus bagian asam (Andrew and Ternay 1979 dalam Sigit 2007). Jalur biosintesis capsaicin disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Jalur Biosintesis Capsaicin

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syukur et al. (2007) dan Rosyadi (2007) terhadap beberapa genotipe tanaman cabai yang dikoleksi di Bagian Pemuliaan Tanaman Departemen AGH Faperta IPB menunjukan bahwa terdapat beda kadar capsaicin diantara genotipe-genotipe tersebut. Kadar capsaicin dari 11 genotipe yang telah diuji disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan kandungan capsaicin dari 24 genotipe cabai pada Tabel 1 maka diharapkan persilangan antara beberapa genotipe tanaman

cabai dapat menghasilkan hibrida yang memiliki kandungan capsaicin dengan kadar tertentu dan produksi dan kualitas buah yang diminati oleh konsumen.

Tabel 1. Kadar Capsaicin Beberapa Genotipe Cabai No.

Syukur (2007)* Rosadi (2007)**

Genotipe Kadar Capsaicin (ppm) Genotipe Kadar Capsaicin (ppm)

1 C1 325,87 C 20 1.505,93 2 C2 359,56 C 21 1.111,28 3 C3 475,41 C 30 1.651,26 4 C4 449,83 C 34 260,08 5 C5 388,20 C 35 340,00 6 C8 1.310,04 C 37 307,87 7 C9 212,29 C 48 462,23 8 C15 228,27 C 64 1.040,70 9 C18 222,83 C 68 365,55 10 C19 659,57 C 69 369,36

Keterangan Sumber : *: Syukur et al. (2007) **: Rosadi (2007)

Cabai varietas baru hasil persilangan genotipe-genotipe tertentu diharapkan banyak mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh manusia. Salah satu produk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cabai adalah provitamin A (karatenoid). Provitamin A ini akan diubah menjadi vitamin A didalam tubuh manusia. Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A menunjukan nama generik yang menyatakan bahwa seluruh retinoid dan prekusor/provitamin A/karatenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai retinol (Herbert 1995). Selain dikenal sebagai vitamin yang berperan dalam kesehatan mata, vitamin A juga penting dalam kelangsungan hidup manusia. Kekurangan vitamin A meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti ISPA dan Diare,

meningkatkan angka kematian akibat campak serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan.

Vitamin A yang di dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk ester retinil, bersama karatenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Di dalam sel-sel mukosa usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pancreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorbsi daripada ester retinil. Sebagian dari karatenoid, terutama beta karoten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol.

Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia asam askorbat (Khadi et al. 1987). Jalur biosintesis vitamin C disajikan pada Gambar 3.

Vitamin C termasuk golongan antioksidan karena sangat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam, oleh karena itu penggunaaan vitamin C sebagai antioksidan semakin sering dijumpai. Vitamin C berhasil diisolasi untuk pertama kalinya pada tahun 1928 dan pada tahun 1932 ditemukan bahwa vitamin ini merupakan agen yang dapat mencegah sariawan. Vitamin C perlu untuk menjaga struktur kolagen, sejenis protein yang menghubungkan semua jaringan serabut, kulit, urat, tulang rawan, dan jaringan lain di tubuh manusia.

Sampai sejauh ini analisis kandungan capsaicin dan vitamin C pada tanaman cabai telah diketahui namun bagaimana studi/kajian pewarisan capsaicin dan vitamin C belum dilakukan.

Heterosis, Daya Gabung dan Heritabilitas

Pada tanaman menyerbuk sendiri, keberhasilan memproduksi benih hibrida secara komersial ditentukan oleh dua hal yaitu hibrida harus menunjukkan heterosis pada karakter hasil, dan harus ditemukan metode yang efisien dan ekonomis untuk menghasilkan benih hibrida (Darlina et al. 1992). Heterosis merupakan bentuk penampilan superior hibrida yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua tetuanya (Hallauer dan Miranda 1995). Heterosis atau vigor hibida ditandai dengan keragaan yang lebih baik tanaman F1 yang berasal dari persilangan dua tetua galur murni. Gejala heterosis suatu hibrida terdapat pada hasil, ukuran, jumlah dari bagian tanaman, komponen kimiawi, ketahanan terhadap hama/penyakit tertentu, dan sebagainya.

Fenomena heterosis telah banyak digunakan dalam meningkatkan hasil tanaman dan daya adaptasi tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2002) dan Barbosa et al. (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara jarak genetik tetua dan nilai heterosisnya. Joshi & Singh (1987) mengemukakan bahwa eksploitasi heterosis diindikasikan sebagai cara praktis untuk meningkatkan hasil dan sifat ekonomi lainnya dari paprika.

Selain heterosis, maka daya gabung dari galur/genotipe perlu diketahui sebelum dijadikan tetua dalam persilangan. Daya gadung antara galur/genotipe

merupan kriteria penting yang perlu diketahui dalam merakit suatu varietas. Darlina et al. (1992) mengemukakan bahwa daya gabung (combining ability) diartikan sebagai ukuran kemampuan suatu kombinasi tetua untuk menghasilkan kombinasi turunan yang diharapkan. Menurut Iriany et al. (2003) daya gabung merupakan ukuran kemampuan genotipe suatu tanaman dalam persilangan untuk menghasilkan tanaman yang unggul.

Daya gabung ada dua macam yaitu daya gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya Gabung Umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya Gabung Khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu (Poehlman & Sleeper 1995).

Data yang diperoleh dari suatu persilangan antara kedua tetua, dapat memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil tinggi dengan mempelajari daya gabungnya (Silitonga et al. 1993). Jika suatu galur tetua disilangkan dengan galur tetua lain dan turunannya menunjukan penampilan rata-rata lebih tinggi dari pada seluruh persilangan, tetua tersebut dikatakan memiliki DGU yang baik. Selanjutnya bila penampilan keturunan suatu persilangan jauh lebih baik dari rata-rata penampilan tetuanya, persilangan tersebut dikatakan memiliki DGK yang tinggi (Darlina et al. 1992). Dengan demikian pengembangan kearah varietas hibrida lebih ditekankan pada daya gabung khusus dari tetuanya, sedangkan untuk pengembangan kearah varietas bersari bebas lebih ditekankan pada daya gabung umum.

Pengetahuan tentang aksi gen dalam pemuliaan tanaman merupakan kunci memilih prosedur yang akan memberikan kemajuan seleksi yang maksimal. Dudley & Mool (1969) dalam Kirana dan Sofiari (2007) menyampaikan bahwa apabila aksi gen aditif lebih penting, pemulia dapat menyeleksi secara efektif galur-galur pada berbagai tingkat inbreeding, sebab pengaruh aditif selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebaliknya apabila aksi gen nonaditif lebih penting, maka dimungkinkan untuk memproduksi varietas hibrida.

Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genotipe dengan ragam fenotipenya. Hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Pada dasarnya seleksi terhadap populasi bersegregasi dilakukan melalui nilai-nilai besaran karakter fenotipenya. Dalam kaitan ini, penting diketahui peluang terseleksinya individu yang secara fenotipe menghasilkan turunan yang sama miripnya dengan individu terseleksi tadi. Misalkan dalam suatu populasi dijumpai ragam genetik tinggi untuk suatu karakter dan ragam fenotipenya rendah, maka dapat diramalkan bahwa turunan individu terseleksi akan mirip dengan dirinya untuk karakter tersebut; dan sebaliknya.

Heritabilitas biasanya dinyatakan dalam persen (%). Sesuai dengan komponen ragam genetiknya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) dan heritablitas dalam arti sempit (narrow sense heritability). Menurut Becker (1985) heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe (h2bs = σ2G / σ2P), sedangkan heritabilitas dalam arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2ns = σ2A / σ2P). Umumnya heritabilitas dalam arti sempit banyak mendapatkan perhatian karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Kontribusi penampilan tidak tergantung pada adanya interaksi antar alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat.

Analisis Silang Dialel

Suatu persilangan dialel adalah suatu set dari semua kemungkinan persilangan antara beberapa genotipe. Dengan kata lain rancangan persilangan dialel meliputi semua atau sebagian persilangan single cross yang mungkin, termasuk resiprok dan selfingnya. Persilangan dialel dilaksanakan dengan tujuan untuk mengevaluasi dan menyeleksi tetua yang menghasilkan keturunan terbaik. Genotipe tersebut berupa individu, klon, atau galur homozigot (Hayman 1954). Untuk jumlah genotipe yang besar maka jumlah persilangan yang mungkin dilakukan sangat besar sehingga

membutuhkan ruang, biaya dan tenaga yang lebih besar. Untuk itu maka persilangan tersebut dapat disederhanakan.

Penggunaan analisis silang dialel memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode analisis lainnya. Menurut Johnson (1963) dalam Jagau (1993) teknik analisis silang dialel : (1). Secara eksperimental merupakan pendekatan yang sistematik, (2) Secara analitik merupakan evaluasi genetik menyeluruh yang berguna dalam mengidentifikasi persilangan bagi potensi seleksi yang terbaik pada awal generasi.

Pada dasarnya persilangan dialel dibagi menjadi tiga tipe persilangan yaitu: (1) dialel penuh (full diallel), (2) setengah dialel (half diallel) dan (3) dialel parsial (partial diallel). Menurut Grifing (1956) ada empat kemungkinan silang dialel berdasarkan pendekatan Griffing, yaitu 1) Silang tunggal dengan resiprokal dan selfing (Metode I); 2) Silang tunggal dengan selfing tanpa resiprokal (Metode II); 3) Silang tunggal dengan resiprokal (Metode III); 4) Silang tunggal tanpa resiprokal dan tanpa selfing (Metode IV). Tetua Silang tunggal merupakan individu yang diambil secara acak dari suatu populasi.

Di dalam analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BC1 ataupun BC2, seperti pada teknik pendugaan parameter genetik lainnya, akan tetapi dalam pelaksanaannya analisis ini harus memenuhi beberapa asumsi berikut : (1) Segregasi diploid, (2) Tidak ada perbedaan antara F1 dengan resiproknya atau tidak ada efek maternal, (3) Tidak ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel/epistasi, (4) Tidak ada multialelisme, (5) Tetua homozigot, (6) Gen-gen menyebar secara bebas di antara tetua (Hayman 1954).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis silang dialel dari suatu persilangan setengah dialel tanpa resiprok (non reciprocal half diallel). Pemilihan tipe persilangan dialel ini didasarkan kepada asumsi bahwa tidak ada perbedaan antara persilangan resiprok antara tetua persilangan. Genotipe tanaman cabai yang digunakan dalam penelitian ini digalurkan sedemikian rupa sehingga asumsi tetua homozigot pada hampir semua lokusnya dapat terpenuhi. Selain itu, untuk memenuhi

asumsi gen-gen menyebar merata didalam tetua maka tetua yang dipilih harus ada yang mewakili tetua dengan kandungan capsaicin dan vitamin tinggi, agak tinggi dan rendah. Jika asumsi tersebut di atas terpenuhi maka keluaran yang akan diperoleh dari suatu analisis silang dialel adalah (Varghese 1976 dalam Jagau 1993):

 D : Komponen ragam karena pengaruh aditif.

 F : Rata-rata Fr untuk semua array; Fr adalah peragam pengaruh aditif dan non aditif pada array ke-r.

 H1 : Komponen ragam karena pengaruh dominansi.

 H2 : Hl (1-(u-v)); u = proporsi gen positif dalam tetua, v = proporsi gen-gen negatif dalam tetua; u + v = 1.

 h2 : Pengaruh dominansi (sebagai jumlah aljabar seluruh lokus pads keadaan heterozigous pads semua persilangan).

 E : Komponen ragam karena pengaruh lingkungan.  Rata-rata tingkat dominansi : √(H1 / D)

 Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif di dalam tetua : H2 / 4H1

 Proporsi gen-gen dominan dan resesif di dalam tetua : [√(4DH1) + F] / [(√(4DH1) - F]

 Jumlah kelompok gen yang mengendalikan karakter dan menimbulkan dominansi : h2/H2

 Heritabilitas arti sempit (Mather dan Jinks 1971) ½ D+ ½ H1 – ½ H2 – ½ F

½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F + E

 Heritabilitas arti luas (Mather dan Jinks 1971) ½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F

EVALUASI HASIL DAN KUALITAS HASIL 14 GENOTIPE

Dokumen terkait