• Tidak ada hasil yang ditemukan

Genotipe padi memberikan respon yang berbeda terhadap persaingan dengan gulma E. crus-galli. Persaingan antara tanaman padi dengan gulma ini terjadi baik di bawah maupun di atas permukaan tanah. Persaingan di bawah tanah dalam memperebutkan air, unsur hara dan ruang tumbuh, sedangkan persaingan di atas tanah terjadi dalam memperebutkan CO2 dan sinar matahari yang berperan

dalam fotosintesis. Pengaruh persaingan antara genotipe padi dengan gulma terlihat dari penurunan relatif peubah-peubah yang diamati. Percobaan yang telah dilaksanakan di dua lingkungan tanam (rumah kaca dan lapangan) memperlihatkan kecenderungan yang sama. Persaingan secara umum telah menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Secara umum persentase penurunan relatif yang terjadi pada lingkungan rumah kaca lebih besar dibandingkan pada lingkungan lapangan.

Peubah tinggi tanaman di rumah kaca memperlihatkan respon yang nyata terhadap interaksi perlakuan gulma x genotipe sedangkan pada lingkungan sawah tidak menunjukkan respon berbeda nyata terhadap interaksi kedua perlakuan. Genotipe sama yang ditanam pada lingkungan rumah kaca memperlihatkan postur yang lebih tinggi dibandingkan yang ditanam di lapangan baik pada kondisi tanpa gulma maupun ketika bersaing dengan gulma. Tinggi tanaman yang lebih tinggi di rumah kaca diduga sebagai akibat rendahnya intensitas cahaya yang diterima tanaman di rumah kaca dibandingkan lapangan. Hal ini mendorong pemanjangan ruas tanaman (Nurshanti 2011).

Interaksi perlakuan gulma x genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan produktif di lingkungan rumah kaca maupun lapangan. Jumlah anakan produktif di lingkungan rumah kaca lebih rendah dibandingkan dengan lapangan. Hal ini disebabkan persaingan yang lebih besar di rumah kaca dibandingkan lapangan. Setiap satu rumpun padi di rumah kaca bersaing dengan 4 rumpun gulma E. crus-galli, sementara di lapangan satu rumpun padi hanya bersaing dengan 0.38 rumpun gulma E. crus-galli.

Penurunan relatif jumlah anakan produktif pada lingkungan rumah kaca berkisar antara 48% hingga 73% sedangkan pada lingkungan sawah penurunan relatif jumlah anakan produktif berkisar antara 6% hingga 33%. Penurunan relatif jumlah anakan produktif pada kedua lingkungan diduga sebagai akibat persaingan dalam memperebutkan hara di dalam tanah terutama fosfor. Hara ini diketahui berperan dalam pembentukan energi dalam proses biokimia tanaman. Kondisi ini seperti yang telah dikemukakan oleh Yoshida (1981) bahwa pembentukan jumlah anakan tanaman padi akan terhenti ketika nutrisi P dalam daun tanaman < 0.03%.

Pembandingan terhadap genotipe-genotipe yang ditanam pada percobaan I dan II memperlihatkan IR10L-133 dan IR10L-155 adalah 2 genotipe yang memiliki jumlah anakan produktif terbanyak pada kedua lingkungan tanam. Hal ini memperlihatkan kemampuan genotipe tersebut dalam mempertahankan jumlah anakan produktif dalam kondisi tercekam gulma. Kemampuan kedua genotipe mempertahankan jumlah anakan produktif tetap tinggi pada kondisi berkompetisi dengan gulma diduga sebagai adanya aktivitas alelopati dari kedua genotipe tersebut. Diduga genotipe menghasilkan alelokimia yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan E. crus-galli sehingga tanaman dapat tumbuh lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Hasil penelitian sebelumnya

50

menyatakan bahwa Shati varietas padi dari sub spesies indica memiliki alelopati yang kuat untuk menekan pertumbuhan gulma E. crus-galli (Junaedi et al. 2005).

Interaksi perlakuan gulma x genotipe tidak berpengaruh nyata pada umur tanaman berbunga pada kedua lingkungan tanam. Umur tanaman berbunga dan umur panen di lingkungan rumah kaca menunjukkan lebih panjang dibandingkan yang ditanam pada lingkungan lapangan. IR10L-155 memiliki umur berbunga 6.5 hari lebih lama di lingkungan rumah kaca dibandingkan di lapangan. IR10L-133 memperlihatkan umur 3.8 hari lebih panjang pada lingkungan rumah kaca dibandingkan ketika ditanam di lapangan. Fatmawati merupakan genotipe yang paling besar mengalami perubahan umur berbunga, 9.7 hari lebih lama di rumah kaca dibandingkan di lapang. Umur berbunga dan umur panen yang lebih panjang genotipe yang ditanam di rumah kaca diduga sebagai akibat rendahnya intensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanaman pada lingkungan tersebut, sehingga dibutuhkan jumlah hari yang lebih banyak untuk memperoleh intensitas optimum bagi pembungaan. Kondisi ini sejalan dengan percobaan sebelumnya yang menyatakan kondisi mikroklimat rumah kaca diduga menyebabkan umur tanaman padi gogo menjadi lebih panjang dibandingkan ketika ditanam di lahan terbuka (Herawati et al. 2009).

Jumlah gabah isi per malai memberikan respon yang berbeda nyata terhadap interaksi perlakuan gulma x genotipe pada kedua lingkungan tanam. Jumlah gabah isi per malai di lingkungan tanam rumah kaca cenderung selalu lebih rendah dibandingkan pada lingkungan lapang, baik pada kondisi tanpa gulma maupun ketika bersaing dengan gulma E. crus-galli. Penurunan relatif pada dua lingkungan tersebut juga menunjukkan kecenderungan yang sama. IR10L-155 pada lingkungan rumah kaca mengalami penurunan relatif jumlah gabah isi per malai sebesar 20% di lingkungan lapang hanya mengalami penurunan relatif sebesar 6.5%. Genotipe ini merupakan yang terkecil mengalami penurunan relatif jumlah gabah isi per malai pada kedua lingkungan. Banyaknya jumlah gabah isi yang terbentuk pada tanaman padi memperlihatkan efektivitas dalam fertilisasi yang sangat dipengaruhi oleh temperatur. Jumlah gabah isi masing-masing genotipe yang lebih rendah pada lingkungan rumah kaca dibandingkan dengan lapangan diduga sebagai akibat tingginya temperatur rumah kaca dibandingkan lapangan, sehingga mengganggu proses fertilisasi yang pada gilirannya menyebabkan tingginya persentase jumlah gabah hampa per malai dan berakibat pada rendahnya gabah isi yang terbentuk. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Yoshida (1981) yang mengemukakan bahwa suhu tinggi mengakibatkan rendahnya penyerapan nitrogen oleh tanaman yang penting pada pembentukan biji.

Bobot gabah per rumpun memberikan respon yang berbeda nyata terhadap interaksi perlakuan gulma x genotipe. Bobot gabah per rumpun genotipe sama yang ditanam pada lingkungan rumah kaca cenderung lebih rendah dibandingkan ketika ditanam pada lingkungan lapangan, baik pada kondisi tanpa gulma maupun ketika bersaing dengan gulma E. crus-galli. Rendahnya bobot gabah per rumpun pada lingkungan rumah kaca dibandingkan lapangan diduga sebagai akibat dari persaingan tanaman dalam memperebutkan unsur hara dalam tanah dan perbedaan mikroklimat. Persaingan tanaman padi dengan gulma E. crus-galli dalam memperebutkan nutrisi terutama fosfor menyebabkan terhambatnya pembentukan anakan padi. Terhambatnya pembentukan anakan padi berimplikasi pada

51 rendahnya jumlah anakan produktif yang terbentuk sehingga mempengaruhi jumlah malai yang akan menghasilkan gabah.

Kondisi temperatur yang lebih tinggi pada lingkungan rumah kaca terutama pada fase heading akan mengakibatkan rendahnya serapan nitrogen oleh tanaman (Yoshida 1981). Nitrogen sangat dibutuhkan tanaman sebagai bahan pembentuk protoplas dan pembangun enzim sehingga pada fase heading ketersediaan hara ini sangat dibutuhkan untuk menghindari sterilitas. Pentingnya nitrogen pada pembentukan gabah telah pula dikemukakan oleh Wei et al. (2011) yang menyatakan nitrogen mempengaruhi hasil tanaman padi sawah melalui pembentukan malai dan pengisian biji.

R10L-155 dan IR10L-133 pada penelitian ini merupakan dua genotipe yang secara konsisten memberikan bobot gabah per rumpun lebih berat dan penurunan relatif bobot gabah per rumpun lebih kecil dibandingkan genotipe lainnya.

Analisis korelasi karakter agronomi terhadap bobot gabah per rumpun dari dua percobaan rumah kaca dan lapangan terdapat karakter-karakter yang berkorelasi positif dan nyata terhadap bobot gabah per rumpun. Jumlah anakan produktif dan jumlah gabah isi per malai berkorelasi positif dan nyata terhadap bobot gabah per rumpun. Semakin banyak jumlah anakan produktif semakin banyak pula malai yang terbentuk sehingga peluang memperoleh gabah juga semakin besar. Jumlah gabah isi per malai disertai dengan jumlah anakan banyak akan menghasilkan bobot gabah yang lebih berat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Zhao et al. (2006) yang menyatakan kemampuan menghasilkan jumlah anakan yang banyak merupakan karakter yang penting bagi tanaman padi dalam berkompetisi dengan gulma. Toure et al. (2011) juga mengemukakan bahwa hasil tanaman padi merupakan atribut dari banyaknya jumlah anakan produktif per rumpun, jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 gabah.

Dokumen terkait