• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KUALITAS HASIL DAN ANALISIS GENETIK KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI (Capsicum annuum L.) DANIEL PETER LAUTERBOOM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI KUALITAS HASIL DAN ANALISIS GENETIK KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI (Capsicum annuum L.) DANIEL PETER LAUTERBOOM"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

(Capsicum annuum L.)

DANIEL PETER LAUTERBOOM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2011

Daniel P. Lauterboom A253080031

(3)

DANIEL PETER LAUTERBOOM. The Evaluation of Yield Quality and Genetic Analysis of Capsaicin and Vitamin C in Pepper (Capsicum annuum L.). Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR, and DEWI SUKMA.

Quality of pepper is related to yield and content of certain metabolite in its fruit. One of the method that is used to estimate genetic parameter is diallel analysis. This study consists of two experiments, i.e. (1) Evaluation of 14 pepper genotypes and their genetic variabilities; (2) Evaluation of F1 generation and genetic parameter estimation of capsaicin and vitamin C content in pepper using diallel analysis.

The objectives of the first experiment are to

The result shows that 14

obtain the information of yield quality, capsaicin, vitamin A and vitamin C content, and to estimate genetic variability and heritability of several pepper genotypes. Evaluation of 14 pepper genotypes was conducted in Randomized Complete Block Design (RCBD) with 2 replications. Each unit of experiment consists of 20 plants with 6 sample plants. In this experiment, the observed variables are qualitative and quantitative characters. The qualitative character i.e. fruit color was observed based on Descriptors for Capsicum from IPGRI, while quantitative characters i.e., fruit length, thickness of fruit skin, weight per fruit, and weight of fruit per plant. Measurement of capsaicin, vitamin A, and vitamin C content was performed using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) technique.

genotypes were evaluated have high genetic variability and heritability for the following characters; length of the fruit, rind thickness, weight per fruit, fruit weight per plant, vitamin A content and vitamin C content. Meanwhile, the genetic diversity of capsaicin content is classified as moderate. IPB C10 had the highest capsaicin, vitamin A and vitamin C content. IPB C2 had the lowest capsaicin and vitamin A content; and IPB C14 had the lowest vitamin C content. Capsaicin content had a positive correlation with vitamin A and vitamin C content, whereas vitamin A content had no correlation with vitamin C content. Furthermore, 5 genotypes were selected to be a parent for half-diallel crossing, i.e. genotype IPB C2 (low capsaicin, low vitamin C), IPB C9 (medium capsaicin, low vitamin C), IPB 10 (high capsaicin, high vitamin C), IPB C15 (medium capsaicin, medium vitamin C) and IPB C20 (medium capsaicin, medium vitamin C).

The second experiment aims to

The analysis result indicated that capsaicin content was influenced by extrachromosomal effect, while vitamin C content was not affected. F1 hybrid IPB

obtain the genetic parameter information of capsaicin and vitamin C content of pepper using diallel analysis, and to evaluate the F1 hybrid of pepper, and their heterosis and heterobeltiosis values. The F1 hybrid was developed through crossing of 5 parental genotypes, i.e. genotype IPB C2, IPB C9, IPB 10, IPB C15 and IPB C20. This study was performed in RCBD with 2 replications. Each unit of experiment consisted of 200 g fruit of pepper. The capsaicin and vitamin C content were analyzed using HPLC.

(4)

determined the expression of vitamin C. The broad-sense heritability for capsaicin and vitamin C content were high, whereas narrow-sense heritability for capsaicin was high and for vitamin C was medium. Genotype IPB C10 had the highest general combining ability (GCA) for both characters (capsaicin and vitamin C).

Keywords : pepper, production quality, capsaicin, vitamin A, vitamin C, cross diallel, heterosis, heterobeltiosis.

(5)

DANIEL PETER LAUTERBOOM. Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.). Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR dan DEWI SUKMA.

Kualitas hasil tanaman cabai sangat berhubungan dengan daya hasil dan kandungan bahan metabolit tertentu dalam buah cabai. Salah satu metode yang digunakan dalam pendugaan parameter genetik adalah analisis dialel. Penelitian ini mencakup dua percobaan yaitu (1) Evaluasi hasil dan kualitas hasil, serta keragaman genetik beberapa genotipe cabai; (2) Evaluasi hibrida F1 dan pendugaan parameter genetik kadar capsaicin dan vitamin C pada cabai dengan menggunakan analisis dialel.

Percobaan satu, bertujuan untuk mengetahui hasil, kualitas hasil, termasuk kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C, beberapa genotipe cabai, serta untuk mengetahui keragaman genetik dan heritabilitasnya. Evaluasi dilakukan terhadap 14 genotipe cabai yang ditanam menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan 2 ulangan. Masing –masing satuan percobaan terdiri atas 20 tanaman dengan 6 tanaman sampel. Peubah yang diamati terdiri atas sifat kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan terhadap sifat kualitatif yaitu warna buah dilakukan berdasarkan Descriptors for capsicum dari IPGRI. Sementara sifat kuantitatif yang diamati adalah panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, dan bobot buah per tanaman. Pengamatan kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C dilakukan dengan menggunakan teknik High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 14 genotipe yang dievaluasi memiliki keragaman genetik dan nilai heritabilitas tinggi untuk karakter panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, bobot buah per tanaman, kadar vitamin A dan kadar vitamin C, sedangkan keragaman genetik karakter kadar capsaicin tergolong sedang. Genotipe IPB C10 memiliki kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C tertinggi, sedangkan yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin A terendah adalah genotipe IPB C2. Sementara itu, genotipe IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah. Karakter kadar capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin A dan vitamin C namun karakter kadar vitamin A dan vitamin C tidak memiliki korelasi yang nyata. Lima genotipe yang terpilih untuk dijadikan tetua dalam persilangan setengah dialel yaitu genotipe IPB C2 (capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin sedang, vitamin C rendah), IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15 (capsaicin sedang, vitamin C sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C sedang).

Percobaan dua bertujuan untuk menduga parameter genetik karakter kadar capsaicin & vitamin C pada 5 tetua cabai dengan menggunakan analisis dialel, dan mengevaluasi hibrida F1, serta mengetahui nilai heterosis dan heterobeltiosisnya. Lima genotipe tetua terpilih, yaitu genotipe IPB C2, IPB C9, IPB C10, IPB C15 dan

(6)

adanya pewarisan ekstrakromosomal pada karakter kadar capsaicin, sedangkan pada kadar vitamin C tidak terdapat. Genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi untuk karakter kadar capsaicin, sementara untuk kadar vitamin C tertinggi terdapat pada hibrida F1 IPB C9 x IPB C10. Tidak terdapat interaksi antar gen dalam pengendalian karakter kadar capsaicin buah cabai. Sementara ekspresi kadar vitamin C dalam buah cabai ditentukan oleh interaksi antar gen. Aksi gen aditif dan gen dominan berperan sangat nyata untuk karakter kadar capsaicin dan tidak nyata dalam menentukan kadar vitamin C buah cabai. Nilai heritabilitas arti luas untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C tergolong tinggi, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit untuk karakter kadar capsaicin tergolong tinggi dan untuk karakter kadar vitamin C tergolong sedang. Genotipe IPB C10 mempunyai daya gabung umum yang paling tinggi untuk kedua karakter (capsaicin dan vitamin c).

Kata kunci: cabai, kualitas hasil, capsaicin, vitamin A, vitamin C, silang dialel, heterosis, heterobeltiosis

(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karaya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

(Capsicum annuum L.)

DANIEL PETER LAUTERBOOM

Sebagai salah satu syarat

melaksanakan penelitian Program Magister pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

N R P : A253080031

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS

Dr. Muhamad Syukur, SP, MSi

Anggota Anggota

Dr. Dewi Sukma, SP, MSi

Diketahui

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pemuliaan dan Bioteknolgi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

pertolongannya maka penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.). Tesis ini merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS, Dr. M. Syukur, SP, MSi dan Dr. Dewi Sukma, SP, MSi. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sejak perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Yudiwati Wahyu E. Kusumo, MS. selaku dosen penguji yang telah memberi masukan, arahan dan saran sehingga tesis ini menjadi lebih baik.

3. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SPs IPB yang selalu memberi arahan dalam pelaksanaan studi selama perkuliahan.

4. Dirjen DIKTI yang telah memberikan bantuan dana melalui program Beasiswa Unggulan dan Hibah Bersaing tahun 2008.

5. Ketua Tim Pemuliaan Cabai Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas bantuan bahan genetik dan fasilitas di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman.

6. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Departemen Pertanian, atas kesediaannya untuk membantu proses analisis kadar capsaicin dan vitamin C buah cabai.

7. Kepala Dinas Pendidikan Dan Pengajaran Provinsi Papua atas Bantuan biaya Studi yang telah diberikan.

(11)

kesabaran, pengertian, keikhlasan dan kasih sayangnya dalam menyemangati peneliti dalam menyelesaikan studi.

9. Ayahanda Franciscus Benedictus Lauterboom dan Ibunda Farcis Bhatseba Lawalata yang telah mendoakan, membesarkan, mendidik, serta membekali penulis dengan kasih dan pengetahuan hingga saat ini.

10. Kakak-kakak dan adikku tersayang Ronald Lauterboom, SH; Ir. Henderina Lauterboom, MSi; Arthur Ferdinand Lauterboom, S.Sos (alm); Victor Benhard Lauterboom, SP dan Joice Ivonike Lauterboom, yang memberikan banyak motivasi dan bantuan serta kasih sayang dalam bersaudara.

11. Ayah mertua Yoppy Simon Risakahu (alm); Ibu mertua Caroline Sahetapy; Tante mertuaku Dra. Mien Risakahu, SH dan oyang Helena Tahja. Saudara-saudara iparku Pdt. Raymond Valentino Risakahu, STh (alm); Ir. Yorico Damora Risakahu; Reiners Risakahu dan Maya Risakahu atas perhatian, kasih sayang dan doanya.

12. Keluarga besar Lauterboom, Risakahu, Lawalata, Latumahina, Sahetapy dan Soumokil atas segala dukungan dan doanya.

13. Teman-teman Sekolah Pascasarjana Departamen Agronomi dan Hortikultura IPB.

14. Para sahabat dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis.

Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang pertanian.

Bogor, Pebruari 2011

Daniel P. Lauterboom A253080031

(12)

sebagai putra kelima dari enam bersaudara pasangan Franciscus B. Lauterboom dan Farcis B. Lawalata. Penulis menikah dengan Yolanda Wanda Risakahu pada tanggal 11 September 1998 dan telah dikaruniai dua orang putra Calvin Lauris Brugman Lauterboom dan Jason Matthew Hendry Lauterboom.

Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di minat Pemuliaan Tanaman Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura pada tahun 2000. Tahun 2000 penulis diangkat menjadi staf dosen Yayasan Pegunungan Bintang yang ditugaskan pada Akademi Pertanian Santo Thomas Aquino Jayapura. Pada Tahun 2005 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan sebagai Dosen Kopertis dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Santo Thomas Aquinas Jayapura.

Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister Sains pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2008 dengan Beasiswa BPPS dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia serta Bantuan dari Pemda Papua.

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Botani, Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai ... 7

Pemuliaan Tanaman Cabai ... 9

Capsaicin dan Vitamin sebagai Produk Metabolit Sekunder ... 11

Heterosis, Daya Gabung dan Heritabilitas ... 15

Analisis Silang Dialel ... 17

EVALUASI HASIL DAN KUALITAS HASIL 14 GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) DAN KERAGAMAN GENETIKNYA ... 20

ABSTRAK ... 20

PENDAHULUAN ... 21

Latar Belakang ... 21

Tujuan Penelitian ... 23

BAHAN DAN METODE ... 24

Waktu dan Tempat... 24

Metode Penelitian ... 24

Karakterisasi Daya Hasil ... 24

Karakterisasi Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C ... 25

Analisis Data... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Karakterisasi Daya hasil 14 Genotipe Cabai ... 28

Penentuan Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C untuk Evaluasi Calon Tetua ... 32

Koefisien Keragaman Genetik (KKG), Heritabilitas (h2bs dan Korelasi (r) ... 36

) SIMPULAN ... 39

(14)

ABSTRAK ... 42

PENDAHULUAN ... 42

Latar Belakang ... 42

Tujuan Penelitian ... 45

BAHAN DAN METODE ... 45

Waktu dan Tempat... 46

Metode Penelitian ... 46

Pengamatan ... 47

Analisis Data... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

Evaluasi Hibrida F1 untuk Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ... 55

Pendugaan Parameter Genetik ... 65

Interaksi Antar Gen ... 66

Pengaruh Aditif (D) dan Dominan (H1 Distribusi Gen di Dalam Tetua ... 68

) ... 67

Tingkat Dominansi ... 68

Simpangan Rata-rata F1 dari Rata-rata Tetua ... 69

Proporsi Gen Dominan Terhadap Gen Resesif ... 69

Arah dan Urutan Dominansi ... 70

Jumlah Gen Pengendali Karakter ... 72

Heritabilitas ... 72

Daya Gabung ... 73

Daya Gabung Umum (DGU) ... 73

Daya Gabung Khusus (DGK) ... 75

SIMPULAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

PEMBAHASAN UMUM ... 79

SIMPULAN DAN SARAN ... 87

Simpulan ... 87

Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(15)

2. Genotipe Cabai yang Digunakan Sebagai Bahan Penelitian ... 24 3. Kuadrat Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per

Buah dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ... ... 28 4. Nilai Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per

Buah dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai… ... 29 5. Warna Buah Muda, Warna Buah Intermedier dan Warna Buah Matang

Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ... 31 6. Kuadrat Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada

Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ... 32 7. Nilai Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada

Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ... 33 8. Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dan Heritabilitas

Karakter-Karakter yang Diamati pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ... 36 9. Koefisien Korelasi Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C

pada Genotipe Tanaman Cabai ... 38 10.Persilangan Half Diallel dan Selfing dari Lima Tetua ... 47 11.Komponen Analisis Ragam Analisis Silang Dialel ... 49 12.Rataan Kadar Capsaicin dan Vitamin C Cabai Berdasarkan Half Diallel

untuk Perhitungan Nilai Ragam dan Peragam ... 49 13.Komponen Analisis Ragam untuk Daya Gabung Menggunakan

Metode 2 Griffing ... 53 14.Pengujian Pengaruh Pewarisan Ekstrakromosomal Beberapa Karakter yang

(16)

16.Heterosis dan Heterobeltiosis Karakter Kadar Vitamin C pada Beberapa Genotipe Cabai ... 59 17.Kontras Karakter Kadar Capsaicin Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida F1

dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai ... 61

18.Kontras Karakter Kadar Vitamin C Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida F1 dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai ... 63 19.Kuadrat Tengah Genotipe Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C ... 66 20.Hasil Analisis Pendugaan Parameter Genetik Karakter Kadar Capsaicin

dan Vitamin C pada Cabai dengan Menggunakan Analisis Silang Dialel Metode Hayman ... 67 21.Nilai Rata-Rata F1 dan Tetua Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C ... 69 22.Sebaran Wr + Vr dari Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C ... 70 23.Analisis Ragam Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung

Khusus (DGK) Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C ... 73 24.Nilai Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK)

Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C 5 Genotipe Tetua dan 10 Genotipe Hibrida F1 Cabai… ... 74

(17)

Halaman 1. Bagan Alir Penelitian ... 6 2. Jalur Biosintesis Capsaicin ... 12 3. Jalur Biosintesis Vitamin C ... 14 4. Penampilan 5 Genotipe Cabai Terpilih yang Digunakan sebagai Tetua

dalam Persilangan Setengah Dialel ... 39 5. Persilangan Genotipe Cabai IPB C20 dengan IPB C15 yang

Menghasilkan F1 dan F1R ... 56 6. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Capsaicin ... 71 7. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Vitamin C ... 71

(18)

Halaman 1. Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan Evaluasi

Kualitas Hasil ... 93 2. Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan Evaluasi

Kualitas Hasil (Lanjutan). ... 94 3. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C9 dengan IPB C10. .... 95 4. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB C10. .. 95 5. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C10. .... 96 6. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C10. .. 96 7. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB C9. .... 97 8. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C9. ... 97 9. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C9. .... 98 10. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C15. .... 98 11. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C15. .. 99 12. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C2. .... 99 13. Sidik Ragam Karakter Panjang Buah pada Percobaan Evaluasi Kualitas

Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.).. ... 100 14. Sidik Ragam Karakter Tebal Kulit Buah pada Percobaan

Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.).. ... 100 15. Sidik Ragam Karakter Bobot per Buah pada Percobaan Evaluasi

Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.).. ... 100 16. Sidik Ragam Karakter Bobot Buah per Tanaman pada

Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.).. ... 101

(19)

18. Sidik Ragam Karakter Kadar Vitamin A pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)... ... 101 19. Sidik Ragam Karakter Kadar Vitamin C pada Percobaan Evaluasi

Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)... ... 102 20. Sidik Ragam Karakter Kadar Capsaicin pada Percobaan

Evaluasi Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) dengan Menggunakan Analisis Dialel. ... 102 21. Sidik Ragam Karakter Kadar Vitamin C pada Percobaan

Evaluasi Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) dengan Menggunakan Analisis Dialel. ... 103 22. Hasil Analisis Silang Dialel untuk Karakter Kadar Capsaicin

dalam Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) . ... 104 23. Hasil Analisis Silang Dialel untuk Karakter Kadar Vitamin C dalam

Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)... 105 24. Hasil Uji Kontras Karakter Kadar Capsaicin Berdasarkan Grup Hibrida F1

dengan Grup Tetua dan antara Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup Hibrida F1 Lainnya.. ... 106 25. Hasil Uji Kontras Karakter Kadar Vitamin C Berdasarkan Grup Hibrida F1

dengan Grup Tetua dan antara Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup Hibrida F1 Lainnya.. ... 107 26. Perhitungan Nilai Heritabilitas Arti Luas, Koefisien Keragaman Genetik

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu sayuran penting

yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropika termasuk Indonesia. Sebagai produk hortikultura, tanaman ini mempunyai potensi yang sangat strategis dalam meningkatkan pendapatan petani karena permintaan dan pemanfaatan cabai yang terus meningkat, seiring dengan meningkatnya penduduk dan konsumsi per kapita. Di awal tahun 2011 harga cabai meningkat hingga mencapai Rp.100.000,- / kg. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan luas panen akibat musibah bencana alam di sentra-sentra produksi cabai dan serangan hama penyakit akibat perubahan iklim.

Berdasarkan Biro Pusat Statistik (2010), pada tahun 2009 luas panen cabai adalah sebesar 233.904 ha dengan produksi 1.378.727 ton dan produktivitas sebesar 5,89 ton/ha. Produktivitas ini masih jauh dari potensi produktivitas cabai yang dihasilkan dalam berbagai penelitian. Duriat (1996) mengemukakan bahwa produktivitas cabai dapat mencapai 12 - 20 ton/ha. Selain itu Deptan (2009), mengemukakan bahwa produksi yang dihasilkan juga belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi yang mencapai 2,77 kg/kapita/tahun.

Usaha peningkatan produksi cabai di Indonesia masih terkendala oleh banyak hal. Beberapa diantara kendala tersebut menurut Duriat (2006) adalah sebagai berikut: kurangnya kuantitas benih cabai yang tersedia dan bermutu tinggi; menurunnya tingkat kesuburan tanah karena penanaman cabai dan sayuran lainnya secara terus menerus; serta kehilangan hasil yang tinggi karena serangan hama penyakit di pertanaman dan kehilangan hasil karena penanganan pascapanen. Untuk mengatasi kendala-kendala ini, para pemulia tanaman berusaha untuk menemukan varietas cabai baru yang memiliki kualitas dan kuantitas produksi tinggi.

Djarwaningsih (2005) mengemukakan bahwa usaha perbaikan varietas cabai melalui program pemuliaan tanaman saat ini selain diarahkan pada peningkatan

(21)

produktivitas, tahan terhadap serangan hama dan penyakit tertentu, toleran terhadap kondisi lingkungan yang suboptimal, juga diarahkan pada pembentukan varietas cabai yang memiliki kualitas hasil yang sesuai dengan selera konsumen. Kualitas hasil dimaksud berhubungan dengan kondisi fisik buah maupun kandungan zat gizi di dalam buah cabai.

Cabai mengandung beberapa nutrisi terutama capsaicin, vitamin C, vitamin B1 serta provitamin A yang sangat diperlukan oleh manusia (Kusandriani 1996). Kadar provitamin A dan vitamin C didalam buah cabai diharapkan dapat mensubtitusi kebutuhan seseorang akan kedua vitamin tersebut, yang selama ini banyak diperoleh dari konsumsi buah-buahan yang relatif lebih mahal.

Diantara zat yang terdapat di dalam buah cabai, capsaicin merupakan salah satu karakter biokimia cabai yang berperan dalam menentukan rasa pedas (Greenleaf 1986). Capsaicin terkandung di dalam buah cabai baik pada biji, plasenta maupun kulit buah bagian dalam. Hasil penelitian Syukur et al. (2007) menunjukan adanya

perbedaan yang cukup besar pada karakter kadar capsaicin pada beberapa galur cabai, yang berkisar antara 212,285 ppm sampai dengan 1.310,035 ppm. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan persilangan antara galur yang memiliki perbedaan kadar capsaicin yang cukup ekstrim untuk mempelajari pewarisan karakter tersebut melalui program pemuliaan tanaman.

Pemuliaan untuk mendapatkan sifat tertentu dari buah cabai memerlukan informasi genetik bagaimana sifat tersebut diperoleh dengan mempelajari penampilan fenotipik keturunan hasil persilangan antar genotipe yang memiliki perbedaan sifat buah yang nyata. Langkah awal dalam kegiatan pemuliaan tanaman menurut Poespodarsono (1988) adalah pembentukan populasi dasar dengan keragaman yang tinggi. Setiamihardja (1993) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk memperluas keragaman genetik ialah melalui persilangan atau hibridisasi. Persilangan adalah usaha untuk menggabungkan dua sifat (karakter) atau lebih dari dua tanaman menjadi genotipe baru.

Salah satu rancangan persilangan yang digunakan dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah rancangan persilangan dialel. Rancangan persilangan dialel adalah

(22)

seluruh kombinasi persilangan yang mungkin diantara sekelompok genotipe atau tetua, termasuk tetua itu sendiri lengkap dengan F1 turunannya. Dengan menggunakan rancangan persilangan dialel dapat diketahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida, nilai heterosis, daya gabung (DGU dan DGK) dan dugaan besarnya ragam genetik dari suatu karakter. Rancangan ini telah terbukti dapat membantu pemulia cabai untuk memilih materi pemuliaan berupa pasangan galur-galur inbred yang menghasilkan kombinasi terbaik yang memiliki sifat heterosis (Sousa dan Maluf 2003).

Crowder (1996) menyampaikan bahwa pewarisan sifat yang dapat dikenal dari tetua kepada keturunannya secara genetik disebut hereditas. Hukum pewarisan ini mengikuti pola yang teratur dan terulang dari generasi ke generasi. Pewarisan sifat ada dua yaitu pewarisan sifat kualitatif dan pewarisan sifat kuantitatif. Sifat kualitatif diatur oleh gen tunggal, sedangkan sifat kuantitatif diatur oleh banyak gen yang masing-masing gen pengaruhnya kecil. Dengan mempelajari cara pewarisan gen tunggal ataupun ganda akan dimengerti mekanisme pewarisan suatu sifat dan bagaimana suatu sifat tetap ada dalam populasi. Pengetahuan tentang mekanisme pewarisan ini penting dalam mengembangkan program pemuliaan dan sangat menentukan metode pemuliaan yang harus digunakan untuk memperbaiki tanaman tertentu.

Suatu galur atau populasi yang disilangkan dengan galur tertentu menunjukan heterosis tinggi, tapi jika disilangkan dengan galur lain mungkin tidak menunjukan heterosis yang tinggi maka galur tersebut mempunyai pasangan yang spesifik untuk menghasilkan hibrida yang hasilnya tinggi atau dapat disebut galur tersebut mempunyai daya gabung khusus yang baik (Crow 1999). Heterosis merupakan bentuk penampilan superior hibrida yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua tetuanya (Hallauer dan Miranda 1995). Daya gabung merupakan suatu ukuran kemampuan suatu genotipe tanaman dalam persilangan untuk menghasilkan tanaman unggul.

Untuk mendapatkan hibrida cabai yang memiliki potensi genetik tinggi diperlukan pasangan genotipe (populasi) yang memiliki kelompok heterotik yang

(23)

berbeda. Perkawinan pada suatu populasi dapat menghasilkan galur yang mempunyai daya gabung yang baik dengan galur populasi pasangannya. Hasil tinggi dapat diperoleh apabila kombinasi antar galur memiliki nilai heterosis dan daya gabung khusus (DGK) yang besar. Daya gabung umum (DGU) yang tinggi tidak selalu memberikan nilai DGK yang tinggi (Becker 1985).

Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap populasi cabai koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman AGH Faperta IPB yang berasal dari AVRDC, introduksi dari beberapa negara dan galur-galur lokal dari beberapa daerah di Indonesia, guna memperoleh informasi tentang kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C. Genotipe dengan kadar capsaisin dan vitamin C sesuai dengan kriteria yang ditentukan disilangkan dengan menggunakan analisis silang dialel sebagian (half diallel).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:

1. Mendapatkan informasi daya hasil, kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C dari 14 genotipe cabai koleksi IPB.

2. Mendapatkan informasi keragaman genetik dan heritabilitas karakter daya hasil, kadar vitamin A, kadar vitamin C dan kadar capsaicin dari 14 genotipe cabai koleksi IPB.

3. Mengevaluasi hibrida F1 tanaman cabai berdasarkan nilai heterosis dan

heterobeltiosis pada karakter kadar capsaicin dan vitamin C.

4. Mendapatkan informasi parameter genetik karakter kadar capsaicin dan vitamin C pada cabai dengan menggunakan analisis silang dialel.

5. Memperoleh informasi Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus

(DGK) 5 genotipe cabai untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C.

Hipotesis

1. Terdapat sekurang-kurangnya 5 genotipe cabai yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin C tinggi, sedang atau rendah.

(24)

2. Terdapat Hibrida F1 yang memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tinggi dan positif.

3. Diduga bahwa karakter capsaicin dan vitamin C diwariskan dari tetua kepada

keturunannya dengan aksi gen aditif lebih besar daripada aksi gen dominan.

4. Terdapat satu atau beberapa genotipe cabai yang memiliki daya gabung yang

tinggi untuk kadar capsaicin dan vitamin.

Ruang Lingkup Penelitian

Kegiatan penelitian secara keseluruhan terbagi dalam dua tahap percobaan yaitu:

(1) Evaluasi hasil dan kualitas hasil, serta keragaman genetik beberapa genotipe cabai.

(2) Evaluasi tanaman F1 dan pendugaan parameter genetik kadar capsaicin dan vitamin C pada cabai dengan menggunakan analisis dialel.

Pada percobaan 1 dikarakterisasi daya hasil dari genotipe-genotipe cabai dengan tujuan untuk a) Mengetahui potensi produktivitas dan kualitas hasil dari setiap genotipe yang digunakan. b) Menetahui keragaman genetik dan heritabilitas. c) Menentukan genotipe yang akan digunakan sebagai tetua untuk pembentukan populasi dalam studi pewarisan. Genotipe yang digunakan sebagai tetua dievaluasi berdasarkan kadar capsaicin dan vitamin C yang memiliki kadar tinggi, sedang atau rendah.

Hasil evaluasi pada percobaan 1 ini memberikan informasi tentang kualitas hasil dari 14 genotipe cabai. Pembentukan populasi half diallel akan dilakukan

dengan hibridisasi terhadap genotipe-genotipe terpilih sesuai persyaratan kadar ketiga bahan aktif di atas. Genotipe terpilih dievaluasi juga berdasarkan kemudahan setiap genotipe untuk saling bersilang. Pada percobaan 2, dilakukan pendugaan parameter genetik bagi karakter kadar capsaicin dan vitamin C.

Pendugaan parameter genetik ini diawali dengan evaluasi terhadap genotipe hasil selfing dan persilangan antar tetua terpilih untuk menentukan efek maternal, korelasi antar karakter dan nilai heterosis serta heterobeltiosis. Hasil pendugaan

(25)

parameter genetik memberikan informasi tentang parameter genetik kadar capsaicin dan vitamin C. Diagram Alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Penelitian

Hibridisasi Tetua terpilih Menggunakan Persilangan Half Diallel

Percobaan 1.

Evaluasi Hasil dan Kualitas Hasil serta Keragaman Genetik Beberapa Genotipe Cabai Plasma nutfah cabai koleksi Bagian

Genetika dan Pemuliaan AGH – Faperta IPB

Percobaan 2a. Evaluasi Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada

Beberapa Hibrida F1 Cabai Hasil Persilangan Half Diallel

Percobaan 2b. Pendugaan Parameter Genetik

Kadar Capsaicin dan Vitamin C dengan Analisis Dialel Genotipe Cabai yang

memiliki Kadar Capcaicin dan Vitamin C Tinggi,

Sedang dan Rendah

-. Informasi Daya Hasil, Kualitas Hasil, Keragaman Genetik dan heritabilitas dari 14 Genotipe Cabai.

-. Informasi Parameter Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C

14 Genotipe Cabai dengan Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per Buah, Bobot

Buah per Tanaman dan kadar vit. A yang beragam

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani, Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

Secara umum tanaman cabe dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Sub kelas : Sympetale

Ordo : Tubiflorae

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annuum L.

Deskripsi spesies Capsicum menurut Heiser dan Smith (1953), Smith dan

Heiser (1957) dan Heiser dan Pickersgill (1969) dalam Djarwaningsih (2005),

adalah sebagai berikut:

Capsicum annuum L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan

tinggi 45-100 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya menggantung. Mahkota bunga berwarna putih, berbentuk seperti bintang, kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna dan tingkat kepedasan. Bentuk buah seperti garis, menyerupai kerucut, seperti tabung memanjang, lonceng atau berbentuk bulat. Warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning atau keunguan. Posisi buah menggantung. Biji berwarna kuning pucat.

Capsicum baccatum L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan

tinggi 45-75 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya tegak atau menggantung. Mahkota bunga berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, berbentuk seperti bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, bentuk buah bulat memanjang. Warna buah ketika masih muda dapat merah, jingga, kuning, hijau atau

(27)

coklat dan setelah masakpun bervariasi dari jingga, kuning sampai merah. Posisi buah tegak atau menggantung. Biji berwarna kuning pucat.

Capsicum frutescens L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi

50-150 cm, hidupnya dapat mencapai 2 atau 3 tahunan. Bunganya muncul berpasangan atau bahkan lebih di bagian ujung ranting, posisinya tegak. Mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang, kelopak rompong. Buah muncul berpasangan atau bahkan lebih pada setiap ruas, biasanya rasanya sangat pedas. Kadang-kadang mempunyai bentuk buah bulat memanjang atau berbentuk setengah kerucut. Warna buah setelah masak biasanya merah, posisi buah tegak. Biji berwarna kuning pucat.

Capsicum pubescens R. & P. Tumbuhan berupa perdu, tinggi 45-113 cm,

berbulu lebat, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal atau kadang-kadang menggerombol berjumlah 2-3 pada tiap ruas, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna ungu, berbulu, berbentuk seperti bintang. Kelopak berwarna hijau, berbulu. Buah tunggal atau muncul bergerombol berjumlah 2-3 pada setiap ruas, rasanya pedas. Buahnya berbentuk bulat telur; warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, jingga atau cokelat; posisi buah menggantung. Biji berwarna hitam.

Capsicum sinense Jacq. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi

45-90 cm. Bunga menggerombol berjumlah 3-5 pada tiap ruas, posisinya tegak atau merunduk. Mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang. Buah muncul bergerombol berjumlah 3-5 pada setiap ruas, panjangnya dapat mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas, mempunyai bentuk buah yang bervariasi dari bulat dengan ujung berpapila, berbentuk seperti lonceng dengan sisi- sisi yang beralur, berbentuk seperti kerucut dengan sisi-sisi yang beralur sampai bulat memanjang, kulit berkeriput atau kadang-kadang licin. Warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, merah jambu, jingga, kuning atau cokelat. Biji berwarna kuning pucat.

Cabai dapat ditanam di dataran rendah sampai tinggi dengan suhu ideal untuk pertumbuhan 24–27C dan untuk pembentukan buah 16–23C (Djarwaningsih 2005). Cabai menghendaki intensitas cahaya 10–12 jam/hari dan kelembaban relatif 80 %,

(28)

dengan curah hujan 100–200 mm/bulan. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan

meningkatkan intensitas serangan bakteri yang menyebabkan layu akar serta

merangsang perkembangbiakan cendawan. Lokasi penanaman cabai di bawah 1.400 m dpl, suhu tinggi, kering dan pengairan kurang menyebabkan penguapan/transpirasi tinggi sehingga daun dan buah banyak yang rontok serta buah yang terbentuk tidak sempurna.

Hampir semua jenis tanah yang cocok untuk budidaya tanaman pertanian pada umumnya cocok pula untuk cabai asalkan subur, gembur, kaya bahan organik dan tidak mudah tergenang. Jenis tanah yang ideal untuk cabai adalah Andosol, Latosol, Regusol, Ultisol, dan Grumosol dengan pH tanah 5–7. Pada tanah yang ber-pH asam, unsur hara tanaman, terutama P, K, S, Mg dan Mo tidak dapat diserap tanaman karena terikat oleh Al, Mn dan Fe. Pada tanah pH netral, sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air sehingga mudah diserap tanaman.

Pemuliaan Tanaman Cabai

Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode atau teknik yang secara sistematik merakit keragaman genetik, baik secara konvensional maupun non konvensional agar diperoleh bentuk-bentuk tanaman unggul baru yang lebih bermanfaat bagi manusia. Kegiatan pemuliaan tanaman merupakan serangkaian kegiatan yang saling berkaitan, diawali dengan koleksi plasma nutfah, evaluasi plasma nutfah, penerapan metode pemuliaan dan seleksi terhadap populasi yang terbentuk diikuti evaluasi terhadap hasil pemuliaan (Allard 1960). Usaha untuk memperbaiki bentuk dan sifat tanaman melalui kegiatan pemuaian tanaman akan lebih cepat dibandingkan dengan perbaikan melalui seleksi alam.

Tujuan akhir kegiatan pemuliaan tanaman sangat terkait dengan sifat yang akan dikembangkan. Menurut Kusandriani dan Permadi (1996) terdapat beberapa tujuan pemuliaan cabai antara lain: (1) memperbaiki daya hasil dan kualitas hasil, (2) perbaikan daya resistensi terhadap hama dan penyakit tertentu, (3) perbaikan sifat-sifat hortikultura, (4) perbaikan terhadap kemampuan mengatasi cekaman lingkungan.

(29)

Pada cabai, produktivitas tanaman merupakan prioritas utama. Produktivitas cabai berhubungan dengan tingkat pendapatan yang akan diperoleh petani. Dengan semakin tinggi produktivitas cabai maka pendapatan petani akan semakin tinggi pula. Selain produktivitas, sifat lain yang dikembangkan sangat berhubungan dengan permintaan konsumen. Panjang buah cabai merupakan karakter yang berhubungan dengan permintaan konsumen sehingga dilakukan standarisasi panjang buah cabai. Menurut Badan Standardisasi Nasional (1998) panjang buah cabai merah pada mutu I : 12-14 cm, mutu II : 9-11 cm dan mutu III : < 9 cm; diameter buah cabai merah pada mutu I : 1.5-1.7 cm, mutu II : 1.3-1.5 cm dan mutu III : < 1.3 cm.

Pemuliaan tanaman cabai membutuhkan keragaman genetik dan cara yang sesuai untuk memindahkan suatu karakter dari suatu individu tanaman ke individu tanaman lainnya. Allard (1960) menyampaikan bahwa suatu metode pengenalan dan identifikasi suatu karakter sangat diperlukan sehingga suatu seleksi dalam program pemuliaan dapat dilakukan. Identifikasi suatu karakter meliputi karakteristik gen yang mengendalikan dan pola pewarisan karakter tersebut. Informasi ini akan dijadikan sebagai dasar pembentukan metode pemuliaan tanaman.

Hayman (1961) mengemukakan bahwa studi genetik untuk mempelajari pola pewarisan gen yang mengendalikan suatu karakter dapat dilakukan dengan menduga parameter genetik. Salah satu cara untuk menduga parameter genetik adalah analisis silang dialel dengan menyilangkan beberapa galur/genotipe yang memiliki sifat tertentu. Persilangan antara galur/genotipe ini akan menginformasikan karakteristik dari gen-gen pengendali karakter serta daya gabung dari masing-masing galur/genotipe sehingga pada tahap akhir dari kegiatan pemuliaan tanaman akan menghasilkan varietas baru yang memilki keunggulan untuk sifat-sifat yang diwariskan.

Ada dua kelompok varietas cabai yang beredar di Indonesia yaitu kelompok varietas hibrida dan kelompok varietas bersari bebas (OP). Varietas hibrida merupakan Fl yang mempunyai sifat heterosis. Hibrida Fl tersebut mempunyai penampilan yang lebih baik dibandingkan dengan penampilan rata-rata kedua tetuanya (heterosis), atau lebih baik dari pada tetuanya yang terbaik (heterobeltiosis).

(30)

Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bila pemulia ingin melakukan pembentukan varietas hibrida yaitu persyaratan ekonomis, ekologis dan teknis. Persyaratan ekonomis yang menitik beratkan pada keunggulan komparatif yang menguntungkan dan mampu memberikan keuntungan bagi produsen. Persyaratan ekologis yaitu adanya adaptasi tanaman hibrida terhadap lingkungan yang lebih luas. Persyaratan teknis yang memfokuskan terhadap struktur genetik tetua superior dan dapat berperan dalam penyediaan sumber genetik dalam waktu yang lama. Salah satu kriteria genetik tersebut adalah efek heterosis dan heterobeltiosis pada kombinasi persilangannya (Mangoendidjojo 2003).

Capsaicin dan Vitamin Sebagai Produk Metabolit Sekunder

Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga melakukan metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang akan menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit sekunder (Herbert 1995). Karakteristik metabolit sekunder adalah heterogen struktur kimianya dan terbatas pada kelompok makhluk hidup bahkan jenis tertentu. Sintesisnya dibantu oleh enzim yang dikode oleh materi genetik khusus, serta terdapat kontrol pada biosintesisnya melalui regulasi aktivitas dan jumlah enzim, kompartemensasi enzim, prekursor, intermediat, serta produk yang terlibat dalam biosintesis, maupun penyimpanan dan penguraiannya. Metabolit yang diproduksi oleh tumbuhan tersebut memiliki nilai penting dalam berbagai industri, khususnya sebagai bahan baku industri farmasi, penyedap makanan, dan parfum (Khadi et al. 1981).  

Produk metabolit sekunder yang terdapat pada buah cabai salah satunya adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas dari cabai (Sukrasmo et al. 1997). Zat ini tidak larut dalam air

tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses oksidasi. Capsaicin (C18H27NO3) terdiri dari unit vanillamin dengan asam dekanoat, yang mempunyai

ikatan rangkap pada rantai lurus bagian asam (Andrew and Ternay 1979 dalam Sigit

(31)

Gambar 2. Jalur Biosintesis Capsaicin

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syukur et al. (2007) dan Rosyadi (2007)

terhadap beberapa genotipe tanaman cabai yang dikoleksi di Bagian Pemuliaan Tanaman Departemen AGH Faperta IPB menunjukan bahwa terdapat beda kadar capsaicin diantara genotipe-genotipe tersebut. Kadar capsaicin dari 11 genotipe yang telah diuji disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan kandungan capsaicin dari 24 genotipe cabai pada Tabel 1 maka diharapkan persilangan antara beberapa genotipe tanaman

(32)

cabai dapat menghasilkan hibrida yang memiliki kandungan capsaicin dengan kadar tertentu dan produksi dan kualitas buah yang diminati oleh konsumen.

Tabel 1. Kadar Capsaicin Beberapa Genotipe Cabai No.

Syukur (2007)* Rosadi (2007)**

Genotipe Kadar Capsaicin (ppm) Genotipe Kadar Capsaicin (ppm)

1 C1 325,87 C 20 1.505,93 2 C2 359,56 C 21 1.111,28 3 C3 475,41 C 30 1.651,26 4 C4 449,83 C 34 260,08 5 C5 388,20 C 35 340,00 6 C8 1.310,04 C 37 307,87 7 C9 212,29 C 48 462,23 8 C15 228,27 C 64 1.040,70 9 C18 222,83 C 68 365,55 10 C19 659,57 C 69 369,36

Keterangan Sumber : *: Syukur et al. (2007) **: Rosadi (2007)

Cabai varietas baru hasil persilangan genotipe-genotipe tertentu diharapkan banyak mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh manusia. Salah satu produk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cabai adalah provitamin A (karatenoid). Provitamin A ini akan diubah menjadi vitamin A didalam tubuh manusia. Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A menunjukan nama generik yang menyatakan bahwa seluruh retinoid dan prekusor/provitamin A/karatenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai retinol (Herbert 1995). Selain dikenal sebagai vitamin yang berperan dalam kesehatan mata, vitamin A juga penting dalam kelangsungan hidup manusia. Kekurangan vitamin A meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti ISPA dan Diare,

(33)

meningkatkan angka kematian akibat campak serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan.

Vitamin A yang di dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk ester retinil, bersama karatenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Di dalam

sel-sel mukosa usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pancreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorbsi daripada ester retinil. Sebagian

dari karatenoid, terutama beta karoten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol.

Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia asam askorbat (Khadi et al. 1987). Jalur biosintesis vitamin C disajikan pada Gambar 3.

(34)

Vitamin C termasuk golongan antioksidan karena sangat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam, oleh karena itu penggunaaan vitamin C sebagai antioksidan semakin sering dijumpai. Vitamin C berhasil diisolasi untuk pertama kalinya pada tahun 1928 dan pada tahun 1932 ditemukan bahwa vitamin ini merupakan agen yang dapat mencegah sariawan. Vitamin C perlu untuk menjaga struktur kolagen, sejenis protein yang menghubungkan semua jaringan serabut, kulit, urat, tulang rawan, dan jaringan lain di tubuh manusia.

Sampai sejauh ini analisis kandungan capsaicin dan vitamin C pada tanaman cabai telah diketahui namun bagaimana studi/kajian pewarisan capsaicin dan vitamin C belum dilakukan.

Heterosis, Daya Gabung dan Heritabilitas

Pada tanaman menyerbuk sendiri, keberhasilan memproduksi benih hibrida secara komersial ditentukan oleh dua hal yaitu hibrida harus menunjukkan heterosis pada karakter hasil, dan harus ditemukan metode yang efisien dan ekonomis untuk

menghasilkan benih hibrida (Darlina et al. 1992). Heterosis merupakan bentuk

penampilan superior hibrida yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua tetuanya (Hallauer dan Miranda 1995). Heterosis atau vigor hibida ditandai dengan keragaan yang lebih baik tanaman F1 yang berasal dari persilangan dua tetua galur murni. Gejala heterosis suatu hibrida terdapat pada hasil, ukuran, jumlah dari bagian tanaman, komponen kimiawi, ketahanan terhadap hama/penyakit tertentu, dan sebagainya.

Fenomena heterosis telah banyak digunakan dalam meningkatkan hasil tanaman dan daya adaptasi tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2002)

dan Barbosa et al. (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara

jarak genetik tetua dan nilai heterosisnya. Joshi & Singh (1987) mengemukakan bahwa eksploitasi heterosis diindikasikan sebagai cara praktis untuk meningkatkan hasil dan sifat ekonomi lainnya dari paprika.

Selain heterosis, maka daya gabung dari galur/genotipe perlu diketahui sebelum dijadikan tetua dalam persilangan. Daya gadung antara galur/genotipe

(35)

merupan kriteria penting yang perlu diketahui dalam merakit suatu varietas. Darlina

et al. (1992) mengemukakan bahwa daya gabung (combining ability) diartikan

sebagai ukuran kemampuan suatu kombinasi tetua untuk menghasilkan kombinasi

turunan yang diharapkan. Menurut Iriany et al. (2003) daya gabung merupakan

ukuran kemampuan genotipe suatu tanaman dalam persilangan untuk menghasilkan tanaman yang unggul.

Daya gabung ada dua macam yaitu daya gabung umum (general combining

ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya Gabung Umum

(DGU) adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya Gabung Khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu (Poehlman &Sleeper 1995).

Data yang diperoleh dari suatu persilangan antara kedua tetua, dapat memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil tinggi dengan mempelajari daya gabungnya (Silitonga et al.

1993). Jika suatu galur tetua disilangkan dengan galur tetua lain dan turunannya menunjukan penampilan rata-rata lebih tinggi dari pada seluruh persilangan, tetua tersebut dikatakan memiliki DGU yang baik. Selanjutnya bila penampilan keturunan suatu persilangan jauh lebih baik dari rata-rata penampilan tetuanya, persilangan

tersebut dikatakan memiliki DGK yang tinggi (Darlina et al. 1992). Dengan

demikian pengembangan kearah varietas hibrida lebih ditekankan pada daya gabung khusus dari tetuanya, sedangkan untuk pengembangan kearah varietas bersari bebas lebih ditekankan pada daya gabung umum.

Pengetahuan tentang aksi gen dalam pemuliaan tanaman merupakan kunci memilih prosedur yang akan memberikan kemajuan seleksi yang maksimal. Dudley & Mool (1969) dalam Kirana dan Sofiari (2007) menyampaikan bahwa apabila aksi

gen aditif lebih penting, pemulia dapat menyeleksi secara efektif galur-galur pada berbagai tingkat inbreeding, sebab pengaruh aditif selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebaliknya apabila aksi gen nonaditif lebih penting, maka dimungkinkan untuk memproduksi varietas hibrida.

(36)

Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genotipe dengan ragam fenotipenya. Hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Pada dasarnya seleksi terhadap populasi bersegregasi dilakukan melalui nilai-nilai besaran karakter fenotipenya. Dalam kaitan ini, penting diketahui peluang terseleksinya individu yang secara fenotipe menghasilkan turunan yang sama miripnya dengan individu terseleksi tadi. Misalkan dalam suatu populasi dijumpai ragam genetik tinggi untuk suatu karakter dan ragam fenotipenya rendah, maka dapat diramalkan bahwa turunan individu terseleksi akan mirip dengan dirinya untuk karakter tersebut; dan sebaliknya.

Heritabilitas biasanya dinyatakan dalam persen (%). Sesuai dengan komponen ragam genetiknya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) dan heritablitas dalam arti sempit (narrow sense heritability).

Menurut Becker (1985) heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe (h2bs = σ2G / σ2P), sedangkan heritabilitas

dalam arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2ns = σ2A / σ2P). Umumnya heritabilitas dalam arti sempit banyak mendapatkan

perhatian karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Kontribusi penampilan tidak tergantung pada adanya interaksi antar alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat.

Analisis Silang Dialel

Suatu persilangan dialel adalah suatu set dari semua kemungkinan persilangan antara beberapa genotipe. Dengan kata lain rancangan persilangan dialel meliputi semua atau sebagian persilangan single cross yang mungkin, termasuk resiprok

dan selfingnya. Persilangan dialel dilaksanakan dengan tujuan untuk mengevaluasi dan menyeleksi tetua yang menghasilkan keturunan terbaik. Genotipe tersebut berupa individu, klon, atau galur homozigot (Hayman 1954). Untuk jumlah genotipe yang besar maka jumlah persilangan yang mungkin dilakukan sangat besar sehingga

(37)

membutuhkan ruang, biaya dan tenaga yang lebih besar. Untuk itu maka persilangan tersebut dapat disederhanakan.

Penggunaan analisis silang dialel memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode analisis lainnya. Menurut Johnson (1963) dalam Jagau

(1993) teknik analisis silang dialel : (1). Secara eksperimental merupakan pendekatan yang sistematik, (2) Secara analitik merupakan evaluasi genetik menyeluruh yang berguna dalam mengidentifikasi persilangan bagi potensi seleksi yang terbaik pada awal generasi.

Pada dasarnya persilangan dialel dibagi menjadi tiga tipe persilangan yaitu: (1) dialel penuh (full diallel), (2) setengah dialel (half diallel) dan (3) dialel parsial

(partial diallel). Menurut Grifing (1956) ada empat kemungkinan silang dialel

berdasarkan pendekatan Griffing, yaitu 1) Silang tunggal dengan resiprokal dan

selfing (Metode I); 2) Silang tunggal dengan selfing tanpa resiprokal (Metode II); 3) Silang tunggal dengan resiprokal (Metode III); 4) Silang tunggal tanpa resiprokal dan tanpa selfing (Metode IV). Tetua Silang tunggal merupakan individu yang diambil secara acak dari suatu populasi.

Di dalam analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BC1 ataupun BC2, seperti

pada teknik pendugaan parameter genetik lainnya, akan tetapi dalam pelaksanaannya analisis ini harus memenuhi beberapa asumsi berikut : (1) Segregasi diploid, (2) Tidak ada perbedaan antara F1 dengan resiproknya atau tidak ada efek maternal, (3) Tidak ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel/epistasi, (4) Tidak ada multialelisme, (5) Tetua homozigot, (6) Gen-gen menyebar secara bebas di antara tetua (Hayman 1954).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis silang dialel dari suatu persilangan setengah dialel tanpa resiprok (non reciprocal half diallel). Pemilihan

tipe persilangan dialel ini didasarkan kepada asumsi bahwa tidak ada perbedaan antara persilangan resiprok antara tetua persilangan. Genotipe tanaman cabai yang digunakan dalam penelitian ini digalurkan sedemikian rupa sehingga asumsi tetua homozigot pada hampir semua lokusnya dapat terpenuhi. Selain itu, untuk memenuhi

(38)

asumsi gen-gen menyebar merata didalam tetua maka tetua yang dipilih harus ada yang mewakili tetua dengan kandungan capsaicin dan vitamin tinggi, agak tinggi dan rendah. Jika asumsi tersebut di atas terpenuhi maka keluaran yang akan diperoleh dari suatu analisis silang dialel adalah (Varghese 1976 dalam Jagau

1993):

 D : Komponen ragam karena pengaruh aditif.

 F : Rata-rata Fr untuk semua array; Fr adalah peragam pengaruh aditif dan

non aditif pada array ke-r.

 H1 : Komponen ragam karena pengaruh dominansi.

 H2 : Hl (1-(u-v)); u = proporsi gen positif dalam tetua, v = proporsi

gen-gen negatif dalam tetua; u + v = 1.

 h2 : Pengaruh dominansi (sebagai jumlah aljabar seluruh lokus pads keadaan heterozigous pads semua persilangan).

 E : Komponen ragam karena pengaruh lingkungan.

 Rata-rata tingkat dominansi : √(H1 / D)

 Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif di dalam tetua : H2 / 4H1

 Proporsi gen-gen dominan dan resesif di dalam tetua : [√(4DH1) + F] / [(√(4DH1) - F]

 Jumlah kelompok gen yang mengendalikan karakter dan menimbulkan

dominansi : h2/H2

 Heritabilitas arti sempit (Mather dan Jinks 1971) ½ D+ ½ H1 – ½ H2 – ½ F

½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F + E

 Heritabilitas arti luas (Mather dan Jinks 1971) ½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F

(39)

EVALUASI HASIL DAN KUALITAS HASIL 14 GENOTIPE

CABAI (

Capsicun annuum

L.) DAN KERAGAMAN

GENETIKNYA

ABSTRAK

Kualitas hasil tanaman cabai sangat berhubungan dengan daya hasil dan kandungan atau kadar bahan metabolit tertentu dalam buah cabai yang bebas dari hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil, kualitas hasil, termasuk kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C, beberapa genotipe cabai, serta untuk mengetahui keragaman genetik dan heritabilitasnya. Evaluasi 14 genotipe cabai dilakukan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 2 ulangan. Masing – masing satuan percobaan terdiri atas 20 tanaman dengan 6 tanaman sampel. Peubah yang diamati terdiri atas sifat kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan terhadap sifat kualitatif yaitu warna buah dilakukan berdasarkan

Descriptors for capsicum dari IPGRI. Sementara sifat kuantitatif yang diamati adalah

panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, dan bobot buah per tanaman. Pengamatan kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C dilakukan dengan

menggunakan teknik High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa 14 genotipe yang dievaluasi memiliki keragaman genetik dan nilai heritabilitas tinggi untuk karakter panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, bobot buah per tanaman, kadar vitamin A dan kadar vitamin C, sedangkan keragaman genetik karakter kadar capsaicin tergolong sedang. Genotipe IPB C10 memiliki kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C tertinggi, sedangkan yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin A terendah adalah genotipe IPB C2. Sementara itu, genotipe IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah. Karakter kadar capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin A dan vitamin C namun karakter kadar vitamin A dan vitamin C tidak memiliki korelasi yang nyata. Lima genotipe yang terpilih untuk dijadikan tetua dalam persilangan setengah dialel yaitu genotipe IPB C2 (capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin sedang, vitamin C rendah), IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15 (capsaicin sedang, vitamin C sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C sedang).

(40)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas

hortikultura unggulan Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta kandungan nutrisi yang cukup lengkap. Nutrisi utama yang terkandung didalam buah cabai adalah vitamin C, vitamin B1, provitamin A dan senyawa alkaloid yaitu capsaicin, flavenoid dan minyak esensial. Buah cabai diminati oleh konsumen karena rasa pedas yang dimilki. Rasa pedas ini disebabkan karena capsaicin yang terkandung didalam buah cabai tersebut. Capsaicin merupakan senyawa alkaloid yang terdapat didalam buah cabai yaitu pada biji, lapisan kulit bagian dalam serta plasenta.

Kandungan provitamin A dan vitamin C yang terdapat di dalam cabai diharapkan dapat mensubtitusi kebutuhan masyarakat akan kedua vitamin tersebut, yang selama ini banyak diperoleh dari konsumsi buah-buahan yang relatif lebih mahal. Berdasarkan data awal yang diperoleh dari hasil analisis terhadap kedua vitamin ini, maka kadar vitamin A pada cabai berkisar antara 6.684,320 – 9.530,050 IU dan vitamin C sebesar 42,72 – 92,28 mg/100g buah cabai. Djarwaningsih (2005), mengemukakan bahwa kebutuhan seseorang akan vitamin A per hari adalah sebesar 5000 IU dan untuk vitamin C jumlah yang dianjurkan per hari sebesar 60 mg.

Selain memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, tanaman cabai juga menjadi komoditas hortikultura yang diminati oleh petani karena harga komoditas ini relatif stabil. Pada tahun 2009 luas panen tanaman cabai mencapai 233.904 ha dengan produksi 1.378.727 ton dan produktivitas sebesar 5,89 ton/ha (BPS 2010). Namun dengan jumlah luas panen tersebut dari segi produksi belum dapat memenuhi konsumsi yang mencapai 2,77 kg/kapita/tahun (Deptan 2009).

Banyak faktor yang menentukan tinggi rendahnya produktivitas cabai. Menurut Djarwaningsih (2005) produktivitas cabai ditentukan oleh jumlah buah pertanaman, bobot buah, panjang dan diameter buah, sedangkan produktivitas benih

(41)

ditentukan oleh jumlah benih per buah dan bobot benih. Untuk itu usaha perbaikan varietas untuk meningkatkan produktivitas cabai perlu dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman.

Pemuliaan tananaman merupakan usaha untuk memperbaiki bentuk dan sifat tanaman yang lebih cepat dibandingkan dengan perbaikan melalui seleksi alam. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah pembentukan populasi dasar dengan keragaman yang tinggi. Makmur (1992) menyatakan bahwa mengoleksi plasma nutfah baik dari dalam maupun luar negeri dengan melakukan introduksi merupakan salah satu langkah awal dalam program pemuliaan tanam. Genotipe-genotipe yang dikoleksi kemudian dikarakterisasi dan dilakukan studi keanekaragaan untuk memudahkan dalam kegiatan peningkatan keragaman genetik.

Keragaman genetik ini merupakan potensi yang sangat besar untuk mengembangkan cabai jenis baru sehingga data kualitatif dan kuantitatif dari genotipe-genotipe cabai yang dikoleksi sangat penting untuk diketahui. Salah satu usaha perbaikan cabai yang memiliki keragaman genetik tinggi adalah dengan melakukan seleksi pada populasi tersebut (Helyanto et al. 2000). Variasi genetik

dalam populasi akan membantu dalam mengefisienkan kegiatan seleksi. Apabila variasi genetik dalam suatu populasi besar, maka akan menunjukkan individu dalam populasi sangat beragam sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang diharapkan akan besar (Bahar dan Zein 1993).

Genotipe-genotipe yang terseleksi diharapkan akan memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Pendugaan nilai heritabilitas bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor genetik terhadap penampilan fenotip dibandingkan pengaruh faktor lingkungan. Suatu populasi yang secara genetik berbeda yang hidup pada lingkungan yang sama kemungkinan besar dapat memperlihatkan nilai duga heritabilitas yang berbeda untuk suatu karakter yang sama. Begitu pula sebaliknya, suatu genotipe tertentu tidak selalu memberikan respon yang sama terhadap lingkungan yang berbeda. Nilai heritabilitas dipengaruhi oleh antara lain faktor karakteristik populasi, sampel genotipe yang dievaluasi serta metode penghitungan (Fehr 1987).

(42)

Banyak penelitian telah dilakukan tentang koefisien keragaman genetik dan heritabilitas tanaman cabai dan beberapa tanaman lainnya (Zen 1995; Rasyat 1996; Sujiprihati et al. 2003; Sreelathakumary dan Rajamony 2003; Yunianti et al. 2006;

Sudarmadji et al. 2007; Sudre et al. 2007), untuk mengetahui keragaman genetik

individu di dalam populasi dan besarnya pengaruh faktor genetik pada penampilan suatu sifat atau karakter.

Eckebil et al. (1977) menyatakan bahwa apabila perbaikan varietas cabai

dilakukan untuk beberapa sifat atau karakter maka korelasi dua atau lebih antar sifat positif yang dimiliki akan memudahkan seleksi karena akan diikuti oleh peningkatan sifat yang satu diikuti dengan yang lainnya, sehingga dapat ditentukan satu sifat atau indek seleksi Sebaliknya bila korelasi negatif, maka sulit untuk memperoleh sifat yang diharapkan. Bila tidak ada korelasi di antara sifat yang diharapkan, maka seleksi menjadi tidak efektif.

Penelitian ini memberikan informasi tambahan mengenai kualitas hasil buah cabai dari 14 genotipe yang dikoleksi pada Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agonomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, yang akan dipakai dalam program pemuliaan selanjutnya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

1. Mendapatkan informasi daya hasil, kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C dari 14 genotipe cabai koleksi IPB.

2. Mendapatkan informasi keragaman genetik dan heritabilitas karakter daya hasil, kadar vitamin A, kadar vitamin C dan kadar capsaicin dari 14 genotipe cabai koleksi IPB.

(43)

BAHAN DAN METODE Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Juli 2009. Karakterisasi daya hasil bertempat di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Lab. Dik Pemulian Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH) Faperta IPB. Analisis kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Departemen Pertanian.

Metode Penelitian Karakterisasi Daya Hasil.

Bahan tanaman yang digunakan dalam mengkarakterisasi daya hasil terdiri dari 14 genotipe tanaman cabai (Tabel 2) yang berasal dari koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman AGH Faperta IPB, AVRDC, introduksi dari beberapa negara dan galur-galur lokal dari beberapa daerah di Indonesia. Semua genotipe yang digunakan telah digalurkan sedemikian rupa sehingga telah memenuhi syarat homosigositas.

Tabel 2. Genotipe Cabai yang Digunakan Sebagai Bahan Penelitian

Genotipe Asal Keterangan Genotipe Asal Keterangan

IPB C2 Koleksi IPB Cabai semi keriting IPB C105 Koleksi Cabai Keriting

IPB C9 AVRDC Cabai Besar IPB C110 S. Mentari Cabai Keriting

IPB C10 AVRDC Cabai Rawit IPB C128 AVRDC Cabai Besar

IPB C14 AVRDC Cabai Besar IPB C129 AVRDC Cabai Besar

IPB C15 AVRDC Cabai semi keriting IPB C130 AVRDC Cabai semi keriting

IPB C19 Jawa Timur Cabai Besar IPB C131 AVRDC Cabai Besar

IPB C20 Indramayu Cabai Rawit IPB C132 AVRDC Cabai Besar

Penelitian dilaksanakan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal dengan 2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman yang kemudian akan diamati 6 tanaman sebagai tanaman sampel. Benih 14 genotipe tanaman cabai disemai pada tray dengan media tanam steril.

(44)

Setelah bibit berumur 35 hari dipindahkan ke lahan. Selanjutnya setiap minggu tanaman diberikan pupuk berupa larutan NPK 16-16-16 konsentrasi 5 g/l air sebanyak 250 ml/tanaman dan pupuk daun konsentrasi 10 g/l air. Pestisida yang digunakan adalah Curacron 500EC, Dithane M-45 dan Kalthane yang digunakan pada saat diperlukan. Peubah yang diamati terdiri dari sifat kualitatif dan kuantitatif khusus daya hasil berdasarkan Descriptors for Capsicum (IPGRI 1985), yaitu:

1. Warna buah muda, warna buah awal yang belum mengalami perubahan,

2. Warna buah pada tahap intermedier, warna buah yang terbentuk antara warna buah muda dan buah matang,

3. Warna buah matang, warna buah akhir yang sudah tidak mengalami perubahan, 4. Panjang buah, diukur dari pangkal ke bagian ujung buah cabai,

5. Bobot buah, ditimbang 10 buah pada panen kedua,

6. Tebal daging buah, diukur tebal daging buah 10 cabai pada panen kedua,

7. Bobot buah per tanaman (g), buah setelah panen ditimbang, pada 6 tanaman contoh selama 8 minggu.

Karakterisasi Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C.

Bahan tanaman yang digunakan dalam mengkarakterisasi kandungan capsaicin, vitamin A dan vitamin C adalah buah cabai dari 14 genotipe yang diuji pada evaluasi daya hasil, kualitas gasil dan keragaman genetik. Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan 2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 200 g buah cabai.

Model matematis rancangan yang digunakan untuk percobaan 1 adalah:

Yij = μ + αi + βj +

ε

ij

Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan genotipe ke-i pada blok ke-j

μ = Nilai rata-rata umum

αi = Pengaruh perlakuan genotipe ke-i (i = 1, 2, ..., 14)

βj = Pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2)

(45)

Buah cabai yang dipanen, dianalisis kandungan capsaicin, vitamin A dan C berdasarkan metode yang dikembangkan oleh BB Pasca Panen menggunakan teknik

High Performance Liquid Chromatography (HPLC), sebagai berikut:

- Sampel yang berasal dari buah matang dihaluskan terlebih dahulu. Kemudian ditimbang 2 g sampel.

- Buah cabai diekstrak dengan kloroform 10 ml pada suhu 600C selama 20 menit. - Setelah ekstrak buah cabai dingin, disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm

selama 30 menit.

- Dipisahkan residu dan filtrat.

- Residu dicuci kembali dengan kloroform 10 ml, dilakukan dua kali (diekstrak kembali).

- Filtrat dikumpulkan

- Cairan diefaporasi pada suhu 600C, lalu ditambahkan kloroform hingga 10 ml. - Diambil 1 ml cairan, ditambahkan fase gerak (air kloroform) 40:60, sampai 10 ml. - Kemudian disaring dengan millipore 0,5 , disuntikan ke HPLC sebanyak 5 ml

Kolom fase balik C-18 dan detector ultraviolet dengan panjang gelombang 254 nm, kecepatan aliran 1 ml/l.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan fasilitas SAS. Jika uji F nyata, dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf

5% (Gomez and Gomez 1995). Analisis dilakukan juga untuk mengetahui:

1. Ragam genetik (2g) dihitung menggunakan persamaan (Singh dan Chaudhary

1979) sebagai berikut: g 2  r KT KTGE  Keterangan:

KTG = kuadrat tengah genotipe

KTE = kuadrat tengah galat

Gambar

Tabel 1. Kadar Capsaicin Beberapa Genotipe Cabai
Tabel 2. Genotipe Cabai yang Digunakan Sebagai Bahan Penelitian
Tabel 3.  Kuadrat Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per Buah  dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai  Sumber  Keragaman  Derajat Bebas  Panjang Buah   Tebal Daging Buah   Bobot per Buah   Bobot Buah   per Tanama
Tabel 4.  Nilai Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Daging Buah, Bobot per Buah  dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai  Genotipe Panjang  Buah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini mengatakan bahwa perlakuan akuntansi aktiva tetap khususnya mengenai Harga Perolehan aktiva tetap PT Haka Utama Sejahtera Sampang tidak sesuai

Pertemuan II ini dilakukan pada hari kamis, pada pertemuan II ini peneliti melakukan post test siklus II untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan peserta

Pertumbuhan benih udang windu ( Penaeus monodon ) meningkat pesat pada kelompok hewan uji yang diberi pakan yang mengandung tepung cacing lur 30% dan penambahan

Setiap anak panti asuhan diharapkan memiliki kemampuan yang dapat bermanfaat tidak hanay bagipanti tetapi khususnya bagi kehidupannya kelak.Metode yang diguanakan

Analisis data hasil penelitian banyaknya sapi yang berahi menggunakan analisis secara deskriptif sedangkan lama berahi dan kecepatan berahi antara kelompok

Dalam waktu yang sama Mamalik al-Bahriyah menggan- tungkan harapan kepada Syajar al Durr pada masa peralihan karena Mamalik tidak mungkin mengambil alih langsung

kemanusiaan ini. pengembangan terhadap metode dakwah ini merupakan sebuah hal penting yang keberadaannya sangat dinantikan oleh semua stakeholder dalam dakwah. Secara

Kajian ini dilakukan dari bulan Mei hingga Disember 2008, untuk mengkaji perubahan tahap pengetahuan, amalan dan sikap jururawat di Hospital Kuala Krai, Kelantan terhadap amalan PSP