• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Klaten merupakan salah satu sentra produksi beras di Indonesia. Saat ini, lebih dari 80% hasil produksi pertanian pangan di kabupaten Klaten adalah beras. Budidaya padi dilakukan secara intensif. Umumnya pola tanam didaerah ini adalah padi-padi-palawija. Walaupun demikian, pada musim-musim kemarau basah, pola tanam menjadi padi-padi-padi (Istiaji 2011).

Faktor-faktor lingkungan dan praktik budidaya tanaman padi yang diduga memiliki pengaruh terhadap keparahan serangan wereng batang cokelat di kabupaten Klaten akan dibahas dalam bab ini. Dari 11 faktor yang diuji dengan uji khi kuadrat, 4 faktor menunjukkan pengaruh yang nyata dengan keparahan serangan wereng batang cokelat, yaitu populasi wereng batang cokelat, interval penyemprotan insektisida, dosis pupuk K dan jarak tanam.

Populasi Wereng Batang Cokelat (WBC)

Banyaknya populasi WBC dalam suatu rumpun tanaman akan menentukan tingkat kerusakan yang diakibatkannya. Hubungan antara populasi WBC dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui keseluruhan petak contoh terdapat populasi WBC kurang dari 20 ekor/rumpun. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 13 petak terdapat populasi WBC kurang dari 20 ekor/rumpun serta 2 petak terdapat populasi WBC lebih dari atau sama dengan 20 ekor/rumpun dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 9 petak terdapat populasi WBC kurang dari 20 ekor/rumpun dan 6 petak terdapat populasi WBC lebih dari atau sama dengan 20 ekor/rumpun.

9

Gambar 1. Hubungan populasi WBC dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata antara populasi WBC dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,01). Data penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat keparahan serangan WBC maka akan semakin banyak ditemukan petak contoh yang populasi WBCnya lebih dari atau sama dengan 20 ekor/rumpun, nilai tersebut merupakan batas ambang ekonomi untuk WBC dapat menimbulkan kerugian ekonomis sehingga perlu dilakukan tindakan pengendalian (BPTP Jawa Barat 2010). Tetapi walaupun keberadaan WBC kurang dari 20 ekor/rumpun, tetap harus dilakukan pengamatan populasinya secara intensif dikarenakan serangga WBC memiliki kemampuan perkembangan populasi yang tinggi dan daya adaptasi yang cepat. Peledakan populasi WBC yang merupakan peningkatan populasi secara eksplosif ada hubungannya dengan berubahnya lingkungan eksternal seperti perubahan cuaca, perubahan iklim dan penyemprotan pestisida (Heong & Hardy 2009). Wereng batang cokelat adalah serangga bertipe strategi-r yang memiliki karakteristik kemampuan bermigrasi yang tinggi dari lahan yang telah dirusak ke lahan baru yang belum dirusaknya dan memiliki kemampuan berkembang biak yang cepat sehingga dapat menimbulkan kehilangan hasil panen yang tinggi dengan gejala yang ditimbulkan berupa “hopper burn” dan merupakan vektor virus kerdil rumput dan kerdil hampa (Pathak & Khan 1994).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Ringan Sedang Berat

F rek uen si Relatif (% ) Keparahan Serangan WBC < 20 ekor/rumpun ≥ 20 ekor/rumpun

10

Keragaman Jenis Musuh Alami

Musuh alami merupakan faktor pembatas yang diduga paling berperan dalam menekan perkembangan populasi WBC sehingga keberadaan dan keragamannya perlu diketahui. Hubungan antara keragaman jenis musuh alami dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 3 jenis, 5 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 1 jenis dan 3 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 2 jenis. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 3 jenis, 5 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 2 jenis, 3 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 1 jenis serta 1 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 4 jenis dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 5 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 2 jenis, masing-masing 4 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 1 jenis dan 3 jenis, 1 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 4 jenis dan 1 petak diketahui tidak terdapat keberadaan musuh alami.

Gambar 2. Hubungan keragaman jenis musuh alami dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 2011. 0 10 20 30 40 50

Ringan Sedang Berat

Frekuensi Rel at if (%) Keparahan Serangan WBC Tidak Ada 1 jenis 2 jenis 3 jenis 4 jenis

11

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara keragaman jenis musuh alami dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,76). Musuh alami WBC dalam agroekosistem padi memiliki jumlah total 167 spesies yang terbagi dalam 9 kelompok inverteberata dan 5 kelompok verteberata. Predator dari kelompok inverteberata yang paling banyak jenisnya berasal dari ordo Araneae dan Hemiptera (Heong & Hardy 2009). Dalam penelitian ini keragaman jenis musuh alami tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap keparahan serangan WBC, hal ini mungkin saja terjadi karena musuh alami yang berpindah ke petak lainnya ketika populasi WBC dalam petak tersebut menurun sedangkan jika diketahui keberadaan telur WBC dalam jaringan tanaman padi banyak maka setelah melewati stadia telur akan muncul nimfa WBC yang perkembangannya dapat dengan cepat dikarenakan berkurangnya faktor pembatas yaitu musuh alami.

Selain itu diketahui keberadaan musuh alami dipengaruhi oleh umur tanaman. Berdasarkan penelitian Defaosandi (2010) populasi Cyrtorhinus lividipennis yang merupakan salah satu musuh alami WBC yang ditemukan dalam penelitian ini lebih banyak terdapat pada tanaman padi yang berumur muda dibandingkan tanaman padi yang berumur lebih tua. Hal tersebut terjadi karena pada tanaman yang sudah mulai tinggi dan rindang predator lain mulai bermunculan dan juga menjadi predator bagi C. lividipennis.

Varietas Padi

Hubungan antara varietas padi dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 1980-1998, 5 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2000-2006, 3 petak tidak menggunakan VUTW dan 1 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2008-2009. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 1980-1998, 4 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2000-2006, 3 petak tidak menggunakan VUTW serta 2 petak menggunakan VUTW yang dilepas

12

antara tahun 2008-2009 dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak tidak menggunakan VUTW, 4 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 1980-1998, 3 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2008-2009 dan 2 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2000-2006. Dalam penelitian ini diketahui varietas padi yang tidak memiliki ketahanan terhadap WBC adalah Situ Bagendit, Luk Ulo dan Umbul-umbul. VUTW yang dilepas antara tahun 1980-1998 terdiri dari varietas Cisadane, IR-64 dan Way Apo Buru. VUTW yang dilepas antara tahun 2000-2006 terdiri dari varietas Bondhoyudho, Ciherang, Mekongga serta Mira 1 dan VUTW yang dilepas antara tahun 2008-2009 terdiri dari varietas Inpari 1, Inpari 6 dan Inpari 13.

Gambar 3. Hubungan varietas padi dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara varietas padi dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,63). Penggunaan varietas padi bukan VUTW maupun semua jenis VUTW tetap terserang WBC. Selain itu data penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bukan VUTW ditemukan dua kali lebih banyak pada petak dengan keparahan serangan WBC berat dibandingkan petak dengan keparahan serangan WBC ringan dan sedang. Penggunaan VUTW yang banyak digunakan pada petak contoh dapat menyebabkan gen dari populasi WBC akan beradaptasi sehingga akan muncul biotipe pada WBC yang resisten terhadap VUTW (Heong & Sogawa

0 10 20 30 40

Ringan Sedang Berat

Frekuensi Rel at if (%) Keparahan Serangan WBC Bukan VUTW VUTW 1980-1998 VUTW 2000-2006 VUTW 2008-2009

13

1994). Inovasi teknologi dan introduksi VUTW telah menyebabkan pergantian secara dinamis status dari hama WBC. Sejak tahun 1979 sampai dengan 1980an, WBC menjadi hama epidemik di selatan dan tenggara Asia, dimana ketika varietas lokal diganti dengan VUTW merupakan salah satu penyebabnya (Rombach & Gallagher 1994). Pada tahun 1973, IR 26 merupakan varietas padi resisten pertama yang dilepas di Asia. IR 26 resisten terhadap WBC biotipe 1 dan setelah pelepasannya terjadi penurunan populasi WBC secara signifikan akan tetapi dalam waktu 2 tahun ketahanan varietas IR 26 terhadap WBC biotipe 1 terpatahkan dan kepadatan populasi WBC mulai meningkat kembali. Tahun 1976 para ilmuwan melepas varietas IR 36 yang resisten terhadap WBC biotipe 2 tetapi pada akhir 1970an ketahanannya kembali terpatahkan. IR 56 yang mengandung gen ketahanan WBC biotipe 3 telah tersebar sejak tahun 1982 tetapi kerusakan akibat serangan WBC tetap terjadi di berbagai wilayah (Gallagher et al. 1994).

Keragamaan Jenis Hama lain

Hubungan antara keragaman jenis hama lain dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 4 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 2 jenis, masing-masing 3 petak terdapat keragaman hama lain 1 jenis dan 3 jenis, 2 petak diketahui tidak terdapat keragaman hama lain, 2 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 4 jenis dan 1 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 7 jenis. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 2 jenis, 3 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 1 jenis, masing-masing 2 petak terdapat keragaman hama lain 3 jenis dan 4 jenis serta masing-masing 1 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 5 jenis dan 7 jenis dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 4 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 3 jenis, 3 petak diketahui tidak terdapat keragaman hama lain, masing-masing 2 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 1 jenis, 2 jenis dan 5 jenis serta masing-masing 1 petak terdapat keragaman hama lain 4 jenis dan 6 jenis.

14

Gambar 4. Hubungan keragaman jenis hama lain dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara keragaman hama lain dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,67). Keragaman dan peningkatan populasi serangga dalam ekosistem padi berkaitan dengan menghilangnya faktor pembatas (Heong et al. 2007). Dalam hal ini tanaman inang dapat menjadi faktor pembatas perkembangan populasi hama lain karena untuk memperolehnya harus berkompetisi dengan WBC.

Rotasi Tanaman

Hubungan antara rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 13 petak tidak melakukan rotasi tanaman dan 2 petak melakukan rotasi tanaman. Sedangkan untuk kategori sedang dan kategori berat dari masing-masing 15 petak contoh yang diamati, diketahui 14 petak tidak melakukan rotasi tanaman dan hanya 1 petak yang melakukan rotasi tanaman.

0 10 20 30 40

Ringan Sedang Berat

Frekuensi Rel at if (%) Keparahan Serangan WBC Tidak Ada 1 jenis 2 jenis 3 jenis 4 jenis 5 jenis 6 jenis 7 jenis 8 jenis

15

Gambar 5. Hubungan rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,76). Tersedianya air pengairan yang cukup mendorong petani untuk menanam padi secara terus-menerus menyebabkan tersedianya pakan dan tempat berkembang biak WBC secara berkesinambungan. Sehingga populasi WBC akan terus meningkat, untuk tujuan pengendalian perlu diusahakan agar fakta tersebut tidak sesuai lagi bagi perkembangan WBC (DBPT 1992).

Banyaknya Bahan Aktif Insektisida

Hubungan antara banyaknya bahan aktif insektisida yang digunakan dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak menggunakan lebih dari atau sama dengan 3 jenis bahan aktif insektisida, 5 petak tidak menggunakan insektisida dan 3 petak menggunakan 2 jenis bahan aktif insektisida. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak menggunakan lebih dari atau sama dengan 3 jenis bahan aktif insektisida, 3 petak menggunakan 1 jenis bahan aktif insektisida, 3 petak menggunakan 2 jenis bahan aktif insektisida serta 2 petak tidak menggunakan insektisida dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak menggunakan lebih dari atau sama

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Ringan Sedang Berat

Frekuensi Rel at if (%) Keparahan Serangan WBC Rotasi Tidak Rotasi

16

dengan 3 jenis bahan aktif insektisida, 4 petak menggunakan 1 jenis bahan aktif insektisida, 3 petak menggunakan 2 jenis bahan aktif insektisida dan 1 petak tidak menggunakan insektisida.

Gambar 6. Hubungan banyaknya bahan aktif insektisida dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara banyaknya bahan aktif insektisida yang digunakan dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,32). Pemilihan jenis bahan aktif insektisida yang akan digunakan merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam usaha pengendalian WBC karena penggunaan jenis bahan aktif insektisida yang tidak tepat dapat menyebabkan resurjensi terhadap WBC. Menanggapi terjadinya fenomena resurjensi WBC karena penggunaan insektisida pada pertanaman padi, Inpres 3/1986 menetapkan kebijakan teknis yaitu jenis insektisida yang dapat menimbulkan resurjensi, resistensi, atau dampak lain yang merugikan dilarang digunakan untuk tanaman padi. Inpres 3/1986 merupakan tonggak sejarah penerapan PHT di Indonesia karena melalui instruksi ini, pemerintah mulai memberikan dukungan politik dan legal terhadap PHT. Berdasarkan pengamatan dilapangan petani juga sudah banyak yang menggunakan insektisida yang dewasa ini dinilai sangat efektif untuk mengendalikan hama WBC stadium telur dan nimfa yaitu Apllaud 10 WP yang mengandung bahan aktif buprofezin (Untung 2007). 0 10 20 30 40

Ringan Sedang Berat

Frekuensi Rel at if (%) Keparahan Serangan WBC 0 Jenis 1 Jenis 2 Jenis ≥ 3 Jenis

17

Interval Penyemprotan Insektisida

Hubungan antara interval penyemprotan insektisida dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan lebih dari 15 hari, 5 petak tidak diberi insektisida, 2 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 3-7 hari dan 1 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan kurang dari atau sama dengan 2 hari. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 8 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 8-15 hari, 2 petak tidak diberi insektisida, 2 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan kurang dari atau sama dengan 2 hari, 2 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 3-7 hari serta 1 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan lebih dari 15 hari dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 3-7 hari, 4 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan kurang dari atau sama dengan 2 hari, 3 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 8-15 hari, 1 petak tidak diberi insektisida dan 1 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan lebih dari 15 hari.

Gambar 7. Hubungan interval penyemprotan insektisida dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 2011. 0 10 20 30 40 50 60

Ringan Sedang Berat

Frekuensi Rel at if (%) Keparahan Serangan WBC Tidak Diberi ≤ 2 hari 3-7 hari 8-15 hari > 15 hari

18

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata antara interval penyemprotan insektisida dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,001). Data (nilai-penelitian ini menunjukkan bahwa (nilai-petak yang lebih sering dilakukan penyemprotan insektisida yaitu kurang dari atau sama dengan 2 hari sekali dan interval 3-7 hari sekali lebih banyak ditemukan pada petak dengan keparahan serangan WBC berat dibandingkan petak dengan keparahan serangan WBC ringan dan sedang. Seperti halnya dengan jenis bahan aktif insektisida, interval penyemprotan insektisida juga merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Dalam Inpres 3/1986 juga telah ditetapkan kebijakan teknis yaitu jenis dan cara aplikasi insektisida harus memperhatikan kelestarian musuh alami hama WBC. Penyemprotan insektisida yang dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan tingginya mortalitas musuh alami dan menyebabkan resistensi pada WBC sehingga populasi WBC akan meningkat dan mengakibatkan tingkat kerusakan yang lebih tinggi (Untung 2007).

Permasalahan WBC di Asia memiliki karakteristik yang sama yaitu penggunaan pestisida yang berlebihan. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, WBC telah menimbulkan kerusakan yang parah pada lahan pertanaman padi (IRRI 1979, Heinrichs & Mochida 1984), tetapi saat ini, beberapa negara di Asia Tenggara telah menerapkan Integrated Pest Management (IPM) dan penggunaan insektisida telah dikurangi dengan cara sosialisasi melalui media massa sehingga permasalahan WBC telah berkurang secara signifikan (Matesson 2000).

Dosis Pupuk N

Hubungan antara penggunaan dosis pupuk N dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 8 petak diberikan dosis pupuk N sebanyak kurang dari atau sama dengan 250 kg/ha setara urea, 4 petak diberikan dosis pupuk N lebih dari 250 kg/ha setara urea dan 3 petak tidak diberi pupuk N. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 10 petak diberi dosis pupuk N kurang dari atau sama dengan 250 kg/ha setara urea, 4 petak diberi dosis pupuk N lebih dari 250 kg/ha setara urea serta 1 petak tidak diberi pupuk N dan untuk

19

kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 9 petak diberi dosis pupuk N kurang dari atau sama dengan 250 kg/ha setara urea dan 6 petak diberi dosis pupuk N lebih dari 250 kg/ha setara urea.

Gambar 8. Hubungan penggunaan dosis pupuk N dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara penggunaan dosis pupuk N dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,36). Menurut Doberman dan Fairhust (2000) N merupakan penyusun asam amino, asam nukleat, nukleotida dan klorofil sehingga nitrogen berfungsi dalam mendukung pertumbuhan vegetatif tanaman yang cepat, yaitu dalam meningkatkan tinggi tanaman dan meningkatkan jumlah anakan sawah. Penggunaan pupuk N selain memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan tanaman juga dapat menyebabkan dampak negatif jika dosis yang digunakan melebihi dosis anjuran. Aplikasi pupuk N yang tinggi tidak akan berdampak pada biologi serangga tetapi akan merubah morfologi, biokimia dan fisiologi dari tanaman inang sehingga akan meningkatkan kondisi nutrisi untuk serangga pemakan tumbuhan (Bernays 1990, Simpson & Simpson 1990) dan dapat menyebabkan penurunan resistensi tanaman inang terhadap serangga pemakan tumbuhan (Barbour et al. 1991). Pertanaman padi dengan pemupukan nitrogen yang tinggi akan menciptakan habitat yang disukai oleh lebih dari 200 spesies serangga pemakan tumbuhan, beberapa diantaranya adalah serangga hama

0 10 20 30 40 50 60 70

Ringan Sedang Berat

Frekuensi Rel at if (%) Keparahan Serangan WBC Tidak diberi ≤ 250 kg > 250 kg

20

penting. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab status WBC berubah dari hama sekunder menjadi hama utama padi pada tahun 1970an (Dyck et al. 1979).

Terdapat berbagai macam pupuk N diantaranya pupuk urea merupakan pupuk tunggal yang memiliki kadar minimal N sebesar 45-46% dalam bentuk NH4+ dengan rumus kimia CO(NH2)2. Pupuk ZA juga merupakan pupuk tunggal dengan rumus kimia (NH4)2SO4 dengan kadar N sebesar 21% (Sianipar 2006).

Dosis Pupuk P

Hubungan antara penggunaan dosis pupuk P dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 9. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak diberikan dosis pupuk P lebih dari 100 kg/ha setara SP 36, 5 petak tidak diberi pupuk P dan 3 petak diberi dosis pupuk P kurang dari atau sama dengan 100 kg/ha setara SP 36. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 9 petak diberi dosis pupuk P lebih dari 100 kg/ha setara SP 36, 4 petak diberi dosis pupuk P kurang dari atau sama dengan 100 kg/ha setara SP 36 serta 2 petak tidak diberi pupuk P dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 8 petak diberi dosis pupuk P lebih dari 100 kg/ha setara SP 36, 5 petak diberi dosis pupuk P kurang dari atau sama dengan 100 kg/ha setara SP 36 dan 2 petak tidak diberi pupuk P.

Gambar 9. Hubungan penggunaan dosis pupuk P dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 2011. 0 10 20 30 40 50 60 70

Ringan Sedang Berat

Frekuensi Rel at if (%) Keparahan Serangan WBC Tidak diberi ≤ 100 kg > 100 kg

21

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara penggunaan dosis pupuk P dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,60). Menurut Doberman dan Fairhust (2000) P merupakan penyusun ATP, nukleotida, asam nukleat, fosfolipid, penyimpan energi dan transfer energi. Fosfor berperan dalam pembagian sel, pembentukan lemak dan albumin, mempengaruhi kematangan tanaman, melawan pengaruh buruk nitrogen, perkembangan akar halus dan akar rambut, meningkatkan kualitas tanaman dan ketahanan terhadap penyakit (Soepardi 1983 didalam Sianipar 2006). Berdasarkan penelitian Sianipar (2006) pupuk fosfor yang sering digunakan petani saat ini adalah SP-36 karena pupuk TSP peredarannya sedikit di pasar. Pupuk ini merupakan pupuk superfosfat yang mengandung P2O5 sebesar 36 %.

Dosis Pupuk K

Hubungan antara penggunaan dosis pupuk K dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 9 petak tidak diberi pupuk K, 2 petak diberi dosis pupuk K kurang dari atau sama dengan 75 kg/ha setara KCl dan 4 petak diberi dosis pupuk K lebih dari 75 kg/ha setara KCl. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 10 petak diberi dosis pupuk K lebih dari 75 kg/ha setara KCl, 3 petak diberi dosis pupuk K kurang dari atau sama dengan 75 kg/ha setara KCl serta 2 petak tidak diberi pupuk K dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh

Dokumen terkait